Bagaimana caranya mengatasi penolakan terhadap Perubahan didalam organisasi?

Terjadinya perubahan merupakan tanda adanya kehidupan dan jika dikelola dengan benar menjadi indikasi pertumbuhan dan perkembangan.

Studi lebih baru menemukan hanya 25% dari program manajemen perubahan sukses membawa perbaikan riil dalam jangka panjang.

Bagaimana caranya mengatasi penolakan terhadap Perubahan ?

Dalam mengatasi penolakan atas perubahan, Coch dan French Jr. (L, et al., 1948) mengusulkan ada enam taktik yang bisa dipakai untuk mengatasi resistensi perubahan, yaitu sebagai berikut:

  1. Pendidikan dan Komunikasi. Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak. Komunikasikan dalam berbagai macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan, presentasi, dan bentuk-bentuk lainnya.

  2. Partisipasi. Ajak serta semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi yang mengambil keputusan.

  3. Memberikan kemudahan dan dukungan. Jika pegawai takut atau cemas, lakukan konsultasi atau bahkan terapi. Beri pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun akan mengurangi tingkat penolakan.

  4. Negosiasi. Cara lain yang juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika yang menentang mempunyai kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan serikat pekerja. Tawarkan alternatif yang bisa memenuhi keinginan mereka.

  5. Manipulasi dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya. Misalnya memelintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil keputusan.

  6. Paksaan. Taktik terakhir adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan hukuman bagi siapapun yang menentang dilakukannya perubahan.

berikut beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengatasi penolakan perubahan dalam manajemen organisasi sebagai berikut :

Edukasi, Komunikasi dan Sosialisasi

Informasi mengenai proses perubahan yang terjadi, dalam praktiknya akan selalu mendapatkan hal-hal tambahan yang terkadang tidak sesuai tujuan dan berdampak negatif. Informasi yang beredar menjadi simpang siur. Untuk itu mengkomunikasikan alasan yang logis mengenai diperlukannya perubahan dapat mengurangi penolakan atau resistensi dari karyawan. Pertama, adanya komunikasi yang jelas dapat mengurangi dampak dari informasi yang kurang tepat dan komunikasi yang buruk. Jika karyawan menerima informasi yang menyeluruh dan tepat, resistensi dari karyawan diharapkan akan menurun. Kedua, komunikasi yang baik dapat “menjual” alasan untuk perubahan dengan “mengemas” komunikasi tersebut dengan baik.

Partisipasi

Dengan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk turut berpartisipasi dalam proses perubahan tersebut dapat mengurangi tingkat resistensi atau penolakan dari karyawan. Karena tidak mungkin kita menolak keputusan perubahan yang dimana kita ikut serta dalam proses pengambilan keputusannya. Upaya partisipasi ini seperti pedang bermata dua. Disatu sisi, jika karyawan yang dilibatkan dalam proses partisipasi ini memiliki kompetensi, maka akan menghasilkan keputusan yang bermakna, mengurangi tingkat resistensi, mendapatkan komitmen, dan meningkatkan kualitas keputusan untuk sebuah perubahan. Namun pada sisi lain, proses partisipasi ini dapat membuat keputusan yang buruk dan memakan waktu yang lama.

Memberikan Dukungan dan Komitmen

Dukungan dan komitmen perusahaan kepada karyawan sangatlah penting dalam proses perubahan untuk dapat meminimalisir rasa takut dan kecemasan dari karyawan. Memberikan konsultasi dan terapi, memberikan pelatihan keahlian-keahlian yang baru, adalah beberapa langkah yang menunjukkan dukungan dan komitmen perusahaan untuk mendampingi karyawan dalam proses perubahan ini. Kepada karyawan-karyawan yang menolak perubahan ini dapat dilakukan dengan memberikan pensiun dini ataupun memberikan golden shake hand.

Membangun Hubungan Yang Positif

Karyawan akan lebih bersedia untuk menerima perubahan apabila karyawan memiliki kepercayaan terhadap manajemen yang menerapkan proses perubahan. Jika manajemen mampu memfasilitasi terciptanya hubungan yang positif, karyawan dapat lebih menerima proses perubahan, bahkan oleh para karyawan yang tidak setuju akan adanya perubahan.

Menerapkan Perubahan Secara Adil

Yang juga menjadi penting untuk mengurangi atau mengatasi adanya penolakan dari karyawan adalah dengan menerapkan perubahan itu secara adil kepada seluruh karyawan bahkan termasuk kepada jajaran Top Management. Ini menjadi penting karena ekspektasi karyawan terhadap perlakuan yang adil adalah sangat penting. Jika misalnya terjadi pengurangan gaji besar-besaran yang hanya diberlakukan kepada karyawan tingkat paling bawah, menurut anda, apa yang akan terjadi?

Manipulasi dan Kooptasi

Walaupun manipulasi memiliki konotasi makna yang negatif, manipulasi yang dimaksud disini adalah menyamarkan upaya untuk mempengaruhi proses perubahan untuk mengurangi resistensi karyawan. Manipulasi dapat dilakukan dengan cara “memelintir” pesan untuk mendapatkan kerjasama dari karyawan. Sementara kooptasi adalah metode “buying off” yang mengkombinasikan manipulasi dan partisipasi. Kooptasi dapat dilakukan dengan misalnya memberikan jabatan kepada “pemimpin” dari karyawan yang menolak perubahan. Hal ini dilakukan bukan dengan tujuan untuk mendapatkan solusi atau saran, tetapi lebih kepada untuk mendapatkan dukungan.

Merekrut Orang Yang Menerima Perubahan

Beberapa orang memiliki sikap yang positif dalam menghadapi perubahan. Orang yang memiliki konsep diri yang positif dan toleransi risiko yang lebih besar lebih dapat menerima perubahan. Selain merekrut orang yang terbuka kepada perubahan, menjadi penting untuk memilih tim yang dapat beradaptasi, dengan tidak hanya mempertimbangkan motivasi indidual karyawan, tetapi juga motivasi kelompok.

Koersi

Cara terakhir untuk mengurangi tingkat resistensi dari karyawan adalah dengan mengaplikasikan koersi atau mengaplikasikan ancaman secara langsung kepada para karyawan yang menolak adanya perubahan. Namun cara ini juga dapat semakin meningkatkan pertentangan serta dapat meningkatkan turn over ratio.

Dewasa ini, keanekaragaman karyawan dalam sebuah organisasi adalah hal yang sangat wajar dan dapat ditemui dengan mudah pada hampir semua organisasi. Karyawan mungkin tidak berasal dari satu daerah yang sama, tidak berjenis kelamin sama, tidak mempunyai agama yang sama, berasal dari ras yang berbeda.

Keanekaragaman tersebut membawa satu implikasi penting bagi organisasi, yaitu: budaya dan nilai-nilai yang diyakini oleh karyawan juga akan berbeda-beda. Tetapi, sayangnya banyak organisasi yang mengabaikan hal tersebut. Organisasi tidak menyadari dan memperhatikan perbedaan tersebut, organisasi selalu berpegang pada asumsi bahwa orang lain akan mempunyai nilai dan budaya yang sama seperti dirinya, organisasi tidak pernah melakukan komunikasi secara terbuka dengan anggota organisasinya. Akibatnya adalah sering terjadi cross-cultural miscommunication (Kirkman and Shapiro, 1997).

Kesalahan tersebut berpotensi besar untuk menimbulkan resistensi terhadap transformasi organisasional. Idealnya, organisasi harus menyadari adanya perbedaan-perbedaan tersebut, dan memikirkan bagaimana cara mengelola perbedaan-perbedaan tersebut sehingga perbedaan yang ada justru menjadi peluang bagi organisasi untuk meningkatkan kinerja dan efektifitasnya.

Kirkman and Shapiro (1997) menyarankan organisasi untuk menyusun daftar cultural values yang berpotensi memunculkan resistensi. Kirkman and Shapiro (1997) mengidentifikasi ada lima cultural values yang berpotensi memunculkan resistensi, antara lain: sampai seberapa jauh suatu komunitas menerima ketidakadilan distribusi kekuatan dalam sebuah institusi atau organisasi, orientasi karyawan terhadap pekerjaan, kepercayaan seseorang terhadap kekuatan dirinya sendiri dalam menentukan nasib hidupnya, sikap karyawan terhadap kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan.

Berdasarkan cultural values yang berpotensi memunculkan resistensi, organisasi dapat memetakan posisi anggota organisasinya saat ini, dan memprediksikan sikap anggota organisasi terhadap proses transformasi organisasional. Hasil prediksi tersebut akan menjadi pedoman bagi organisasi dalam merumuskan dan mengimplementasikan transformasi organisasional. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, belum adanya upaya membangun budaya organisasi yang dapat mendukung proses transformasi organisasional menyebabkan terjadinya resistensi.

Mengapa budaya organisasi menjadi isu yang sangat penting dalam proses transformasi organisasional?

Goffes and Jones (1996) menyatakan:

“Without culture, a company lacks values, direction, and purpose”.

Namun, sayangnya banyak organisasi yang justru tidak memahami apa yang dimaksud dengan budaya organisasi. Budaya itu sendiri secara semantik diartikan sebagai suatu komunitas. Budaya adalah hasil dari interaksi individu-individu dalam sebuah komunitas.

Reichers dan Schneider seperti dikutip Nelson (1996) menyatakan:

“culture refers to subconscious assumptions, shared meanings, and ways of interpreting things that pervade the whole organization”.

Selain mengetahui potret budaya dan nilai-nilai yang diyakini anggota organisasinya, adalah penting bagi organisasi untuk mengetahui potret budaya organisasinya sendiri saat ini. Mengapa penting? Karena jika organisasi tidak tahu budaya organisasinya sendiri, maka sangat mustahil bagi organisasi untuk membangun budaya organisasi yang dapat mendukung transformasi organisasional.

Berdasarkan dimensi sociability dan solidarity, menurut Goffe and Jones (1996) ada empat tipe budaya organisasi yang digambarkan dalam matriks berikut ini:

image
Gambar Two Dimension, Four Cultures

Yang dimaksud dengan sociability adalah ukuran keramahtamahan, intensitas komunikasi antar anggota komunitas, dengan kata lain sociability mengukur hubunganhubungan emosional antar anggota komunitas.

Solidarity adalah ukuran kemampuan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara cepat dan efektif, dengan kata lain solidarity mengukur hubungan-hubungan yang didasarkan atas common tasks, mutual interests, or shared goals.

Berdasarkan dua dimensi ini, ada empat tipe budaya, yaitu:

  1. Networked, ditandai dengan adanya high sociability dan low solidarity. Perilaku anggota-anggota organisasi dengan tipe budaya seperti ini cenderung seperti sebuah keluarga, mereka sering bersama-sama menghadiri suatu acara, merayakan ulang tahun salah satu anggotanya, menghadiri pesta perkawinan, dll. Karakterisitk networked cultures lain adalah hirarki dalam organisasi tersebut sangat rendah, jarang ditemui, tetapi informalitas dalam organisasi tersebut sangat tinggi.

    Informalitas tersebut akan menyebabkan tingkat fleksibilitas organisasi lebih tinggi, karena jalur-jalur birokrasi akan terpotong oleh informalitas. Informalitas ini menyebabkan hubungan interpersonal sangat tinggi intensitasnya, akibatnya toleransi antar anggota organisasi sangat tinggi. Akhirnya, tingkat toleransi terhadap kinerja yang buruk juga tinggi.

  2. Mercenary, ditandai dengan low sociability dan high solidarity . Karakteristik mercenary cultures adalah semua komunikasi yang dilakukan dalam organisasi berfokus pada masalah bisnis, kemampuan untuk merespon ancaman dan peluang di luar organisasi sangat cepat dan kohesif, ada dinding pembatas antara pekerjaan dan kehidupan sosial, hubungan interpersonal sangat rendah sehingga tidak ada toleransi atas kinerja yang buruk.

  3. Fragmented, ditandai dengan low sociability dan low solidarity. Karakteristik fragmented cultures adalah kesadaran anggota organisasi bahwa dirinya adalah anggota organisasi tersebut sangat rendah, tingkat keterlibatan anggota organisasi sangat rendah, hubungan interpersonal sangat rendah, sering terjadi perdebatan tentang tujuan yang harus dicapai organisasi.

  4. Communal, ditandai dengan high sociability dan high solidarity. Communal cultures biasanya ditemui pada perusahaan kecil yang baru berkembang pesat. Tetapi, ada juga perusahaan yang mempunyai tipe budaya ini. Karakteristiknya adalah karyawan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi atas status dan identitas organisasinya, kehidupan berorganisasi dilakukan dengan social events, saling berbagi penghargaan dan resiko antar anggota yang tinggi, sangat menghargai keadilan, setiap anggota organisasi mengetahui misi organisasinya dengan jelas, setiap anggota organisasi mengetahui dengan jelas siapa pesaing organisasi.

Tidak ada satu pun tipe budaya organisasi yang terbaik, yang terpenting adalah organisasi harus mengetahui potret budaya organisasinya saat ini, dan kemudian mengevaluasinya apakah budaya organisasi tersebut dapat mendukung proses transformasi organisasional.

Untuk mengidentifikasi budaya yang ada dalam sebuah organisasi, Goffe and Jones (1996) memberikan panduan berupa serangkaian pertanyaan yang dapat membantu organisasi menemukan potret budayanya. Perlu ditegaskan kembali, di awal tulisan ini, telah dikemukakan transformasi organisasional adalah suatu perubahan yang sifatnya radikal.

Perubahan-perubahan radikal dalam suatu organisasi pasti memerlukan perombakan budaya organisasi itu sendiri. Ilustrasi berikut ini akan lebih memperjelas alasannya: Dalam interview dengan para pemenang Malcolm Baldrige National Quality Award, Blackburn dan Rosen (1993) menemukan adanya perubahan-perubahan praktek HR dalam perusahaan pemenang award untuk dapat mencapai Total Quality Management.

Perubahan-perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang revolusioner dalam hal pelatihan dan pengembangan, pemberdayaan, penilaian, penghargaan terhadap individual dan terhadap tim. Perusahaan pemenang harus membawa anggota dalam perusahaan dalam budaya yang sama lebih dahulu, yaitu: total quality culture, untuk memperlancar dan mempermudah karyawan menerima transformasi organisasional yang dilakukan perusahaan.

image
Sumber: Goffe and Jones, 1996.

Goffe and Jones (1996) mengemukakan langkah-langkah yang lebih detil dan spesifik untuk melakukan upaya membangun budaya organisasi yang mendukung transformasi organisasional, yaitu:

  1. Meningkatkan usaha-usaha untuk saling berbagi ide, minat, dan emosi dengan cara merekrut orang-orang yang kira-kira cocok dengan organisasi, dan menjadi “teman” bagi organisasi.

  2. Meningkatkan interaksi sosial di antara anggotanya dengan membuat acara-acara informal di dalam dan di luar organisasi, misalnya pesta, pertemuan mingguan, klub olahraga, dll.

  3. Mengurangi formalitas antar anggota organisasi. Manajer dapat menata ruangannya sedemikian rupa sehingga anggota organisasi lain tidak merasa canggung untuk berinteraksi dengannya.

  4. Membatasi perbedaan-perbedaan yang lebih disebabkan oleh unsur hirarki dalam organisasi. Ini dapat dilakukan dengan menghapus tingkatan-tingkatan yang ada dalam organisasi, serta menghilangkan fasilitas-fasilitas dan penghargaan yang diberikan karena unsur hirarki.

  5. Pimpinan organisasi harus menunjukkan sikap peduli dan bertindak seperti layaknya seorang teman kepada anggota organisasinya.

  6. Meningkatkan komitmen anggota organisasi untuk mencapai tujuan bersama.

Usaha membangun budaya organisasi yang dapat mendukung transformasi organisasional membutuhkan alat, alat utamanya adalah komunikasi. Komunikasi efektif dengan semua anggota organisasi akan memperlancar usaha membangun budaya organisasi. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang sifatnya top-down, horizontal, lateral, dan multidirectional.

Selama ini organisasi cenderung berkomunikasi dari atas ke bawah saja, sehingga tidak terjadi interaksi yang sesungguhnya antara organisasi dengan anggotanya. Dengan komunikasi yang efektif, organisasi dapat mengomunikasikan pentingnya perubahan, organisasi dapat menampung saran, masukan dari anggota organisasi, hubungan antar anggota organisasi akan lebih baik, keterlibatan anggota organisasi makin tinggi.

Tingginya keterlibatan anggota organisasi dalam segala hal yang dilakukan organisasi akan menjamin suksesnya upaya membangun budaya organisasi yang dapat mendukung transformasi organisasional, alasannya adalah semua anggota pasti akan mendukung perubahan tersebut (Blackburn and Rosen, 1993).

Menurut Kotter & Schlesinger (1979), diperlukan enam strategi yang harus dijalankan, yaitu (1) pendidikan dan komunikasi, (2) pelibatan dan pemberdayaan karyawan, (3) fasilitas dan dukungan, (4) negosiasi dan kesepakatan, (5) manipulasi dan pemilihan, dan (6) pemaksaan eksplisit dan implisit.

1. Pendidikan dan komunikasi

Salah satu cara yang paling lazim digunakan untuk mengatasi sikap penolakan dan menimbulkan komitmen terhadap perubahan adalah memberikan pendidikan kepada orang mengenai perubahan itu sebelumnya. Penyampaian gagasan dapat membantu orang melihat kebutuhan serta alasan mengapa perubahan itu perlu. Proses pendidikan bisa dilakukan lewat diskusi, presentasi kepada kelompok, atau memo dari laporan.

2. Partisipasi dan Keterlibatan

Jika penggagas perubahan melibatkan calon penolak dalam beberapa aspek rencana dan pelaksanaan perubahan, kerap kali mereka dapat meramalkan munculnya penolakan. Dengan menggunakan upaya perubahan yang partisipatif, si penggagas bisa mendengarkan orang-orang yang terlibat dalam perubahan itu serta dapat menggunakan nasihat merka.

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa secara umum partisipasi dapat menuntun komitmen orang. Dalam beberapa hal, komitmen dibutuhkan demi suksesnya perubahan.

3. Fasilitasi dan dukungan

Proses ini mencakup pemberihan pelatihan keterampilan baru, atau pemberian waktu cuti bagi karyawan setelah pekerjaan yang melelahkan atau mendengarkan keluhan mereka serta memberikan dukungan emosional, fasilitasi dan dukungan bisa sangat membantu ketika para penolak perubahan dihantui ketakutan dan kecemasan.

4. Negosiasi dan kesepakatan

Negosiasi paling tepat dilakukan apabila sudah ada kejelasan bahwa seorang akan dirugikan sebagai akibat dari perubahan yang terjadi sementara kekuatan penolakannya cukup signifikan. Perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dapat saja digunakan sebagai cara yang relatif mudah untuk menghindari penolakan yang lebih besar lagi, meskipn hal ini bisa memakan biaya besar, sebagaimana juga proses-proses lainnya.

5. Manipulasi dan kooptasi

Dalam situasi tertentu, para manajer juga terpaksa tidak memberikan rencana atau upaya untuk mempengaruhi pihak lainnya. Dalam hal ini manipulasi biasanya melibatkan penggunaan informasi yang sangat selektif serta penataan kejadian secara serius.

Salah satu bentuk manipulasi yang biasa dilakukan adalah kooptasi. Biasanya mengkooptasi seseorang disertai dengan pemberian peran yang diinginkan oleh orang tersebut dalam rencana dan pelaksanaan perubahan yang diinginkan. Mengkooptasi suatu kelompok harus melibatkan salah seorang dari pemimpinnya, atau tokoh yang dihormati oleh kelompok tersebut, dengan memberinya peran kunci dalam rencana dan pelaksanaan perubahan tersebut. Akan tetapi, hal ini bukanlah bentuk partisipasi, karena si penggagas perubahan tidak memerlukan nasihat dari orang yang dikooptasi, melainkan semata-mata atas wewenangnya sendiri.

6. Pemaksaan eksplisit dan implisit

Akhirnya, para manajer kerapkali menghadapi penolakan dengan melakukan pemaksaan. Dalam situasi ini mereka pada dasarnya memaksa orang untuk menerima perubahan secara eksplisit atau secara implisit yang mengancam mereka (kehilangan pekerjaan, kemungkinan kenaikan pangkta, dan sebagainya) atau memecat atau juga memindahkan mereka. Sebagaimana halnya manipulasi, penggunaan paksaan amatlah riskan karena tanpa terhindari orang akan marah terhadap perubahan yang dipaksakan. Namun dalam situasi-situasi dimana kecepatan merupakan hal yang esensial dan perubahan-perubahan itu tidak menjadi populer, terlepas dari bagaimana perubahan itu diberlakukan, pemaksaan mungkin menjadi satu-satunya pilihan para manajer.