cara meminimalisir resiko pada proyek kontruksi antara lain :
1. Menghindari risiko
Menghindari risiko merupakan strategi yang sangat penting, strategi ini merupakan strategi yang umum digunakan untuk menangani risiko. Dengan menghindari risiko, kontraktor dapat mengetahui bahwa perusahaannya tidak akan mengalami kerugian akibat risiko yang telah ditafsir. Di sisi lain, kontraktor juga akan kehilangan sebuah peluang untuk mendapatkan keuntungan yang mungkin didapatkan dari asumsi risiko tersebut.
Contohnya : seorang kontraktor yang ingin menghindari risiko politik dan finansial berkaitan dengan proyek pada negara dengan kondisi politik yang tidak stabil, dapat menolak melakukan tender proyek pada negara tersebut. Namun demikian, apabila kontraktor tersebut menolak untuk melakukan tender, maka kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut juga ikut menghilang.
2. Mencegah risiko dan mengurangi kerugian
Alternatif strategi yang kedua adalah mencegah risiko dan mengurangi kerugian. Strategi ini secara langsung mengurangi potensi risiko kontraktor dengan 2 cara, yaitu :
-
Mengurangi kemungkinan terjadinya risiko.
-
Mengurangi dampak finansial dari risiko, apabila risiko tersebut benar – benar terjadi.
Contohnya : pemasangan alarm atau alat anti – maling pada peralatan di proyek, akan mengurangi kemungkinan terjadinya pencurian. Sebuah gedung yang dilengkapi dengan sprinkler system, akan mengurangi dampak finansial, apabila gedung tersebut mengalami kebakaran.
3. Meretensi risiko
Retensi risiko telah menjadi aspek penting dari manajemen risiko ketika perusahaan menghadapi risiko proyek. Retensi risiko adalah perkiraan secara internal, baik secara utuh maupun sebagian, dari dampak finansial suatu risiko yang akan dialami oleh perusahaan. Dalam mengadopsi strategi retensi risiko ini, perlu dibedakan antara 2 jenis retensi yang berbeda.
-
Retensi risiko yang terencana (planned) adalah asumsi yang secara sadar dan sengaja dilakukan oleh kontraktor untuk mengenali atau mengidentifikasi risiko. Dengan strategi seperti itu, risiko dapat ditahan dengan berbagai cara, tergantung pada filosofi, kebutuhan khusus, dan juga kapabilitas finansial dari kontraktor itu sendiri.
-
Retensi risiko yang tidak terencana (unplanned) terjadi ketika kontraktor tidak mengenali atau mengidentifikasi kberadaan dari suatu risiko dan secara tidak sadar mengasumsi kerugian yang akan muncul.
4. Mentransfer risiko
Pada dasarnya, transfer risiko dapat dilakukan, melalui negosiasi, kapanpun kontraktor menjalani perencanaan kontraktual dengan banyak pihak seperti pemilik, subkontraktor ataupun supplier material dan peralatan. Transfer risiko bukanlah asuransi. Biasanya, transfer risiko ini dilakukan melalui syarat atau pasal – pasal dalam kontrak seperti : hold – harmless aggrement dan klausul jaminan atau penyesuaian kontrak. Karakeristik esensial dari transfer risiko ini adalah dampak dari suatu risiko, apabila risiko tersebut benar – benar terjadi, ditanggung bersama atau ditanggung secara utuh oleh pihak lain selain kontraktor.
Contohnya : penyesuaian pada harga penawaran, dimana kompensasi ekstra akan diberikan kepada kontraktor apabila terjadi perbedaan kondisi tanah pada suatu proyek.
5. Asuransi
Asuransi menjadi bagian penting dari program manajemen risiko, baik untuk sebuah organisasi ataupun untuk individu. Asuransi juga termasuk di dalam strategi transfer risiko, dimana pihak asuransi setuju untuk menerima beban finansial yang muncul dari adanya kerugian. Secara formal, asuransi dapat didefinisikan sebagai kontrak persetujuan antara 2 pihak yang terkait yaitu : pengasuransi (insured) dan pihak asuransi (insurer). Dengan adanya persetujuan tersebut, pihak asuransi (insurer) setuju untuk mengganti rugi kerugian yang terjadi (seperti yang tercantum dalam kontrak) dengan balasan, pengasuransi (insured) harus membayar sejumlah premi tiap periodenya.
Faktor faktor yang mempengaruhi resiko
1. Kebijakan dan prosedur
Proses manajemen risiko harus dilakukan oleh semua pihak dalam suatu organisasi. Namun, dengan demikian banyaknya pihak yang terlibat, akan sangat mudah untuk terjadinya miskomunikasi. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kebijakan dan prosedur pelaksanaan proses manajemen risiko yang formal, yang sesuai dengan misi atau tujuan dari program manajemen risiko dan sejalan dengan misi organisasi tersebut.
Menurut William, Smith, Young (1995), untuk menyusun kebijakan dan prosedur program manajemen risiko tersbut, dibutuhkan beberapa tahapan, yaitu :
-
Statement kebijakan manajemen risiko
Perusahaan harus menyusun statement kebijakan manajemen risiko yang berisi tentang misi dan tujuan dari program manajemen risiko.
-
Organisasi
Perusahaan sebaiknya menyusun sebuah organisasi atau departemen khusus, yang menangani masalah manajemen risiko.
-
Manual (rencana kegiatan)
Perusahaan sedianya menyiapkan rencana kegiatan operasional manajemen risiko, yang menjelaskan mengenai prosedur, metode, dan juga kegiatan – kegiatan yang akan dilakukan untuk program manajemen risiko.
2. Manajemen informasi
Supaya proses manajemen risiko dapat berlajan secara lancar, proses pengkomunikasian risiko yang terjadi pada suatu proyek, harus dilakukan dengan lancar pula. Karena pentingnya informasi risiko ini, maka manajemen informasi juga berperan sangat penting untuk kelangsungan proses manajemen risiko. Manajemen informasi dapat digunakan sebagai basis dari segala buku text mengenai komunikasi dalam organisasi. Ruang lingkup manajemen informasi pada program manajemen risiko :
-
Komunikasi risiko
Proses pengkomunikasian informasi (dalam hal ini, risiko) yang mengalir dari dan menuju ke manajer risiko.
-
Sistem informasi manajemen risiko
Penggunaan teknologi masa kini yang dapat membantu jalannya proses manajemen informasi dalam rangka melakukan manajemen risiko pada suatu proyek.
-
Proses pelaporan manajemen risiko
Isi dan bentuk formal dari proses pelaporan risiko yang dilakukan oleh pihak – pihak yang terkait dalam proses manajemen risiko.
-
Sistem alokasi sumber daya
Mekanisme pembiayaan proses manajemen risiko.
3. Manajemen kontrak
Dalam pelaksanaannya, manajemen risiko juga membutuhkan system manajemen kontrak, yaitu suatu proses untuk mengatur semua perkara mengenai kontrak, seperti : penawaran, asuransi, dan sebagainya. William, Smith, Young (1995), memaparkan bahwa, manajemen kontrak
harus dapat menguasai atau menangani, setidaknya 4 hal, yaitu :
- Mengatur hubungan dan kontrak – kontrak dengan agen asuransi dan broker.
- Mempersiapkan dokumen atau kontrak penawaran untuk layanan jasa pihak ketiga.
- Mengatur dokumen dan sertifikat asuransi.
- Memberikan garansi atau menjamin rencana pembiayaan risiko dengan pihak ke tiga.
4. Pengawasan klaim
Seorang manajer risiko, juga harus dapat berperan dalam manajemen atau pengawasan klaim. Apabila suatu kejadian yang tidak diinginkan terjadi pada suatu proyek, dan pihak kontraktor mengajukan klaim pada perusahaan asuransi, manajer risiko mempunyai tanggungjawab untuk bernegosiasi dengan utusan dari pihak asuransi dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan klaim tersebut.
Ada beberapa macam klaim yang harus ditangani oleh manajer risiko, antara lain :
-
Klaim yang berkaitan dengan properti
Klaim yang terjadi apabila ada suatu kerugian pada suatu proyek dan kontraktor mengajukan klaim pada pihak asuransi.
-
Klaim pertanggungjawaban atau klaim dari pihak ketiga
Klaim yang terjadi akibat kecelakaan yang dialami oleh pihak ketiga (misalnya : konsumen jatuh di tempat parkir yang licin).
-
Klaim yang berkaitan dengan sumber daya manusia
Klaim yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan pekerja dalam sebuah perusahaan.
-
Memonitor dan mengkaji ulang program
Untuk mengetahui seberapa berhasil, manajemen risiko yang telah dijalankan, perlu dilakukan suatu proses untuk memonitor dan mengkaji ulang program manajemen risiko yang telah dijalankan. Dengan adanya proses pemantauan dan penkajian ulang ini, kontraktor dapat mengetahui sejauh manaproses manajemen risiko yang telah dijalankan. Selain itu, dengan proses tersebut, kontraktor dapat melihat kesalahan – keslahan atau kekurangan – kekurangan yang terjadi selama proses manajemen risiko, sehingga kontraktor dapat memperbaiki kekurangannya dan tidak melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya.