Bagaimana hukum sholat dan puasa bagi wanita yang mengalami Istihadhah?

Sebagaimana yang kita tahu, wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan melaksanakan sholat dan puasa. Lalu bagaimaa dengan wanita yang beristihadhah?

Hukum yang Berkaitan dengan Wanita Istihadhah

Istihadhah adalah peristiwa yang tidak menentu kesudahannya. Oleh karena itu bukan merupkan penghalang bagi shalat dan puasa dan ibadah-ibadah lain yang tidak boleh dilaksanakan ketika haid dan nifas.

Namun bagi wanita-wanita yang minim pengetahuannya tentang fiqih wanita Islam, tentu akan bingung ketika ia mengalami seperti ini, dimana mereka belum mengetahui kalau dirinya sedang mengalami istihadah. Ada beberapa hukum yang berlaku bagi wanita istihadhah, antara lain sebagai berikut :

  1. Ia tidak wajib mandi untuk melaksanakan shalat maupun mandi pada waktu-waktu tertentu, kecuali hanya sekali saja, yaitu ketika suci dari haid. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf (terdahulu) maupun khalaf (kemudian).

  2. Ia wajib berwudhu setiap hendak melaksanakan shalat, merujuk sabda Nabi dalam hadis riwayat Al- Bukhari: “kemudian berwudhulah setiap ingin melaksanakan shalat” Namun dalam hal ini, Imam Malik berpendapat bahwa wudhu setiap hendak melaksanakan shalat bagi wanita yang mengalami istihadhah hanya sunnah (mustahab) dan tidak wajib kecuali memang ada hadas lain.

  3. Membasuh kemaluannya sebelum wudhu dan membalutnya dengan kain atau kapas pembalut untuk menghilangkan atau menyedikitkan najis. Jika darah tidak dapat disumbat dengan kapas, maka kemaluannya harus dibalut dengan sesuatu yang dapat menghentikan darah. Namun, hal ini tidak wajib, melainkan lebih utama.

  4. Menutut mayoritas ulama, ia tidak perlu berwudhu sebelum masuk waktu shalat, karena sucinya adalah darurat sehingga tidak perlu didahulukan sebelum dibutuhkan.

  5. Menurut mayoritas ulama, suaminya diperbolehkan untuk menyetubuhinya diluar hari-hari haid, meskipun darahnya masih tetap keluar. Dengan kata lain, jika perempuan yang istihadhah itu dibenarkan mengerjakan shalat dalam keadaan darah mengalir, maka sudah tentu bahwa menyetubuhi diperbolehkan.

  6. Ia berstatus layaknya wanita-wanita yang suci sehingga ia wajib melaksanakan shalat, puasa, boleh i‟tikaf, membaca al-Qur‟an, memegang dan membawa mushaf, dan melaksanakan segala jenis ibadah, dan hal ini sudah menjadi kesepakatan seluruh ulama.

Referensi :
  • Muhammad Ustman, Ianatun Nisa’, (Petok 1/5 Mojo Kediri 64162, t.t)
  • Muhammad Fuad, Fiqih Wanita Lengkap, (Lintas Media: 2007)
  • Muhammad Fuad, Fiqih Wanita Lengkap (mencakup isi hukum wanita dalam kehidupan sehari-hari) , (Jombang: Lintas Media, 2007)
  • Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah (Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji) , (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009)