Bagaimana Hubungan Perspective-taking dengan Perilaku Cyberbullying pada Remaja Madya?

Hubungan Perspective-taking dengan Perilaku Cyberbullying pada Remaja Madya

Bagaimana Hubungan Perspective-taking dengan Perilaku Cyberbullying pada Remaja Madya ?

Hubungan Perspective-taking dengan Perilaku Cyberbullying pada Remaja Madya


Perspective-taking merupakan kemampuan seseorang dalam memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan cara meletakkan pandangan dan pikirannya pada posisi orang lain itu (Batson &Ahmad, 2010). Perspective-taking secara psikologis penting dalam keharmonisan interaksi antar individu. Seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat (Setianungrum, 2015).

Kemampuan dalam memahami perspektif orang lain, menyebabkan seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan perilakunya baik yang positif dan negatif. Hal ini akan menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya sehingga ketika mereka memikirkan pendapat orang lain, individu akan segan untuk melakukan perilaku-perilaku menyakiti, menghina, mencemooh atau perilaku agresi lainnya sehingga mereka akan terhindar dari perilaku cyberbullying (Taufik, 2012).

Kemampuan perspective-taking memiliki dua aspek yaitu image-self perspective dan image other perspective. Bentuk-bentuk dari perilaku cyberbulyying yaitu flaming, harassment, denigration, impersonation, outing & trickery, cyberstalking, dan exclusion. Pada kedua aspek tersebut masing-masing saling berkaitan yaitu aspek image-self perspective menunjukkan keterkaitan dengan bentuk bentuk cyberstalking, denigration, exclusion, outing & trickery kemudian aspek image other perspective menunjukkan keterkaitan dengan flaming, harassment dan impersonation, berikut penjelasannya.

Image-Self Perspective atau efek dari membayangkan diri sendiri dalam posisi seseorang yang merupakan anggota suatu kelompok akan membuat hubungan positif antara empathizer dengan kelompok tersebut secara keseluruhan. Individu yang mampu menempatkan dirinya pada keadaan orang lain, maka akan menahan dirinya untuk memperlakukan orang lain dengan tidak baik (Batson &Ahmad, 2010). Individu tersebut mencegah dirinya untuk melakukan kekerasan baik secara verbal ataupun non verbal terhadap orang lain. Karena individu tersebut mampu merasakan apabila berada dalam keadaan korban. Seperti halnya dalam cyberbullying, yang dilakukan remaja. Remaja yang mampu merasakan keadaan orang lain tidak akan mengumbar keburukan seseorang di internet (denigration), tidak akan menyebarkan foto dan aib seseorang (outing & trickery) dengan maksud merusak atau mencemarkan nama baik (cyberstalking) orang tersebut. Juga mereka tidak akan tega mengeluarkan dengan seseorang dengan sengaja dari grup online (exclusion).

Ketika individu ingin mengetahui apa yang di pikirkan dan di rasakan orang lain, individu berusaha menemukan informasi-informasi tentang orang itu dengan bertanya kepada orang lain tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Tetapi orang cenderung tidak menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain terutama orang yang baru dikenalnya (Sarwono & Meinarno, 2009). Dalam keadaan seperti itu, untuk memahami orang lain individu dapat mengandalkan informasi yang ditampilkan oleh fisik mereka, individu dapat mencoba mengenali mereka melalui tingkah laku non verbal mereka, seperti perubahan ekpresi wajah, kontak mata, postur tubuh, dan gerakan badan ( Sarwono & Meinarno, 2009).

Aspek image-other perspective dimana individu dapat menyimpulkan kondisi mental orang lain, memahami perspektif mereka, dan dapat pula menginterpretasikan dan memprediksi perilaku selanjutnya dari orang lain. Artinya jika individu menyakiti orang lain, individu tersebut dapat memprediksi kemungkinan orang lain akan kecewa, kesal, bersedih atau menangis (Batson &Ahmad, 2010). Jika individu memiliki kemampuan tersebut maka mereka tidak akan membuat orang lain kecewa, kesal atau menangis dengan menyakiti orang lain, seperti melakukan penghinaan dengan kata-kata kasar (flaming), melakukan ancaman atau menganggu seseorang secara terus-menerus (harassment) dan berpura-pura menjadi orang lain lalu melakukan penghinaan atas nama orang lain atau yang disebut impersonation. Jika mereka melakukan itu seseorang akan marah dan membuat hubungan menjadi tidak nyaman, ketika mereka mempunyai kemampuan image-self perspective seseorang tersebut akan mengurungkan perilaku-perilaku cyberbullying tersebut karena tahu akan menyebakan konflik.

Pada remaja yang melakukan cyberbullying, kognisi sosial yang berkembang lebih mengarah kepada egosentrisme remaja dan tidak disertai dengan berkembangnya pemahaman akan pikiran dan perasaan orang-orang lain di sekitar mereka. Crick (1995) menemukan bahwa anak-anak yang melakukan cyberbullying tidak dapat mengambil perspektif orang lain atau memiliki perspective taking rendah, dan ini memberikan kontribusi untuk peningkatan tingkat cyberbullying. Ang & Goh (2010) pada penelitiannya juga menyatakan bahwa rendahnya perspective taking mempengaruhi tingginya perilaku cyberbullying pada remaja perempuan maupun laki-laki.

Setianingrum (2015) dalam hasil penelitiannya mememukan bahwa perspective taking secara negatif memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying yang artinya semakin rendah tingkat kecenderungan untuk mengambil sudut pandang orang lain secara spontan, maka semakin tinggi perilaku cyberbullying. Jika seorang remaja melakukan kenakalan, pencurian, perkelahian dan lain sebagainya adalah bentuk perwujudan egosentrisme dan keterbatasan perspective-taking. Dalam kondisi seperti ini remaja harus diberikan kesempatan seluas-luasnya agar ia dapat mengalami kemajuan dalam pola pikir dan sudut pandang pengambilan keputusan, untuk itu lingkungan sekitar amat berpengaruh (Lapsey & Murphy dalam Santrock, 2007).

Perspective-taking yang merupakan kecenderungan seseorang untuk mengambil alih sudut pandang orang lain secara spontan. Aspek ini akan mengukur sejauh mana individu memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain (Davis, 1983). Pentingnya kemampuan perspective-taking untuk perilaku non-egosentrik, yaitu perilaku yang tidak berorientasi pada kepentingan diri tetapi pada kepentingan orang lain. Perspective-taking yang tinggi berhubungan dengan baiknya fungsi sosial seseorang. Kemampuan ini seiring dengan antisipasi seseorang terhadap perilaku dan reaksi emosi orang lain, sehingga dapat dibangun hubungan interpersonal yang baik dan penuh penghargaan.

Dengan demikian, individu yang memiliki perspective-taking tinggi akan menjaga perilaku dan sikapnya dari tindak cyberbullying untuk menjaga reaksi emosional orang lain yang positif sehingga terjalin hubungan interpersonal yang penuh penghargaan. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa remaja yang memiliki kemampuan perspective-taking akan terhindar dari perilaku cyberbullying.