Secara garis besar, upaya mengelola stres dapat dikelompokkan menjadi dua macam strategi yaitu strategi koping untuk level individu dan strategi dalam level organisasi (Moorhead & Griffin,1995).
Strategi pada level organisasi terdiri atas dua yaitu program institusi dan program kolateral. Program institusi berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri, budaya, dan supervisi. Sedangkan program kolateral seperti program promosi kesehatan atau pun program stres manajemen yang khusus disusun oleh pihak manajemen bagi karyawan.
Strategi level individu dapat dilakukan dengan menggunakan strategi koping yaitu latihan dan relaksasi, manajemen waktu, manajemen peran, dan dukungan sosial.
1. Latihan fisik dan relaksasi
Latihan fisik dalam arti olah raga merupakan perilaku sehat yang sudah diyakini berbagai ahli sebagai suatu prevensi terhadap stres. Demikian halnya dengan relaksasi, apakah relaksasi otot maupun imagery, merupakan satu cara yang efektif untuk mengelola stres.
2. Manajemen waktu
Sering di jumpai bahkan hampir setiap diantara manusia mengalami adanya rasa keterhimpitan waktu dalam melakukan sesuatu untuk penyelesaian masalah. Dalam banyak hal, karyawan seolah-olah kekurangan waktu, akibatnya merasa tertekan (stres).
Mungkin inilah sebabnya Tuhan mengingatkan manusia: ‘‘Demi waktu, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali bagi mereka yang beriman dan beramal sholeh….’’ Hal ini menandakan bahwa mereka yang tidak mampu mengelola waktu dengan baik, akan rugi. Mereka yang mampu mengelola waktu dengan baik, selamat dari kerugian itu.
Gie (dalam Asnawi 1999) mengatakan bahwa orang yang selalu merasa kekurangan waktu adalah mereka yang kurang memiliki keteraturan dan disiplin diri untuk menggunakan waktu secara efisien dan efektif. Lakein (1989) menyatakan bahwa menyia-nyiakan waktu berarti menyia-nyiakan hidup, sedangkan menguasai waktu berarti menguasai hidup karena dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya.
Atkison (1990) menegaskan bahwa rata-rata setiap pekerja paling tidak akan kehilangan sebesar antara 25%-30% dari waktu kerjanya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang kurang bermakna bahkan sama sekali tidak berhubungan dengan tugas pekerjaannya.
Titik awal yang paling baik untuk memperbaiki penggunaan waktu adalah dengan membuat perencanaan, karena menurut Haynes (1994), perencanaan adalah kunci utama untuk menghilangkan stres akibat merasa kekurangan waktu dan merupakan cara untuk mengatur masa depan.
Gie (dalam Asnawi, 1999) menambahkan bahwa kalau dalam kurun waktu yang sama serta kemampuan yang sama, ada orang yang dapat menyelesaikan tugas pekerjaan yang banyak, sedang yang lain hanya sedikit maka hal tersebut disebabkan oleh karena perbedaan dalam cara-cara mereka memanfaatkan dan mengatur waktu kerjanya. Ketrampilan mengelola waktu tersebut oleh sebagian para ahli disebut pula sebagai manajemen waktu.
Manajemen waktu dikatakan baik apabila diterapkan dalam dunia kerja akan meningkatkan efisiensi, konsentrasi, menumbuhkan daya dan kemauan yang mendorong seseorang dalam batinnya untuk bekerja dengan lebih giat, bersemangat, tidak merasa beban berat, dan tertekan (stres).
Hardjana (1994) menegaskan bahwa dengan adanya manajemen waktu yang baik dapat membebaskan manusia dari stres yang tidak perlu terjadi, sehingga dapat menyelesaikan tugas tepat pada waktunya, tidak terburu-buru, dan tetap dalam irama kerja yang seimbang dan terkendali.
Haynes (1994), mengartikan bahwa manajemen waktu adalah proses menjadikan waktu lebih produktif, sedangkan Atkinson (1990) mendefinisikan manajemen waktu merupakan kemampuan menggunakan waktu seefisien dan seefektif mungkin untuk memperoleh manfaat yang semaksimal mungkin.
Selanjutnya Taylor (1990), menyatakan bahwa untuk mencapai manajemen waktu yang baik diperlukan kesadaran diri yang tinggi terhadap penghargaan waktu, ditunjang dengan disiplin pribadi, motivasi, konsentrasi dan kekuatan untuk menolak hal-hal yang dapat merusak sehingga waktu tersebut dapat dimanfaatkan dengan bijaksana.
Griesman (1994) menambahkan bahwa orang yang tidak belajar menghargai waktu dan tidak mengelola penggunaan waktu secara hati-hati, akan mengalami kesulitan di masa yang akan datang. Hardjana (1994) menyatakan lebih lugas yaitu bahwa kecakapan dalam mengatur waktu merupakan salah satu senjata untuk mencegah datangnya stres.
Atkinson (1990), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen waktu adalah terdiri dari hal-hal sebagai berikut :
-
Menetapkan Tujuan
Langkah awal dalam manajemen waktu adalah merencanakan penggunaan waktu dengan menetapkan tujuan dari hal-hal yang akan dikerjakan, baik untuk jangka pendek, sedang, maupun panjang. Keenan (1995) mengatakan bahwa dengan menetapkan tujuan, dapat membantu individu dalam memfokuskan perhatian ke arah sasaran yang akan dicapai.
-
Menyusun Prioritas
Menurut Atkinson (1990) dalam menyusun prioritas dibutuhkan ketelitian dan kemampuan yang tinggi untuk menyususun strategi, agar hasil pokok dari penggunaan waktu dapat tercapai secara optimal dan maksimal. Karena waktu sangat terbatas sedangkan banyak hal yang harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas, maka urutan prioritas perlu dibuat berdasarkan skala kepentingannya.
-
Menyusun jadwal
Jadwal adalah acara kerja yang memuat hari, jam atau waktu, dan urutan kegiatannya. Dengan demikian akan terhindar bentrokan kegiatan, mengurangi ketergesaan, sehingga dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Taylor (1990), menyatakan bahwa dengan menyusun jadwal segala sesuatunya termasuk diri individu tersebut menjadi tertib, teratur sehingga semua kegiatan dapat berjalan secara terencana, lancar, dan terkendali.
-
Bersikap asertif
Atkinson (1990) menyatakan bahwa sikap asertif merupakan sikap yang tegas untuk mengatakan ‘‘tidak’’ atau menolak dengan cara yang tetap positif tanpa harus merasa bersalah atau menjadi agresif. Menolak atau berkata ‘‘tidak’’ memang sering tidak enak, apalagi apabila mempunyai hutang budi, tetapi demi tidak rusaknya perencanaan matang yang telah dibuat maka sikap asertif sangat diperlukan. Orang yang sulit mengatakan ‘‘tidak’’, akan lebih mudah stres, karena tuntutan yang dibebankan kepadanya dengan begitu saja mudah diterimanya walaupun tidak sesuai dengan kapasitas daya yang dimiliknya.
-
Menghindari penundaan
Penundaan merupakan penangguhan terhadap sesuatu yang seharusnya bukan merupakan beban tetapi masih tetap merupakan beban, dalam arti lain penumpukan beban. Atkinson (1990), menyatakan bahwa penyebab kebiasaan menunda-nunda adalah rasa takut gagal, kurang terampil atau kurang mampu, Hardjana (1994) menyatakan bahwa penundaan kerja menjadi salah satu penyebab stres karena dengan penundaan itu individu harus mengerjakan pekerjaannya dalam waktu yang makin amat terbatas, sehingga terjadi ketergesaan waktu kerja.
-
Meminimumkan waktu yang terbuang
Pemborosan waktu adalah segala kegiatan yang menyita waktu tetapi kurang memberikan manfaat yang maksimal. Hal demikian akan menjadi penghalang bagi pencapaian keberhasilan secara optimal. Untuk meminimumkan pemborosan waktu, pertama-tama perlu melakukan identifikasi sumber-sumber pemborosan, kemudian menghitung berapa lama waktu yang boros. Atkinson (1990) menyatakan bahwa untuk mengurangi atau menghilangkan pemborosan harus didukung oleh sikap yang positif serta keinginan untuk merubah kebiasaan mempunyai rencana yang tepat dan membina disiplin.
-
Manajemen peran
Peran ganda di satu sisi memang menguntungkan tetapi di sisi lain kurang menguntungkan, karena kesulitan untuk mengakomodasi berbagai peran dalam waktu bersamaan. Apabila inidvidu tidak mampu mengisi peran yang diharapkan akan mengalami role strain dan role conflict.
Ada dua macam role-conflict yaitu interrole conflict dan intrarole conflict. Interrole conflict terjadi ketika peran yang dimiliki seseorang terpecah secara tidak kompatibel. Misalnya: konflik yang dialami Soeharto ketika ia berperan sebagai ayah (melindungi KKN dari anak-anaknya) dan peran sebagai presiden. Intrarole conflict terjadi ketika adanya harapan yang kontradiktif atas peran tersebut. Misalnya: Jaksa Agung di mata masyarakat di harapkan secara cepat dapat membongkar KKN Soeharto dengan kroninya, tetapi dari sisi lain Kejaksanaan Agung memerlukan data yang akurat sehingga butuh waktu.
Implikasi dari teori peran adalah perlunya kemampuan untuk mengelola peran dalam pengelolaan stres. Kiat yang dapat dilakukan pertama, menyeleksi peran-peran yang sbenarbenar sesuai dengan peran harapan. Kedua, ketepatan mengambil peran sesuai dengan waktu dan tuntutan situasi. Dalam hal ini kemampuan mengelola emosi menjadi ketrampilan yang diperlukan. Ketidaktepatan memainkan peran, akan menyebabkan sumber konflik.
-
Kelompok pendukung
Kelompok mempunyai peran yang strategis dalam berbagai kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada kelompok, baik kelompok kerja (formal) maupun kelompok informal. Dalam batas-batas tertentu, bahkan kelompok informal dalam suatu organisasi mempunyai peran yang lebih dominan dalam roda kebijakan organisasi, dalam arti penyebaran nilai-nilai.
Hal ini berkaitan dengan fungsi kelompok sebagai tempat ekspresi perasaan senasib, sepenanggungan, sehingga perasaan kohesif semakin kental dirasakan. Oleh karenanya, jaringan sosial yang terdiri atas kelompok-kelompok, apakah kelompok kerja maupun kelompok informal, merupakan sarana untuk mendapatkan dukungan psikologis terutama bagi karyawan yang dilanda stres.
Implikasi dari pendapat ini adalah perlu dibuat kelompok di luar kelompok kerja. Misalnya kelompok yang dibuat atas dasar pengembangan hobi, misalnya kelompok musik atau pun kelompok olah raga merupakan ruang yang tepat bagi tempat untuk mengekspresikan masalah dan sekaligus mencari alternatif pemecahan masalah.