Bagaimana cara Belanda menjajah Indonesia?

Belanda diketahui telah menjajah Indonesia selama 350 tahun. Bagaimana prosesnya sehingga Indonesia bisa dijajah oleh Belanda ?

Menurut beberapa sumber seperti contohnya buku “Sejarah Nusantara” karangan Bernard H.M Vlekke, bangsa Belanda tidak serta merta menjajah Indonesia secara keseluruhan karena pada dasarnya Belanda datang ke Indonesia pada awal abad ke-15 karena tertarik dengan perdagangan dan penemuan sumber rempah-rempah yang selama ini sangat sulit didapatkan di Benua Eropa.

Dari perdagangan ini muncul intrik-intrik politik yang terjadi diantara beberapa kerajaan di nusantara yang pada akhirnya membuat Belanda menjadi ikut turun tangan untuk menyelesaikan permasalahannya. Akibatnya, banyak kerajaan di nusantara yang menjadi terpecah belah akibat perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Belanda salah satu contohnya seperti kerajaan mataram islam yang terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Solo. Mulai dari intrik-intrik inilah Belanda mulai mempunyai hasrat untuk melakukan ekspansi ke seluruh negeri melalui ekspedisi-ekspedisi di penjuru nusantara.

Namun, bangsa kita tidak serta merta menjadi terjajah selama 350 tahun karena faktanya Belanda tak menguasai seluruh indonesia hingga awal tahun 1930an itupun banyak daerah pedalaman yang belum dieksplorasi oleh Belanda karena banyak hal.

Strategi yang paling efektif yang dilakukan oleh belanda dalam menjajah Indonesia memang tidak serta merta dengan menduduki seluruh wilayah Indonesia dalam satu waktu, akan tetapi Belanda memanfaatkan keadaan politik kerajaan kerajaan di Indonesia dan membuat mereka memusuhi satu sama lain.

Sementara kerajaan satu persatu hancur karena berperang antara mereka sendiri, Belanda mengambil keuntungan.

Strategi ini disebut Devide et Impera
Menurut merriam-webster, Devide et Impera artinya adalah “memecah belah lalu menjajah”

Selain itu, Belanda memiliki kekuatan tempur yang jauh lebih hebat daripada rakyat Indonesia pada jamannya.
Kebanyakan pasukan Belanda pun diambil dari orang orang militer berbagai negara, karena itulah Belanda benar benar bisa menguasai Indonesia dari luar hingga dalam selama 350 tahun.

Berikut adalah komik pendek karya K. Jati yang mengisahkan betapa kejamnya Belanda/VOC atau sering disebut “kumpeni” oleh rakyat saat mencoba menjajah Bandanaira (Maluku)

Sumber: idsejarah
Bandanaira







1 Like

Proses Kedatangan Belanda ke Nusantara


Pada abad ke-15 terjadi beberapa peristiwa penting di Eropa. Salah satu kejadian penting yang dapat mempengaruhi jalannya sejarah dunia adalah peristiwa jatuhnya Kota Konstantinopel yang merupakan Ibu Kota Romawi Timur pada tahun 1453. Kota Konstantinopel merupakan benteng terdepan Eropa untuk membendung masuknya agama Islam di Benua Eropa. Dalam suatu perang yang sengit akhirnya orang Turki Utsmani yang beragama islam berhasil merebut Kota Konstantinopel. Dengan demikian terbukalah pintu bagi penguasa islam untuk masuk ke Eropa. Tetapi bagi Eropa jatuhnya Kota Konstantinopel berarti putusnya hubungan antara dunia Barat dan dunia Timur. Jalan dagang menuju ke dunia Timur juga terputus. Untuk itu orang Eropa harus mencari jalan lain untuk menuju dunia Timur (Djakariah, 2014).

Akhinya bangsa Eropa memulai melaksanakan ekspedisi penjelajahan samudera yang dipelopori oleh Portugis dan Spanyol. Dari penjelajahan samudera itu mereka sampai ke Benua Afrika dan Asia hingga sampai ke Nusantara dengan niat berdagang. Namun, setelah mengetahui bahwa Bangsa Afrika dan Asia itu lemah kemudian munculah niat untuk melakukan Kolonialisme dan Imperialisme. Salah satu bangsa Eropa yang pertama kali sampai ke Nusantara adalah bangsa Portugis pada tahun 1512 dibawah pimpinan Fancisco SerrĂŁo berhasil mencapai Hitu (Ambon sebelah utara). Inilah awal dari masuknya bangsa Eropa di Nusantara. Setelah itu barulah disusul oleh bangsa-bangsa Eropa Lainya.

Spanyol pertama kali mendarat di Nusantara tepatnya di Maluku (Tidore) pada tahun 1522 yang dipimpin oleh Sebastian del Cano (Herdiansyah, 2010). Kemudian pada tahun 1596 bangsa Belanda yang di pimpin oleh Cornelis De Houtman tiba di pelabuhan Banten. Inilah awal kedatangan bangsa Belanda di Nusantara, namun kedatangan Belanda ini akhirnya diusir oleh penduduk pesisir Banten karena sikap mereka yang kasar dan sombong. Pada tahun 1598 bangsa Belanda datang lagi ke Nusantara yang dipimpin oleh Jacob Van Neck dan Wybrecht Van Waerwyck. Tiba di kepulauan Maluku pada bulan Maret 1599. Keberhasilan pelayaran tersebut mendorong keinginan berbagai perusahaan di Belanda untuk memberangkatkan kapalnya ke Indonesia ada 14 perusahaan yang telah memberangkatkan 62 kapal (Sudirman, 2014).

Semakin banyaknya para pedagang Belanda di Indonesia mengakibatkan antar sesama mereka terjadi persaingan. Selain itu mereka pun harus menghadapi persaingan dengan Portugis, Spanyol dan Inggris. Atas kondisi tersebut, bukan keuntungan yang mereka peroleh, melainkan kerugian. Terlebih lagi dengan sering terjadinya perampokan oleh bajak laut. Atas prakarsa dari pangeran Maurits dan Johan Van Olden Barnevelt, pada 20 Maret 1602, para pedagang Belanda Mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie – VOC (Persekutuan Maskapai Perdagangan Hindia Timur). Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara Negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis, dan Belanda, untuk memperebutkan hagemoni perdagangan di Asia Timur. Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pertama kali membuka kantor dagangnya di Banten pada tahun 1602 dan di kepalai oleh Francois Wittert (Herdiansyah, 2010).

Kedatangan bangsa-bangsa Eropa di kepulauan Nusantara pada awalnya merupakan bagian dari kegiatan perdagangan. Hubungan yang terjadi adalah hubungan setara, antara pedagang dan pembeli. Namun, keadaan itu perlahan-lahan mulai berubah. Karena tingginya persaingan perdagangan antar Negara menyebabkan mereka untuk berusaha menguasai sumber-sumber rempah-rempah.

Sistem Politik Belanda dalam Penjajahan di Nusantara


1. VOC

VOC adalah singkatan dari Verenigde Oost Indische Compagnie. Sejarah lahirnya VOC dilatarbelakangi oleh datangnya bangsa Belanda di Nusantara. Mereka datang bukan mewakili kerajaan, tetapi merupakan kelompok-kelompok dagang. Kemudian kelompok-kelompok dagang itu berhimpun dalam suatu kongsi dagang bernama VOC. Ide untuk membentuk VOC ini dicetuskan oleh Jacob van Oldebarnevelt, seorang pemuka masyarakat Belanda yang sangat dihormati, pada tanggal 20 Maret 1602. Tujuan pembentukan VOC tidak lain adalah menghindarkan persaingan antar perusahaan Belanda ( intern ) serta mampu menghadapi persaingan dengan bangsa lain, terutama Spanyol dan Portugis sebagai musuhnya ( ekstern ). Awalnya VOC dibentuk sebagai kepentingan perdagangan, kemudian mulai melakukan monopoli perdagangan hingga pada akhirnya mulai menanamkan kekuasaannya di beberapa wilayah di Nusantara. VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799.

2. Masa Peralihan

Setelah VOC jatuh bangkrut kemudian kekuasaan VOC di Nusantara diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak 1 Januari 1800 secara resmi Nusantara berstatus sebagai wilayah kekuasaan pemerintah Kerajaan Belanda dan disebut sebagai Hindia-Belanda (Nederlands-Indie). Politik kolonial antara 1800-1870 bergerak dari sistem dagang menuju sistem pajak, sistem sewa tanah ( landelijk stelsel ). Daendels (1807-1811) dan Raffles (1811-1816) dengan didorong oleh idealisme mereka pada dasarnya mendukung cita-cita liberalisme untuk memberikan kebebasan perseorangan, milik tanah, kebebasan bercocok tanam, berdagang, kepastian hokum dan peradilan yang baik. Namun karena desakan negeri induk mereka tidak konsisten dan jatuh kembali kepada sistem yang konservatif dan feodalistis yang didukung dengan administrasi pemerintahan yang sentralistis dan feodalistis (Daliman, 2012).

3. Sistem Tanam Paksa (1830-1870)

Motif utama pelaksanaan sistem tanam paksa ( cultuur stelsel ) oleh van den Bosch sejak 1830 adalah karena kesulitan finansial yang dihadapi pemerintah Belanda sebagai akibat Perang Jawa: 1825-1830 di Indonesia dan Perang Belgia: 1830-1831 di Negeri Belanda, serta budget negeri Belanda sendiri yang dibebani oleh bunga yang berat, dan dengan harapan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan besar dari koloni-koloninya, terutama dengan pulau jawa dengan jalan apapun.

Ciri utama sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat Jawa untuk membayar pajak in natura, yakni dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Dengan pajak in natura tersebut diharapkan oleh van den Bosch dapat terkumpul hasil-hasil tanaman perdagangan (ekspor) dalam jumlah yang besar, yang dapat dijual dan dikirim ke Eropa dan Amerika dengan memberikan keuntungan yang besar bagi pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas kertas memang nampaknya tidak terlalu membebani rakyat, sekalipun secara prinsip juga berkeberatan. Namun dalam praktik ternyata pelaksanaan sistem tanam paksa sering menyimpang jauh dari ketentuan, sehingga bukan saja merugikan penduduk, namun juga sangat memberatkan beban penduduk.

4. Sistem Kolonial Liberal (1870-1900)

Politik kolonial liberal (1870-1900) 11 yang menjanjikan perbaikan kesejahteraan bagi rakyat Hindia-Belanda dengan diberikannya kesempatan bagi kaum modal swasta untuk membuka industri-industri perkebunan swasta juga tidak menjadi kenyataan. Bahkan sebaliknya, pada akhir abad XIX tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia nampak semakin merosot. Sebabnya adalah jelas, ialah karena pemerintah Belanda tak mau melepaskan politik batig saldo-nya, bahkan ditingkatkan sebagai politik drainage. Keuntungan-keuntungan yang besar dari perkebunan-perkebunan tetap dialirkan ke Negeri Belanda dan tak sepeserpun yang ditinggalkan di Indonesia untuk memperbaiki nasib rakyat. Merkantilisme Negara digantikan dengan merkantilisme perusahaan besar yang kapitalistis, sehingga kehidupan ekonomi Hindia-Belanda tetap dikendalikan oleh kepentingan- kepentingan Negeri Belanda, hanya sekarang bukan lagi oleh pemerintah Belanda, namun batig slod -nya juga tetap mengalir ke Negeri Belanda sistem dualisme di bidang ekonomi tetap dibiarkan, bahkan didukung pula dualism dalam adminiatrasi pemerintah yang didasarkan pada sistem diskriminasi rasialisme.

5. Sistem Politik Kolonial Etis (1900-1922)

Politik kolonial etis 12 sebagai politik kesejahteraan tetap tak membawa perbaikan bagi nasib rakyat Indonesia Politik balas budi dengan triloginya: irigasi, emigrasi (transmigrasi) dan edukasi ini lebih sebagai slogan daripada kenyataan. Kalau secara formal, pemerintah Hindia-Belanda terpaksa melaksanakannya, namun bukan untuk mensejahterakan rakyat, melainkan dalam rangka melaksanakan kepentingan kolonialnya. Pembangunan sarana produktif seperti irigasi dan transportasi (jalan kereta api) bukan untuk kepentingan industri perkebunan, emigrasi (transmigrasi) ke luar jawa lebih dimaksudkan untuk memenuhi permintaan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara, dan pendidikan diprogramkan bukan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat, melainkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai-pegawai rendahan saja. Sekolah dan sistem kepegawaian pun bersikap diskriminatif. Sifat-sifat demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang ada dalam politik etis hanya sekedar legitimasi formal, yang substansinya tak punya makna implikatif yang nyata bagi perkembangan kehidupan rakyat Indonesia.

6. Devide et Impera

Devide et Impera adalah suatu upaya dari Belanda yang digunakan untuk menguasai sebuah wilayah dengan menggunakan adu domba dalam sebuah sistem kerajaan. Belanda menggunakan sistem ini sejak awal memasuki Indonesia, dari zaman VOC hingga Hindia Belanda. Berbeda jauh dari dulu, negara Belanda sekarang adalah negara yang sangat menjunjung tinggi adanya HAM. Politik adu domba pada abad 17 sangat digemari VOC untuk menguasai suatu daerah, dengan cara inilah Belanda yang bahkan jumlahnya jauh lebih sedikit dari pribumi bisa mengalahkannya. Politik pecah belah ini selalu menjadi langkah strategis Belanda untuk menghilangkan pemberontakan di berbagai daerah di bumi Nusantara.

Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: Perlawanan Pattimura (1817), Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1925-1830), Perang Banjarmasin (1859-1863), Perang Bali (1846-1868), Perang Sisingamangaraja XII (1870-1907), Perang Aceh (1873-1906). Memang tidak semua taktik Belanda menggunakan cara Devide et Impera ini namun hampir seratus persen politik ini mampu menghancurkan atau setidaknya meredam pemberontakan untuk kemerdekaan daerah Nusantara yang dilakukan tokoh-tokoh yang kini kita kenal sebagai Pahlawan Nasional.