Bagaimana Hubungan Antara Kognisi dan Emosi?

Kognisi adalah keyakinan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa.

Bagaimana hubungan antara kognisi dan emosi?

Hal terpenting yang harus dimengerti saat memahami proses terjadinya emosi adalah dengan menyadari hubungan individu dengan lingkungannya. Aktivitas kognisi adalah hal yang menjembatani hubungan antara individu dengan lingkungannya.

Terdapat dua aktivitas kognisi menurut Lazarus, yaitu knowledge dan appraisal.

  • Knowledge adalah memahami bagaimana sesuatu peristiwa terjadi, baik secara umum maupun dalam konteks spesifik,

  • Appraisal atau penilaian terdiri dari evaluasi yang terus menerus mengenai signifikansi (makna) dari apa yang terjadi bagi kesejahteraan diri individu (Lazarus, 1991).

Penilaian kognitif ini terkait dengan kebutuhan, keinginan dan sumber-sumber yang individu miliki dalam hubungannya dengan peristiwa atau situasi tersebut. Penilaian secara kognitif ini dapat disebut juga sebagai pemaknaan personal sebuah peristiwa bagi individu.

Setelah appraisal terjadi, kemudian akan timbul berbagai macam emosi pada diri individu, sebagai akibat dari penilaian individu terhadap situasi tersebut. Jadi, tanpa makna personal, knowledge bersifat ‘dingin’ atau nonemosional.

Saat knowledge menyentuh kesejahteraan personal, knowledge menjadi ‘panas’ atau emosional.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa emosi timbul dari hasil penilaian kognitif individu terhadap sebuah situasi yang dinilai mempengaruhi kesejahteraan personal individu. Oleh karena itu, sebuah situasi yang sama atau mirip dapat menimbulkan emosi-emosi yang berbeda bagi tiap individu, tergantung dari penilaian kognitif masing-masing individu.

Terdapat dua tahap cognitive appraisal menurut Lazarus (1991):

  1. Primary appraisal: menitikberatkan pada pertanyaan apakah informasi atau peristiwa yang dialami individu berhubungan dengan kesejahteraan individu.

  2. Secondary appraisal: berhubungan dengan pilihan-pilihan untuk melakukan coping, yaitu apakah perlu dilakukan aksi untuk mencegah bahaya (harm), memperbaikinya, atau menambah kerugian atau keuntungan yang telah dialami individu.

Coping dan Appraisal

Menurut Lazarus (1991) coping terdiri dari usaha kognitif dan tingkah laku yang bertujuan untuk mengatasi permintaan, baik internal, eksternal, maupun konflik di antaranya, yang dinilai sebagai hal yang sangat membebani individu.

Walaupun coping dilakukan setelah timbul emosi dan seringkali ditujukan untuk regulasi emosi-emosi yang timbul akibat individu merasa tertekan (emotional distressed), namun coping juga dapat menimbulkan penilaian selanjutnya akan adanya bahaya (harm), ancaman (threat), atau tantangan (challenge), sehingga juga mengubah reaksi emosional yang akan terjadi.

Interaksi antara regulasi emosi dan appraisal akan terus terjadi selama situasi emosional berlangsung. Individu dapat menggunakan berbagai macam strategi untuk meregulasi emosi mereka, sampai tujuan dari emosi tersebut tercapai atau tidak lagi terancam.

Regulasi Emosi Secara Kognitif

Sejalan dengan Lazarus, Garnefski, Kraaij dan Spinhoven (2001) juga menganggap bahwa proses kognitif memegang peranan penting dalam emosi, terutama mengenai konsep coping sebagai regulasi emosi-emosi yang timbul akibat individu merasa tertekan. Namun, berbeda dengan Lazarus (1991) yang menggabungkan antara usaha secara kognitif dan tingkah laku dalam melakukan strategi coping, menurut Garnefski, Kraaij dan Spinhoven (2001) strategi coping secara kognitif dan tingkah laku adalah dua hal yang berbeda dan tidak berada dalam dimensi yang sama, karena berpikir dan bertingkah laku merupakan dua proses yang dilakukan dalam waktu yang berbeda.

Selayaknya, proses penilaian secara kognitif muncul sebelum individu melakukan aksi tertentu, walaupun proses berpikir ini tidak selalu disadari oleh individu. Garnefski, Kraaij dan Spinhoven (2001) menyebut proses coping secara kognitif ini dengan cognitive coping atau cognitive emotion regulation.

Pengertian dari cognitive emotion regulation dalam Garnefski dan Kraaij (2006) adalah :

“…the cognitive way of managing the intake of emotionally arousing information (Thompson, 1991) and refers to the cognitive part of coping (Garnefski, Kraaij, & Spinhoven, 2001)”.

Regulasi emosi secara kognitif adalah suatu cara kognitif untuk mengelola informasi yang dapat menimbulkan suatu kondisi emosi tertentu, dan merupakan bagian kognitif dari coping. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Garnefski dan Kraaij (2007), diperoleh hasil yang mengindikasikan bahwa strategi regulasi emosi secara kognitif adalah gaya berpikir yang relatif stabil dari waktu ke waktu.

Strategi Regulasi Emosi Secara Kognitif

Menurut Garnefski, Kraaij, dan Spinhoven (2001), terdapat sembilan strategi kognitif dari regulasi emosi. Setiap strategi tersebut mencerminkan apa yang ada dalam pikiran seseorang saat mengalami peristiwa negatif. Peristiwa negatif adalah peristiwa yang penuh ancaman atau tekanan.

Menurut Stansbury dan Gunnar (1994, dalam Burgess, 2006) situasi dan kondisi yang penuh tekanan berpotensial menimbulkan emosi-emosi yang negatif. Emosi negatif atau goal-incongruent emotions sendiri adalah emosi yang timbul pada diri individu di antaranya karena individu tidak dapat mencapai tujuannya (keadaan yang mereka inginkan), atau jika tujuannya terancam atau akan terancam, atau adanya konflik di antara dua tujuan (Lazarus, 1991).

Contoh dari emosi negatif adalah marah, cemas, takut, jijik, cemburu, iri, sedih, merasa bersalah, dan malu. Saat seseorang mengalami situasi yang penuh tekanan, regulasi emosi digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan emosi negatif yang timbul (Gross & John, 2003, Tice & Wallace, 2000 dalam Wong, 2005).

Menyadari bahwa peristiwa dianggap menekan atau tidak (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai cognitive appraisal) tergantung penilaian kognitif individu mengenai peristiwa tersebut, maka peristiwa negatif dapat dimengerti sebagai peristiwa yang dinilai dapat mengurangi kesejahteraan individu (tahap primary appraisal), dan individu merasa perlu untuk melakukan upaya coping atau regulasi emosi (salah satunya dengan regulasi emosi secara kognitif) untuk mengatasi, mengurangi, atau menghilangkan emosi-emosi negatif yang ia rasakan (tahap secondary appraisal).

Kesembilan strategi dari regulasi emosi secara kognitif menurut Garnefski, Kraaij, dan Spinhoven (2001) tersebut adalah:

  1. Self blame, yaitu pola pikir menyalahkan diri sendiri atas peristiwa negatif yang dialaminya. Contoh pernyataannya adalah: “Aku pikir akulah yang patut disalahkan.”

  2. Acceptance, yaitu pola pikir menerima atau pasrah terhadap keadaan yang menimpanya. Contoh pernyataannya adalah: “Aku pikir aku harus menerimanya.”

  3. Rumination atau focus on thought, yaitu pola pikir yang berpusat pada pemikiran atau perasaan terhadap peristiwa negatif yang dialaminya. Contoh pernyataannya adalah: “Aku sering berpikir tentang apa yang aku pikirkan dan rasakan tentang hal itu.”

  4. Positive refocusing, yaitu pola pikir untuk memilih memikirkan hal-hal yang menyenangkan dibandingkan memikirkan peristiwa negatif tersebut. Contoh pernyataannya adalah: “Aku memikirkan hal-hal yang lebih menyenangkan, yang tidak berhubungan dengan hal itu.”

  5. Refocus on planning, yaitu pola pikir tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana mengatasi peristiwa negatif yang menimpanya. Contoh pernyataannya adalah: “Aku memikirkan hal apa yang sebaiknya aku lakukan.”

  6. Positive reappraisal, yaitu pemikiran mengenai manfaat yang dapat diambil atau hikmah dari peristiwa negatif yang dialaminya. Contoh pernyataannya adalah: “Aku pikir aku mendapatkan sebuah pelajaran dari kejadian ini.”

  7. Putting into perspective, yaitu pola pikir untuk tidak menganggap serius peristiwa negatif yang dialaminya, atau menekankan relativitas makna dari peristiwa negatif yang telah dialaminya dibandingkan dengan kejadian yang lainnya. Contoh pernyataannya adalah: “Aku pikir hal yang buruk memang mungkin terjadi.”

  8. Catastrophizing, yaitu pemikiran bahwa peristiwa negatif yang menimpanya merupakan sesuatu yang sangat buruk dan mungkin yang terburuk yang terjadi. Contoh pernyataannya adalah: “Aku sering berpikir bahwa hal ini lebih buruk daripada apa yang menimpa orang lain.”

  9. Blaming others, yaitu pola pikir menyalahkan orang lain atas peristiwa negatif yang dialaminya. Contoh pernyataannya adalah: “Aku pikir ini semua gara- gara mereka.”