Bagaimana hubungan kepatuhan pajak dengan pendekatan perilaku wajib pajak?

Wajib Pajak, sering disingkat dengan sebutan WP adalah orang pribadi atau badan (subjek pajak) yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Wajib pajak bisa berupa wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan.

Wajib pajak pribadi adalah setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan di atas pendapatan tidak kena pajak. Di Indonesia, setiap orang wajib mendaftarkan diri dan mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP), kecuali ditentukan dalam undang-undang.

Bagaimana hubungan kepatuhan pajak dengan pendekatan perilaku wajib pajak, agar para wajib pajak bisa patuh dalam membayar pajak ?

image

Penelitian yang dilakukan oleh Milliron memberikan indikasi bahwa pendapat wajib pajak kemungkinan berbeda dengan pendapat pemerintah dalam hal ini aparat pajak.

  • Pemerintah cenderung berpendapat bahwa dalam rangka memperhatikan unsur keadilan, maka kerumitan pengaturan undang-undang sampai tingkat tertentu tidak dapat diperhatikan. Hal ini terutama berkaitan dengan perbedaan kondisi setiap kelompok wajib pajak maupun sektor ekonomi.

  • Sebaliknya, wajib pajak hanya beranggapan bahwa undang-undang pajak yang rumit justru menimbulkan ketidakadilan.

Psikologis wajib pajak jelas berbeda dengan psikologis aparat pajak sehingga memunculkan persepsi dan tanggapan yang berbeda pula untuk setiap kebijakan perpajakan.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku wajib pajak menurut Betty dan Sally dapat dikategorikan menjadi delapan golongan yaitu :

  1. inflasi dan pengangguran pada tahun-tahun terakhir ini yang memperburuk faktor-faktor ekonomi.
  2. suatu keyakinan bahwa hukum tidak terjangkau baik dalam teori maupun praktek
  3. suatu persepsi bahwa penghindaran pajak sudah diterima secara umum
  4. ketidakpuasan terhadap prioritas pengeluaran yang dilakukan pemerintah da tidak efisiennya administrasi pemerintahan
  5. sanksi-sanksi dan persepsi bahwa sanksi akan dilaksanakan
  6. kesempatan menghindar
  7. kerumitan undang-undang
  8. faktor-faktor demografi

Betty dan Sally telah melakukan penelitian yang didasarkan pada prospect theory dari Kahneman dan Tversky (1979), yang mempelajari tingkat sensitivitas dari seseorang terhadap risiko ketahuan dan dihadapkan dengan besarnya sanksi.

Prospect theory merupakan alternatif dari expected utility theory dalam hal pengambilan keputusan dengan risiko.Teori ini berpegang pada kenyataan bahwa pengambilan keputusan mengandung risiko dengan mendasarkan pada fungsi value masing-masing individunya yang terkadang dalam menyeleksi alternatif tidak konsisten dengan tujuan memaksimumkan manfaat dari pilihan.

Value function berbeda dengan expected utility dalam dua kemungkinan.

  • Pertama, penilaian (value) diterapkan pada potensi kerugian dan keuntungan.
  • Kedua, timbangan keputusan yang mencerminkan persepsi individu terhadap probabilita, menggantikan probabilita yang sebenarnya.

Dalam prospect theory, fungsi value umumnya concave (cekung) untuk keuntungan dan convex (cembung) untuk kerugian. Ini menggambarkan bahwa dalam situasi adanya potensi keuntungan, individu cenderung untuk tidak mengambil risiko (risk averse), sedangkan dalam situasi rugi, individu lebih cenderung mengambil risiko.

Aspek yang dikemukakan oleh teori prospek ini relevan untuk pengambilan keputusan dalam penghindaran pajak (illegal) karena wajib pajak dihadapkan antara pilihan membayar hutang pajak dalam jumlah tertentu atau menyelundupkan pajak dengan probabilita pembayaran yang lebih besar apabila kegiatan illegal tersebut diketahui oleh aparat pajak.

Implikasi untuk persoalan penghindaran pajak yaitu memperhitungkan risiko kemungkinan ditemukan oleh fiskus dijabarkan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :

 P(d) = [P (d/a)] [P (a)]

dimana :
P (d) = probabilita bahwa penghindaran pajak dapat dideteksi
P (a) = probabilita bahwa laporan SPT akan diseleksi untuk diaudit

Dinyatakan oleh Betty dan Sally, bahwa P(a) untuk wajib pajak pada awal tahun 1990 di Amerika mencapai 2 %. Persentase ini lebih rendah daripada risiko pemeriksaan yang dihadapi oleh kategori wajib pajak tertentu, seperti yang menerima fasilitas pajak dan lainnya. Selanjutnya, probabilita ditemukannya penyelundupan (p) tidaklah sama, karena tergantung pada bentuk penghindaran (penyelundupan) yang dilakukan.

Penelitian Betty dan Sally menyimpulkan bahwa P(d) akan lebih besar untuk perkiraan atau masalah yang berhubungan dengan pelaporan dan kelebihan potongan pihak ketiga daripada P(d) pendapatan secara tunai.

P(d) untuk penghindaran pajak atas pajak penghasilan yang tidak berkaitan dengan pelaporan pihak ketiga sangat rendah dan yang justru terjadi pada sebagian besar wajib pajak. Apabila probabilita terdeteksi diperkirakan sangat rendah oleh seseorang yang mempunyai kesempatan untuk menghindarkan pajak, probabilita dalam risiko diperiksa tidak akan sebesar probabilita dalam sanksi (denda) jika keduanya mempunyai nilai harapan yang sama.

Disini berarti bahwa dengan P(d) yang rendah dan nilai harapan sama, maka pilihan cenderung pada kemungkinan denda yang kecil. Dari uraian Betty dan Sally, dapat dimengerti bahwa masalah sanksi yaitu dalam hal besarnya dan arah penerapannya relatif bagi wajib pajak dalam mempertimbangkan penyelundupan pajak.

Kecenderungan wajib pajak untuk melakukan penghindaran dan penyelundupan pajak akan terus terjadi selama benefit yang diperoleh dari kegiatan menghindari atau menyelundupkan pajak masih lebih besar daripada cost yang harus dikeluarkannya.

Referensi :

  • Milliron, C. Valerie. 1985. An Analysis of the Relationship Between Tax Equity and Tax Complexity , ATA Journal.
  • Jackson, Beety R dan Sally M. Jones. 1985. Salience of Tax Aevasion Penalties Versus Detection Risk, ATA Journal.