Bagaimana cara kita menyembah Allah swt?

Ibadah

Allah Swt telah memerintah kepada kaum mukmin untuk hanya menyembah Allah Yang Maha Pencipta, tidak menyembah kepada selain-Nya! Tidak ada Tuhan kecuali Allah! Maka, yang lain selain Allah pasti bukan Tuhan Yang Menciptakan makhluk-Nya. Bagaimana cara kita menyembah Allah swt?

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah : 21).

Penegasan “Sembahlah Allah” adalah demikian pemahamannya. Sekiranya ada kaum mukmin yang masih “menyembah” secara bersamaan; menyembah Allah juga menyembah kepada selain-Nya, berarti telah menduakan sesembahan (menduakan Tuhan). Inilah yang dikenal dengan syirik atau menyekutukan Allah (menjadikan yang lain sebagai tandingan-Nya).

Dalam peribadatan kepada Allah, maka yang lain (selain Allah) tidak dapat dikelompokkan sebagai beribadah kepada-nya sepanjang tidak mendudukkan ‘yang lain’ itu sama dengan Tuhan. Menghormati guru, orang tua, teman, kaum muttaqin dan ‘yang lain’-nya tidak termasuk menyembah. Betapa pun kita membungkukkan badan, mencium tangan atau mempersilakan kaum muttaqin agar menempati tempat duduk yang lebih tinggi dari kita, itu tidak termasuk menyembah kepada mereka!

Pemahaman yang keliru bila ada seorang yang menghormati gurunya dengan cara membungkukkan badan dipandang sebagai mengkultuskan dia (menyamakan seperti menyembah Allah)! “Menyembah” adalah suatu perbuatan yang menyengaja di dalam hati seseorang membesarkan ‘yang lain’ dapat berbuat sebagaimana Allah berbuat, lalu menetapkannya patut untuk disembah (dituhankan). Misalnya, sebuah benda (keris, batu ali-ali dan benda-benda lainnya) disandarkan sebagai memiliki kekuatan supra natural yang dapat memenuhi segala keinginannya, maka benda tersebut telah dianggap sebagai sesembahan (thoghut)! Karena itu, bila ada seseorang yang di dalam hatinya menganggap ‘yang lain’ itu sebagai sesembahan untuk dijadikan sebagai ‘yang dapat’ memenuhi keinginannya, maka orang tersebut telah berbuat syirik.

Itulah sebabnya, Allah Swt menegaskan agar hanya menyembah Allah, tidak menyembah selain kepada-Nya. “Selain” bermakna di luar Dia (Allah) yang disamakan ‘memiliki’ kemampuan berbuat sebagaimana Allah Berbuat. Padahal, “Selain” itu dapat berbuat karena Allah Yang Maha Berkehendak menjadikan “Selain” dapat berbuat sebagaimana yang dikehendaki-Nya. “Selain” itu adalah makhluk-Nya. Boleh jadi benda mati, benda hidup (misalnya, manusia, pohon dan hewan) atau benda yang tak tampak (seperti angin, jin, malaikat).

Maka, yang disebut “Menyembah” adalah tunduk dan merendahkan diri di hadapan kemahabesaran-Nya yang diyakini di dalam hatinya sebagai Tuhan. Menundukkan saja tanpa merendahkan diri belum dapat disebut menyembah kepada yang ditundukinya! Begitu juga, bila menundukkan dan merendahkan diri di hadapan sesama makhluk-Nya, tetapi di dalam hatinya tidak ada keyakinan sebagai Tuhan, maka juga tidak dapat dipandang telah berbuat menyembah kepadanya! Misalnya, seorang anak yang mencium tangan kedua orang tuanya sambil menundukkan badannya, maka tidak dapat anak tersebut dianggap telah menyembah kepada kedua orang tuanya, sebab anak tersebut pasti meyakini bahwa mereka bukanlah Tuhan. Ketundukkan anak di hadapan orang tuanya lebih didasarkan sebagai bentuk penghormatan, bukan penyembahan. Sebagaimana malaikat mulia yang bersujud di hadapan Adam a.s. memenuhi perintah Allah, tidak dapat dianggap bahwa malaikat yang mulia telah menyembah Adam a.s. karena telah sujud di hadapannya.

Bahkan sebaliknya, kita dapat mengenali seseorang sebagai ahli syirik bukan dari gerakan atau perbuatan anggota tubuhnya, melainkan dari perkataannya yang adalah cerminan hatinya. Seperti seseorang yang, melalui lisannya, dia berkata-kata bahwa pendapatnya mutlak benar, sedangkan perkataannya itu hanyalah sebuah kajian atas otaknya mengenai suatu perkara (baik menyangkut peribadatan maupun yang lainnya). Memutlakkan pendapat sebagai paling benar berarti telah membuat tandingan kebenaran yang hanya Allah lah Yang Memiliki-Nya. Pendapat manusia sangat relatif kebenarannya, tidak mutlak.

Pendapat adalah produk otak, bukan hasil yang diterima berdasarkan petunjuk langsung dari dalam jiwa (ilham, laduni robbaniyyah atau wahyu). Pendapat lebih merupakan hasil telaah akal berdasarkan olahan dan analisa dengan menggunakan suatu metode yang sudah dibakukan oleh rumusan manusia! Sedangkan pesan-pesan luncuran (yang bersumber dari dalam jiwa atau hati atau ruh atau diri) lebih merupakan ilham atau petunjuk (proses pengajaran yang diturunkan karena kekuasaan Allah atas kehendak-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki). Karena itu, petunjuk sangat berbeda cara pengungkapannya dalam menjelaskan suatu topik pembicaraan!

Pemutlakan pendapat termasuk syirik. Sedangkan pesan-pesan luncuran, karena tidak didasarkan oleh nafsu keinginan merasa paling benar, mengikuti apa yang telah diproporsionalkan oleh kehendak-Nya. Pesan-pesan luncuran bersifat mempertegas apa yang sudah ada di dalam firman-Nya atau hadits Nabi-Nya Saaw. Inilah kemahabijaksanaan Allah (Al-Hikmah) dalam mengajarkan ilmu-Nya kepada orang-orang yang tunduk dan patuh kepada-Nya!

Dengan kemahabijaksanaan-Nya, kaum mukmin dapat mengenal Tuhannya! Gunung yang tinggi dapat didaki, lautan pun dapat diseberangi, maka dalamnya hati tentu saja juga dapat dipahami! Manusia sesungguhnya merupakan makhluk yang dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla karena Dia (Allah) telah menganugerahkan akal kepadanya. Karena itu, Allah Swt berkehendak agar manusia, dengan akalnya, dapat memahami maksud Allah menciptakannya.

Kita sebenarnya memiliki peluang untuk menyembah kepada Allah dengan semurni-murninya. “Menyembah,” sebagaimana penjelasan di atas, tidak dimaksudkan agar para pelakunya (Penyembah) sebatas menyembah tanpa mengetahui siapa dan bagaimana yang disembah. Pengetahuan akan Allah (sebagai Tuhan Yang Patut Disembah) sudah sepatutnya untuk dimiliki sehingga kita dapat mengenali diri-Nya. Mengenal diri-Nya hanya dapat diketahui sekiranya kita lebih dahulu mengenal diri sendiri.

Semua itu dibutuhkan agar kita, sekali lagi, tidak salah dalam “Menyembah.” Praktek beribadah masih banyak ditemukan tidak sebagaimana seharusnya, selain hanya sekedarnya saja. Apa pun mazhab pemikiran yang diikutinya, sesungguhnya bukan itu yang menjadi penentu kesungguhan dalam beribadah kepada-Nya. Bila telah terpilih, sesuai keyakinan sesudah mengkaji sebuah mazhab, maka hendaklah tinggalkan perseteruan merasa ‘paling benar.’ Ini adalah jebakan iblis laknatullah ‘alaih kepada para pembuat perseteruan tanpa disadari dengan sepenuh keyakinan.

Kekalahan umat Islam lebih disebabkan oleh keangkuhan diri dalam pelaksanaan beribadah kepada Allah Yang Maha Mulia. Tata cara yang telah diajarkan oleh Nabi yang mulia Saaw. adalah sangat relatif bagi masing-masing pengikut mazhab pemikiran! Para Imam mazhab sendiri tak pernah saling menyalahkan, bahkan beliau-beliau justru saling melengkapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak dianggap tepat bagi sementara statement-nya dalam mengemukakan keputusan terhadap suatu perkara yang dihadapi umat Islam.

Anehnya, orang-orang yang lahir kemudian menyoal dengan kemampuan akalnya seolah benar pendapatnya atas suatu perkara yang dibawakan oleh para Imamnya! Sedangkan yang lain dipandang salah dan perlu dipersalahkan. Inilah, sekali lagi, jebakan iblis untuk menjerat kaum muslim ke dalam pertengkaran sebuah keyakinan yang diusung oleh Imamnya masing-masing.

Allah Azza wa Jalla sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa sangat “prihatin” menyaksikan umat Rasulullah Saaw saling bermusuhan dalam hal pelaksanaan tata cara peribadatan. Seandainya Dia (Allah) tidak Bijaksana dalam menyaksikan semua perbedaan ini, tentu saja, Dia pasti akan murka menurunkan bala kepada umat Islam yang masih menyimpan ketidakmampuan otaknya menjangkau kehendak Allah Azza wa Jalla.

Apa yang dikehendaki Allah Swt bukan itu, yaitu pertengkaran antara umat Islam sendiri, melainkan ketundukan dan kepatuhan terhadap perintah dan larangan Allah (takwa)! Semuanya sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an, di antaranya tidak diperbolehkan memutus tali silaturahmi! Perkara semacam ini telah disebut pada ayat 103 surat Ali Imron:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Peringatan Allah tersebut sudah sangat jelas, yakni “…dan janganlah kamu bercerai berai.” Dia (Allah) dalam hal ini, sebagaimana yang dikehendaki-Nya, “…Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Secara logika, dari kalimat tersebut, siapa pun yang masih bertengkar dalam pelaksanaan peribadatan kepada Allah, maka Dia (Allah) pasti tidak akan memberi petunjuk-Nya. Ketetapan Allah atas orang-orang yang tidak mengikuti perintah Allah Swt sebagaimana yang difirmankan-Nya, maka akan berlaku persis gambaran ayat berikut:

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barang siapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus” (Q.S. Al-An’am : 39).

Maka, sekiranya ada yang disesatkan Allah, tak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk.

“Barang siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan” (Q.S. Al-A’raaf : 186).