Bagaimana etika yang baik dalam Foto Jurnalistik?

etika Foto Jurnalistik

Etika merupakan segala perilaku yang berpedoman terhadap hal yang bersifat baik dan buruk, dimana standar kebaikan dan keburukan tersebut didasari oleh norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.

Bagaimana etika Foto Jurnalistik yang baik ?

Etika merupakan kode etik yang baik bagi seorang individu atau kelompok, atau sesuatu yang berkaitan dengan moralitas, moral, prinsip, dan standar. Etika dalam foto jurnalistik secara internasional diatur dalam the National Press Photographers Association’s Code of Ethics, di mana memberi petunjuk apa saja yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakuan.

Terdapat 9 aturan yang menjadi dasar pengambilan gambar dalam foto jurnalistik, yakni:

  1. Foto harus akurat dan komprehensif dalam representasi subyek. Menolak untuk memanipulasi oleh peluang foto yang diciptakan.

  2. Foto harus lengkap dan memotret atau merekam subyek sesuai dengan konteks.

  3. Hindari stereotip individu dan kelompok. Mengenali dan bekerja untuk menghindari efek bias dari pemaknaan oleh diri sendiri ketika bekerja.

  4. Perlakukan semua subjek dengan hormat dan bermartabat. Memberikan pertimbangan khusus untuk subjek yang menjadi korban kejahatan atau tragedi.

  5. Ketika memotret subjek tidak sengaja berkontribusi, mengubah, atau berusaha untuk mengubah atau memengaruhi peristiwa.

  6. Editing harus menjaga integritas konten gambar fotografi dan konteks. Jangan memanipulasi gambar atau menambah atau mengubah suara dengan cara apapun yang dapat menyesatkan pemirsa atau ketidaksesuaian subjek.

  7. Jangan membayar narasumber atau subjek atau memberikan hadiah material atas informasi atau partisipasinya.

  8. Jangan menerima hadiah, bantuan, atau kompensasi dari mereka yang mungkin berusaha memberikan pengaruh.

  9. Jangan sengaja menyabotase upaya wartawan lainnya (Newseum Photo Ethics 2014)

Fotografi dan video yang dapat mengungkapkan kebenaran, mengekspose kesalahan dan kelalaian, menginspirasi harapan dan pemahaman dan menghubungkan orang di seluruh dunia melalui bahasa dari pemahaman visual. Foto-foto juga dapat menyebabkan kerusakan besar jika mereka tanpa perasaan mengganggu atau dimanipulasi. Oleh karena itu, foto jurnalistik adalah “teknologi diri” sebuah alat untuk menggali masyarakat dan budaya untuk mencapai kebenaran tentang sejarah masa kini. Apa yang ditampilkan dalam foto jurnalistik mewakili cerita keseluruhan dari berita. Foto yang ada di headline media cetak merupakan merepresentasi dari kejadian secara keseluruhan.

Etika adalah subjektif, Professor Kenneth Kobré dalam bukunya Photo journalism, the Professionals Approach (Bersak, 2006) menuliskan bahwa foto jurnalistik tidak memiliki kitab suci, tidak ada tokoh agama yang mengoreksinya. Tidak ada garis tegas boleh atau tidak untuk memotret objek. Foto jurnalistik berpedoman pada masalah apa yang disebut "kebenaran fotografi, yaitu apakah gambar tertentu akurat mewakili subjek atau apakah itu menyesatkan masyarakat. Oleh karena itu dilema etis muncul antara etika jurnalistik dan profesionalisme.

Etika foto jurnalistik dapat dipandang dari beberapa perspektif, di antaranya:

1. Perspektif The Categorical Imperative Ethics

Perspektif The Categorical Imperative Ethics merupakan teori absolut yang menyatakan bahwa sesuatu yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Pemikiran Immanuel Kant ini mengharuskan apa yang diterima seseorang harus diterima untuk semua orang seperti teori “nondiscrimination clause” (Bersak, 2006).

Perspektif deontologi memandang bahwa suatu perbuatan dilakukan bukan atas dasar tujuan seharusnya, perbuatan dilakukan atas dasar kewajiban dan legalistas. Artinya seharusnya media melakukan “kewajiban” berdasarkan “kewajiban” itu sendiri, bukan berdasarkan tujuan. Sehingga tidak perlu alasan lain untuk melakukan sebuah perbuatan yang hingga akhirnya bisa dilakukan. Sesuai dengan perspektif tersebut, media memiliki idealisme dalam menampilkan foto-foto tentang peristiwa. Media perlu memperhatikan aspek-aspek psikologis audiens ketika hendak menampilkan gambar-gambar yang disajikan.

Deontologi jurnalisme membantu dalam mempertajam makna tanggung jawab. Moral deontologi merupakan keseluruhan aturan dan moral yang berlaku dan diterima oleh suatu masyarakat tertentu sebagai arah atau pegangan dalam bertindak dan dirumuskan dalam kerangka baik/buruk.

Terdapat tiga prinsip utama deontologi jurnalisme (B. Libois, 1994 ) yaitu:

  1. Hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya. Di dalamnya mengandung unsur perlindungan atas sumber berita, pemberitaan yang benar dan tepat, jujur, dan lengkap; pembedaan antara fakta dan komentar, informasi dan opini.

  2. Hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara; hak atas kesehatan fisik dan mental; hak konsumen dan hak untuk berekspresi dalam media; serta hak jawab; hak akan privacy; praduga tak bersalah, hak akan reputasi, hak akan citra yang baik, hak bersuara, dan hak akan rahasia komunikasi.

  3. Ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat, melarang semua bentuk provokasi atau dorongan yang akan membangkitkan kebencian atau ajakan pada pembangkangan sipil.

2. Perspektif The Principle of Utility

Etika Utilitarianisme seringkali struktur pemaknaan menekankan pada prinsip ekonomi karena berdasarkan pada asas manfaat. Konsep “the greatest good for society” ini mengacu pada tindakan moral yang dibenarkan sepanjang memberi manfaat untuk masyarakat. Foto jurnalistik boleh disampaikan secara rinci karena untuk pengetahuan masyarakat secara jelas. Hal ini bisa menjadi tidak peka terhadap tuntutan etis dalam masalah prosedur atau pilihan sarana termasuk di dalamnya adalah yang berkaitan dengan foto jurnalistik yang ditampilkan.

3. Perspektif The Golden Mean

Perspektif The Golden Mean mengutamakan pengendalian diri (moderation) dan keseimbangan (balanced). Apa yang ditampilkan media itu haruslah menarik tapi tidak boleh rinci.

4. Perspektif The Veil of Ignorance

Perspektif The Veil Ignorance menjelaskan bahwa fotografer atau editor menempatkan dirinya sebagai subjek. Bagaimana nurani berperan, apakah merasakan hal baik ketika menjadi subjek. Jika yang dirasakan tidak baik maka sebaiknya mengambil gambar dari sudut pandang yang lain. Nurani media menjadi dasar pertimbangan sebelum menurunkan foto-foto yang menonjolkan kengerian.