Ciri-ciri orang yang sempurna imannya antara lain adalah:
- Apabila mendengar sebutan Allah, hati mereka merasa gemetar.
- Apabila mendengar bacaan ayat-ayat Allah, bertambahlah iman mereka karenanya.
- Senantiasa bertawakkal (berserah diri) kepada Allah.
- Mendirikan shalat, dan berseru kepada orang lain untuk ikut juga melaksanakannya.
- Menafkahkan rizkinya di jalan Allah.
- Senantiasa besabar terhadap apa yang menimpa mereka dan termasuk juga orang yang berjhad fisabilillah.
- Orang-orang yang Khusyu’ dalam sembahyangnya
- Orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
- Orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya
Demikianlah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, yaitu orang- orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar- benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki nikmat yang mulia. QS. Al-anfal 2-4
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.
Dari dua kutipan ayat al-Quran di atas nampak bahwa dalam menerangkan iman, al-Qur’an menjelaskannya dengan penyebutan sifat-sifat yang dimiliki orang mukmin. Penjelasan secara definitif mengenai pengertian iman, Islam, dan ihsan dapat kita temukan dalam hadis Nabi Saw yang secara panjang lebar menguraikan ketiganya.
Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah.
Pada suatu hari Rasulullah berada di hadapan para sahabatnya, kemudian ada seorang laki-laki yang mendatangi dan bertanya : ‘Apakah iman itu?’
Nabi menjawab :
Iman adalah percaya kepada Allah, Malaikat-malaikatnya, Kitab-kitabnya, percaya akan berjumpa dengannya, percaya kepada para rasul dan kebangkitan hari akhir.
Setelah itu, orang tersebut menanyakan juga arti Islam?
Nabi mengatakan :
Islam adalah penyembahan terhadap Allah dengan tidak menyekutukannya, menjalankan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan haji ke baitullah,
kemudian orang itu menanyakan tentang ihsan?
Lalu Nabi menjawab :
Yaitu apabila kalian menyembah beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, maka apabila kamu tidak bisa melihatnya, sesungguhnya ia melihatmu.
Sekilas terlihat bahwa hadis di atas memunculkan pembedaan makna antara iman dan Islam. Islam diposisikan sebagai segala perbuatan yang berkaitan erat dengan aspek-aspek lahiriyyah fisik, baik berupa ucapan maupun tindakan. Sedangkan iman lebih tertutup karena maknanya berada pada kepercayaan dalam hati.
Oleh karenanya sebagian ulama, yang menjadikan hadis ini sebagai argumennya, mengharuskan mengucapkan dua kalimat syahadat untuk memastikan status keislaman seseorang, yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan ajaran islam yang lain, seperti shalat, zakat, puasa ramadhan, pergi haji.
Iman tidak sempurna bila diartikan sebagai pembenaran dalam hati saja, tanpa amal perbuatan. Pemaknaan iman dan Islam semacam itu didukung oleh riwayat lain. Sebuah hadit Nabi Saw. Menyatakan: “Orang muslim adalah seorang yang bisa melindungi keselamatan orang lain dari ucapan maupun perbuatannya ”.
Selain itu, ketika Nabi Saw ditanya mengenai Islam yang baik, Nabi Saw mengaitkannya dengan aktifitas lahiriyah. Beliau mengatakan: “Islam (yang sempurna) adalah memberi makanan (kepada kerabat)”. Dengan demikian, berpijak pada keterangan hadits-hadits di muka maka pengertian objektif kata iman dan Islam dibedakan. Islam adalah aktifitas lahir, dan iman aktifitas batin. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan sebuah kesimpulan akhir.
Karena jika diteliti lebih lanjut, ternyata ada hadits lain yang menyamakan kedudukan iman dan Islam. Misalnya hadits riwayat Umar ibn’ Abasah. Ia berkata:
“Ada seorang laki-laki menemui Nabi Saw, lalu bertanya: “ Wahai Rasul, apa sebenarnya Islam itu”. Nabi menjawab, Islam adalah berserah diri kepada Allah dalam hati dan menjamin ketenangan kaum muslimin dari ucapan maupun perbuatannya.
Dalam hadis ini Nabi Saw. Memaknai Islam sebagai sikap berpasrah diri kepada Allah Swt, dimana sikap itu merupakan pekerjaan batin. Karenanya, terlihat ada pertentangan (ta’arudl) jika dikaitkan dengan beberapa hadis yang telah disebutkan sebelumnya.
Terkadang pengertian iman dibedakan dengan Islam, tapi dalam kesempatan lain keduanya memiliki pengertian yang sama muradif. Sebagaimana pengertian kata fakir dan miskin, ketika disebutkan bersamaan keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Namun ketika disebutkan secara terpisah keduanya memiliki makna serupa.
Sebagaimana telah disinggung di muka, fungsi ungkapan iman melalui sarana lisan adalah menyingkap keyakinan hati, yang berpengaruh pada pemberlakuan hukum lahiriyah. Karena itu, seorang yang membenarkan dalam hati dikategorikan sebagai orang beriman di sisi Allah Swt. Sementara yang membenarkan dalam hati sekaligus bersaksi dengan lisan tergolong mukmin di sisi Allah Swt dan hukum Islam berlaku padanya.
Kesimpulan ini didukung oleh al-Ghazali. Menurutnya, dalam pandangan syari’at, iman dan Islam memiliki keterkaitan dengan dua keputusan hukum, hukum dunia dan akhirat. Hukum duniawi menjadikan seseorang yang berstatus muslim mendapat hukum sesuai ketentuan agama, seperti perlindungan nyawa, harta, dan lain sebagainya. Dalam persoalan hukum akhirat ia akan terbebas dari ancaman neraka atau tidak selamanya di neraka.
Keimanan sebagai sesuatu yang esoteris berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ukhrawi. Sementara sesuatu yang nampak adalah standar penilaian keislaman seseorang di dunia. Karenanya jika seseorang bersyahadah namun sebenarnya hatinya ingkar dalam kehidupan dunia ia disebut seorang muslim namun ia diancam siksa diakhirat kelak, ia disebut orang munafiq.