Perbedaan pemikiran antara dua founding father negara Indonesia sudah diketahui masyarakat. Selain karena latar belakang budaya dan pendidikan yang berbeda, keduanya memiliki orientasi politik yang berbeda pula. Salah satu perbedaannya ada pada pandangan kedua tokoh ini mengenai sosialisme di Indonesia. Disini saya akan membahas mengenai pemikiran Soekarno terkait dengan sosialisme.
Soekarno
Kapitalisme-imperialisme adalah dua ajaran ataupun paham yang sangat dibenci oleh Soekarno (Bung Karno). Dengan semangat yang dimilikinya Bung Karno mempelajari dan mencari literatur-literatur yang digunakan untuk melawan paham dan ajaran kapitalisme-imperialisme. Setelah banyak menelaah agaknya Bung Karno lebih tertarik dengan ajarannya Karl Marx, dengan demikian Bung Karno telah menemukan alternatif untuk digunakan melawan Kapitalisme-imperialisme.
Pada tahun 1920 di Indonesia paham Marxisme mulai berkembang pesat dan meluas, hal ini bisa dibuktikan dengan didirikannya PKI (Partai Komunis Indonesia) di Semarang oleh Semaun dan Darsono. Kemudian di Surabaya yang dipelopori oleh HOS Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam yang berpaham Marxisme. Seperti diketahui sebelumnya Sarekat Islam merupakan organisasi yang berpaham Islam dengan melihat kehadiran PKI yang lebih diterima masyarakat kecil, kemudian HOS Tjokroaminoto bersama Sarekat Islam mengadopsi dan ajaran Marxisme untuk dipadukan dengan ajaran Islam yang kemudian melahirkan sintesa “Islam dan Sosialis” yang lebih diterima oleh masyarakat (Alam, 2004).
Bung Karno mempunyai pemikiran tersendiri mengenai perpaduan antara paham Marxisme dengan pandangan hidup bangsa Indonesia pada waktu itu. Terpengaruh oleh bapak kos sekaligus Gurunya HOS Tjokroaminoto (1916-1920), Bung Karno memberikan batasan bahwasannya ada persamaan yang mendasar antara sosialisme dalam teori Marxis dan kehidupan masyarakat Indonesia, terutama dalam hal gotong royong dan kolektivisme.
Dalam artikelnya yang dimuat di majalah Indonesia Moeda tahun 1926 Soekarno sebenarnya telah memantapkan ideologinya untuk menyatukan tiga paham besar pada waktu itu yaitu, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang kemudian menjadi fenomenal ketika Bung Karno menerapkannya dalam pemerintahan Indonesia sewaktu ia menjabat menjadi presiden. Kemudian Bung Karno memanifestasikannya ke dalam “Nasakom”.
Pemikiran Bung Karno ini dilandasi kesadaran akan tragedi negeri jajahan. Dan saat itu, di Indonesia sudah muncul beberapa pergerakan rakyat yang masing-masing bermuara pada tiga aliran politik; Nasionalis, Islamis dan Marxis. Dengan mempelajari dan mencari hubungan antara ketiga sifat itu, Bung Karno menegaskan bahwa sebenarnya ketiga aliran tersebut di Indonesia memiliki tujuan yang sama. Karena itu, tak ada gunanya mereka berseteru satu sama lain. Bahkan, seharusnya bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan mahakuat (Soekarno, 1963).
Bung Karno memberikan alasan dengan menunjuk bahwa penjajahan yang dilakukan oleh bangsa kolonial menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi bagi kaum pribumi yang menjadikannya sebagai paham nasioanlis. Adapun yang dilakukan oleh bangsa kolonial sebagai penjajah ingin melaksanakan kristenisasi sehingga hal ini menimbulkan perlawanan yang dimotori oleh kelompok Islam yang kemudian lebih intens dengan paham Islamismenya. Di negara penjajahnya sendiri paham kapitalis mendapatkan perlawanan tersendiri yang dilakukan oleh kaum Marxis. Beranjak dari pertikaian yang terjadi di dunia tersebut sudah barang tentu menjadi kewajiban setiap manusia untuk mempersatukan paham/orang-orang yang terus bertikai. Bung Karno mengajak seluruh komponen yang ada di tanah air agar menjauhi percekcokan mengenai perbedaan aliran tersebut untuk kemudian menyatukan kaum Nasionalis, Islamis, dan Marxis agar bersatu dalam perjuangan melawan penjajah. Baru setelah tercapai bersama-sama menciptakan kemerdekaan Indonesia.
Bung Karno kemudian melihat adanya kemungkinan mempersatukan paham ketiganya dengan jalan dapat memuaskan kaum Nasionalis, Islamis, dan Marxisme agar mereka bisa bekerjasama. Dalam kenyataannya Nasionalisme dan Islam lebih sering menjadi aliran politik dan aliran agama yang tertindas seharusnya pula Marxisme di Indonesia harus dapat bersatu dengan Nasionalisme dan Islam. Dan semua itu tidak harus menanggalkan “bajunya” masing-masing.
Rumusan Bung Karno selanjutnya menegaskan bahwa perlu adanya kerangka bersama itu adalah sikap cinta tanah air yang tidak berfikiran sempit, juga bukan chauvinistik, melainkan nasionalis yang sejati yang timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan. Baginya, rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat kepada aliran-aliran lain, sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup. (Soekarno, 1963)
Menyikapi hal ini Bung Karno memandang lebih arif mengenai perbedaan yang prinsipil tentang perbedaan pandangan mengenai agama antara kaum Islam dengan komunis, menurutnya perbedaan itu hanya masalah salah pengertian saja. Segala jenis teori harus mengikuti perkembangan jamannya, hal inilah yang menjadikan pijakan bagi Bung Karno untuk terus melakukan pembaharuan. Menurutnya Marx dan Engels sering pula meragukan akan ketepatan suatu teori bila dipakai pada zaman yang berbeda, untuk itulah teori yang ada harus disesuaikan dengan perkembangan jaman. Sebagai alat pemersatu Bung Karno menekankan akan pentingnya menjaga saling pengertian dengan tidak saling curiga dan buruk sangka terhadap adanya berbagai aliran yang muncul guna tercapainya suatu tujuan bersama.
Konflik yang terjadi antara Marxisme dan agama coba ditengahi oleh Bung Karno dengan pemaparan sintesanya yang memandang konflik tersebut sebenarnya tidak perlu. Disini perlu dibedakan antara “materialisme historis” dan “ wijsgerig materialisme” (materialisme filosofis). “ Wijsgering materialisme” memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimana hubungan antara pikiran ( denken ) dan benda (materi); bagaimana pikiran itu terjadi; sedangkan “materialisme historis” memberi jawaban atas soal: sebab apa pikiran itu dalam suatu jaman begitu atau begini. Pendeknya, maksud Bung Karno adalah bahwa materialisme filosofis ( wijsgering ) menyelidiki kodrat pikiran, sedangkan materialisme historis menyelidiki sebab-sebab perubahan dalam pikiran; materialisme filosofis adalah filosofis; materialisme historis adalah historis. (Alam, 2003).
Di Eropa musuh-musuh Marxisme khususnya kaum gereja sengaja mengacaukan istilah materialisme histioris dengan materialisme filosofis dengan harapan mereka terus eksis dalam masyarakat eropa yang terus menerima paham-paham baru. Bung Karno memandang pemicu konflik antara kaum Islam dan Marxisme hampir sama dengan yang terjadi di Eropa. Dalam propagandanya anti Marxisme mereka tidak henti-hentinya menuduh bahwa kaum Marxisme itu adalah kaum yang mempelajari pikiran itu hanyalah suatu keluaran saja dari otak, kemudian mereka menuduh bahwa kaum Marxis menyembah benda sebagai tuhannya yaitu dengan menyebut materi itulah tuhannya kaum Marxis. Dari sinilah permulaan ketidaksukaan kaum Marxis kepada kaum agama di Eropa. Bertambahlah kebencian kaum Marxis tatkala mereka mengetahui kaum gereja melindungi kapitalisme dengan menggunakan simbol-simbol agamanya untuk membela kalangan “ borjuis ” yang digunakan sebagai politik reaksioner.
Pemikiran Bung Karno yang menyamakan kaum Islam di Indonesia dengan kaum Kristen di Eropa merupakan pemahaman yang keliru karena Islam di Indonesia merupakan agama kaum yang belum merdeka sehingga tidak mendukung atau bekerjasama dengan kaum kapitalisme. Bahkan Islam di Indonesia berjuang melawan kapitalisme sehingga memuluskan jalan rekonsiliasi antara kaum Islam dan kaum Marxisme yang menurut Bung Karno, bila perbedaan itu segera dikikis bukan tidak mungkin seluruhnnya bisa menjadi satu dan saling mendukung (Soekarno, 1963).
Pemikiran Soekarno yang demikian tersebut membuat dirinya dianggap sebagai penganut paham multiisme. Dikatakan demikian karena Bung Karno dikatakan sebagai penganut paham nasionalis pada hal Bung Karno tidak setuju dengan apa yang disebutnnya nasionalis, disebut Islam tetapi dia mengeluarkan paham-paham yang tidak sesuai dengan pahamnya banyak orang Islam, dan jika disebut Marxisme Bung Karno melaksanakan shalat, sedangkan jika disebut bukan Marxis dia “gila” kepada Marxisme itu (Abdulgani, 1963)