Bagaimana gugatan terhadap Keputusan Partai Politik ke PTUN ?

gugatan terhadap Keputusan Partai Politik ke PTUN

Ketika keputusan partai politik tidak bisa kita terima, misalnya seperti kasus Fahri Hamzah dengan PKS, apakah bisa keputusan pengurus partai politik tersebut digugat ke PTUN ?

Gugatan Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara

Gugatan menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”) adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Badan atau pejabat tata usaha negara yang menjadi tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Sedangkan yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Yang tidak termasuk ke dalam kategori KTUN adalah:

  • Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata

  • Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum

  • Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan

  • Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana

  • Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

  • Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia

  • Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Kedudukan Partai Politik

Partai Politik (“Parpol”) menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (“UU Parpol”) adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebuah partai politik harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menjadi badan hukum.

Jadi partai politik merupakan sebuah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita, juga merupakan badan hukum perdata. Jadi partai politik bukan merupakan sebuah badan tata usaha Negara. Sedangkan Tergugat dalam Perngadilan Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat tata usaha Negara sebagai yang melaksanakan urusan pemerintahan.

Menurut Adriaan W. Bedner dalam buku Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia (hal. 70), partai politik tidak menyerupai badan tata usaha Negara.

Terkait dengan gugatan terhadap keputusan parta politik, Mahkamah Agung pernah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yaitu ; SEMA Nomor 4 tahun 2003 tertanggal 15 Oktober 2003 Jo SEMA Nomor 11 Tahun 2008 tertanggal 18 Desember 2008 yang pada intinya menyatakan :

"Pada Umumnya, perkara-perkara gugatan yang ditujukan kepada pejabat/fungsionaris dalam tubuh partai politik berkaitan dengan surat-surat keputusan yang diterbitkannya dalam jangkauan internal kepartaian dan gugatan kepada fngsionaris dalam tubuh partai yang diajukan kepada peradilan umum pada hakikatnya adalah urusan internal partai yang bersangkutan. Jadi, apabila menghadapi perkara-perkara itu, pengadilan hendaknya menyatakan diri sebagai tidak berwenang memeriksa perkara yang bersangkutan (niet ontvankelijk verklaard)

Prinsip-Prinsip Hukum dalam Pengaturan Penyelesaian Perselisihan Internal Partai Politik


Prinsip-prinsip hukum pengaturan penyelesaian perselisihan internal partai politik yang harus ditaati sesuai ketentuan UU No. 2/2011 adalah :

  • Pertama, harus melalui forum internal partai terlebih dahulu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat 1 UU No. 2/2011 yang menyatakan bahwa perselisihan partai politik diselesaikan oleh internal partai politik sebagaimana diatur di dalam AD/ART. Semangat dalam Pasal 32 ayat 1 ini adalah partai politik dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, aturan dan tata cara pengambilan keputusannya ada dalam AD/ART partai yakni membatasi agar tidak semua masalah dibawa ke pengadilan. Sejalan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini untuk penyelesaian perselisihan partai politik secara normatif telah mengalami perubahan yakni dengan diundangkannya UU Nomor 2 Tahun 2011 dimaksud sehingga kehidupan dan atau dinamika partai politik lebih harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Berdasarkan undang-undang tersebut telah ada pengadilan khusus yang menangani penyelesaian perselisihan partai politik, yaitu pertama, mahkamah Partai politik yang dibentuk oleh Partai politik sendiri yang berwenang memeriksa, mengadili perselisihan partai politik.

    Penjelasan Pasal 32 ayat 1 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perselisihan Partai politik meliputi :

    • perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan;
    • pelanggaran terhadap hak anggota partai politik; pemecatan tanpa alasan yang jelas;
    • penyalahgunaan kewenangan;
    • pertanggung jawaban keuangan;
    • keberatan terhadap keputusan Partai Politik.
  • Kedua, pembentukan Mahkamah Partai politik oleh partai politik. Tata cara pembentukan Mahkamah Partai politik diatur dalam Pasal 32 ayat 3 UU No. 2/2011 yang menyatakan bahwa susunan Mahkamah Partai politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan oleh pimpinan partai politik kepada kementerian. Dengan demikian, kewenangan hakim Mahkamah Partai dalam mengadili perkara perselisihan partai diperoleh kewenangan dari partai politik, sedangkan hakim dimaksud adalah pengurus partai politik yakni bagian dari partai. Seharusnya hakim mahkamah dalam mengadili perkara perselisihan partai politik harus memperoleh kewenangan tersebut dari negara dan negara diwakili oleh kepala negara.

  • Ketiga, proses persidangan di mahkamah partai 60 (enam puluh) hari. Sesuai ketentuan Pasal 32 ayat 4 UU No. 2/2011 yang menyatakan bahwa Penyelesaian perselisihan internal partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus diselesaikan paling lambat 60 hari. Pasal ini menjawab kritikan masyaratkat atas lambatnya pelayanan pengadilan dalam menyelesaikan perkara.

    Menurut Yahya Harahap, penyakit kronis yang menjangkiti semua badan peradilan diantaranya penyelesaian sengketa sangat lamban, sistem pemeriksaan yang very formalistic (sangat formalistis) dan very technical (sangat teknis), pada sisi lain arus perkara semakin banyak baik secara kulitas maupun kuantitas sehingga terjadi beban yang overloaded (berlebihan), biaya berperkara yang mahal, putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah. Menurut J. David Reitzel: there is a long wait for litigants to get trial. Jangankan untuk mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, untuk menyelesaikan pada satu instansi peradilan saja, harus antri menunggu.

  • Keempat, putusan Mahkamah Partai politik bersifat final dan mengikat. Proses pemeriksaan suatu perkara dianggap selesai apabila telah ditempuh jawab menjawab antara para pihak dilanjutkan dengan pembuktian dari masing-masing pihak. Jika semua tahap ini telah selesai tuntas, maka Majelis menyatakan pemeriksaan ditutup dan selanjutnya majelis mengadakan rapat permusyawaratan majelis untuk menentukan dan mengambil putusan. Secara garis besar formulasi putusan diatur dalam Pasal 184 ayat 1 HIR atau Pasal 195 RBG. Apabila putusan tidak mengikuti susunan perumusan yang digariskan Pasal tersebut diatas, putusan tidak syah dan harus dibatalkan.

    Menurut Yahya Harahap, putusan lembaga pengadilan harus memenuhi asas: memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Putusan hakim harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup dan apabila putusan tidak memuat pertimbangan yang cukup atau onvoldoende gemotiveerd insufficient judgement . Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 25 UU No. 4/2004 bahwa: segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan dan mencantumkan Pasal-Pasal undang-undang tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum. Demikian pula, putusan Mahkamah Partai Politik sesuai Pasal 32 ayat 5 yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Partai politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Substansi dari aturan tersebut telah tepat, namun kalimat harus diubah karena:

    • Putusan Mahkamah Partai tidak hanya untuk kepentingan internal Partai politik yang bersangkutan, namun juga sebagai dasar atau pedoman lembaga lain, yakni: putusan mahkamah partai tentang kepengurusan partai, akan dipakai sebagai dasar oleh Presiden, KPU, Kemendagri, Kepolisian dalam pencalonan: Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota. Begitu juga terkait dengan pemberhentian anggota partai politik akan dipakai oleh KPU, Bupati, Gubernur, Presiden untuk proses pergantian antar waktu anggota DPR/DPRD.

    • Sifat final dan mengikatnya putusan mengikat mahkamah yang diatur Pasal 32 ayat 5 tersebut kabur, karena adanya ketentuan Pasal 33 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.

    Berdasarkan ketentuan pada Pasal 33 ayat 1 inilah putusan Mahkamah Partai berkekuatan hukum tetap karena bersifat final dan mengikat yang telah diberikan oleh undang-undang tidak dapat diajukan gugatan baru lagi ke Pengadilan Negeri. Begitu juga Menteri Hukum & HAM yang menerbitkan Keputusan Pengesahan Kepengurusan Partai Politik berdasarkan putusan Mahkamah Partai politik, secara substansial keputusannya tidak dapat digugat di PTUN, karena Menteri melaksanakan putusan Mahkamah Partai.

  • Kelima, proses pemeriksaan di pengadilan negeri 60 (enam puluh) hari. Sesuai ketentuan Pasal 33 ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 2011 yang berbunyi: perkara perselisihan partai politik diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan PN dan oleh MA paling lama 30 hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. Padahal untuk perkara umum, sesuai SEMA Nomor 6/1994 jo Keputusan Ketua MA Nomor KMA/007/SK/IV/1994 harus telah diputus dalam waktu maksimal 6 (enam) bulan, dengan demikian aturan dalam Pasal 33 ayat 3 tersebut diatas merupakan kemajuan bagi proses percepatan penyelesaian perkara. Dengan demikian pengaturan Penyelesaian Perkara Perselisihan Partai politik yang harus selesai pemeriksaannya selambat-lambatnya 60 hari dapat memacu pengadilan negeri untuk menyelesaikan perkara lebih cepat.

  • Keenam, putusan pengadilan negeri tidak bisa diajukan banding. Ketentuan Pasal 33 ayat 2 menjelaskan bahwa putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir dan hanya dapat diajukan kasasi kepada MA. Semangat dari pembuat undang-undang adalah untuk mempercepat penyelesaian perkara dan menekan biaya perkara yakni untuk perkara perselisihan partai politik tidak ada upaya hukum banding. Namun aturan tersebut belum banyak dipahami oleh PN maupun PT.

  • Ketujuh, proses pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung 30 (tiga puluh) hari. Berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UU Nomor 2/2011 menyatakan: perkara perselisihan partai politik diselesaikan oleh PN paling lama 60 hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan PN dan oleh MA paling lama 30 hari sejak memori kasasi terdaftar di Kepaniteraan MA.

    Pengaturan tentang Kasasi atas putusan perselisihan partai politik PN tanpa banding dan MA diberi waktu 40 hari untuk memutus perkara adalah merupakan upaya untuk percepatan proses penyelesaian perkara perselisihan partai politik dan menjawab cibiran masyarakat yang menyatakan pelayanan pengadilan sangat lamban dan berbelit. Pemeriksaan kasasi di MA hanya meliputi putusan hakim yang mengenai hukumnya. Secara normatif, proses pemeriksaan kasasi di MA memang 60 hari, tapi dalam pratek proses pemeriksaan kasasi di MA mulai pendaftaran sampai mendapatkan putusan rata-rata 12 bulan sampai 24 bulan dan hal ini tidak effektif untuk penyelesaian perkara politik yang memerlukan penyelesaian yang cepat, tepat dan akurat. Prosedur yang panjang dalam acara pemeriksaan perkara ini tidak mencerminkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Penyelesaian perselisihan partai di Mahkamah Partai yang sederhana, cepat (60 hari) dan biaya ringan (tanpa advokat) adalah merupakan upaya pembuatan undang-undang dalam penyederhanaan prosedur berperkara.

Jadi, kesimpulannya, untuk masalah gugatan terhadap keptusan partai politik, maka harus melalui sidang Mahkamah Partai, sesuai dengan Pasal 32 UU Nomor 2/2011. Agar gugatan tersebut dapat diajkan ke PTUN, syarat utamanya adalah sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 UU Nomor 2/2011, yaitu “Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.”

UU Nomor 2/2011 dapat anda unduh pada attachment dibawah ini,

UU Nomor 2 tahun 2011.pdf (126,4 KB)