Bagaimana caranya mengatasi stres pada pekerjaan kita?

Stress adalah penderitaan jasmani, mental atau emosional yang diakibatkan interpretasi atas suatu peristiwa sebagai suatu ancaman bagi agenda pribadi seorang individu.

Dalam suatu perusahaan, semakin besar suatu perusahaan maka makin banyak karyawan yang bekerja di dalamnya sehingga besar kemungkinan timbulnya permasalahan di dalamnya, dan permasalahan manusianya”.

Bagaimana caranya mengatasi stres kerja ?

Kita belajar bagaimana mengatasi stress yang kita alami secara efektif. Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan kondisi kerja, mengurangi stress kerja, dan membantu individu untuk lebih efektif di dalam mencegah dan mengatasi stress.

Strategi individu untuk coping meliputi modifikasi perilaku dan kognitif untuk membantu individu belajar cara baru di dalam memahami kondisi yang ada. Individu yang efektif di dalam coping stress seringkali mengatakan bahwa mereka melakukan dengan mencoba mendapatkan perspektif yang baru di dalam situasi. Strategi coping juga meliputi aktivitas yang di disain untuk mengontrol reaksi fisiologis dan emosional. Relaxation, meditation, biofeedback, dan latihan fisik. Strategi coping lainnya meliputi interaksi social - membantu mendapatkan dukungan emosional dari orang lain.

Beberapa aktivitas ini dapat digunakan di dalam kerja. Banyak intervensi stress kerja ditujukan untuk membantu karyawan di dalam mengembangkan kapasitas diri mereka di dalam melawan stress.

Mengurangi Stres Kerja

Strategi menghadapi stres kerja menurut Berry (1998) pertama adalah menolak penyebab stres kerja (stressor dalam lingkungan kerja), seperti stressor konflik peran dan peran ganda, agar tidak terjadi harus dilakukan analisis job dan training karyawan.

Meminta Dukungan Sosial

Meminta dukungan sosial dengan cara membicarakan masalah kita kepada orang-orang yang ada dilingkungan kita, seperti teman, keluarga, ataupun supervisor. Meminta dukungan sosial dilakukan agar dapat memperoleh informasi dan petunjuk yang spesifik untuk penyaluran dengan suatu situasi yang penuh dengan tekanan atau mencegah stres. Individu juga mendapatkan dukungan emosional dan peningkatan semangat. Nampaknya, perempuan menurut Berry lebih mampu memberikan dukungan sosial daripada laki-laki.

Beberapa penelitian mempertimbangkan apakah yang terjadi ketika individu tidak memiliki dukungan sosial. Tidak adanya dukungan sosial ditemukan menyebabkan kurangnya dukungan kerja berkaitan dengan kontribusi terhadap perkembangan ketegangan psikologis dan job burnout.

Oleh karena itu dukungan sosial terutama dukungan supervisor dibutuhkan.

Program Manajemen Stres

Strategi lain di dalam mengatasi stres dapat juga dilakukan dengan melakukan program manajeman stres yang merupakan kegiatan-kegiatan yang dapat mengontrol reaksi emosional fisiologis. Adapun teknik-teknik program manajemen stres adalah relaksasi, dan meningkatkan kesadaran diri. seperti meditasi, biofeedback (cara mengontrol perasaan diri sendiri, seperti kekhawatiran, kegugupan, dengan bantuan alat-alat elektris tertentu untuk mengatur denyut jantung, tekanan kegugupan, untuk mengatur denyut jantung, tekanan darah dan sebagainya) dan olah raga. Juga dengan melakukan interaksi sosial dengan orang lain, sehingga kita memperoleh bantuan dan dukungan dari orang tersebut.

Pendekatan Organisasional

Sedangkan strategi menghadapi stres dalam pendekatan organisasional menurut Robbins (2003) dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan stres terutama di dalam tugas dan peran, dan struktur organisasi—dikendalikan oleh manajemen, untuk dapat dimodifikasi dan di ubah.

Selanjutnya strategi yang mungkin untuk dapat dilakukan adalah perbaikan seleksi personil dan penempatan kerja, penggunaan penetapan tujuan yang realistis, perancangan ulang pekerjaan, dan peningkatan keterlibatan karyawan, perbaikan komunikasi, dan penegakan program kesejahteraan korporasi.

Kesimpulannya bahwa coping terhadap stres kerja dapat dimulai dengan penghilangan atau pemindahan stressors. Meliputi, perubahan lokasi kerja atau disain kerja. Banyak program manajemen stres diorientasikan untuk membantu karyawan secara individu belajar bagaimana mengatasi stres. Dukungan sosial dapat membantu karyawan mengatasi stres, karena dukungan sosial memberikan informasi dan membantu di dalam memecahkan masalah, dengan pengertian lain adanya dukungan sosial dan pengobaran semangat Selain bentuk coping di atas, Robbins menambahkan bentuk lain dalam coping dengan pendekatan organisasional.

Referensi

  • Berry, M.L. 1998. Psychology at Work: an Introduction to Industri and Organizational Psychology. McGraw-Hill Book Co. Boston.
  • Munandar, A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press. Robbins, S.P. 2003. Organizational Behavior. Jakarta: PT Indeks kelompok
  • Gramedia.

Stress dapat timbul dan menyerang kita dimana saja terutama saat kita berada ditempat kerja kita. Stress dapat menyerang produktifitas , penampilan , kesehatan fisik dan emosional diri kita . Stress yang kita alami dapat membuat kita tidak dapat mengendalikan diri kita di lingkungan pekerjaan . Akantetapi , hal ini bukan berarti menandakan bahwa kita tidak berdaya bahkan saat kita berada disituasi yang sulit. Tidak melihat pekerjaan kita atas dasar tuntutan atau ambisi semata , terdapat beberapa cara untuk kita dapat melindungi diri kita dari efek kerusakan yang diakibatkan oleh stress dan dapat meningkatkan kepuasan dalam bekerja. Diantaranya adalah:

  1. Mulailah membangun hubungan yang baik ditempat kerja.
  2. Bangkit dan bergeraklah . Jangan hanya duduk di meja kerja lebih dari sejam dalam satu waktu.
  3. Dapatkan waktu tidur yang penuh untuk merasakan kulitas tidur paling baik.
  4. Kontrol prioritas dan organisasi dengan baik.
  5. Carilah humor sebanyak mungkin.

Situasi seperti stress tidak selamanya buruk. Sedikit stress dapat membantu kita untuk tetap fokus , berenergi , dan dapat melakukan tantangan baru ditempat kerja. Faktor – faktor seperti waktu yang panjang , deadline yang ketat , dan bahkan tuntutan yang meningkat dapat membuat kita menjadi cemas , dan merasa kesulitan.

Ketika stress melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya, hal ini pertanda bahwa stress mulai menyebabkan kerusakan pada pikiran, tubuh dan juga kepuasan kerja kita .
Untuk menghidari situasi stress dan tidak menyenangkan tersebut, dibutuhkan beberapa langkah – langkah untuk mengatasi dan menghilangkan stress dari diri kita.

Stress ditempat kerja akan sangat menganggu dan dapat menjadi pemicu yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan tips atau cara untuk dapat mengurangi stress tersebut. Langkah – langkah tersebut diantaranya, menurut helpguide, adalah :

  1. Bicarakan stress yang kita alami kepada orang lain untuk dapat sama sama mencari solusinya.
  2. Jaga kesehatan dengan berolahraga dan nutrisi yang baik.
  3. Jaga kualitas tidur ( Tingkatkan kualitas tidur yang sehat ).
  4. Prioritaskan dan organisasikan tanggungjawab secara baik dan rapi.
  5. Kurangi kebiasaan buruk yang dapat menyebabakan stress di tempat kerja .
  6. Jadilah proaktif tentang pekerjaan kita dan kewajibat ditempat kerja kita .

Adakah cara lainnya ?

1 Like

Manajemen Stres Kerja


Manajemen stres adalah suatu keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk mengantisipasi, mencegah, mengelola, dan memulihkan diri dari stres yang dirasakan karena adanya ancaman dan ketidakmampuan dalam coping yang dilakukan (Smith, 2002). Teknik- teknik dalam manajemen stres ini sangat banyak. Teknik-teknik pengelolaan emosi seperti meditasi, yoga, relaksasi progresif; teknik untuk mengelola gaya hidup yang lebih baik dengan olahraga, makan teratur dan sehat, ataupun tidak mengkonsumsi alkohol atau rokok; serta teknik-teknik yang dilakukan untuk mengatasi aspek perilaku seperti kemampuan asertif atau manajemen waktu.

  • Teknik Relaksasi Progresif

Menurut Soewondo (2009), relaksasi progresif adalah suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan dan mengalami rasa nyaman tanpa tergantung pada objek di luar dirinya. Pelatihan relaksasi dapat mengurangi ketegangan subjektifdanberpengaruh terhadap proses fisiologislainnya. Relaksasi otot berjalanbersama dengan respon otonom dari saraf parasimpatis. Jacobson pada tahun 1938 (dalam Wolpe, 1973) mengatakan bahwa relaksasi ototberjalan bersama dengan relaksasi mental. Perasaan cemas subjektif dapat dikurangi atau dihilangkan dengan sugesti tidak langsung ataumenghapus atau menghilangkan komponen otonomik dari perasaan- perasaan itu. Emosi dan tentunya rasa cemas mengandung dua elemen,yaitu reaksi fisiologis dan komponen-komponen menghayati. Jadi, bila ada perubahan-perubahan di bidang emosi, kedua komponen di atas jugamengalami perubahan. Teknik untuk menimbulkan relaksasi otot adamacam-macam, yaitu: obat-obatan, hipnosis, emotif imajiner, meditasi, relaksasi progresif, dan lain-lain.

Relaksasi progresif adalah suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan dan mengalami rasa nyaman tanpa tergantung pada hal atau subjek di luar dirinya. Relaksasi progresif ini dimulai oleh Jacobson pada tahun 1934. Ia mengembangkan metode ini untuk melawan rasa cemas atau stres atau tegang. Dilihat sebagai lawan dari ketegangan, ia menemukan bahwa dengan menegangkan dan melemaskan beberapa kelompok otot dan membedakan sensasi tegang dan rileks, seseorang bisa menghilangkan kontraksi otot dan mengalami rasa rileks. Teknik relaksasi progresif adalah yang paling sesuai sebagai awal pelatihan. Kemudian, setelah terampil, dapat langsung diinstruksikan untuk rileks. Jacobson (1934) dalam Seaward (2010) menyadari bahwa tubuh tidak dapat rileks dan tegang dalam waktu yang bersamaan. Hal ini mendorongnya untuk mengembangkan suatu teknik bagi para kliennya. Dengan menegangkan dan melemaskan beberapa kelompok ototdan membedakan sensasi tegang dan rileks, seseorang dapat menghilangkan kontraksi otot dan mengalami perasaan rileks. Teknik relaksasi progresif ini dapat mengatasi perasaan cemas, stres, atau tegang (Jacobson dalam Soewondo, 2009).

Prosedur relaksasi progresif adalah sebagai berikut:

  • Menegangkan sejumlah kumpulan otot dan merilekskannya, di sini akan digunakan sembilan kumpulan otot
  • Menyadarkan klien akan perbedaan antara tegang dan rileks
  • Kumpulan otot yang perlu ditegangkan dan dirilekskan tiap kali harus berkurang
  • Klien kemudian diharapkan bisa mengelola ketegangan dengan menginstruksikan kepada diri sendiri untuk rileks kapan dan dimana saja.

Kebanyakan orang tidak bisa mengalami keadaan rileks yang mendalam tanpa latihan. Latihan dalam relaksasi merupakan langkah pertama yang perlu dilakukan. Latihan bisa diadakan di ruang instruktur atau di rumah. Aspek penting lain supaya seseorang bisa rileks dengan baik adalah cara instruktur bekerja. Bila lnstruksi dilakukandengan ragu-ragu atau kaku, maka tentu akan mempengaruhi.

Sembilan kumpulan otot ditegangkan dan dilemaskan. Tujuannya menyadarkan pada klien keadaan tegang dan rileks dengan harapan klienbisa merilekskan dirisendiri bila ia sedang tegang. Kumpulan otot yang disadarkan, dtegangkan dan dilemaskan adalah:

  • Tangan + jari-jari + lengan kanan
  • Tangan + jari-jari + lengan kiri
  • Kaki, paha, dan telapak kaki kanan
  • Kaki, paha, dan telapak kaki kiri
  • Dahi
  • Mata
  • Bibir, rahang, mulut, lidah, gigi (sekaligus)
  • Dada
  • Leher

Selama latihan berjalan, peserta hendaknya melakukan hal-hal berikut:

  • Memusatkan perhatian pada kumpulan otot yang ditegangkan, waktu kurang lebih tujuh detik dan dilemaskan.
  • Perhatian pada rasa tegang.
  • Tanda untuk melemaskan.
  • Klien rileks kurang lebih tiga puluh hingga empat puluh detik. Ia harus memperhatikan perbedaan antara tegang dan tenang.

Instruksi melakukan teknik relaksasi progresif dibagi ke dalam dua tahap. Tahap pertamafokus pada prosedur dasar. Tahap ini akan membantu individu untuk mengidentifikasi kelompok otot apa yang dirasakan paling tegang. Tahap kedua fokus pada prosedur yang lebih pendek dengan secara simultan menegangkan dan merilekskan beberapa kelompok otot secara bersamaan, sehingga perasaan rileks dapat diperoleh di waktu yang sangat singkat.

Kebanyakan orang tidak dapat merasakan kondisi rileks yang mendalam tanpa latihan. Oleh karena itu, latihan dalam relaksasi progresif ini merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Pada latihan-latihan awal, beberapa karyawan office dan buruh mungkin memerlukan ruangan yang nyaman untuk melaksanakan latihan dengan bimbingan peneliti dan menggunakan sembilan kumpulan otot yang disarankan. Namun demikian, penting bagi beberapa karyawan office dan buruh untuk melaksanakan latihan secara mandiri tanpa bimbingan peneliti agar mereka terbiasa dengan teknik tersebut. Semakin terampil mereka melakukan teknik relaksasi progresif ini, maka mereka semakin dapat menyesuaikan kumpulan otot yang mereka gunakan dan akhirnya mereka akan merasakan kenyamanan dan perasaan rileks hanya dengan mengucapkan kata “rileks”.

Secara garis besar, upaya mengelola stres dapat dikelompokkan menjadi dua macam strategi yaitu strategi koping untuk level individu dan strategi dalam level organisasi (Moorhead & Griffin,1995).

Strategi pada level organisasi terdiri atas dua yaitu program institusi dan program kolateral. Program institusi berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri, budaya, dan supervisi. Sedangkan program kolateral seperti program promosi kesehatan atau pun program stres manajemen yang khusus disusun oleh pihak manajemen bagi karyawan.

image

Strategi level individu dapat dilakukan dengan menggunakan strategi koping yaitu latihan dan relaksasi, manajemen waktu, manajemen peran, dan dukungan sosial.

1. Latihan fisik dan relaksasi

Latihan fisik dalam arti olah raga merupakan perilaku sehat yang sudah diyakini berbagai ahli sebagai suatu prevensi terhadap stres. Demikian halnya dengan relaksasi, apakah relaksasi otot maupun imagery, merupakan satu cara yang efektif untuk mengelola stres.

2. Manajemen waktu

Sering di jumpai bahkan hampir setiap diantara manusia mengalami adanya rasa keterhimpitan waktu dalam melakukan sesuatu untuk penyelesaian masalah. Dalam banyak hal, karyawan seolah-olah kekurangan waktu, akibatnya merasa tertekan (stres).

Mungkin inilah sebabnya Tuhan mengingatkan manusia: ‘‘Demi waktu, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali bagi mereka yang beriman dan beramal sholeh….’’ Hal ini menandakan bahwa mereka yang tidak mampu mengelola waktu dengan baik, akan rugi. Mereka yang mampu mengelola waktu dengan baik, selamat dari kerugian itu.

Gie (dalam Asnawi 1999) mengatakan bahwa orang yang selalu merasa kekurangan waktu adalah mereka yang kurang memiliki keteraturan dan disiplin diri untuk menggunakan waktu secara efisien dan efektif. Lakein (1989) menyatakan bahwa menyia-nyiakan waktu berarti menyia-nyiakan hidup, sedangkan menguasai waktu berarti menguasai hidup karena dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya.

Atkison (1990) menegaskan bahwa rata-rata setiap pekerja paling tidak akan kehilangan sebesar antara 25%-30% dari waktu kerjanya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang kurang bermakna bahkan sama sekali tidak berhubungan dengan tugas pekerjaannya.

Titik awal yang paling baik untuk memperbaiki penggunaan waktu adalah dengan membuat perencanaan, karena menurut Haynes (1994), perencanaan adalah kunci utama untuk menghilangkan stres akibat merasa kekurangan waktu dan merupakan cara untuk mengatur masa depan.

Gie (dalam Asnawi, 1999) menambahkan bahwa kalau dalam kurun waktu yang sama serta kemampuan yang sama, ada orang yang dapat menyelesaikan tugas pekerjaan yang banyak, sedang yang lain hanya sedikit maka hal tersebut disebabkan oleh karena perbedaan dalam cara-cara mereka memanfaatkan dan mengatur waktu kerjanya. Ketrampilan mengelola waktu tersebut oleh sebagian para ahli disebut pula sebagai manajemen waktu.

Manajemen waktu dikatakan baik apabila diterapkan dalam dunia kerja akan meningkatkan efisiensi, konsentrasi, menumbuhkan daya dan kemauan yang mendorong seseorang dalam batinnya untuk bekerja dengan lebih giat, bersemangat, tidak merasa beban berat, dan tertekan (stres).

Hardjana (1994) menegaskan bahwa dengan adanya manajemen waktu yang baik dapat membebaskan manusia dari stres yang tidak perlu terjadi, sehingga dapat menyelesaikan tugas tepat pada waktunya, tidak terburu-buru, dan tetap dalam irama kerja yang seimbang dan terkendali.

Haynes (1994), mengartikan bahwa manajemen waktu adalah proses menjadikan waktu lebih produktif, sedangkan Atkinson (1990) mendefinisikan manajemen waktu merupakan kemampuan menggunakan waktu seefisien dan seefektif mungkin untuk memperoleh manfaat yang semaksimal mungkin.

Selanjutnya Taylor (1990), menyatakan bahwa untuk mencapai manajemen waktu yang baik diperlukan kesadaran diri yang tinggi terhadap penghargaan waktu, ditunjang dengan disiplin pribadi, motivasi, konsentrasi dan kekuatan untuk menolak hal-hal yang dapat merusak sehingga waktu tersebut dapat dimanfaatkan dengan bijaksana.

Griesman (1994) menambahkan bahwa orang yang tidak belajar menghargai waktu dan tidak mengelola penggunaan waktu secara hati-hati, akan mengalami kesulitan di masa yang akan datang. Hardjana (1994) menyatakan lebih lugas yaitu bahwa kecakapan dalam mengatur waktu merupakan salah satu senjata untuk mencegah datangnya stres.

Atkinson (1990), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen waktu adalah terdiri dari hal-hal sebagai berikut :

  1. Menetapkan Tujuan
    Langkah awal dalam manajemen waktu adalah merencanakan penggunaan waktu dengan menetapkan tujuan dari hal-hal yang akan dikerjakan, baik untuk jangka pendek, sedang, maupun panjang. Keenan (1995) mengatakan bahwa dengan menetapkan tujuan, dapat membantu individu dalam memfokuskan perhatian ke arah sasaran yang akan dicapai.

  2. Menyusun Prioritas
    Menurut Atkinson (1990) dalam menyusun prioritas dibutuhkan ketelitian dan kemampuan yang tinggi untuk menyususun strategi, agar hasil pokok dari penggunaan waktu dapat tercapai secara optimal dan maksimal. Karena waktu sangat terbatas sedangkan banyak hal yang harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas, maka urutan prioritas perlu dibuat berdasarkan skala kepentingannya.

  3. Menyusun jadwal
    Jadwal adalah acara kerja yang memuat hari, jam atau waktu, dan urutan kegiatannya. Dengan demikian akan terhindar bentrokan kegiatan, mengurangi ketergesaan, sehingga dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Taylor (1990), menyatakan bahwa dengan menyusun jadwal segala sesuatunya termasuk diri individu tersebut menjadi tertib, teratur sehingga semua kegiatan dapat berjalan secara terencana, lancar, dan terkendali.

  4. Bersikap asertif
    Atkinson (1990) menyatakan bahwa sikap asertif merupakan sikap yang tegas untuk mengatakan ‘‘tidak’’ atau menolak dengan cara yang tetap positif tanpa harus merasa bersalah atau menjadi agresif. Menolak atau berkata ‘‘tidak’’ memang sering tidak enak, apalagi apabila mempunyai hutang budi, tetapi demi tidak rusaknya perencanaan matang yang telah dibuat maka sikap asertif sangat diperlukan. Orang yang sulit mengatakan ‘‘tidak’’, akan lebih mudah stres, karena tuntutan yang dibebankan kepadanya dengan begitu saja mudah diterimanya walaupun tidak sesuai dengan kapasitas daya yang dimiliknya.

  5. Menghindari penundaan
    Penundaan merupakan penangguhan terhadap sesuatu yang seharusnya bukan merupakan beban tetapi masih tetap merupakan beban, dalam arti lain penumpukan beban. Atkinson (1990), menyatakan bahwa penyebab kebiasaan menunda-nunda adalah rasa takut gagal, kurang terampil atau kurang mampu, Hardjana (1994) menyatakan bahwa penundaan kerja menjadi salah satu penyebab stres karena dengan penundaan itu individu harus mengerjakan pekerjaannya dalam waktu yang makin amat terbatas, sehingga terjadi ketergesaan waktu kerja.

  6. Meminimumkan waktu yang terbuang
    Pemborosan waktu adalah segala kegiatan yang menyita waktu tetapi kurang memberikan manfaat yang maksimal. Hal demikian akan menjadi penghalang bagi pencapaian keberhasilan secara optimal. Untuk meminimumkan pemborosan waktu, pertama-tama perlu melakukan identifikasi sumber-sumber pemborosan, kemudian menghitung berapa lama waktu yang boros. Atkinson (1990) menyatakan bahwa untuk mengurangi atau menghilangkan pemborosan harus didukung oleh sikap yang positif serta keinginan untuk merubah kebiasaan mempunyai rencana yang tepat dan membina disiplin.

  7. Manajemen peran
    Peran ganda di satu sisi memang menguntungkan tetapi di sisi lain kurang menguntungkan, karena kesulitan untuk mengakomodasi berbagai peran dalam waktu bersamaan. Apabila inidvidu tidak mampu mengisi peran yang diharapkan akan mengalami role strain dan role conflict.

    Ada dua macam role-conflict yaitu interrole conflict dan intrarole conflict. Interrole conflict terjadi ketika peran yang dimiliki seseorang terpecah secara tidak kompatibel. Misalnya: konflik yang dialami Soeharto ketika ia berperan sebagai ayah (melindungi KKN dari anak-anaknya) dan peran sebagai presiden. Intrarole conflict terjadi ketika adanya harapan yang kontradiktif atas peran tersebut. Misalnya: Jaksa Agung di mata masyarakat di harapkan secara cepat dapat membongkar KKN Soeharto dengan kroninya, tetapi dari sisi lain Kejaksanaan Agung memerlukan data yang akurat sehingga butuh waktu.

    Implikasi dari teori peran adalah perlunya kemampuan untuk mengelola peran dalam pengelolaan stres. Kiat yang dapat dilakukan pertama, menyeleksi peran-peran yang sbenarbenar sesuai dengan peran harapan. Kedua, ketepatan mengambil peran sesuai dengan waktu dan tuntutan situasi. Dalam hal ini kemampuan mengelola emosi menjadi ketrampilan yang diperlukan. Ketidaktepatan memainkan peran, akan menyebabkan sumber konflik.

  8. Kelompok pendukung
    Kelompok mempunyai peran yang strategis dalam berbagai kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada kelompok, baik kelompok kerja (formal) maupun kelompok informal. Dalam batas-batas tertentu, bahkan kelompok informal dalam suatu organisasi mempunyai peran yang lebih dominan dalam roda kebijakan organisasi, dalam arti penyebaran nilai-nilai.

    Hal ini berkaitan dengan fungsi kelompok sebagai tempat ekspresi perasaan senasib, sepenanggungan, sehingga perasaan kohesif semakin kental dirasakan. Oleh karenanya, jaringan sosial yang terdiri atas kelompok-kelompok, apakah kelompok kerja maupun kelompok informal, merupakan sarana untuk mendapatkan dukungan psikologis terutama bagi karyawan yang dilanda stres.

    Implikasi dari pendapat ini adalah perlu dibuat kelompok di luar kelompok kerja. Misalnya kelompok yang dibuat atas dasar pengembangan hobi, misalnya kelompok musik atau pun kelompok olah raga merupakan ruang yang tepat bagi tempat untuk mengekspresikan masalah dan sekaligus mencari alternatif pemecahan masalah.