Bagaimana cara melakukan kholwat menurut ajaran Islam?

Khalwat

Khalwat yang dimaksud disini bukan berarti bersendirian antara laki-laki dengan perempuan, tetapi yang dimaksud disini adalah menyepi, sendiri untuk mendekat kepada Allah swt.

Standar lelaku kholwat itu adalah 3 tahun dalam lelaku, ditambah 1 tahun penyempurnaan… totalnya adalah 4 tahun… Jika diantaramu hendak berkholwat, maka harus tahu itu…

Kholwat adalah tapa brata, tapi bukan bertapa dalam artian tidak makan, tidak minum dan tidak beraktifitas… tetap makan, minum dan beraktifitas… Bertapa yang di maksud adalah melakukan “pembatasan diri” dalam pergaulan dengan ketat… lebih cenderung menyendiri dari dunia luar, lalu memperbanyak ibadah ibadah… dari ibadah lahiriah, mulai belajar memasuki ibadah batiniah yang tersembunyi dari pandangan mata manusia… Allah, yang Maha mendidik akan memberikan pendidikan terbaik… melalui intuisi dan alam ilham, alam malakut yang gaib, dimana pengertian pengertian hidup yang mendalam akan mulai tersingkap satu demi satu, sampai engkau mengerti dengan sempurna “dununge urip, dununge roso, dan kasajaten”…

Ilmu akan terbit dengan sendirinya sebagai “kealamian” dari lelaku…

Mursyid Syech Muhammad Zuhri

Bagaimanakah caranya khalwat, hal ini tergantung kepada thariqat dan ajarannya. Yang harus diperhatikan terlebih dahulu menurut Djamaluddin adalah ketulusan dan kemantapan niat adalah cara yang terbaik di waktu khalwat sedang dilaksanakan. Demikian juga kehati-hatian dan selalu mengadakan pengawasan atas perjalanan khalwat sangat di perlukan. Setan tidak hanya berbisik ketika keadaan khalwat hampir mencapai tujuan, namun menuangkan pula kepada pikiran manusia melalui gelombang-gelombang elektrik yang mengalir melalui urat nadi dan syaraf kepala, masuk melalui ubun-ubun manusia.

Akibatnya setelah lewat masa khalwat, buah yang tampak adalah merasa lebih dari manusia lainnya. Lahir perasaan ujub, lalu menciptakan keajaiban yang sebenarnya bertentangan dengan maksudnya. Artinya perjalanan khalwat seperti ini tidak lagi bersegera mencapai tujuannya, bahkan telah berjalan mundur.

Djamaluddin menjelaskan tentang tatacara khalwat, bahwa ketika akan memasuki tempat khalwat, maka berwudhu’lah dulu sebelum memasuki khalwat, berpakaian bersih, dan memakai sedikit wewangian untuk menyejukan suasana. Bebaskan diri dari aneka macam urusan, hilangkan semua keterkaitan dengan pikiran yang dapat merusak suasana khalwat. Bentangkan sajadah yang bersih dengan suasana yang membawa kekhusyu’an (suci, bersih, jauh dari pengaruh duniawi). Pilihlah tempat yang sepi, tetapi bukan berarti yang angker. Karena pengertian angker adalah sebuah pertapan kependetaan yang gelap, kumuh, di bawah pohon rindang, diantara semak blukar, dipenuhi sarang laba-laba, dan dihuni oleh kelelawar yang bergantungan dan mengerikan. Tempat seperti ini bukanlah tempat yang ideal untuk berkhalwat.

Masih menurut Djamaluddin, berkhalwat boleh juga di Mushala atau Masjid yang terpencil di desa yang sepi, atau pada pungung-pungung bukit yang hijau dan teduh, yang dari situ tampak pemandangan yang indah ciptaan Allah yang hebat. Karena berkhalwat adalah kehadiran orang beriman di depan Allah yang Maha Suci dan Maha Indah, maka keindahan juga diperlukan agar lebih meresap kebesaran Allah di hadapan dirinya.

Berdoalah terlebih dahulu ketika akan memasuki tempat khalwat, seperti tercantum dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 80, yaitu:

*Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong. (Q.S. al-Israa’/ 17:80).

Kemudian dirikanlah shalat sunah dengan khusu’ dan tawadhu’, penuh keikhlasan dan penuh harapan. Mohonlah maghfiroh dan ampunan dari Allah, seperti orang yang baru pulang dari perantauan kembali kerumahnya, sangat ingin menjumpai keluarganya dengan penuh rasa cinta. Mahabah kepada Allah melebihi segala-galanya.

Duduklah dalam keadaan tasyahud akhir atau bersila, menunjukan kerendahan hati seorang hamba yang hina dan lemah. Dan ketika berdzikir ia harus merasakan kehadiran dirinya berada di hadapan Allah, yang Maha Halus, Terpuji, yang Maha Penyantun. Ia menghadap Allah dengan segala kefanaan dirinya. Untuk itu ia harus memenuhi syarat-syarat berikut:

  • Selalu dalam keadaan suci lahir maupun batin (mandi, berwudhu’, mengikhlaskan niat)

  • Dalam keadaan berpuasa. Yakni puasa sunnah agar seluruh waktunya mendapat rahmat dan barokah Allah

  • Mengurangi makan dan minum. Kebiasaan makan satu porsi, dikurangi menjadi setengah porsi, minumlah air putih yang segar 64

  • Mengurangi waktu tidur malam dengan memperbanyak membaca al-Qur’an. Apabila mengantuk segera berwudhu’. Apabila merasa jenuh gantilah dengan berdzikir dengan wiridan lainnya yang singkat dan ringan. Tidur sesaat hanya untuk menghilangkan kelelahan jiwa agar ibadah dalam keadaan segar. Siang hari boleh berqailulah (tidur siang menjelang zhuhur), agar waktu berkhalwat di waktu malam, tubuh dan jiwa dalam keadaan segar

  • Batasilah pembicaraan, kecuali yang sangat diperlukan. Jagalah keselamatan lisan, karena setiap pembicaraan tidak pernah luput dari bencana

  • Menghindari dan mengosongkan otak dari aneka macam pikiran dan memenuhinya dengan sifat-sifat Allah yang suci melalui dzikir bilqalb dan tafakur billah

  • Berusaha untuk menghidupkan amal dengan ibadah mu’amalah di waktu tertentu untuk alam dan makhluk sekitar. Seperti menjaga kebersihan lingkungan, keserasian dan keamanan lingkungan. Memberi bantuan bagi mausia lahiriyah maupun batiniyah, menurut kemampuan yang di miliki.

Tidak mustahilah apabila dalam khalwat seorang sufi mendapat kasyaf melalui mimpi atau ilham, ketika sadar atau tidak sadar. Baik penglihatan jarak dekat maupun jauh, atau perasaan tabi’i yang dapat dijangkau dengan pikiran denggan hujjah batinnya sendiri atau manifestasi dari taqarrubnya. Keadaan semacam ini sering di alami di dalam khalwat, ketika pendekatan mencapai puncak kefanaan. Pintu langit terbuka dan nur tajalli menampakan wajahnya melalui kasyaf sang sufi.65

Sedangkan Abubakar Aceh menuturkan tentang tata cara berkhalwat menurut thariqat Naksyabandiyah ada dua belas cara, namun pada dasarnya khalwat yang dipaparkan oleh Djamaluddin di atas hampir sama dengan cara yang dipaparkan oleh Abubakar Aceh, Cuma yang membedakan disini Abubakar Aceh mengawali laku khalwat dengan beri’tikaf dalam masjid, kemudian dalam melakukan dzikir disini telah ditentukan menurut thariqat Naksyabandiyah seperti dzikir Darajat dan dzikir Hasanat, selain juga dzikir-dzikir yang lain seperti dzikir Ismu Zat, Lathaif, Navi Isbat, Wuquf dan lainnya. Kemudian juga melakukan shalat berjamaah karena memang dilakukan dalam masjid. Dalam berkhalwat dianjurkan untuk memakai pakian yang berwarna putih, karena ketika ada najis akan lekas kelihatan. Dengan demikian akan selalu terjaga dari kesucian batin maupun lahir. Kemudian dianjurkan pula untuk mengurangi makan daging, karena sifat daging membikin sifat manusia menjadi buas. Sedapat mungkin dalam khalwat memakai klambu, di samping tidak hanya mencegah nyamuk atau lainya yang dapat mengangu fikiran dalam dzikir, tetapi juga ahli thariqat memandang seakan-akan berada dalam liang lahat atau kuburan. Selalu menghadapkan muka dan dadanya kearah kiblat. Dan dalam khalwat itu belajar sabar dan qanaah.

Para syaikh berbeda pendapat tentang jenis-jenis amalan yang utama dalam khalwat, akan tetapi dalam bentuknya yang umum, pada dasarnya materi kegiatan khalwat adalah dzikir dan mudzakarah setelah melakukan kewajiban *waqtiyah .