Bagaimana hukum menghina Adzan ?

Azan

Azan atau adzan merupakan panggilan bagi umat Islam untuk memberitahu masuknya salat fardu. Dikumandangkan oleh seorang muadzin setiap salat lima waktu. Bagaimana hukum menghina Adzan ?

Banyak sekali amalan ketika mendengar Adzan yang dianjurkan untuk dilaksanakan bagi setiap muslim yang mendengarnya. Namun, apabila jadinya kita yang seringkali sengaja ataupun tidak sengaja menghina Adzan?

Allah Ta’ala berfirman di dalam surat al-Maidah [5] ayat 58,

Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau menggunakan akal.

Saat menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir mengisahkan sebuah kisah azab yang menimpa seorang Nashrani di kota Madinah. Ia mendapatkan siksa di dunia. Siksaan ini di dapat karena ia menghina nabi dan seorang muslim yang sedang mengumandangkan adzan.

“Ada seorang Nashrani di kota Madinah,” demikian tutur Asbath yang meriwayatkan dari as-Suddi. Setiap saat mendengarkan muadzin mengumandangkan panggilan yang menandakan bahwa shalat akan dimulai, orang Nahsrani itu menyampaikan celaan dan hinaan serta berbagai sumpah serapanya itu.

Orang Nashrani itu selalu berkata “Mudah-mudahan pendusta itu terbakar” saat mendengarkan pengumandang adzan mengucapkan “Asyahdu anna Muhammadan Rasulullah (Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah)” dalam setiap adzannya.

Setelahnya, ternyata celaan dan hinaan si non muslim ini justru berbalik ke pada dirinya. Ketika di suatu malam, keluarga beserta dirinya tengah tertidur lelap saat malam hari. Kemudian, salah satu pelayannya kemudian masuk dengan membawa api.

Kemudian, api yang dibawa si pelayan itu ternyata penjatuhkan percikan dan membakar benda-benda dirumah yang sejatinya mudah terbakar. Tak ayal api itu pun cepat membakar dan membumihanguskan rumah mereka, beserta penghuni di dalamnya.

Hadits ini dikutip dari Imam Ibnu katsir dalam Tafsirnya. Dan diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu Abi Hatim.