Bagaimana Hubungan Antara Alam dan Allah SWT?

Alam

Alam dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah SWT, semua orang meyakini hal itu. Tetapi bagaimana hubungan antara alam dan Allah SWT, sang pencipta alam itu sendiri ?

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Alam ini serba gelap, ia menjadi terang hanyalah karena menifestasi (zhahir) Allah di dalamnya. Siapa melihat alam, namun tidak menyaksikan Allah di dalam atau bersamanya, sebelum atau sesudahnya, maka ia sangat memerlukan cahaya, dan surya makrifat terhalang baginya oleh awan benda-benda alam

Pengertian dari Kalam Hikmah ini dalam sekali. Karena itu kita harus memahaminya dengan mendalam dan jangan kita lihat maksudnya menurut lahiriah dan sepintas lalu saja. Untuk itu marilah kita fahami sebagai berikut:

Al-Kaunu Kujluhu Zhulmatun.

Maksudnya bahwa alam ini, dan segala makhluk yang berada didalamnya, pada hakikatnya merupakan gelap gulita tidak ada padanya sinar cahaya yang dapat memberi petunjuk kita kepada sesuatu. Sebab alam pada hakikatnya menurut pandangan hamba-hamba Allah yang matahatinya selalu melihat Allah, adalah
nihil dan tidak ada apa-apanya.

Artinya tidak mempunyai kekuatan apa-apa, api tidak membakarkan, nasi tidak mengenyangkan, pisau tidak memutuskan dan lain sebagainya kalau tidak dikehendaki oleh Allah s.w.t. pada waktu bersentuh antara sebab dengan musabab. Bahkan alam itu sendiri, langit dan bumi dan isinya tidak ada apa-apa bila tidak diadakan oleh Allah s.w.t. Alam semuanya ini baru ada adalah dengan diadakan oleh Allah s.w.t.

Manusia dalam melihat alamterbagi kepada bcberapa hal:

  1. Manusia yang hanya dapat melihat alam saja, tetapi ia tidak dapat melihat Allah s.w.t. Artinya: Alam ini sudah begitu berbekas dalam hatinya, sehingga hatinya lupa kepada Allah dan tidak dapat melihat bagaimana kekuasaan Allah s.w.t. Yang Maha Agung dalam segala sifatNya pada alam yang ia lihat. Maka manusia dalam golongan ini berada dalam keadaan gelap-gulita, sebab ia hanya dapat melihat alam tetapi tidak dapat melihat Penciptanya dari alam yang ia lihat.

    Hal keadaan ini disebabkan olen karena ia melihat pekerjaannya, usahanya, kepandaiannya, dan lain sebagainya tanpa melihat kepada yang telah menggerakkan semuanya itu yaitu Allah s.w.t.

  2. Manusia di samping melihat alam dan bergelimang di dalamnya, juga dapat melihat Allah s.w.t. Dan melihat Allah s.w.t. bagi manusia dalam sifat kedua ini ada bermacam-macam:

    • Sebagian mereka melihat Allah s.w.t. di dalam alam. Artinya pada waktu ia melihat alam, maka dilihatnya pula bahwa segala sesuatu yang tecrjadi dalam alam itu adalah menurut kehendak dan kodratNya Allah s.w.t. Ia melihat bahwa sekaliannya itu berjalan menurut hikmah-hikmah yang telah diatur olehNya.

      Tidak ada tempat berpegang selain hanya kepada Allah. Dan tidak ada pada alam yang dilihatnya itu. Hatinya selalu melihat, bahwa semuanya itu adalah dari Allah, karena Allahlah yang menjadikan segala-galanya. Karena itu, ia melihat Allah dengan kekuasaanNya dan sifat-sifatNya yang Maha Suci dan Maha Agung.

      Apabila sebagian manusia belum dapat melihat dan merasakan keyakinan ini, maka tidak ada sebabnya terkecuali karena ia masih melihat bahwa segala sesuatu itu dapat tercapai atau tidaknya adalah dengan usaha tanpa ada perhatiannya kepada Allah yang telah menciptakan usahanya itu.

    • Sebagian hamba Allah apabila melihat alam, ia melihat Allah di samping alam itu sendiri. Maksudnya: Apabila ia melihat alam, maka ia harus melihat Allah yang Maha Pengatur apa yang Ia kehendaki kepada alam itu.

      Apakah yang diatur oleh Allah itu sesuai dengan kehendak alam atau tidak. Karena itu demi melihat Allah dalam arti ini berarti ia harus bersyukur kepadaNya. Apalagi apabila apa yang ia dapatkan sesuai dengan apa yang dicintainya. Itulah yang menyebabkan pula ia menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-laranganNya.

      Sebab itu, berkumpullah padanya dua sifat yang terpuji, yaitu:

      1. Bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya, dan
      2. Selalu mengingat hak-hak Allah Ta’ala di mana dengannya kehendak syahwat dan nafsunya terhindar dengan sendirinya.

      Inilah yang dimaksud dengan Hadis yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Berkata Abu Hurairah: Berkata Rasulullah s.a.w.: Berkata Allah s.w.t.:

      “Aku adalah di mana sangka hambaKu padaKu, Aku beserta dia apabila dia mengingatKu. Jika ia ingat Aku dalam dirinya Aku ingat padanya dalam diriKu. Dan jika ia mengingatKu di tengah manusia ramai, maka Aku mengingatinya dalam jamaah yang lebih baik dari mereka. Dan jika ia mendekatiKu sejengkal, Aku mendekatinya sedepa. Dan jika dia mendekatiKu sedepa, maka Aku mendekatinya sehasta. Dan jika ia mendatahgiKu berjalan kaki, maka Aku datang kepadanya berlari.”

      Pengertian kalimat dalam Hadis ini adalah dalam sifat majaz dan kiasan bukan menurut makna secara bahasa. Karena itu maka maksud Hadis ini ialah: Apabila hati kita dan perasaan kita dekat kepada Allah, maka Allah akan lebih dekat lagi kepada kita. Jadi, hamba Allah dalam golongan ini apabila mereka melihat alam, maka dengan serta-merta pula ia melihat Allah dalam arti tersebut di atas. Ketahuilah bahwa perasaan di atas tidak akan ada, apabila kita selalu dalam keadaan lalai dan meninggalkan hak-hak Allah Ta’ala terhadap kita.

  • Sebagian manusia melihat alam, tetapi sebelumnya telah melihat Allah s.w.t.. Atau dengan perkataan lain telah lebih duluan menjadi keyakinan dan pengetahuan dalam hatinya, bahwa alam yang ia lihat kemudiannya adalah menurut kehendak Allah dan kodratNya.

    Hamba Allah dalam sifat ini baginya Allah sebagai dalil dan alam sebagai madlul. Yakni ia melihat keadaan alam yang demikian gambarannya berdalil kepada Allah yang menghendaki sedemikian itu.Maka bagi hamba Allah ini dengan sebab hal keadaan tadi menjadikan ia harus bertawakkal dan menyerah diri kepada Allah s.w.t.

    Sebab itu mengetahui, bahwa tiap-tiap sesuatu dari alam adalah datang dari Allah s.w.t. sebagaimana firmanNya dalam Al-Quran sebagai berikut:

    “Dia yang mempunyai kunci langit dan bumi, dilapangkanNya rezeki bagi siapa yang dikehendakiNya, dan dibatasiNya bagi siapa yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Asy-Syu’ara ‘: 12)

    Oleh sebab itu, maka hamba Allah yang keadaannya telah sampai ke taraf ini, dengan sendirinya jauh daripadanya kelalaian terhadap Allah. Oleh karena di samping ia selalu bersyukur kepada Allah juga ia dalam segala sesuatu rela dan menyerah atas kehendak Allah terhadap alam pada umumnya dan dirinya pada khususnya.

    Tetapi apabila ia melihat sesuatu itu terlepas dari Allah dan dirinyalah menentukan segala sesuatu, maka kelezatan melihat Allah seperti tersebut di atas tidak ada padanya, bahkan mustahil secara adat.

  • Sebagian hamba Allah apabila melihat alam hatinya lalai pada kekuasaan Allah, kehendakNya dan lain sebagainya. Tetapi kemudian baru dia sadar bahwa segala-galanya ini dijadikan oleh Allah, dan Allahlah yang menghasilkan apa yang ia capai. Dan sebaliknya ia merasakan pula bahwa apabila ia tidak berhasil mendapatkan sesuatu, maka berarti itu adalah kehendak Allah yang Maha Mutlak.

    Hamba Allah dalam tingkat ini hanya dapat merasakan bahwa alam sebagai dalil dan Allah sebagai madlul, kebalikan daripada tingkatan sebelumnya. Tingkatan ini adalah paling bawah dari keseluruhan dan tidak ada di bawah ini selain hanya martabat orang-orang yang selalu bergelimang dengan lumpur kelalaian yang membawanya jatuh dalam jurang kerugian.

    Firman Allah s.w.t. dalam Al-Quran:

    “Dan orang-orang yang beriman dengan yang batil dan tidak percaya kepada Allah, itulah orang yang menderita kemudian.” (Al-Ankabut: 52)

Kesimpulannya, empat golongan seperti tersebut di atas adalah hamba-hamba Allah yang berada dalam tingkatan-tingkatannya. Mereka mendapatkan nur Ilahi atau cahaya Allah yang dilimpahkan olehNya ke dalam hati mereka.

Tetapi bagi sebagian hamba Allah di mana mereka tidak dapat melihat Allah s.w.t., karena hatinya telah begitu tebal dengan pengaruh alam duniawi, mereka itu berada dalam kerugian sepanjang masa.

Mudah-mudahan dijauhkan hati kita sekalian oleh Allah s.w.t. dari golongan yang terakhir ini.

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing