Bagaimana hubungan Responsibility to Protect dengan Humanitarian Intervention?

Bagaimana hubungan Responsibility to Protect dengan Humanitarian Intervention?

Bagaimana hubungan Responsibility to Protect dengan Humanitarian Intervention?

Pasal 2 Piagam PBB yang menyatakan bahwa tidak ada satupun ketentuan di dalam Piagam PBB yang memberikan kuasa kepada PBB untuk melakukan intervensi mengenai masalah yang berkaitan dengan yurisdiksi nasional suatu negara. Sebagaimana disebutkan di atas kedaulatan antar negara memberi persetujuan bahwa mewujudkan keamanan dan perdamaian internasional harus senantiasa dilandaskan atas persamaan kedaulatan negara.

Inilah yang mendorong lahirnya prinsip nonintervensi. Nonintervensi selalu dikaitkan dengan sikap suatu negara yang tidak mencampuri urusan dalam negeri dari negara lain sehingga menolak doktrin intervensi kemanusiaan ( humanitarian intervention ). Sebagaimana pernyataan dari John Mark Lyi, bahwa intervensi yang dilakukan oleh negara, negara bagian domestik ataupun organisasi internasional, terkadang tidak memerlukan keabsahan hukum karena telah menjadi pola dari suatu hubungan internasional.

Situasi ini menimbulkan reaksi pada Kofi Annan, yang pada akhirnya menantang anggota PBB untuk menemukan suatu formula yang mampu menjadi legitimasi untuk melakukan suatu intervensi dalam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Menjawab tantangan tersebut, Francis Deng menyatakan bahwa kedaulatan negara harus didasarkan pada perlindungan terhadap rakyat yang tinggal di dalam wilayah tersebut, bukan atas dasar kehendak negara itu sendiri tanpa ada campur tangan internasional. Ide ini kemudian dikembangkan oleh ICISS (International Commission on Intervention and State Sovereignty), yang melahirkan sebuah prinsip dengan responsibility to protect pada 2001 melalui laporannya.

Jadi, dapat disimpulkan jika responsibility to protect sendiri dicetuskan atas dasar untuk menghindari dilakukannya humanitarian intervention yang dapat mengacu terjadinya kekerasannya lain dan dilanggarnya kedaulatan dari suatu negara. Namun, keduanya tidak dapat dipisahkan karena humanitarian intervention sendiri merupakan bagian dari responsibility to protect . Ada beberapa aspek yang belum terselesai dimana dalam responsibility to protect didalamnya masih ada warisan dari humanitarian intervention seperti keinginan unntuk melegalkan intervensi militer unilateral; dan kosentrasi berlebihan terhadap masalah legitimasi tetapi menyangkal aspek konkrit mengenai implementasi dan perilaku intervensi.

Pada Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB, jika ditelusuri lebih lanjut, diakhir kalimat terdapat pengecualian bahwa suatu intervensi bisa saja disimpangi berdasarkan ketentuan Bab VII, dimana Bab VII mengatur bahwa satu-satunya badan yang berhak melakukan intervensi demi keamanan internasional adalah Dewan Keamanan PBB. Berarti dalam rangka melindungi hak asasi manusia, responsibility to protect dapat dilakukan dan salah satu yang termasuk didalamnya adalah humanitarian intervention