Bagaimana Hubungan Sipil-Militer di Jepang?

sipil-militer
Perubahan kebijakan pertahanan yang terjadi pada masa Pemerintahan Shinzo Abe pada tahun 2015 menghasilkan banyak pro dan kontra di kalangan publik. Bagaimana Hubungan Sipil-Militer di Jepang?

HUBUNGAN SIPIL-MILITER DI JEPANG


Dalam hal kontrol sipil terhadap militer di Jepang terlihat perubahan signifikan serta cukup menarik untuk diperhatikan yakni bergesernya bentuk kontrol sipil yang pada awalnya bersifat subjective civilian control menjadi objective civilian control. Hal ini terjadi akibat perubahan pada struktur dari kementerian pertahanan yang dilakukan pada legislasi ‘Act for Partial Revision of the Ministry of Defense Establishment Act’ yang mulai disahkan pada tanggal 6 Juni 2015. Sebelumnya, peran ini murni hanya diberikan kepada birokrat sipil saja di mana mereka bersama menteri pertahanan menginstruksikan perintah maupun pergantian personel yang menjabat kepada seluruh cabang JSDF mulai dari GSDF (Ground Self-Defense Force), MSDF (Maritime Self-Defense Force), dan ASDF (Air Self-Defense Force) (Pollmann, 2015). Pembaruan yang dilakukan adalah meningkatkan peran yang dimiliki oleh personel SDF untuk dapat juga terlibat dalam pengambilan keputusan yang dilakukan di dalam kementerian pertahanan Jepang. Setiap kepala staf dari cabang SDF memiliki kewenangan yang sama untuk memberikan masukan serta kemampuan untuk melapor langsung kepada menteri pertahanan (Pollmann, 2015).

Sebelum hal tersebut, terjadi kontrol sipil terhadap militer di Jepang berbentuk subjective civilian control yang sangat jelas terlihat, baik dari struktur pertahanan Jepang maupun aturan hukum yang ada di negara tersebut. Dapat dikatakan bahwa sebelum terjadi perubahan pada struktur kementerian pertahanan Jepang, bentuk dari subjective civilian control tersebut adalah Civilian Control by Constitutional Form yakni kontrol sipil terhadap militer melalui aturan hukum yang dibuat oleh sistem pemerintahan tertentu yang dalam hal ini adalah pasal 9 dan pasal 66 konstitusi Jepang yang dibuat oleh sistem pemerintahan demokrasi.

Pasal 9 konstitusi Jepang memberikan kontrol sipil subjektif yang maksimal dan sangat efektif hingga reinterpretasi dilakukan. Semenjak pasal tersebut dibuat pada akhir Perang Dunia II bersamaan dengan konstitusi Jepang yang baru, pertumbuhan militer di Jepang menjadi sangat terhambat. Pembentukan dari SDF sendiri bahkan sampai harus dilakukan secara bertahap dan diawali dengan pasukan polisi. Dapat dikatakan bahwa fondasi dari SDF sendiri adalah pasukan polisi atau penjaga keamanan yang hingga hari ini masih terus dianggap demikian khususnya oleh masyakarat Jepang sendiri. Penggunaan kata ‘jietai’ yang dalam bahasa Jepang berarti pasukan pertahanan diri lebih di utamakan dalam penyebutan SDF ketimbang kata ‘guntai’ yang berarti tentara (Traphagan, 2012).

Pasal 9 konstitusi Jepang juga menjadi salah satu alasan yang membuat negara tersebut terbilang ‘alergi’ terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan militer. Kementerian Pertahanan Jepang sendiri baru dapat berdiri pada tahun 2007. Hal ini merupakan perubahan yang cukup besar karena pada awalnya sektor pertahanan hanya diurusi oleh badan setingkat agensi saja yakni Japan Defense Agency. Keberadaan badan setingkat kementerian menunjukan peningkatan dari perhatian yang diberikan Jepang terhadap sektor pertahanannya. Meskipun begitu, sampai perubahan pada struktur dari kementerian pertahanan yang dilakukan dengan legislasi ‘Act for Partial Revision of the Ministry of Defense Establishment Act’ militer masih dianggap sebagai aktor terpisah. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengetahui bahwa sebelum terjadi pembaruan petinggi militer yang termasuk ke dalam struktur kementerian pertahanan yakni kepala Joint Staff, GSDF, MSDF, dan ASDF tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penjelasan mengenai operasional SDF secara langsung dihadapan Diet tetapi harus didampingi oleh petinggi sipil dari kementerian pertahanan (Japan Ministry of Defense, 2017).

Dapat dimengerti bahwa pembaruan ini adalah pengurangan kontrol sipil terhadap militer yang dilakukan secara struktural. Terdapat pengurangan dari otoritas yang dimiliki oleh sipil untuk dapat lebih mengekang kekuatan militer khususnya dalam bidang pembuatan keputusan. Hal ini berpengaruh terhadap hubungan sipil-militer Jepang. Paling sederhananya adalah peningkatan pengaruh yang dimiliki personel militer di dalam kementerian pertahanan Jepang akibat peningkatan ‘ahli-ahli’ dari kalangan militer. Lebih jauh hal ini juga akan meningkatkan pengaruh militer yang bersifat tidak langsung terhadap pemerintahan Jepang (Fatton, 2015). Menteri pertahanan adalah perwakilan dari institusi militer di dalam kabinet yang mana menjadi penghubung antara institusi militer yang ada dengan pemerintah. Konsekuensinya ketika pengaruh institusi militer diperkuat di dalam kementerian pertahanan maka pengaruh mereka di dalam pemerintahan pun menjadi meningkat (Fatton, 2015).

Pasal 66 konstitusi Jepang2 secara tidak langsung memperkuat kontrol sipil terhadap militer. Keberadaan dari pasal tersebut mengharuskan semua pejabat politik Jepang antara lain perdana menteri serta menterimenterinya untuk membentuk kabinet berasal dari sipil termasuk di antaranya adalah menteri pertahanan. Kementerian pertahanan merupakan perwakilan dari institusi militer di dalam kabinet (Maki, 1990). Kontrol sipil meningkat karena ketiadaan posisi politik yang dapat diisi oleh kalangan militer bahkan untuk sesuatu yang sangat berhubungan dengan aktifitas yang dilakukannya seperti posisi menteri pertahanan. Meskipun begitu, hal ini sesuai dengan konsep democratic control of the armed forces di mana menurut Betz kementerian pertahanan yang dipimpin oleh sipil adalah salah satu syaratnya (Betz, 2004).

Kontrol sipil terhadap militer di Jepang tidak bisa dikatakan berbentuk civilian control by government institution atau civilian control by social class. Hal ini dikarenakan tidak adanya pemusatan kekuatan pada satu institusi sipil saja di Jepang. Bahkan untuk membuat sebuah kebijakan, perdana menteri yang notabene merupakan kepala pemerintahan di Jepang harus melakukan ‘tawar-menawar’ dengan birokasi dan partai penguasa yang nanti akan dijelaskan pada sub bab Defense Management. Sedangkan untuk kontrol sipil melalui kelas sosial Jepang sudah tidak lagi mengakui lagi keberadaan dari kelas aristokrat dan posisi kaum borjuis. Kini tidak seperti di masa lalu yang dapat memiliki pengaruh kuat akibat keberadaan dari zaibatsu atau kelompok finansial.

Setelah pembaruan terhadap kementerian luar negeri dan terutama dengan reinterpretasi pasal 9, Jepang merubah kontrol sipil terhadap militer yang pada awalnya bersifat subjective civilian control menjadi objective civilian control atau kontrol sipil melalui peningkatan profesionalitas militer. Menurut Huntington, terdapat dua tingkatan dari kontrol sipil terhadap militer melalui peningkatan profesionalitas militer yakni kuasa dan ideologi. Penulis melihat bahwa untuk dapat memahami tingkatan kuasa maka diperlukan pengetahuan terhadap proses pembuatan kebijakan pertahanan Jepang karena akan tergambar tingkat otoritas kekuasaan dari hal tersebut. Sedangkan, untuk mengetahui tingkatan ideologi, maka diperlukan pengetahuan terhadap tingkat profesionalisme sendiri yang mengacu pada sejarah dari profesionalitas militer Jepang serta kecenderungan orientasi politik ideologis yang dimiliki prajurit SDF.