Bagaimana bisa Ranggalawe sebagai seseorang yang penting di Kerajaan Majapahit memberontak pada Kerajaan Majapahit ?

Ranggalawe atau Rangga Lawe adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama dalam sejarah kerajaan ini. Bagaimana sejarahnya hingga Ranggalawe bisa menjadi pemberontak seperti itu ?

Berikut adalah buku terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, dengan judul Ranggalawe sang Adipati Tuban : Cerita Rakyat Jawa Timur. Dari cerita in, kita bisa membayangkan mengapa sang Adipati tersebut melakukan pemberontakan.

image

1. ARYA WIRARAJA


Setelah tinggal beberapa bulan di lstana Daha, Raden Wijaya memperoleh kepercayaan dari Raja Jayakatwang, Raja Daha. Ia berhasil meyakinkan Raja Jayakatwang bahwa pengabdiannya di Daha itu sebagai bukti kesetiaannya terhadap raja. Hari demi hari dan bulan demi bulan, Raden Wijaya bertindak sopan, tanpa pamrih, dan penuh perhitungan. Oleh karena itu, Raja Jayakatwang menganggapnya bukan sebagai Pangeran Singasari yang berbahaya lagi dan telah melupakan penaklukan Daha atas Singasari. Oleh sebab itu, Raja Jayakatwang tidak merasa keberatan ketika Raden Wijaya meminta izin untuk mendirikan padepokan di luar lstana Daha.

“Di mana tempat yang kaupilih, Ananda Wijaya?”

“Di sebelah utara Daha. Kira-kira 80 pal dari Daha, Ayahanda Jayakatwang.”

“80 pal sebelah utara. Di mana jelasnya, Ananda?”

“Di daerah Tarik, Ayahanda. Daerah itu berada di pinggir Sungai Brantas. Sekarang ini tempat itu masih berupa hutan lebat. Oleh sebab itu, izinkanlah hamba ditemani pula oleh para abdi hamba, Ayahanda Jayakatwang.”

“Saya izinkan semua keinginanmu , Wijaya . Aku percaya padamu . Namun, janganlah lupa terhadap aku,” kata Jayakatwang sambil menegaskan kepada Raden Wijaya bahwa ia adalah abdinya yang masih terikat pada kewajiban untuk menghadapnya.

Raden Wijaya mengerti sindiran yang diucapkan Raja Jayakatwang. Oleh sebab itu, dengan tenang dan penuh perhitungan menjawab keinginan Raja Jayakatwang.

2

“Ayahanda Jayakatwang, hamba adalah abdi Ayahanda. Apalagi, Ayahanda telah menerima Ananda dengan baik sekali. Karenanya, Ananda menganggap Ayahanda Jayakatwang bukan saja sebagai raja junjungan hamba. Lebih dari itu, Ananda telah menganggap Tuanku sebagai Ayahanda sendiri.”

Raja Jayakatwang tersenyum ketika mendengar ucapan Raden Wijaya yang penuh pujian dan hormat.

“Kalau begitu, berangkatlah, Ananda Wijaya. Suatu hari akan kuutus sesearang untuk menengokmu .”

“Terima kasih Ayahanda. Pada kesempatan ini pula, Ananda mahan pamit,” kata Raden Wijaya sambil menghatu rkan sembah. Keesakan harinya, Raden Wijaya dan para abdinya siap meninggalkan istana. Namun, tiba-tiba Patih Mundharang datang menghampirinya. Patih Mundharang menga. takan bahwa dirinya diutus oleh raja untuk melepas kepergian Raden Wijaya di pelabuhan Jongbiru.

“Paman Patih Mundharang, izinkan kami meninggalkan Daha dan talong sampaikan pula salam saya kepada Ayahanda Prabu Jayakatwang .”

“Berangkatlah, Ananda. Salammu akan kusampaikan kepada Tuanku Raja . Kuharap kita dapat bertemu lagi.”

Suara gong dan terompet menandai keberangkatan Raden Wijaya dan abdinya menuju utara. Ketika matahari terasa di atas kepala, enam buah kapal yang membawa rombangan Raden Wijaya memasuki wilayah Kertasana. Kapal bergerak tenang. Air sungai terlihat bening sehingga air terlihat berkilau keperakan. Keenam kapal terus melaju. Raden Wijaya berada di kapal kedua yang merupakan kapal terbesar dari iring-iringan kapal. Di kapal itulah, Raden Wijaya mengumpulkan para abdi utama seperti Lembu Sura, Nambi, Kebo Anabrang, dan Pamandana. Raden Wijaya mengadakan pertemuan untuk membahas langkah-langkah berikutnya.

3

“Paman semuanya, kita telah keluar dari wilayah Daha untuk menuju ke tempat baru. Perjuangan baru saja kita mulai. Untuk itu, saya meminta pada paman semua untuk membantuku mewujudkan cita-cita kita.”

“Kami bersedia, Ananda Wijaya,” kata Lembu Sura lantang yang juga diikuti oleh semua yang hadir.

“Sekarang saya merasa lebih mantap lagi berkat dukungan dari paman semua.”

“Menurut perkiraan, kita akan sampai wilayah Tarik besok sore. Berarti malam ini kita akan istirahat dan bermalam di tengah jalan, Tuanku Wijaya,” kata Nambi mengingatkan.

“Ya, saya setuju saja. Silakan diatur. Paman! Selanjutnya, marilah kita bicarakan apa rencana kita di tempat baru itu.”

“Menurut sepengetahuan hamba, wilayah Tarik masih berhutan lebat, masih banyak pohon besar dan binatang buas. Namun, tanah itu sangat subur,” kata Kebo Anabrang
menceritakan pengalamannya. Kebo Anabrang adalah Panglima Singasari pada masa Raja Kertanegara. Sebagai panglima perang, banyak daerah telah ia kunjungi dan singgahi, termasuk wilayah Tarik.

“Berarti, hal itu merupakan tantangan kita. Tantangan yang harus kita hadapi bersama-sama.”

"Kami beserta para abdi siap membantu, Tuanku, " kata Nambi menegaskan.

“Jangan khawatir, Tuanku. Abdiku dari Pasuruan akan berdiri di belakang hamba. Mereka siap melakukan apa saja,” sahut Pamandana menyatakan kesiapannya.

Pernyataan kesiapan dan Joyalitas juga disampaikan oleh Lebu Sura dan Kebo Anabrang yang masing-masing memiliki pengikut.

"Saya senang mendengar tekad dari paman semua. "

“Sekarang telah terkumpul dua ratusan orang. Laki-laki dan perempuan. Orang sebanyak itu masih belum sepadan dengan luas hutan Tarik. Masih kurang. Kita bisa mendatangkan saudara kita.”

4

“Paman Nambi, jangan terlalu cemas. Rencanaku, aku akan mengutus Tumenggung Mahisa Pawagal dan Ki Kupuk ke Sumenep, Madura. Aku ingin memberi tahu kepada Paman Arya Wiraraja bahwa sekarang aku telah berada di daerah Tarik dan sesuai dengan rencana dahulu. Paman Arya Wiraraja bersedia memberi bantuan dari Madura.”

“Hamba setuju. Tuanku Wijaya. Hamba . panggil saja Tumenggung Mahisa Pawagal dan Ki Kupuk agar mereka paham. Tugas ini adalah tugas berat maka mereka berdua harus sampai Sumenep dengan selamat,” kata Pamandana, salah seorang senapati yang telah diangkat sebagai senapati utama, yaitu senapati yang siap membela junjungan sampai titik darah penghabisan .

Tidak terlalu lama, Pamandana telah kembali di ruang pertemuan disertai dengan Mahisa Pawagal dan Ki Kupuk.

“Ampun Tuanku Wijaya. Ada apa gerangan, Tuanku memanggil kami berdua?” kata Mahisa Pawagal dan Ki Kupuk bersamaan.

“Aku hendak mengutus kamu menuju Sumenep, bertemu dengan Paman Arya Wiraraja untuk menyampaikan pesan yang sangat rahasia. lni tugas mahapenting. Oleh karena itu, kamu harus melaksanakan dengan hati-hati dan sempurna. Tugas ini sangat mempengaruhi perjalanan kita semua.”

"Hamba bersedia! Hamba akan melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya, " kata Mahisa Pawagal sambil membungkukkan badannya sebagai tanda kesediaan .

“Sampaikan surat ini kepada Paman Arya Wiraraja. Setelah itu, tolong juga ceritakan bahwa aku dan para abdiku sudah berada di. Tarik untuk membuka daerah ini dengan
tenaga seadanya. Di samping itu, tolong sampaikan pula bahwa aku mohon kesediaan Paman Arya Wiraraja agar segara datang ke Tarik dengan membawa pasukan dan perbekalan untuk membantu membuka hutan,” kata Raden Wijaya memberi penjelasan kepada kedua utusannya.

5

Setelah itu, pertemuan pun dibubarkan. Mereka kernbali ke kapal dan melaksanakan tugasnya masing-masing. Seperti yang direncanakan sebelumnya, rombongan Raden Wijaya telah sampai di wilayah Tarik esok harinya. Semua kapal merapat untuk menurunkan penumpang dan barang-barang lainnya. Sementara itu, sebuah kapal yang ditumpangi Tumenggung Mahisa Pawagal dan Ki Kupuk hanya berhenti sejenak. Kapal itu hanya menurunkan beberapa orang dan barang saja. Tiada berapa lama kapal itu melanjutkan perjalanan ke utara, yaitu ke Sumenep, Madura. Hutan Tarik yang selama ini sepi menjadi ramai seketika oleh kehadiran rombongan Raden Wijaya.

Semua prajurit segera membuat gubuk-gubuk untuk tempat tinggal. Mereka bekerja bahu-membahu, tak kenai Ieiah siang dan malam. Hari demi hari tak mengendorkan semangat bekerja sehingga tak berapa lama hutan Tarik sudah berubah menjadi daerah ramai dan padat.

Sekarang kita ikuti perjalanan kedua utusan Raden Wijaya. Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, Tumenggung Mahisa Pawagal dan Ki Kupuk baru sampai Pelabuhan Kamal. Perjalanan ke Sumenep hanya memerlukan waktu sehari lagi. Kapa l terus melaju sampai akhirnya sampai di Pelabuhan Sumenep. Adipati Arya Wiraraja menyambut Tumenggung Mahisa Pawagal dan Ki Kupuk dan rombongan dengan senang. Di balai pertemuan itu telah hadir enam orang abdi utama Adipati Arya Wiraraja. Tumenggung Mahisa Pawagal dudul di deretan lain, berhadapan dengan keenam pembesar Kadipaten Sumenep.

“Mana surat dari Ananda Wijaya , Paman Pawagal? Aku sudah lama menantinya,” kata Adipati Arya Wiraraja tak sabar.

Mahisa Pawagal segera mengambil surat yang terselip di pinggangnya, lalu diserahkan kepada Adipati Arya Wiraraja. Selesai membaca surat itu, Adipati Arya Wiraraja segera membahas semua persoalan dengan kedua utusan itu.

6

image

Tiada berapa lama Hutan Tarik yang tad inya sepi itu akhirnya menjadi ramai dan padat

7

“Sesuai dengan isi surat, Raden Wijaya memintaku ke Tarik sekarang juga dengan membawa pasukan, perbekalan makanan dan peralatan kerja.”

“Benar, Tuanku Adipati. Tuanku Wijaya sudah sampai di Tarik dan sekarang mungkin sudah mulai membuka hutan Tarik.”

"Jangan khawatir, Paman Pawagal dan Ki Kupuk. Aku sudah menyiapkan semua keperluan itu. Bahkan, aku juga telah menyiapkan prajurit-prajurit Madura yang tangguh yang dapat diandalkan

“Hamba sangat gembira sekali. Raden Wijaya pasti akan sangat senang ketika melihat Tuanku Adipati tiba di Desa Tarik nanti.”

“Selain itu, aku akan membawa Putri Sulung Prabu Kerta negara yang dititipkan di sini oleh Raden Wijaya. Saya tid ak tega melihat mereka berjauhan. Aku juga akan membawa putraku yang selama ini tinggal di Tanjung. Aku akan meminta putraku agar ia bersedia ikut membuka hutan itu dan membantu mewujudkan impian Ananda Raden Wijaya,” jelas Adipati Arya Wiraraja.

“Perkenalkan, saya Mahisa Pawagal dan di sebelahku ini Paman Ki Kupuk,” kata Mahisa Pawagal memperkenalkan diri kepada putra Arya Wiraraja.

“Terima Kasih. Nama saya Ken Kara. Saya sangat beruntung dapat berkenalan dengan Paman Mahisa Pawagal dan Paman Ki Kupuk,” kata Ken Kara, putra Arya Wiraraja dengan penuh bersahabat.

Setelah itu, Arya Wiraraja memperkenalkan kedua abdinya satu per satu dan diteruskan dengan membicarakan rencana keberangkatannya ke Tarik. Arya Wiraraja menyiapkan tenaga, bahan-bahan makanan , perlengkapan tani dan perang, kuda-kuda perkasa, dan kapal-kapal besar untuk mengangkut semuanya.

“Tampaknya Tuan Arya Wiraraja telah menyiapkan semua kebutuhan jauh-jauh hari,” kata Ki Kupuk menanggapi kesiapan Arya Wiraraja .

8

“Semua ini juga berkat doa Raden Wijaya. Karenanya, dua hari lagi kita berangkat ke Tarik. Hari ini aku ingin mengumpulkan orang-orang Madura di depan pendopo. Nanti Paman Mahisa Pawagal dan Ki Kupuk tahu seperti apa orang-orang Madura yang kubawa ke Tarik,” jawab Arya Wiraraja .

Beberapa saat kemudian, orang-orang Madura yang mau dibawa ke Tarik telah berkumpul di depan pendopo. Mereka adalah laki-laki yang berumur setengah baya dan bertubuh kekar dan sehat. Mahisa Pawagal dan Ki Kupuk sangat kagum dan tak dapat menyembunyikan perasaannya.

“Tuan , Arya Wiraraja . Apa saya tidak salah melihat?”· kata Mahisa Pawagal penuh keheranan.

Sementara itu , Ki Kupuk menyahut, “Mereka berbadan tegap dan sehat-sehat. Apakah mereka akan ikut semua?”

“Tentu, Paman Kupuk. Mereka berjumlah 620 orang . Mereka akan membawa perlengkapan yang dikuasainya. Mereka dapat melakukan berbagai macam pekerjaan dari mulai bercocok tanam sampai dengan olah kanuragan layaknya prajurit. Oleh sebab itu, kedatangan mereka pasti sangat bermanfaat dan tidak menjadi beban Raden Wijaya nantinya,” kata Arya Wiraraja.

Dua hari kemudian, Arya Wiraraja meninggalkan Sumenep. Delapan buah kapal digunakan untuk mengangkut orang-orang Madura yang akan membuka hutan Tarik. Dua kapal digunakan untuk mengangkut kuda , dan dua kapal lagi digunakan untuk mengangkut bahan-bahan makanan. Semuanya berjumlah dua belas kapal. Kapal melaju beriringan sehingga dari jauh tampak seperti ular naga. Perjalanan ke Hutan Tarik dilalui hanya tiga hari saja. Kedatangan rombongan Arya Wiraraja disambut oleh Lembu Sura.

“Hei, Dinda Sura. Bagaimana kabarmu? Lama sudah kita tak bertemu ,” sapa Arya Wiraraja kepada Lembu Sura yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri.

9

“Selamat datang di Majapahit. Orang-orang di sini menyebut daerah ini Majapahit. Aku senang sekali karena bertemu denganmu lagi, Kanda Wiraraja. Gusti Wijaya menyuruhku untuk menjemputmu. Kedatanganmu telah diketahuinya sehingga secepatnya ia mengirimku untuk menemuimu di sini dan selanjutnya membawa rombonganmu untuk menghadap Gusti Wijaya.”

“Hei, Paman Sura apa kabarmu?” sela Ken Kara. Lembu Sura segera menoleh ke arah datangnya suara itu. Setelah beberapa saat ia mulai teringat bahwa yang memanggil namanya tadi adalah keponakannya.

“Ah … ternyata keponakanku juga ikut. Ada angin apa sehingga dapat membawamu ke sini, Ken Kara,” kata Lembu Sura.

Di balai pertemuan Raden Wijaya tengah berkumpul dengan Nambi, Kebo Anabrang, Singadardula, dan Pamandhana. Pembicaraan segera dihentikan karena Lembu Sura datang disertai oleh Arya Wiraraja dan Putri Sulung, istri Raden Wijaya, Ken Kara, serta lima orang abdi utama Adipati Arya Wiraraja. Raden Wijaya tampak gembira sekali. Kehadiran Arya Wiraraja beserta rombongan bagaikan hujan di musim kemarau.

“Paman Arya Wiraraja, tiada kata yang dapat digunakan untuk melukiskan pertemuan ini.”

"Gusti Wijaya sangat berlebihan Hamba telah lama memimpikan pertemuan seperti ini. Karenanya, ketika utusan Gusti datang menghadap, hamba sangat senang. Pertama, hamba telah mempersiapkan segala sesuatu jauhjauh hari. Kedua, dalam kunjungan ini hamba membawa serta Putri Sulung Baginda Raja Kertanegara. Hamba tidak tega melihat Putri Sulung berpisah terlalu lama dengan Gusti Wijaya, " kata Arya Wiraraja sambil menggoda Raden Wijaya yang kelihatannya juga memendam rasa kangen pada Putri Sulung, istrinya.

“Terima kasih Paman Adipati. Terus terang saja hatiku berbunga-bunga setelah melihat Dinda Putri Sulung juga sampai di sini,” jawab Raden Wijaya tak dapat menutupi kebahagiaannya.

Putri Sulung yang sedang dibicarakan tertunduk wajahnya dengan bibir tersenyum. Ia tampak malu digoda oleh Adipati Wiraraja dan Raden Wijaya, suaminya.

“Yang ketiga, kedatangan hamba kali ini selain ditemani istri hamba, juga disertai putra hamba yang selama ini tinggal di wilayah Tanjung . Hamba mengajak dia agar ia dapat mendarmabaktikan tenaga dan pikirannya untuk membantu Gusti Wijaya membangun negeri ini.”

Raden Wijaya menatap putra Adipati Wiraraja dengan tajam. Lalu, beliau berkata,

“Paman Adipati. Kalau boleh saya meminta, lebih baik kupanggil saja nama putramu ini Ranggalawe. Ranggalawe berarti orang yang boleh memerintah anak buahku.”

“Hamba tidak keberatan, Gusti Wijaya,” jawab Arya Wiraraja .

'Terus, apakah kamu mau saya panggil Ranggalawe?" kata Raden Wijaya kepada Ken Kara yang kini diubah namanya menjadi Ranggalawe.

“Hamba tidak keberatan jika dipanggil Rangalawe, Gusti,” jawab Ken Kara.

“Mulai sekarang kamu dipanggil Ranggalawe dan mulai saat ini pula kamu dapat memerintah abdiku,” kata Raden Wijaya.

“Yang keempat, hamba ingin melaporkan kepada Gusti Wijaya bahwa hamba telah mengutus Wanengpati untuk menghadap Panglima Tar Tar yang sekarang berada di laut utara. Wanengpati kuperintahkan untuk menghasut tentara Tar Tar agar menggempur Singasari. Padahal, kerajaan itu adalah Daha ,” kata Arya Wiraraja menjelaskan taktiknya.

“Oh, begitu! Apakah rencana itu aman, Paman?” tanya Raden Wijaya.

"Pertimbangan hamba begini, Gusti. Kehadiran tentara Tar Tar ke Nusantara ini adalah ingin menghukum Baginda Kertanegara yang telah berani menghina Raja Tar Tar.

11

Padahal, Baginda Kertanegara sudah wafat karena perbuatan Jayakatwang. Tentara Tar Tar itu tidak tahu perkembangan yang terjadi di sini. Oleh karena itu, Wanengpati hamba tugaskan untuk menghasut tentara Tar Tar agar menghancurkan Singasari yang tidak lain adalah Kerajaan Daha."

“Sungguh rencana bagus sekali, Kanda Wiraraja,” kata Lembu Sura terheran-heran.

“Apabila rencana itu berjalan dengan baik, Gusti Wijaya dapat mengambil manfaat dari kejatuhan Daha. Dan saat ini merupakan kesempatan emas untuk mewujudkan cita-cita Gusti Wijaya,” jelas Arya Wiraraja lebih lanjut.

“Kalau hal itu sudah dipikirkan Paman dengan matang, saya setuju .saja. Nah, nanti bila saatnya tiba, Paman kuharap bersedia menjadi panglima. Bergeraklah melalui pesisir utara dengan membawa prajuritku, sekaligus memeriksa tentara Tar Tar yang mau datang. Jangan lupa membawa prajurit yang tangguh seperti Jalaswara, Wirasanda, Sura Sampana, dan Rara Sindura,” sabda Raden Wijaya.

Semua yang hadir tidak ada yang keberatan dan menerima tugas itu dengan senang hati. Lalu, Raden Wijaya membubarkan pertemuan itu.

12

2. KERAJAAN DAHA JATUH


Dua pekan setelah pertemuan di Majapahit, armada tentara Tar Tar di bawah pimpinan Laksamana Taru dan dua orang patihnya , yaitu Taru Janaka dan Jana Pati tiba di Majapahit. Wanengpati mengajak tentara Tar Tar singgah sebentar di Majapahit. Kehadiran mereka disambut oleh para pembesar Majapahit. Setelah itu, armada Majapahit dan armada tentara Tar Tar berangkat bersama menuju Daha. Mereka menyusuri Sungai Brantas yang · arusnya deras dan airnya dalam.

Setelah menyusuri sungai selama setengah hari, rombongan Majapahit dan Tar Tar memasuki Desa Minggiran. Minggiran sudah termasuk wilayah Daha. Kehadiran mereka menimbulkan keributan karena banyak perahu-perahu kecil yang berada di sungai itu tertabrak kapal-kapal yang ditumpangi oleh tentara Majapahit dan tentara Tar Tar. Orang-orang Minggiran tidak terima kapalnya tenggelam sehingga mereka minta ganti rugi. Namun, tentara Majapahit tidak mau memberi ganti rugi, tetapi malah menghajar warga setempat. Semua warga yang meminta ganti rugi mengalami nasib yang sama, yaitu diperlakukan dengan sangat kasar oleh tentara Majapahit dan Tar Tar. Peristiwa itu dilaporkan kepada Raja Daha oleh dua warga Minggiran, yaitu yang satu gemuk dan satunya kurus .

“Ampun , Gusti Raja. Hamba warga Minggiran, telah dianiaya oleh tentara Majapahit yang datang bersama dengan tentara Tar Tar. Tampaknya, mereka tidak bermaksud baik,” kata si gemuk.

“Kenapa kamu merasa pasti bahwa mereka orang-orang Majapahit.”

13

“Mereka sendiri yang mengatakan begitu, Gusti Raja. Dan mereka juga menyebut nama Arya Wiraraja dan Raden Wijaya,” sahut si kurus lebih rinci.

“Mereka ada yang menyebut nama itu,” hardik Patih Kebo Mundharang dengan gusar.

Selesai mendengarkan keluhan warga Minggiran, Raja Jayakatwang segera mengadakan pertemuan dengan para pembesar Kerajaan Daha.

“Rupanya kita salah perhitungan. Sikap manis Raden Wijaya itu sebenarnya racun. Aku tidak menyangka bahwa ia akan memberontak,” sabda Raja Jayakatwang dengan suara parau.

“Ternyata air susu dibalas dengan air tuba. Raden Wijaya ternyata telah bersekongkol dengan Arya Wiraraja dan tentara Tar Tar. Tampaknya, perang besar akan terjadi. Hamba bersama para menteri, senapati, dan prajurit Daha siap menghadapinya ,” kata Patih Mundharang dengan kesal.

“Mereka telah sampai di Minggiran. Tak lama lagi akan sampai di Pelabuhan Jongbiru. Kita terlambat menyadarinya. Hadanglah mereka di Samampir dan kerahkan semua prajurit ke sana,” perintah Raja Jayakatwang lalu membubarkan pertemuan.

Patih Kebo Mundharang menugaskan prajurit di bawah Menteri Prutung, Jaran Goyang, Bangadolog, Kampinis, Liking Kankung, Kebo Teki, dan Kebo Caluk mengamankan Pelabuhan Jongbiru. Sementara itu, Patih Mundharang bersama dengan prajurit di bawah pimpinan Kebo Jareng, Maesa Bungal, Kebo Siluman, dan Kalamudat akan menghadapi musuh di· Karangrejo. Sementara itu, Segoro Winotan, Tumenggung Parungsari, Kala Lumpang, dan Jalak Tegung berjaga-jaga di dalam kota.

Sebanyak dua puluh dua kapal besar dari Majapahit dan Tar Tar mulai merapat di Pelabuhan Jongbiru. Kapal yang mengeluarkan penumpang dimulai dari kapal Majapahit. Lembu Sura, Ranggalawe, Gajah Pagan, dan Medhang

14

Dandi keluar berhamburan. Namun , mereka segera dikepung dan diserang oleh te ntara Daha di bawah pimpinan Menteri Prutung , Jaran Goyang, Bangadolog, Kampinis, Liking Kankung, dan Kebo Teki.

“Ayo serang. Jangan takut,” teriak Menteri Prutung memberi semangat prajuritnya.

“Maju! Maju! Kita terus maju! Jangan gentar, prajurit,” teriak Lembu Sura di depan sambil mengayun-ayunkan pedangnya urituk melumpuhkan musuh yang berani menghalanginya.

Pertempuran antara Daha dan Majapahit tak dapat dihindari lagi. Kedua belah pihak saling merangsek sehingga memakan banyak korban .

“Hei prajuritku , ayo kita rangsek prajurit Majapahit. Jangan kita kendorkan. Mari kita usir mereka,” teriak Jaran Goyang memberi komando.

“Hei prajurit Daha , jangan besar kepala. Ayo hadapi Majapahit,” balas Ranggalawe tak mau kalah. Semakin lama prajurit Daha semakin banyak jumlahnya. Patih Mundharang yang semula berada di Karangrejo, datang membantu prajurit Menteri Prutung. Kehadiran Patih Mundharang membuat daya gempur prajurit Daha semakin kuat.

“Ayo kita desak para pengacau ini agar kembali ke Majapahit,” kata Patih Mundharang mengamuk sehingga banyak musuh menjadi korbannya.

Lembu Sura dan Ranggalawe berusaha menghadang gerak maju Patih Mundharang, tetapi gagal karena prajurit di bawah pimpinan Kampinis dan Kebo Teki telah turun di medan laga. Lembu Sura melihat bahwa posisi prajuritnya mulai terjepit oleh prajurit Daha yang jumtahnya sangat banyak. Prajurit Majapahit dari kapal kedua dan ketiga telah merapat dan langsung terlibat pertempuran dengan prajurit Daha.

“Ayo , maju! Kita rangsek prajurit Daha keluar dari Pelabuhan Jongbiru ,” teriak Raden Wijaya memberi semangat.

15

Pamandhana yang mengawal Raden Wijaya berada di depan untuk membuka jalan Raden Wijaya untuk masuk ke medan perang. Teriakan Raden Wijaya membangkitkan semangat prajurit Majapahit sehingga lambat laun pertempuran menjadi berimbang.

Di Pelabuhan Jongbiru, kapal-kapal tentara Tar Tar telah merapat. Tentara Tar Tar di bawah pimpinan Perwira Taru Janaka dan Jana Pati datang membantu. Tentara Tar Tar yang telah berpengalaman itu menyerang dengan penuh perhitungan.

“Ayo kita kurung prajurit musuh. Jangan ada celah!” kata Taru Janaka memberi aba-aba untuk melumpuhkan prajurit Daha.

Dalam sekejap tentara Tar Tar telah membentuk formasi tapal kuda. Dengan formasi itu tentara Tar Tar dapat mengurung dan sekaligus mempersempit gerakan prajurit Daha. Namun, taktik itu terlihat oleh Patih Mundharang yang kemudian menyuruh prajuritnya untuk membongkar formasi itu dengan serangan pasukan panah. Dalam sekejap ribuan anak panah berterbangan dan menghujani tentara Tar Tar dan prajurit Majapahit. Korban berjatuhan. Terdesak oleh serangan anak panah, Patih Taru Janaka memerintahkan prajurit tameng maju. Pasukan tameng terus maju meskipun dihujani anak panah. Mereka terus maju dan ketika berhasil mendekati posisi pasukan panah, pasukan tameng melancarkan serangan dengan menggunakan senjata rahasia.
Dalam sekejap banyak prajurit Daha yang gugur. Patih Mundharang tidak mengenal takut. Ia memerintahkan prajuritnya agar terus bertahan dan ia pun berseru,

“Kebo Jareng , Mahisa Bungal, dan Kebo Siluman kirim prajuritmu ke sebelah kanan.”

Ketiga senapati itu menuruti perintah Patih Mundharang . Prajurit ketiga senapati itu langsung pindah posisi. Lembu Sura mendekati Patih Mundharang yang mengamuk.

“Hei Mundharang. Jangan membuang waktu lagi. Mari kita adu siapa yang unggul,” kata Lembu Sura menantang.

16

Tanpa menunggu waktu lagi, Lembu Sura sudah bertarung dengan Patih Mundharang. Keduanya saling menyerang dengan jurus-jurus mautnya . Beberapa jurus telah berlalu, tetapi belum ada di antara keduanya yang kalah.

Namun, setelah bertanding lebih dari lima belas menit, Lembu Sura masih mampu berkelahi dengan kuda-kuda yang kokoh. Sementara itu, Patih Mundharang tampak kelelahan sehingga ia terlambat membalikkan badan. Saat itulah Lembu Sura dapat melayangkan jurus pedang yang mematikan ke tubuh Patih Mundharang.

Kemenangan Lembu Sura atas Patih Mundharang menjadi pembuka bagi kemenangan prajurit Majapahit dan tentara Tar Tar atas prajurit Daha. Beberapa menteri dan senapati Daha menyusul mati Patih Kebo Mundharang.

“Hei, prajurit Daha menyerahlah. Lihatlah Patih Mundharang telah kukalahkan,” teriak Lembu Sura memperingatkan prajurit Daha .

Kematian Patih Mundharang disampaikan oleh Jaran Goyang kepada Raja Jayakatwang di alun-alun Daha.

“Ampun Baginda Raja . Hamba melaporkan bahwa Patih Mundharang telah tewas oleh Lembu Sura. Kita mulai terdesak.”

"Kurang ajar! Sekarang mari kita hadapi mereka.

Segara Winotan atur posisi pasukanmu. Kita harus lebih waspada."

Raja Jayakatwang naik gajah menuju utara alun-alun, tetapi langkah mereka dihadang oleh Patih Tar Tar, yaitu Taru Janaka dan Jana Pati dan prajuritnya. Raja Jayakatwang mengamuk. Dengan mengendarai gajah, beliau menyerang Taru Janaka dan Jana Pati. Kedua Patih Tar Tar itu tidak mampu menghadapinya dan kedua patih itu pun tewas. Bahkan, puluhan tentara Tar Tar tewas terinjak gajah Raja Jayakatwang.

Laksamana Taru sangat marah ketika mendengar kematian kedua patihnya.

17

“Kurang ajar Jayakatwang. Kau telah membunuh patihku.” Laksamana Taru mencari Raja Jayakatwang dengan menunggang gajah. Niatnya itu diketahui oleh Ranggalawe. Ranggalawe pun segera membawa prajuritnya mengikuti Laksamana Taru. Di Desa Semampir, Laksamana Taru bertemu dengan Raja Jayakatwang yang dikawal oleh Segara Winotan dan prajuritnya.

“Hei, kau Tar Tar, kau memang tak tahu malu dan ingin mencari musuh saja. Apa kepentinganmu ikut membela Raden Wijaya? Kedatanganmu hanya mencari mati saja,” hardik Raja Jayakatwang sambil menunjuk-nunjuk tangan nya yang diarahkan kepada Laksamana Taru.

“Hei, Jayakatwang. Apa yang kulakukan adalah mengemban amanat Raja Tar Tar yang telah kauhina. Kamu adalah raja kejam dan telah menyengsarakan rakyatmu saja. Aku ke sini hendak menghukummu,” jawab Laksamana Taru kesal.

“Pantang bagitu untuk menyerah kepada tentara asing sepertimu,” jawab Raja Jayakatwang penuh tantangan.

“Aku harus membawamu ke negeriku karena perbuatanmu membunuh kedua patihku. Perbuatan sangat menjijikkan dan menghina kebesaran Raja Tar Tar.”

Raja Jayakatwang merah telinganya ketika mendengar kata-kata Laksamana Taru yang merendahkan derajatnya sebagai raja di Nusantara. Menyerah kepada tentara Tar Tar berarti tunduk pada orang asing. Dia melecut gajahnya ke arah Laksamana Taru yang juga naik gajah. Jayakatwang menyerang musuhnya dengan tombak. Namun, Laksmana Taru dapat menghindar lalu mengajak bertarung Raja Jayakatwang dengan menggunakan pedang di darat. Perkelahian kedua orang itu berjalan dengan seru.

Masing-masing menggunakan keahlian dan kesaktiannya untuk melumpuhkan lawannya . Akhirnya, Laksamana Taru dapat mengalahkan Raja Jayakatwang dengan menggunakan senjata rahasia berupa pisau kecil yang mengenai dada Jayakatwang.

18

image

Raja Jayakatwang dan Laksamana Taru berperang menggunakan tombak di atas punggung gajah dan diteruskan perang di darat.

19

“Dasar bedebah, kau sangat licik dengan menggunakan senjata yang tersembunyi,” teriak Raja Jayakatwang sambil menahan sakit di dadanya.

“Hal itu layak untuk raja yang kejam sepertimu. Pisau itu beracun. Barangkali sekarang sedang menyebar ke seluruh tubuhmu. Sebentar lagi ajalmu tiba ha … . ha … ha … ,” jawab Laksamana Taru sambil tertawa terbahak-bahak.

Raja Jayakatwang melihat sikap Laksamana Taru sangat merendahkan dirinya. Ia berusaha dapat berdiri tegak untuk menyerang musuhnya dengan tiba-tiba. Namun, ia tak kuasa. Ia pun tersungkur oleh ganasnya racun yang telah menyebar ke dalam tubuhnya.

Barisan prajurit Daha bubar ketika melihat junjungannya dapat dikalahkan musuhnya . Segara Winotan menyerah kepada Ranggalawe dan diikuti oleh senapati dan prajurit Daha. Bersama tenggelamnya mentari di ufuk barat, perang pun usai. Para senapati yang menyerah itu menjadi tawanan dan dibawa ke Majapahit untuk dipenjara.

20

3. SIASAT RANGGALAWE DAN LEMBU SURA


Berita kekalahan Raja Jayakatwang oleh Laksamana Taru cepat menyebar ke penjuru wilayah Daha. Banyak prajurit Daha berlari tak tentu tujuan untuk menghindari kejaran tentara Tar Tar ataupun tentara Majapahit. Selain itu, para wanita menjerit-jerit untuk mencari suami, anggota keluarganya, ataupun anaknya . Pada saat itulah, Raden Wijaya, Lembu Sura, Adipati Arya Wiraraja, dan beberapa puluh prajurit pilihan memasuki lstana Daha. Mereka mencari Putri Retna Sutawan yang berhasil ditawan tentara Daha pada saat perang antara Daha dan Singasari. Raden Wijaya mencari Putri Retna Sutawan ke sana kemari. Hampir semua tempat di istana itu dilongoknya, tetapi orang dicari itu pun belum juga ditemukannya.

“Hampir semua tempat di sini telah kulihat, tetapi tidak juga kutemukan Dinda Retna Sutawan,” kata Raden Wijaya mulai gusar.

“Ampun , Ananda Wijaya. Belum semua tempat ini selesai kita periksa. Hamba yakin , Putri Sutawan dapat kita temukan,” jawab. Lembu Sura berusaha menghibur Raden Wijaya .

Mereka terus mencari ke setiap sudut istana. Ketika hampir semua ruangan selesai diperiksa, Raden Wijaya berhasil menemukan Putri Retna Sutawan. Namun, pada saat yang hampir bersamaan beberapa prajurit Tar Tar mulai memasuki istana putri Daha. Ketika mengetahui keadaan itu, Adipati Arya Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya segera meninggalkan tempat itu bersama Retna Sutawan .

21

“Gusti Wijaya. Apabila tentara Tar Tar mengetahui Tuanku membawa putri tawanan, pasti mereka akan marah dan menuduh Tuanku berlaku curang. Sebaiknya Gusti cepat meninggalkan tempat ini. Biar Paman yang mengurus tentara Tar Tar itu,” kata Adipati Arya Wiraraja dengan gusar karena takut diketahui oleh tentara Tar Tar.

“Ya, sebaiknya memang begitu, Gusti! Dan, serahkan masalah ini kepadaku saja Dinda Wiraraja . Lebih baik Dinda Wiraraja mengiringkan Gusti Wijaya menuju Majapahit. Jika urusan ini selesai, aku akan segera menyusul,” kata Lembu Sura mengatur strategi.

Raden Wijaya dan Adipati Arya Wiraraja menyetujui saran Lembu Sura. Mereka segera menuju ke arah timur. Jalan yang .mereka lewati ke Majapahit tidak melalui jalan yang biasa dilewati orang. Hal ini mereka lakukan untuk menghindari kejaran dari tentara musuh dan tentara Tar Tar. Setelah melakukan perjalanan semalam suntuk, rombongan Raden Wijaya tiba di Majapahit. Siang harinya, Lembu Sura datang menyusul. Mereka segera mengadakan pertemuan. Pertemuan ini dihadiri abdi utama Majapahit seperti Lembu Sura, Nambi, Kebo Anabrang, Pamandhana, Wanengpati, Suraduta, Jalawastra, Ki Buyut Banyak Kuping, dan Sura Sampana.

“Kerajaan Daha telah berhasil kita hancurkan. Hal itu juga berkat bantuan tentara Tar Tar yang berhasil kita perdayai. Sekarang masalah mulai muncul, yaitu bagaimana cara menghadapi tagihan janji yang pernah kita sepakati. Kita harus mendapat cara untuk mengatasi masalah itu dengan baik.”

Semua yang hadir diam seribu bahasa karena masalah yang dihadapi sangat berat. Namun, suasana berubah setelah Lembu Sura berkata, “Mengapa harus ambil pusing? Jika keadaan seperti ini, lebih baik mereka kita usir saja dari sini daripada menimbulkan masalah baru.”

22

Pendapat Lembu Sura itu mendapat tanggapan dari semua peserta pertemuan. Mereka setuju dan memberi dukungan terhadap pikirah Lembu Sura.

“Ampun Gusti Wijaya. Setelah saya pikirkan dengan saksama ternyata apa yang dikatakan oleh Paman Lembu Sura itu sangat baik. Daripada menjadi penghalang cita cita Gusti lebih baik kita hadapi mereka secepat mungkin,” seta Ranggalawe penuh semangat.

“Bagaimana caranya Dinda Ranggalawe ,” kata Pamandhana ingin tahu dengan rencana yang hendak dijalankannya.

“Aku punya cara yang jitu … ,” jawab Ranggalawe mantap.

Pertemuan itu banyak membahas rencana pengusiran tentara Tar Tar lebih lanjut. Akan tetapi, berhenti karena seorang tentara jaga Majapahit datang dan memberi tahu bahwa tentara Tar Tar dalam jumlah besar akan datang menghadap Raden Wijaya. Tentara Tar Tar itu dipimpin oleh Sudrasana dan Suryanata. Kedua utusan itu diminta masuk ke balai pertemuan . Semua abdi Raden Wijaya terperanjat setelah menyaksikan bahwa kedua utusan tentara Tar Tar masih muda belia.

“Siapakah dirimu, hei … utusan?” tanya Ranggalawe singkat.

“Perkenalkan. Nama saya Sudrasana, anak Jana Pati. Dan ternan saya ini adalah Suryanata, anak Patih Tarujaya. Kedua orang tua kami telah mati dalam pertempuran melawan prajurit Daha,” jawab Sudrasan menjelaskan jati dirinya.

“Apa tujuanmu ke sini Sudrasana?”

“Hamba diminta untuk menyampaikan Surat Laksamana Taru kepada Gusti Raden Wijaya,” kata Sudrasana sambil menyerahkan surat dan surat itu langsung diterima oleh Ranggalawe . .

Ranggalawe membaca surat itu dengan saksama, lalu memberikannya kepada Lembu Sura. Kedua orang itu segera menanggapi surat Laksamana Taru .

23

“Sudrasana, saya sudah membaca surat dari pimpinanmu. Pada dasarnya Gusti Raden Wijaya tidak lupa dengan janji yang pernah disampaikan kepada Laksamana Taru. Namun, saya harap kau bersabar beberapa hari lagi,” kata Lembu Sura.

“Apa maksud Tuan Lembu Sura?” tanya Sudrasana penuh kegusaran .

“Maksudku, kau diminta bersabar karena kedua putri itu masih terpukul dengan keadaan nasibnya. Kasihan mereka karena selalu merasa ketakutan bila melihat tentara yang duduk di atas kuda dengan gagah dan dipundaknya terselip pedang yang berkilau-kilau,” kata Ranggalawe menambahkan jawaban Lembu Sura sebelumnya.

“Kalau kedua putri itu dibawa sekarang, mereka bisa bunuh diri. Apakah kita mau mereka mati bunuh diri karena ketakutan? Jika mereka mati, siapakah yang akan merasa kehilangan? Tentu pimpinanmu sendiri, bukan?” kata Lembu Sura menambahkan .

“Sebaiknya kalian berdua pulang terlebih dahulu ke pelabuhan. Lalu, silakan besok sore datang lagi dengan mengirimkan utusan yang berpakaian tradisional. Dan kau datang ke sini tanpa membawa senjata tajam. Dengan penampilan seperti itu, saya yakin kedua putri itu akan bersedia ikut karena kau tidak terlihat sangar seperti prajurit yang pulang dari peperangan. Sebagai ganti pedang itu, bawalah berbagai alat musik tradisional sehingga terkesan lembut,” jelas Ranggalawe meyakinkan.

Kedua utusan Laksamana Taru itu memahami apa yang disampaikan oleh Ranggalawe dan Lembu Sura. Oleh sebab itu, mereka mengajukan izin meninggalkan pertemuan. Setelah utusan Tar Tar hilang dari pandangan mata, Ranggalawe dan Lembu Sura menyampaikan rencananya di hadapan Raden Wijaya.

"Jadi, setelah mereka besok datang lagi sesuai dengan yang kita inginkan, yaitu datang tanpa membawa perleng-

24

kapan perang dan hanya membawa gamelan (alat musik) seperti yang kita minta, selanjutnya kita jalankan rencana kita," kata Lembu Sura menjelaskan taktiknya.

“Apa maksudnya, Paman Sura,” celetuk Nambi karena belum paham.

“Kita tunggu mereka lengah . Pada saat lengah itulah kita akan menghancurkan mereka. Jadi, persiapan kita sebaiknya harus sangat rapi agar mereka tidak curiga,” sela Ranggalawe kepada semua yang hadir dalam pertemuan itu. Raden Wijaya mengikuti semua pembicaraan itu dengan baik. Wajahnya tidak merasa keberatan dengan aksi yang akan dijalankan para abdinya."

Di lain pihak, sejam kemudian, di Pelabuhan Tarik ke. dua utusan baru saja sampai. Mereka akan menyampaikan semua pesan dari Majapahit kepada Laksamana Taru .

Laksamana Taru senang karena apa yang pernah dijanjikan itu akan dipenuhi oleh pihak Majapahit. Ia menyuruh Sudrasana dan Suryanata untuk menyiapkan dua ratus prajurit Tar Tar untuk merijemput kedua putri tawanan besok sore.

“Siapkan penjemputan kedua putri itu sebaik-baiknya. Sudrasana, bawalah alat-alat musik itu ke sana. Jangan sampai gagal.”

“Siap, Tuanku,” kata Sudrasana dan Suryanata bersamaan.

Sudrasana dan Suryanata menyiapkan dua ratus orang prajurit sesuai dengan keinginan pihak Majapahit. Bahkan, mereka dilatih untuk memainkan semua alat musik yang mereka bawa. Kemudian, mereka juga diminta untuk menyiapkan pakaian prajurit tanpa senjata. Sudrasana dan Suryanata tersenyum puas melihat kesiapan tugasnya.

Sesuai dengan permintaan pihak Majapahit, tentara Tar Tar datang tepat waktu. Dari kejauhan terdengar suara musik yang ditabuh dengan merdu. Mereka datang dengan jumlah yang sama dengan kemarin. Kedatangan mereka disampaikan oleh seorang prajurit Majapahit kepada Rangga-

25

lawe dan Lembu Sura. Lembu Sura segera memberi tahu kepada prajurit agar bersiap-siap menunggu isyarat.

“Selamat sore, Sudrasana dan Suryanata. Silakan masuk di halaman istana,” kata Ranggalawe dengan senyum ramah.

Kedua utusan itu terkesan dengan sambutan ramah Ranggalawe. Mereka tidak menyadari bahwa bahaya telah mengancamnya. Mereka terkesan bahwa misi penjemputan itu akan berjalan seperti yang diharapkan, yaitu kedua putri tawanan itu tidak akan berontak atau berbuat yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, mereka mengikuti apa saja yang dikatakan Ranggalawe dan Lembu Sura.

Setelah semua tamu Tar Tar duduk di balai panjang, - tiga puluh orang penabuh musik menampakkan diri. Setiap orang yang baru datang itu membawa alat musik sendiri-sendiri.

“Tuan Sudrasana dan Tuan Suryanata, mereka adalah para penabuh gamelan yang terbaik di Majapahit. Mereka hadir di sini untuk menyambut kehadiran Tuanku semua. Mereka akan unjuk kebolehan di hadapan Tuan-Tuan. Selain itu, kita cairkan suasana ini terlebih dahulu sebelum pada acara inti. Bukankah demikian dulu Tuanku?” kata Ranggalawe menjelaskan kepada tamunya yang disambut dengan tepukan tangan oleh tentara Tar Tar.

“Ya, saya setuju, Tuan Ranggalawe,” jawab Sudrasana sambil manggut-manggut.

Setelah diberi isyarat oleh Lembu Sura, para penabuh gamelan memainkan kebolehannya. Sebuah gending baru selesai ditambuhkan, lalu muncullah para abdi perempuan yang menyuguhkan berbagai jenis makanan dan minuman. Semua makanan dan minuman itu diedarkan ke setiap utusan Tar Tar. Suasana tambah meriah seiring dengan lagu kedua, ketiga, dan seterusnya. Ranggalawe dan Lembu Sura turut larut dalam acara itu. Sebagaimana layaknya tuan rumah, mereka menjamu kedua utusan Tar Tar dengan penuh keramahan .

26

“Mari tambah lagi minum, Tuan Sudrasana dan Suryanata. Saya sendiri yang akan menuangkan minuman Tuan?” kata Ranggalawe sambil mengangkat botol minuman yang berisi arak ke gelas Sudrasana dan Suryanata.

“Cukup, Paman Ranggalawe. Nanti saya mabuk jika kebanyakan. Bukankah begitu Paman Lembu Sura?” jawab Sudrasana berusaha menolak, tetapi Lembu Sura segera menjawab pertanyaan Sudrasana, “Jangan khawatir, Tuan. lni arak asli Tuban. Arak terbaik di negeri ini. A yo … silakan cicipi lagi, Tuan Suryanata dan Tuan Sudrasana,” jawab Lembu Sura tak kalah lihai.

Suasana jamuan makan· dan minum semakin meriah. Semua prajurit Tar Tar telah makan dan minum yang disediakan secara berlebihan sehingga mereka menjadi hilang kewaspadaan dan kendali diri. Ranggalawe dan Lembu Sura menemani kedua tamu penuh perhatian hingga pada suatu kesempatan Sudrasana bertanya kepada Ranggalawe dan Lembu Sura.

'Tuan Ranggalawe dan Lembu Sura, saya kira sekarang waktu yang tepat untuk melakukan penyerahan kedua putri itu."

“Ya. Saya tahu . Sekarang waktu yang tepat untuk mengusir kalian dari tanah Majapahit,” kata Ranggalawe sambil mengeluarkan senjatanya dari balik pinggangnya. Hal itu berarti sebagai isyarat bagi tentara Majapahit untuk bertindak. Ketiga puluh orang yang semula sebagai penabuh gamelan segera bertindak setelah Ranggalawe yang diikuti Lembu Sura menerjang Sudrasana dan Suryanata.

“Enyahlah kau dari hadapanku Suryanata … .,” teriak Lembu Sura, sedangkan Ranggalawe menyerang Sudrasana. Sudrasana dan Suryanata ternyata prajurit yang tangguh. Mereka dapat meloloskan diri dari sergapan Ranggalawe dan Lembu Sura. Suasana pun mendadak menjadi riuh.

27

image

Dalam pesta itu Ranggalawe menuangkan minuman arak ke gelas kedua orang tamunya, yaitu Sudrasana dan Suryanata

28

“Busyet, kita ditipu, Adinda Suryanata. Mari ·kita tum pas prajurit Majapahit,” teriak Sudrasana memberi perintah dan didengar oleh tentara Tar Tar.

“Jangan sombong Sudrasana. Terimalah seranganku ini,” teriak Ranggalawe.

Meskipun ia masih muda, Sudrasana dan Suryanata memiliki ilmu beladiri yang tinggi. Beberapa serangan dari musuhnya berhasil mereka elakkan. Sementara itu, prajurit Majapahit mengurung tentara Tar Tar dari segala penjuru. Dalam sekejap banyak tentara Tar Tar tak berdaya menghadapi serbuan prajurit Majapahit. Tentara Tar Tar hanya bisa bertahan dengan alat yang ada. Mereka memanfaatkan alat musik yang dibawanya untuk mengelak, menangkis, atau bertahan dari serangan prajurit Majapahit.

“Ayo, enyahlah dari negeriku ini, hai tentara Tar Tar.”

“Dasar pengecut, beraninya dengan cara begini,” jawab salah seorang tentara Tar Tar sambil mengelak serangan.

Namun, tentara Tar Tar itu hanya bisa bertahan beberapa menit saja karena tekanan yang dilakukan prajurit Majapahit begitu kuat. Ratusan tentara Tar Tar terdesak dan dapat
diperdayai.

Sementara itu, Ranggalawe dari Lembu Sura terlihatmulai berhasil mendesak kedua musuhnya.

“Jangan sombong Sudrasana … ,” kata Ranggalawe sambil menyerang.

“Ayo tunjukkan kesaktianmu, Ranggalawe_. Aku tidak gentar.”

“Ya, terimalah seranganku ini. Jangan menyesal kau,” teriak Ranggalawe sambil terus menyerangnya. Serangan ini tidak meleset sehingga keris Ranggalawe berhasil melumpuhkan pimpinan utusan tentara Tar tar itu.

Lembu Sura pun terlihat dapat merobohkan Suryanata. Sebelum meninggal, Suryanata meminta anak buahnya untuk mundur atau menyelamatkan diri.

"A yo mundur … "

29

Teriakan itu didengar oleh tentara Tar Tar yang masih bertahan. Mereka berusaha untuk mundur dan menyelamatkan diri dari serangan prajurit Majapahit yang bertubi-tubi. Beberapa di antara tentara Tar Tar tak sempat lolos, berhasil diperdayai prajurit Majapahit. Sementara itu, ada tiga orang prajurit berhasil meloloskan diri. Ketiga orang itu berhasil mengambil kuda dan hendak pergi menuju pelabuhan. Namun, dua orang di antaranya dapat dihadang oleh prajurit Majapahit. Hanya satu orang berhasil lolos dan menghadap Laksamana Taru yang telah lama menunggu utusannya
kembali.

“Ada apa prajurit? Apa yang terjadi?”

“Ampun Laksamana, kita telah diperdayai oleh Majapahit.”

“Apa maksudmu?”

"Ternyata Majapahit membokong kita dari belakang. Mereka tidak memberikan putri tawanan kepada kita. Mereka menggunakan hal itu untuk menjebak kita. "

“Busyet, kurang ajar si Raden Wijaya. Kita telah membantunya, tetapi mereka membalas dengan air tuba. Kalau begitu, kita serang saja Majapahit sekarang juga .”

“Ampun, Laksamana. Percuma saja . Semua tentara kita telah berhasil mereka kalahkan. Sudrasana dan Suryanata pun berhasil mereka kalahkan .”

“Siapa yang mengalahkan kedua senapati utamaku, prajurit?”

“Mereka adalah Ranggalawe dan Lembu Sura.”

Sementara itu, di balai panjang, Ranggalawe dan Lembu Sura, para senapati, dan prajurit Majapahit telah berkumpul lagi. Ranggalawe dan Lembu Sura terlibat perbincangan yang serius.

“Rupanya, taktik yang Paman terapkan sangat ampuh untuk mengusir tentara Tar Tar.”

“Hal ini berhasil karena dorongan semangatmu, Ranggalawe.”

30

Raden Wijaya diiringi Arya Wiraraja, Nambi , Kebo Anabrang, Pamandhana, dan Ki Buyut Macan Kuping menghampiri Ranggalawe dan Lembu Sura. Raden Wijaya sangat senang bahwa tentara Tar Tar berhasil mereka kalahkan. Namun, ia juga menyadari bahwa tentara Tar Tar masih kuat dan masih berada di Pelabuhan Tarik. Oleh karena itu , Raden Wijaya meminta pendapat dari para abdi utamanya.

“Ampun, Tuanku Raden Wijaya. Menurut hamba, sekarang inilah waktu yang tepat untuk mengusir Tar Tar dari sini.”

“Mengapa begitu , Paman Kebo Anabrang?”

"Secara mental mereka pasti terpukul dengan peristiwa tadi. "

“Bagaimana menurut pendapat Paman Arya Wiraraja?”

“Separuh kekuatan mereka telah kita lumpuhkan. Berarti kekuatan mereka hanya tinggal separuhnya. Laksamana. Taru adalah laksamana yang tangguh dan pintar. Apabila kita serbu, ia akan menghitung kekuatan masing-masing. Keadaan ini tentu akan merepotkan mereka.”

“Kalau menurut hamba, sebaiknya kita usir saja Tar Tar dari Majapahit daripada menjadi duri di kemudian hari,” sela Nambi memberi pandangan kepada Raden Wijaya .

“Ya, saya setuju, Gusti Wijaya ,” kata Ranggalawe.

“Ya. Seharusnya begitu, Ananda Wijaya,” tegas Lembu Sura.

Setelah mendengar saran dari para abdi utamanya, Raden Wijaya mengerahkan prajurit untuk menggempur Tar Tar di Pelabuhan Tarik. Seribu prajurit Majapahit dikerahkan. Namun, kehadiran mereka terpantau oleh tentara Tar Tar. Laksamana Taru memanggil para pembantu utamanya untuk membahas situasi yang akan terjadi.

“Ampun, Laksamana. Mereka sekitar seribu prajurit. Apabila kita hadapi akan tidak seimbang.”
“Ya. Aku tahu bahwa mereka dalam semangat kemenangan. Jika kita hadapi, akan sia sialah. Untuk itu, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini sekarang juga.”

31

Sampai di Pelabuhan Tarik, Raden Wijaya dan para pengikutnya melihat tentara Tar Tar sudah mulai meninggalkan pelabuhan itu. Kepergian mereka disambut meriah oleh prajurit Majapahit.

"Hei, Tar Tar enyahlah dari bumi Jawa Dwipa dan jangan pernah berani ke sini lagi.’’ teriak prajurit Majapahit yang langsung disambut kepalan tangan yang di.tujukan kepada tentara Tar Tar.

Lembu Sura, Ranggalawe, dan Arya Wiraraja sangat besar andilnya dalam menggempur Daha dan mengusir Tar Tar. Mereka bertiga dianggap sebagai benteng dan perisai Raden Wijaya. Raden Wijaya menganggap ketiga orang itu sebagai ksatria yang menjunjung kesetiaan untuk negara dan junjungannya. Setelah Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja Majapahit, Arya Wiraraja menetap di Tuban dengan kedudukan sebagai Adipati Tuban dengan gelar Arya Adikara. Ranggalawe juga menetap di Tuban bersama ayahnya, Arya Wiraraja. Sementara itu, Lembu Sura tetap berada di Majapahit sebagai abdi utama raja.

32

4. RANGGALAWE KECEWA


Setelah Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Majapahit, ia menjalankan roda pemerintahan dengan bijaksana. Pada pagi itu ia mengadakan pertemuan dengan abdinya. Semua abdi utama, para senapati, para pejabat tinggi kerajaan, dan para adipati dari berbagai daerah telah hadir. Per. temuan ini merupakan pertemuan terbesar selama kepemimpinan Raden Wijaya. Semua peserta yang diundang telah hadir dan duduk teratur menurut jabatan. Balai pertemuan kerajaan yang besar itu dapat menampung pesertanya .

Setelah semua berkumpul, Raden Wijaya memasuki balai pertemuan dan diiringi oleh segenap abdi, dayang-dayang , dan pengawal lengkap. Raden Wijaya duduk di kursi singgasana. Tak lama kemudian, Nambi yang telah diangkat sebagai Patih Majapahit memimpin penghormatan terhadap raja, “Salam hormat kami pada Baginda.”

“Hormatmu , kuterima dengan senang hati. Bagaimana kabar kalian Paman? Kuharap semua baik-baik saja .”

“Kami semua baik. Semua ini juga berkat doa dari Baginda dan juga Sang Hyang Widi,” kata para hadirin serentak.

Setelah mengadakan salam pembuka, Raja Wijaya bertanya kepada Patih Nambi, “Setelah kuamati ternyata aku tidak melihat Ranggalawe datang untuk menghadapku. Ada apa sehingga ia tidak hadir ke hadapanku?”

“Ampun Baginda Raja. Hamba tidak diberi tahu alasan ketidakhadiran Adinda Ranggalawe di sini. Mungkin ia tidak hadir karena perlu istirahat setelah capai kerja .”

33

Raja Wijaya tampak maklum dengan penjelasan Patih Nambi sehingga beliau tidak ingin bertanya lebih lanjut. Raja Wijaya ingin melanjutkan pertemuan itu untuk membahas masalah lain. Namun, Raja Wijaya belum mulai bicara dari luar ruang balai pertemuan terdengar suara gaduh. Semua peserta langsung menolehkan kepalanya ke arah pintu masuk balai pertemuan. Patih Nambi segera bertindak. Ia ingin memanggil prajurit jaga.

“Ada apa prajurit?”

“Ada Tuan Ranggalawe di luar balai pertemuan. Tampaknya beliau tidak enak hati, Tuanku Patih .”

Tak lama kemudian, Ranggalawe telah berdiri di samping Patih Nambi. Tanpa membuang waktu Patih Nambi memberi isyarat mengajak Ranggalawe menghadap Raja Wijaya. Semua hadirin yang berada di balai pertemuan segera sadar bahwa Ranggalawe kelihatan tidak enak hati. Mereka memberi jalan ketika Ranggalawe lewat di hadapannya. Setelah berada di hadapan Raja Wijaya, Ranggalawe memberi hormat takzim lalu duduk tepekur.

“Syukurlah kau datang ke sini dengan baik dan selamat, Ranggalawe. Baru saja saya menanyai Paman Nambi soal ketidakhadiranmu. Namun, saya lega sekarang karena kau telah hadir. Aku sangat senang bertemu denganmu,” kata Raja Wijaya dengan tersenyum hangat.

“Ampun Gusti, hamba merasa malas ke Walitikta karena hamba diperlakukan tidak adil.”

Raja Wijaya kaget mendengar ucapan Ranggalawe yang penuh sindir kepadanya. Semua yang hadir pun tak kalah terkesima oleh kata-kata Ranggalawe yang dianggapnya kurang sopan terhadap rajanya.

“Apa yang kaumaksud, Ranggalawe? Siapa yang tidak adil padamu?”

"Hamba telah bertarung dengan prajurit Daha. Hamba bertempur di medan laga tanpa pilih tanding. Banyak musuh telah hamba hadapi hingga mereka bercerai-berai. Selain itu, tentara Tar Tar pun juga mengalami nasib yang sama.

34

Akan tetapi, mengapa yang mendapat kedudukan adalah orang yang tidak banyak berbuat jasa?"

Raja Wijaya menjadi tidak enak hatinya. Beliau merasa sedih karena tuduhan itu berasal dari orang yang disayanginya. Sementara itu, para peserta menjadi agak terbuka hatinya karena ucapan Ranggalawe itu merupakan sindiran yang ditujukan kepada Patih Nambi. Patih Nambi pun mengetahui bahwa sindiran Ranggalawe itu ditujukan pada dirinya. Beberapa saat Patih Nambi berdiam diri dan menahan hati yang sebenarnya marah, bergemuruh dadanya.

“Aduh, Ranggalawe. Aku jadi tidak enak. Apakah aku telah menelantarkanmu di Tuban?”

“Sebenarnya, kedudukan itu cocok untuk orang yang berjasa, bukan orang takut pada musuh pada saat peperangan. Tidak punya malu.”

Patih Nambi tidak dapat menerima ejekan Ranggalawe. Ucapan Ranggalawe itu jelas jelas merendahkan dirinya di hadapan raja dan para hadirin. Ia segera menyahut,

“Ranggalawe, jaga sikap dan ucapanmu di hadapan Tuanku Raja. Bukankah ini titah seorang raja?”

“Tetapi, Paman Nambi tidak punya malu. Paman menerima sesuatu yang sebenarnya tidak pantas diterima.”

Beberapa abdi utama merasa tidak enak mendengar pertengkaran itu. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak karena mereka mengetahui siapa Ranggalawe, yaitu seorang ksatria sejati dan tetah banyak berkorban demi Majapahit. Suasana sengit itu dicairkan oleh Raja Wijaya dengan cara melerai.

“Adinda Ranggalawe, terus terang saja. Saya sangat sayang kepada Adinda. Saya tidak menutup mata. Namun, perlu disadari bahwa semua abdiku telah membantuku. Mereka masing-masing telah mengabdikan dirinya kepada Raja. Demikian pula Adinda Ranggalawe dan Paman Nambi. Oleh karenanya, Adinda harus bersabar. Semua tinggal
menunggu waktu saja.”

35

Semua hadirin mendengar penjelasan Raja Wijaya dengan penuh perhatian. Mereka setuju dengan pendapat rajanya sehingga mereka mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun, Ranggalawe masih panas hatinya. Ia masih belum puas dan masih mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada Patih Nambi.
Kebo Anabrang, ternan dekat Patih Nambi dan ternan seperjuangan di zaman Kerajaan Singasari sebelum dihancurkan oleh Kerajaan Daha, panas hatinya. Ia tidak rela mendengarkan temannya dihina oleh Ranggalawe. Kebo Anabrang menganggap Ranggalawe sebagai anak kemarin sore yang tidak punya tata krama. Lalu ia menghardik Ranggalawe,

"Hei, Ranggalawe, jagalah mulutmu. Kamu anggap apa aku dan hadirin yang lainnya di sini? Janganlah kamu sombong dan merasa diri paling kuat. "

“Oh, Paman Anabrang. Rupanya paman mau turut gelanggang. Ranggalawe tidak takut mengahadapimu.”

“Ranggalawe, jangan banyak bicara saja. Kalau kamu tidak puas, kutantang kamu. Pulanglah ke Tuban, ambillah senjata dan kerahkan prajuritmu. Aku akan menampung tantanganmu di medan laga.”

Ranggalawe semakin panas hatinya ketika mendengar tantangan Kebo Anabrang. Ia segera berdiri lalu beranjak pergi tanpa memberi hormat kepada Raja Wijaya terlebih dahulu. Ketika meninggalkan ruang pertemuan, Ranggalawe masih mengeluarkan kata-kata yang penuh ancaman,

“Hei, Baginda Raja Wijaya telah membuatku malu saja. Dan juga tidak mau tahu akan jasa dan pengabdianku selama ini, serta memilih orang yang tidak cakap.”

Raja Wijaya mendengar perkataan Ranggalawe dengan hati sedih. Sepeninggal Ranggalawe dari balai pertemuan, ruang sidang itu tampak sunyi senyap meskipun di dalamnya berkumpul seratusan orang. Raja Wijaya diam seribu bahasa. Tiada sepatah kata pun keluar. Beliau tetap duduk di kursi singgasananya, tetapi tampak berpikir keras. Patih Nambi, Lembu Sura, Pamandhana, Kebo Anabrang yang merupakan abdi utama raja tidak berani memulai bicara.

36

image

Ranggalawe semakin panas hatinya ketika mendengar tantangan Kebo Anabrang . Ia segera berdiri dan beranjak pergi tanpa memberi hormat keraja Raja Wijaya .

37

Namun, setelah beberapa lama diam, Raja Wijaya memanggil Lembu Sura dengan tiba tiba. Lembu Sura segera menyimak apa yang hendak disampaikan rajanya.

“Paman Sura, apakah yang diinginkan Ranggalawe itu harus kuturuti? Maksudku, Paman Nambi akan kuberhentikan saja dari jabatan dan kupenuhi keinginan Ranggalawe. Bagaimana pendapat Paman Lembu Sura?”

Lembu Sura mendengar ada beberapa hal penting yang dikatakan Raja Wijaya. Ia sangat menyadari bahwa saran yang hendak disampaikan itu menyangkut negara sehingga jawaban yang diberikan harus tepat dan penuh keadilan. Ia pun menjawab,

"Aduh, Gusti sesembahan hamba. Semoga Paduka tidak terpengaruh oleh keinginan Ranggalawe dan tidak menaruh prasangka kurang baik terhadap Patih Nambi. Selama masih ada hamba, Patih Nambi, Kebo Anabrang dan prajurit Majapahit yang tangguh lainnya, tidak ada alasan bagi Paduka untuk takut akan ancaman Rangalawe.

Ranggalawe adalah keponakan hamba dan ia adalah anak dari Arya Wiraraja , kakak hamba sendiri. Namun, ia sangat keras dan tidak tahu tata krama. Orang semacam itu
tidak pantas berada di lstana Majapahit. Ia hanya akan menjadi sandungan bagi negeri ini. Oleh karenanya, lebih baik dia disingkirkan saja ."

“Paman Sura, adakalanya saya ingin bertindak seperti itu. Namun, rasa sayangku pada Ranggalawe begitu besar. Seperti Paman Sura tahu bahwa menyingkirkan dia berarti akan meninggalkan kepedihan bagi sanak keluarganya . Orang tuanya sangat berjasa terhadap perjalanan hidupku. Menyingkirkan Ranggalawe akan membuat sengsara orang lain. Apa faedahnya?”

“Ampun Paduka, Ranggalawe telah bertindak bodoh dan merendahkan Paduka Raja. Menurut pendapat hamba, Ranggalawe harus diawasi. Lebih baik kita waspadai dia karena dia dapat berbuat apa saja dan dapat membahayakan kita semua,” kata Patih Nambi memberi saran kepada Raja Wijaya .

38

Pendapat itu mendapat dukungan dari Kebo Anabrang,

“Ampun, Paduka Raja. Menurut pendapat hamba, apa yang dikatakan oleh Patih Nambi benar. Ranggalawe telah pergi begitu saja dari hadapan Paduka tanpa memberi hormat terlebih dahulu. Begitukah sikap seorang adipati? Begitukah sikap seorang pemimpin? Sekarang Ranggalawe telah pulang ke Tuban dengan hati kecewa. Oleh karena itu, selama ia pergi lebih baik kita mempersiapkan diri. Jangan sampai kita kecolongan. Apabila, ia akan mengerahkan prajuritnya ke Majapahit dengan sungguh-sungguh. Kita patut mewaspadainya. Jangan kita biarkan tentara Tuban memasuki Majapahit.”

Pendapat Kebo Anabrang mendapat persetujuan dari semua yang hadir. Raja Wijaya menerima saran dari para abdinya, lalu beliau menutup sidang itu. Semua peserta sidang pergi meninggalkan balai pertemuan dengan pikiran masing-masing. Awan biru menyelimuti kota Majapahit, matahari bersinar cerah, tetapi keprihatinan merasuki hati
kawula Majapahit.

Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ranggalawe setelah meninggalkan balai pertemuan di lstana Majapahit. Ranggalawe masih panas hatinya. Ia kecewa bahwa Raja Wijaya tidak memperhatikan dirinya. Dalam perjalanan keluar istana untuk kembali ke Tuban, Ranggalawe merusak apa saja yang ia temui. Beberapa tiang-tiang bangunan dirusaknya. Bahkan, ia juga merusak rumah Patih Nambi yang terletak tidak jauh dari balai pertemuan. Beberapa prajurit Majapahit berusaha mencegah Ranggalawe agar tidak melakukan perbuatan yang tidak terpuji, tetapi banyak di antara mereka yang tersungkur ke tanah akibat pukulan Ranggalawe. Seoarang prajurit jaga rumah Patih Nambi lari tergopohgopoh untuk memberi tahu tuannya. Kehadiran prajurit itu memancing perhatian dari hadirin yang baru saja selesai mengikuti pertemuan dengan Raja Wijaya. Lembu Sura yang berdiri tidak jauh dari Patih Nambi turut mendengar berita itu. Lembu Sura bergegas menuju ke arah Patih

39

Nambi sambil bergumam, “Uh, dasar Nambi. Mengapa ia tidak cepat turun tangan. Kenapa ia menjadi penakut seperti ini. Kalau begitu, biar aku yang menghadapi Ranggalawe. Akan aku hadapi dia meski harus mengorbankan jiwaku .”

Kebo Anabrang ingin turun tangan juga untuk menghadapi Ranggalawe. Ia semakin benci kepada Ranggalawe. Dengan tangan mengepal dan lengan baju disingsingkan, Kebo Anabrang bergegas menuju ke arah Ranggalawe. Namun , niat itu terlihat oleh Pamandhana. Pamandhana segera mencegah Kebo Ananbrang.

“Hei, Kebo Anabrang. Hatimu jangan cepat menjadi panas seperti Ranggalawe. Tindakanmu itu justru akan menjadikan masalah ini semakin rumit saja ,” kata Pamandhana menyindir Kebo Anabrang yang dinilainya bertidak sangat berlebihan.

“Ranggalawe seperti lelaki sendiri, Pamandhana .”

“Kalau kamu ikut turut turun gelanggang berarti kamu juga seperti Ranggalawe, merasa seperti lelaki sendiri.”

“Kata-katamu penuh sindir, Pamandhana.”

“Bukan begitu maksudku! Kalau kamu ingin menguji raga dengan Ranggalawe tunggu waktu yang tepat, Anabrang.”

“Kenapa harus nanti? Saya penasaran dengan kemampuannya.”

"Sekali lagi, kusarankan padamu. Jangan bertindak bodoh. Kehadiranmu akan semakin membakar amarahnya.

Apabila terjadi, pastilah Baginda Raja Wijaya tidak akan berkenan dan marah kalau peperangan terjadi di dalam istana. Apa kamu lupa bahwa pengikut Ranggalawe tidak ada di sini? Ia memiliki prajurit dari Madura yang punya andil besar dalam mendirikan Negara Majapahit ini. Jika terjadi perang dan Rangalawe berhasil mengalahkan kita bagaimana? Banyak orang akan mati. Akibatnya banyak orang akan mengungsi. Bagaimana Anabrang? Apakah kamu lupa dengan kata-katamu di hadapan Baginda tadi?" kata Pamandhana membujuk Kebo Anabrang.

40

Kebo Anabrang mengurungkan niatnya dan dalam hatinya membenarkan pendapat Pamandhana.

“Sebaiknya, masalah ini diserahkan pada Paman Lembu Sura. Mintalah Paman Lembu Sura untuk membujuk Ranggalawe agar segera keluar istana. Janganlah membuka perang di dalam istana sendiri. Akan lebih mudah kita menghadapi Ranggalawe setelah keluar dari istana,” kata Singa Sadurla, Wirabumi, dan Jaran Wahan.

Lembu Sura memahami bahwa semua pejabat kerajaan setuju jika dia yang harus turun tangan sendiri. Sambil bergegas menuju ke arah Ranggalawe, Lembu Sura masih sempat menyindir,

“Kalian hanya bisa bicara saja, tanpa turun tangan, dan tak cepat bertindak.”

Ranggalawe masih terus mengamuk. Banyak pohon yang berdiri di sekitar istana roboh. Ia menghancurkan pohon-pohon itu dengan keris saktinya. Tidak puas dengan pohon pohon itu, lalu ia menghancurkan beberapa bangunan . Lembu Sura mengayunkan kakinya lebih cepat lagi dan tak lama kemudian kehadirannya dilihat oleh Rangalawe.

“Ah , Paman Lembu Sura. Rupanya hanya Paman yang berani menghadapiku. Mana Patih Majapahit itu? Kenapa masih sembunyi? Paman Lembu Sura, kalau ingin menyingkirkan saya, jangan dengan cara begini. Masak saya harus menghadapi pamanku sendiri.”

Apa yang dikatakan oleh Rangalawe sangat menyentak hati Lembu Sura. Dalam hatinya ia menaruh iba kepada keponakannya yang sangat disayanginya. Kata-kata Ranggalawe telah meluluhlantakkan hatinya. Namun, dalam situasi yang panas itu ia harus bersikap penuh perhitungan .

“Ranggalawe, Anakku. Apa kamu masih mau mendengarkan nasihatku, Pamanmu . Aku pun memahami kekecewaan hatimu. Namun, sebaiknya kamu kendalikan dulu emosimu. Cobalah bersabar, Anakku. Apakah kerismu itu masih kamu perlukan lagi sehingga keris itu masih kamu pegang erat-erat?”

41

Ranggalawe mau mendengarkan kata-kata Lembu Sura sehingga ia langsung menyarungkan kerisnya ke dalam tempatnya. Ia menatap Lembu Sura dengan sorot mata tajam. Namun, ia terlihat lebih sabar daripada sebelumnya. Lembu Sura menyambung bicaranya,

“Ranggalawe, apa kamu lupa bahwa Baginda Raja Wijaya itu sangat sayang padamu. Cintanya begitu besar padamu sehingga beliau telah menganggapmu sebagai adik sendiri. Sampai kamu meninggalkan istana tadi, beliau masih menyayangi dirimu. Kamu telah dianggap sebagai orang kesayangan sehingga bisa keluar masuk istana dengan sesuka hatimu, tidak seperti orang yang lainnya.”

“Paman tidak salah. Hal itulah yang menyebabkan hamba berbuat demikian. Paduka Raja Wijaya telah banyak memberiku pahala dan kesenangan. Oleh karenanya, hamba merasa rela jika harus mati di lantai istana, sebagai abdi yang siap berkorban demi junjungannya.”

“Ranggalawe, kelihatannya tekadmu telah bulat. Agar tidak terjadi salah paham di kemudian hari dengan Kanda Adikara, pulanglah dahulu ke Tuban. Sampaikan kekecewaanmu ini pada Ayahandamu dan utarakan pula bahwa apa yang akan kautempuh itu telah kauyakini benar. Beginilah saranku, Anakku,” kata Lembu Sura kelu.

“Baiklah, Paman. Saya akan pulang ke Tuban. Akan kuberi tahu Ayahanda tentang keputusanku. Barangkali ini memang sudah menjadi suratan takdir dari Sang Hyang Widi, nasibku akan seperti ini. Manusia hanya bisa menjalaninya. Kalau toh pada akhirnya saya mati dalam peperangan nanti, saya tidak akan pernah menyesalinya. Saya mau pulang, Paman. Paman tunggu aku di sini atau di medan laga,” kata Ranggalawe dengan jiwa yang terluka, lalu pergi meninggalkan Lembu Sura.

Lembu Sura termenung beberapa saat. Ia mendengar semua keluh kesah keponakannya. Rasa kasihan, iba, dan bersalah bercampur. Ia mengakui bahwa Ranggalawe adalah ksatria jujur dan tanpa pilih tanding, serta pernah berjuang bersama menghadapi musuh.

42

Rasa bersalah muncul karena ia tidak dapat mengubah keputusan Ranggalawe
yang terlanjur diambil. Lembu Sura masih berdiri di tempatnya dan belum beranjak. Ia melihat Ranggalawe telah berada di atas kudanya. Beberara pengikut Ranggalawe yang selama ini ikut mengabdi di Majapahit memilih bergabung dengan Ranggalawe. Mereka berjumlah kurang lebih seratus orang dan diketuai Rakiyan Gagarang dan Rakiyan Tambakwisthi. Ranggalawe berada di depan dan diikuti oleh para pengikutnya. Ketika hendak meninggalkan istana, Ranggalawe masih sempat bertemu dengan Pangrupak dan Tanjeg Reneng yang ditugasi oleh Raja Wijaya untuk memata-matai sepak terjang Ranggalawe dan pengikutnya.

“Hei, Pangrupak dan Tanjeg Reneng, orang terkasih Baginda Raja Wijaya. Mengapa masih juga kamu memata-mataiku. Apa kamu ingin membunuhku di tengah Jalan?”

Kedua mata-mata itu tidak mampu berkata apa-apa. Mereka tampak sangat ketakutan dan gemetaran tubuhnya.

“Kenapa diam saja?”

"Ampun, Paman Ranggalawe. Saya hanya bisa memberi saran kepada Paman. Sebenarnya , Paman Ranggalawe adalah abdi terkasih Baginda Wijaya. Paman jangan salah paham, " kata Tanjeg Reneng penuh ketakutan.

Ranggalawe hanya menganggap biasa ucapan Tanjeg Reneng. Sambil terus berlalu, Ranggalawe masih mengumbar ancaman, “Hei, orang-orang Majapahit. Tunggulah saatnya tiba. Berhati-hatilah mulai sekarang . Kalian telah mengecewakanku. Siapkan jiwa dan ragamu. Asahlah pedang dan pisau, serta berlatih lebih giat.”

43

5. KEMBALI KE TUBAN


Ranggalawe dan pengikutnya keluar istana menuju Tuban. Jarak antara Majapahit dengan Tuban kira-kira seratus pal. Untuk sampai Tuban, mereka akan melewati puluhan kampung. Sepanjang perjalanan , Ranggalawe memuntahkan rasa kesalnya dengan perbuatan yang menakutkan. Ranggalawe melewati Desa Kemlagi. Warga desa itu lari tunggang Janggang untuk menyelamatkan diri dari kejaran pengikut Ranggalawe. Para orang tua, perempuan, dan anak-anak dibiarkan pergi. Sementara itu, para pemuda dikumpulkan di halaman kepala desa. Rakiyan Gagarang dan Rakiyan Tambakwisthi memimpin kegiatan itu .

“Apakah hanya sejumlah ini wargamu, Ki Buyut Kemlagi?” ·

“Ampun , Tuan Ranggalawe. Hanya itulah wargaku. Tidak ada lagi yang lainnya .”

Kemudian, beberapa orang pengikut Ranggalawe menanyai warga Kemlagi secara bersamaan, dimulai dari Ki Buyut Kemlagi dan seterusnya . Warga Kemlagi diminta untuk menentukan sikap apakah mereka bersedia menjadi pengikut Ranggalawe atau tunduk kepada Raja Majapahit.

“Apakah kamu mau bergabung denganku, Ki Buyut Kemlagi?” tanya seorang pengikut Ranggalawe.

"Ampun , Tuanku. Terus terang saja hamba tidak tahu apa maksud Tuan. Apalagi hamba sudah tua begini. "

“Justru karena kamu orang yang dituakan di sini, kamu dapat mengajak wargamu. Bukan malah menghindar dan berputar-putar kata saja,” kata prajurit itu.

44

“Ampun, Tuanku, hamba tidak mau. Selama ini hamba telah dilindungi oleh Baginda Raja Wijaya. Jadi, hamba tidak mau mengkhianatinya,” jawab Ki Buyut Kemlagi mantap.

Jawaban Ki Buyut Kemlagi membuat kesal prajurit Ranggalawe. Ki Buyut Kemlagi dianggap melawan sehingga ia dihukum cambuk. Bagi warga yang bernyali kecil, mereka akan memilih bergabung dengan Ranggalawe untuk menghindari hukuman. Namun, bagi warga Desa Kemlagi yang memiliki nyali dan pendirian kuat, mereka akan menyatakan menolak meskipun harus menanggung akibatnya.

Prajurit Ranggalawe memisahkan antara yang mau bergabung dan yang menolak bergabung dengan Ranggalawe. Warga yang mau bergabung hanya sedikit jumlahnya dibandingkan dengan yang menolak. Hal itu membuat bertambah marahnya Ranggalawe.

Ranggalawe memuntahkan kemarahannya dengan mencambuk warga yang menolak. Ada beberapa warga Kemlagi yang berhasil melarikan diri. Mereka bersembunyi terlebih dahulu sebelum melaporkan kejadian itu kepada Raja Wijaya. Para pengikut baru itu diajak Ranggalawe menuju Tuban. Suasana desa menjadi riuh .

Selesai mencari pengikut di Desa Kemlagi, Ranggalawe meneruskan perjalanan ke Tuban. Mereka melewati Desa Mbantub. Di desa itu, Ranggalawe berusaha mencari tambahan pengikut seperti yang dilakukan di Desa Kemlagi. Selama di Desa Mbantub, para pengikut Ranggalawe terus mencari para pemuda untuk dijadikan prajurit Tuban. Namun, hasilnya sama dengan yang terjadi sebelumnya. Banyak warga Mbantub menolak bergabung dengan Ranggalawe.

“Tuanku Ranggalawe, dari Desa Mbantub ini kita hanya memperoleh tambahan dua puluh satu orang saja. Yang lainnya menolak bergabung.”

Laporan Rakiyan Gagarang membuat gusar dan kesal Ranggalawe. Sebagai akibatnya, banyak rumah dan harta benda dirusak dan dibakar. Keadaan desa menjadi heboh.

45

Mereka sedapat mungkin melarikan diri dan melaporkan peristiwa itu ke Majapahit. Namun, bagi mereka yang berhasil ditangkap akan mengalami nasib naas. Setelah bermalam di Desa Mbantub, Ranggalawe dan pengikutnya meneruskan perjalanan lagi. Kabar pembakaran rumah di desa itu telah tersebar ke desa sekitarnya. Oleh sebab itu, ketika memasuki Desa Gimbang, rombongan Ranggalawe mendapat perlawanan dari warga desa. Sebagian besar warga Gimbang telah menyingkir ke luar desa sehingga yang terlihat hanyalah rumah-rumah yang hanya dihuni oleh pemuda-pemuda desa di bawah pimpinan Sidi, Klabang Curing, Tosan, dan Cicak Muringgang.

“Brak … brak …”

Beberapa prajurit mendobrak pintu rumah warga. Mereka tidak menemukan seorang warga pun . Hal itu menimbulkan kecurigaan Ranggalawe dan prajuritnya . Ranggalawe segera menyuruh prajuritnya untuk lebih waspada.

“Kedatangan kita telah diketahui oleh warga Gimbang . Hati-hati. Mereka pasti merencanakan sesuatu .”

Belum lama berselang, tiba-tiba dari balik semak-semak ada ratusan pemuda Gimbang menyerbu rombongan Ranggalawe. Mereka bersenjata golok, parang, tombak , dan panah. Beberapa anak panah melesat dan mengenai prajurit Ranggalawe. Beberapa prajurit Ranggalawe tersungkur oleh sabetan golok warga Gimbang.

“Bangsat, mereka telah menyerang dari belakang. Ayo, kita rangsek terus,” teriak Rakiyan Gagarang memimpin prajurit Ranggalawe.

Pada mulanya prajurit Ranggalawe terdesak, tetapi lambat laun mereka dapat menguasai medan pertempuran. Ranggalawe sangat kesal sehingga ia turun tangan dan ikut merangsek para penyerangnya. Dalam sekejap beberapa penyerang roboh. Rakiyan Gagarang dan Rakiyan Tambakwisthi bertempur dengan segenap kemampuan. Sidi dan Tosan mengeroyok Rakiyan Gagarang. Sementara itu, Klabang Curing dan Cicak Muringgang mengeroyok Rakiyan Tambakwisthi.

46

“Ayo keluarkan semua kepandaianmu . Hadapilah aku,” kata Gagarang mengejek kedua musuhnya.

''Tidak usah sombong, pemberontak," teriaknya tak kalah nyali.
·
Sementara itu, prajurit Ranggalawe terus menerjang warga Gimbang. Karban terus berjatuhan di pihak warga Gimbang. Sidi, Tosan, Cicak Muringgang, dan Klabang Curing mulai menyadari bahwa mereka mulai terdesak. Dengan suatu isyarat, keempat orang itu melarikan diri ketika musuhnya lengah. Rakiyan Gagarang dan Rakiyan Tambakwisthi kesal karena musuhnya lolos.

“Jangan dikejar, biarkan mereka lari dan menghadap tuannya,” teriak Ranggalawe kepada kedua pembantu utamanya.

“Berhenti!”

Teriakan Ranggalawe itu terdengar sangat nyaring sehingga yang bertempur pun langsung berhenti.

“Hei, warga Gimbang. Apa kalian ingin binasa? Lihatlah pimpinan kalian telah melarikan diri,” teriak Ranggalawe menyadarkan musuhnya. Warga Gimbang hanya tinggal 53 orang. Sementara itu, empat orang prajurit Ranggalawe tewas dan delapan orang luka-luka. Kemudian, mereka mengumpulkan para warga Gimbang yang tersisa untuk ditanyai sikapnya. Akhirnya, semua tawanan bersedia bergabung dengan Ranggalawe.

Saat mendekati Tuban, prajurit Ranggalawe semakin bertambah banyak. Tambahan prajurit berasal dari beberapa desa yang berada di sebelah selatan Tuban. Para pimpinan desa di wilayah selatan Tuban selama ini dilindungi ·oleh Adipati Tuban, Adikara. Adikara adalah nama lain dari Arya Wiraraja setelah dilantik Raja Wijaya menjadi Adipati Tuban bersama Ranggalawe. Oleh sebab itu, ketika rombongan Ranggalawe melewati desa Rengel, Barno, Sakdadi, Kabat, Plumpang, Matsekar, dan Merkurak disambut meriah.

47

Penduduk di daerah itu mendukung Ranggalawe. Dari desa-desa itu, Ranggalawe mendapat tambahan prajurit hingga mencapai sembilan ratus orang. Mereka dikumpulkan di alun-alun Tuban. Di Kabupaten Tuban, Adipati Adikara menyambut kehadiran putranya dengan suka cita. Tidak seperti biasanya, Adipati Adikara terlihat muram wajahnya, tetapi beliau berusaha menyembunyikan kegalauan hatinya itu kepada putra satu-satunya.

“Ranggalawe, anakku. Baru tujuh hari yang lalu anakku meninggalkan Tuban menuju Majapahit. Sekarang sudah kembali lagi ke Tuban. Juga, dengan ratusan orang menyertai anakku. Mengapa sebentar sekali anakku menghadap Raja Wijaya. Ada kejadian apa sebenarnya , anakku?”

“Ayahanda. Apa yang Ayahanda katakan itu benar. Anaknda hanya sekejap menghadap Baginda Raja Wijaya.”

“Mengapa, anakku? Bukankah Baginda menyambutmu dengan senang hati dan menggembirakan hatimu, anakku?”

“Ayahanda. Mungkin ini memang sudah menjadi takdir. Takdir Anaknda untuk menempuh jalan seperti ini.”

“Apa yang membuat kecewa, anakku?”

“Anaknda tahu bahwa Baginda Raja Wijaya selalu memberikan perhatian yang besar dan selalu baik pada Anaknda. Namun, hati Anaknda sangat kecewa ketika mengetahui bahwa Nambi telah dipilih menjadi patih. Hal itu membuat diri Anaknda sangat hina. Mengapa? Karena menurut Anaknda, Nambi tidak pantas menempati jabatan
itu, Ayahanda.”

“Duh, Gusti Pangeran Yang Maha Agung. Ampunilah hamba-Mu ini. Ranggalawe, seharusnya engkau selalu ingat bahwa semua yang kita miliki merupakan kebaikan budi Gusti Raja Wijaya, junjungan kita. Kebaikannya merupakan berkah bagi kita semua dan patut selalu kita syukuri.”

48

image

Sampai di Tuban , Ranggalawe mengadukan nasib dan kekecewaan hatinya atas pengangkatan Nambi menjadi Patih Majapahit kepada Ayahandanya, Adipatai Adikara .

49

Tetapi, siapakah Nambi. Kita semua tahu. Ia ksatria pengecut. Apa yang dilakukannya semasa melawan Daha. Dan apa pula jasanya ketika mengusir Tar Tar. Andilnya sangat kecil. Sementara itu, Ayahanda tahu akan andil Anaknda dalam mendirikan Majapahit."

“Di situlah letak permasalahannya, anakku. Engkau merasa sangat berjasa terhadap Majapahit. Sementara orang lain kauabaikan jasa-jasanya. Seharusnya engkau tidak boleh berpikir seperti itu.”

'Tapi, Baginda Raja Wijaya telah mewisuda Nambi untuk jabatan Patih Majapahit."

“Ayahanda yakin, Baginda Raja Wijaya punya pemikiran lain. Anakku harus sabar!”

“Ayahanda, hal ini memang sudah takdir Anaknda. Barangkali, Anaknda adalah manusia yang tak tahu adat. Lebih baik Anaknda mati daripada menanggung malu dan menjadi tertawaan orang .”

“Duh, Anakku. Tolong redakan amarahmu. Kurangilah nafsu amarahmu. Jangan kauturuti perasaan iri hati itu. lri hati itu perbuatan tidak baik. Apabila anakku turuti sifat itu, Engkau akan berada di jalan yang salah. Akibatnya, anakku akan rugi sendiri. Hilangkan perasaan sepertf itu. Janganlah iri hati itu kaubawa hingga mati. Jika hal itu terjadi, kematianmu akah sia-sia dan hina.”

Ranggalawe mendengar semua nasihat ayahnya. Namun, semua saran itu tidak dapat mengubah rasa sakit yang telah mengakar sampai lubuk hatinya. Ia tidak mau mengurungkan niatnya. Adipati Adikara tidak dapat berbuat banyak. Beliau sangat sedih. Kesedihan itu terlihat dari sikapnya yang terduduk lesu di kursi singgasana meskipun di depannya telah terkumpul puluhan orang abdinya yang berasal dari berbagai daerah Tuban. Hadirin tidak ada yang berani menyela. Di hadapan hadirin itu, Ranggalawe justru menyatakan perang terhadap Majapahit,

“Hei, orang-orang Wilatikta, bukalah matamu Iebar-Iebar, ayo hadapilah aku, Ranggalawe ksatria Tuban. Kerubutlah aku dari segala penjuru. Ranggalawe tidak akan gentar, tidak akan mundur setapak pun.”

50

Selanjutnya, Ranggalawe mengangkat Rakiyan Gagarang dan Rakiyan Tambakwisthi sebagai panglima perang. Semua demang, lurah, petinggi dusun, dan penduduk pria, bersedia menyumbangkan jiwa dan raganya untuk membela Adipati Ranggalawe. Para petinggi yang hadir itu adalah Gelap Gambar, Demang Wirapramoda, Wiyogranggarit, Jagarupa, Tumenggita, Wirasastra, Napakbaya, Dhangdali, Sawung lndra, Sulam, Wiraprabara, Kamuruhan, Tumenggung Puspalaya, Langlag Buwana, Wulugrat, dan Baratkatiga.

“Hei, para mantri dan para wargaku. Mari kita hancur. kan Majapahit. Mereka telah menghinaku. Mari kita berjuang bersama-sama. Hidup seia dan mati sekata,” seru Ranggalawe memberi semangat para mantri dan warganya.

“Hidup Adipati Adikara, hidup Adipati Ranggalawe, hidup Tuban ,” sambut mantri dan warga serentak.

Alun-alun Tuban bergemuruh. Ribuan prajurit berkumpul dengan senjata masing-masing. Mereka siap berkorban untuk membela sakit hati junjungannya. Ranggalawe hatinya berbunga. Ia pun menyuruh semua prajuritnya untuk mempersiapkan diri. Untuk sementara kita alihkan cerita ini ke Majapahit. Pada saat yang bersamaan , seperti halnya di Tuban. Di lstana Majapahit sedang berlangsung pertemuan penting.

Raja Wijaya memanggil patih, para menteri utama, senapati, dan kerabat kerajaan. Sang Raja ingin membahas perkembangan yang tengah terjadi di Tuban. Untuk mengetahui perkembangan di Tuban, beliau meminta laporan dari Patih Nambi.

“Ampun, Baginda Raja Wijaya. Dalam dua hari terakhir, hamba menerima banyak pengaduan dari penduduk yang tinggal di sebelah utara Majapahit. Mereka banyak yang mengungsi karena rumah mereka dibakar oleh Ranggalawe dan banyak di antara pemuda desa di sana yang mengalami nasib naas karena menolak bergabung dengan Ranggalawe.”

51

“Bagaimana dan seberapa kekuatan Ranggalawe?”

“Para pengungsi juga mengadukan bahwa Ranggalawe telah berhasil memaksa pemuda-pemuda dari daerah utara itu untuk bergabung dengannya. Hal ini berarti Ranggalawe sungguh-sungguh ingin memberontak Majapahit.”

“Ampun , Baginda Raja. Menurut pikiran hamba, Ranggalawe sangat kecewa. Kalau tidak ditangani, ia akan sangat berbahaya. Ia telah berhasil menghimpun kekuatan. Sebaiknya Baginda Raja tidak salah mengutus orang untuk mengatasi Ranggalawe,” kata Lembu Sura memberi saran.

“Ya , tentu Paman Sura. Kelihatannya kita akan berperang dengan musuh yang dulu adalah sahabat kita, bahkan, sudah kuanggap saudara sendiri. Oleh sebab itu, aku akan
mengirimkan prajurit dalam jumlah besar. Dan untuk menangani pemberontakan ini aku tunjuk Paman Nambi ke Tuban. Dengan begini, akan kita tunjukkan kepada semua orang bahwa Paman Nambi merupakan orang tepat untuk jabatan itu.”

Patih Nambi memberi sembah kepada Baginda Raja Wijaya.

“Baginda Raja Wijaya, sabda Baginda adalah amanah. Hamba menerima dengan senang hati,” jawab Patih Nambi berusaha meyakinkan hati rajanya.

“Paman Nambi, bawalah prajurit secukupnya dan yang pantas untuk menghadapi Tuban. Sekarang juga pilihlah prajurit dan peralatan perang yang memadai. Jangan menunda waktu lebih lama. Sebaiknya, kita berperang di jantung wilayah Tuban.”

“Titah Baginda akan hamba junjung tinggi. lzinkan hamba meninggalkan pertemuan ini.”.

Patih Nambi meninggalkan balai pertemuan diiringi oleh Pahan, Kuing Sawer, Tumasal, Mahisa Puthul, dan Gagak Biru. Para pengawal Patih Nambi itu merupakan prajurit andalan di masa Kerajaan Singasari. Mereka selalu setia terhadap Nambi.

52

Sementara Nambi menyiapkan pasukannya, Raja Wijaya terus melanjutkan sidangnya. Lembu Sura sebagai menteri utama diminta oleh Raja Wijaya untuk merangkap tugas-tugas yang selama ini ditangani oleh Nambi. Dalam sidang itu lebih banyak dibahas tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi secara tiba-tiba. Karena Lembu Sura merupakan orang yang telah berpengalaman sebagai abdi di Kerajaan Singasari, ia dapat meyakinkan Raja Wijaya untuk sementara waktu.

Matahari bersinar terang dan cahaya tampak berada di atas kepala . Hal itu berarti hari memasuki tengah hari. Di halaman rumah Nambi telah berkumpul sembilan ratus orang prajurit. Mereka terdiri atas pasukan tombak, pasukan pedang, pasukan panah, pasukan berkuda, dan pasukan gajah. Patih Nambi duduk di punggung salah satu pasukan
gajah. Ia mengenakan pakaian kebesarannya sebagai panglima perang. Sementara itu, Pahan, Kuping Sawer, Tumasal, Mahisa Puthul, dan Gagak Biru duduk di atas punggung kudanya masing-masing. Beberapa saat kemudian , Patih Nambi memberi isyarat kepada pembantu utamanya untuk berangkat. Suara gamelan yang memekak telinga menandai keberangkatan pasukan Majapahit.

“Mahisa Puthul berilah tahu Pahan, Kuping Sawer, Tumasal, dan Gagak Biru untuk melewati Desa Gimbang, terus ke Kedung Pring ,” kata Patih Nambi mengatur perjalanan pasukannya.

Mahisa Puthul segera memberi tahu keempat temannya untuk memimpin pasukan masing-masing. Penduduk Majapahit tumpah ruah di sepanjang jalan yang dilalui oleh rombongan Patih Nambi. Ada yang melambai-lambaikan tangannya, memberi isyarat selamat jalan kepada prajurit. Prajurit berasal dari masyarakat. Tentu saja lambaian tangan itu ditujukan untuk sanak keluarga mereka yang sekarang menjadi prajurit Majapahit.

53

Pemandangan itu sangat memilukan. Dalam hati mereka tentu berharap akan dapat bertemu lagi dengan orang-orang yang dicintainya. Matahari bersinar merah dari ufuk barat. Di sebelah selatan, sinar mentari tersapu awan biru. Pemandangan begitu mempesona . Pada saat itulah , pasukan Majapahit tengah memasuki Desa Kedung Pring.

“Tuan Patih, sebentar lagi kita akan memasuki Desa Kdung Pring,” kata Mahisa Puthul meminta pendapat Patih Nambi.

“Sebaiknya kita berhenti dan bermalan di situ. Apakah tempat itu aman?”

“Penduduk desa itu sangat loyal kepada Raja Wijaya . Kita akan aman di desa itu, Tuan Patih.”

Patih Nambi memerintahkan prajuritnya berhenti untuk bermalam. Kehadiran mereka disambut gembira oleh penduduk setempat. Hampir setiap keluarga memberi makanan dan minuman kepada semua prajurit Majapahit. Keesokan harinya, rombongan Patih Nambi melanjutkan perjalanan lagi menuju Kabat. Jarak Kedung Pring ke Kabat tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh dalam waktu setengah hari. Saat memasuki Desa Kabat, rombongan Patih Nambi sangat heran karena keadaannya sangat berbeda dengan di Desa Kedung Pring. Penduduk Desa Kabat mengosongkan rumah masing-masing.

“Desa ini tampak sunyi sekali, Mahisa Puthul?”

“Benar Tuanku, Patih. Kita telah berada di daerah kekuasaan Adipati Tuban.”

“Kehadiran kita tentu sudah diketahui oleh prajurit Tuban.”

“Tentu. Kita harus tetap waspada sampai kita mendapat laporan dari mata-mata yang telah hamba kirim tadi,” sela Pahan kepada Patih Nambi.

Tanpa menunggu waktu lama, Pahan mendapat laporan dari anak buahnya bahwa daerah ini sudah bersih dari jebakan musuh. Patih Nambi memerintahkan prajuritnya memasang tenda sebagai basis prajurit Majapahit.

54

“Kita jangan terlalu masuk wilayah Tuban, Mahisa Puthul. Beri tahu kawan-kawanmu, jangan kita salah perhitungan.”

“Benar, Tuan Patih. Daerah ini berada di persimpangan jalan. Ranggalawe pasti akan datang ke sini,” sela Kuping Sawer sambil melihat denah yang dibawanya.

Kehadiran prajurit Majapahit di Desa Kabat telah diketahui oleh prajurit Tuban. Suara dari bunyi gamelan ditabuh sahut-sahutan terdengar ke seantero Tuban. Prajurit Tuban yang berdekatan dengan Desa Kabat adalah prajurit yang dipimpin oleh Sawung lndra, Kanuruhan, Rangga Suranggana, dan Gerehkasapta. Keempat orang itu memimpin sekitar 160 prajurit. Barisan prajurit Tuban keluar masuk dusun dan bertemu dengan prajurit Majapahit yang secara kebetulan dipimpin oleh Patih Nambi. Kedua kubu itu bertemu di Dukuh Tambakberas.

Perang pertama antara Tuban dan Majapahit pun tidak dapat dihindarkan. Pertempuran terdengar riuh . Patih Nambi memimpin prajurit Majapahit berhadapan prajurit Tuban yang dipimpin Sawung lndra , Kanuruhan, Rangga Suranggana, dan Gerehkasapta . Patih Nambi dikeroyok Sawung lndra dan Kanuruha. Patih Nambi berusaha mengimbangi kedua musuhnya yang ternyata memiliki kemampuan yang hampir sepadan dengannya. Namun, keadaan itu dimanfaatkan oleh Rangga Suranggana dan Gerehkasapta menghancurkan prajurit yang seperti kehilangan induknya. Dalam sekejap Patih Nambi banyak kehilangan prajuritnya. Dengan sangat leluasa, prajurit Gerehkasapta dan Rangga Suranggana memperdayai musuh. Namun, di saat kritis itu, datanglah prajurit Majapahit di bawah pimpinan Mahisa Puthul dan Pahan datang membantu. Pertempuran yang semula berat sebelah mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Kini Rangga Suranggana, Gerehkasapta, Sawung lndra, dan Kanuruhan menjadi terdesak. Semakin lama pertempuran terlihat tidak seimbang .

55

Akhirnya, Patih Nambi dan prajuritnya dapat menumpas prajurit Tuhan yang dipimpin Kanuruhan, Rangga Suranggana, Gerehkasapta, dan Sawung lndra. Kemenangan Majapahit mendapat sambutan yang membahana sehingga semakin membangkitkan semangat mereka. Patih Nambi segera memerintahkan prajuritnya untuk menyeberang Sungai Tidu. Pasukan yang dipimpin Gagak Biru dan Tumasal diperintahkan maju ke depan terlebih dahulu untuk menghindari serangan tiba-tiba seperti yang dialami Patih Nambi di Dukuh Tambakberas.

56

6. RANGGALAWE DAN NAMBI

Ranggalawe sedang berkumpul dengan kedua istrinya. lstri yang pertama bernama Dewi Mertaraga dan istri yang kedua bernama Tirtawati. Kedua istri Ranggalawe itu samasama berparas cantik. Semenjak Ranggalawe pulang dari Majapahit kedua istrinya sangat sedih dan gundah hatinya. Mereka sangat mencintai dan menyayangi suaminya. Oleh sebab itu, mereka berusaha agar suaminya tidak pergi ke medan laga . Namun, Ranggalawe tak putus asa. Ia tetap berusaha melunakkan hati kedua istrinya . Berbagai hal telah dinasihatkan Ranggalawe kepada istrinya sehingga pada akhirnya kedua istrinya mengizinkannya pergi ke medan laga.

“Dinda Mertaraga dan Tirtawati, pengabdian istri kepada suami itu tidak hanya cinta dan setia saja. Mendukung perjuangan suami itu juga merupakan wujud kasih dan sayang ,” kata Ranggalawe berusaha meyakinkan kedua istrinya.

Selanjutnya, Ranggalawe bergegas menuju alan-alun Tuban. Di tempat itu, ia mendengar kabar kematian Rangga Suranggana, Sawung lndra, Gerehkasapta, dan Kanuruhan .
Hati Ranggalawe mendidih seketika.

"Kurang ajar si Nambi. Jangan senang dahulu. Tunggu aku di medan laga, " kata Ranggalawe menyumpahi Nambi.

Kemudian, Ranggalawe memberi arahan strategi dalam menghadapi musuh. Ranggalawe mengatur pasukan Tuban agar dapat mengepung Nambi dari berbagai penjuru. Jaran Pikatan dan Wiyaganingrat ditugasi membantu Tambakwisthi sebagai pasukan pemukul. Dadali dan Sirah berada di sayap kanan untuk membantu Tumenggung Barat

57

Katiga. Tamenggati dan Wulungrat melapis Tumenggung Puspalaya di sayap kiri, sedangkan di bagian belakang diisi oleh Prabangsa, Gelap Ngampar, dan Sapujagat.

“Perhatikan tugas kalian! Apa masih ada yang belum paham dengan tugasnya masing-masing?”

“Jelas, Gusti Adipati,” jawab para pimpinan prajurit serentak.
“Sekarang pergilah ke kelompok masing-masing dan berkumpullah seperti rencanaku tadi.”

Semua prajurit meninggalkan tempat itu. Namun, langkah Ranggalawe terhenti seketika ketika melihat Ki Ageng Palandhongan berdiri di hadapannya. Ki Ageng Palandhongan adalah ayah mertuanya.

“Ayah. Ada apa kok tergesa-gesa?” tanya Ranggalawe berpura-pura.

“Anakku, Ranggalawe. Ayah mau memberi pendapat apakah hal ini sudah kaupikirkan masak-masak?”

'Tentu saja. Hal ini menyangkut harga diri saya, Ayah. Mereka harus menebus kesalahannya."

“Ranggalawe, bukankah perang masih dapat dihindari? Urungkanlah niatmu selagi masih dapat dihindari. Perang hanya menjawab dua pilihan, yaitu menang dan kalah. Yang menang akan berjaya dan yang kalah akan binasa.”

“Hal ini sudah saya pikirkan, Ayah. Semua prajurit telah berkumpul. Mereka tidak boleh menunggu terlalu lama . Hal itu dapat mempengaruhi mental juang prajurit Tuban. Sekarang saya mau berangkat. Doakan saya selamat,” kata Ranggalawe sambil memberikan hormat kepada ayah mertuanya.

Ki Ageng Palandhongan hanya bisa berdiri terpaku . Ranggalawe tidak mempan dibujuk. Dewi Mertaraga dan Tirtawati mengiringi kepergian suaminya meninggalkan lstana Tuban. Setelah memeluk kedua istrinya, Ranggalawe berjalan lurus dan tidak menoleh-noleh lagi. Kuda Ranggalawe terus melaju dan diiringi oleh para panglima dan prajurit.

58

Ranggalawe dan prajuritnya menuju Dukuh Plumpon. Tak lama setelah sampai di Plumpon, rombongan Ranggalawe berpapasan dengan Rombongan Patih Nambi. Merek
saling berhadap-hadapan.

“Hei, Nambi. Besar juga nyalimu.”

“Hei, Ranggalawe. Tariklah pasukanmu sebelum kamu menyesali perbuatanmu.”

“Bedebah, kau, Nambi. Suaramu lantang dan sambong . Selagi ada kesempatan, mari kita uji siapa yang unggul di antara kita,” kata Ranggalawe sambil memberi isyarat kepada prajuritnya untuk maju.

Suara denting pedang tak putus-putus dan tak ada jaraknya, saling sahut yang diikuti pula oleh rintihan dan loIongan kesakitan. Dalam waktu sekejap kedua belah pihak telah saling merangsek. Prajurit Tuban bertemu prajurit Majapahit dan Patih Nambi berhadapan dengan Ranggalawe. Patih Nambi dan Ranggalawe mengadu otot, kecerdikan, dan kelincahan. Beberapa puluh pukulan telah berlalu . Namun , kedua orang itu masih bisa saling menghindar. Beberapa saat kemudian banyak senapati, mantri, dan pejabat tinggi Kerajaan Majapahit yang tewas. Lambat laun prajurit Majapahit terdesak.

“Ayo kerahkan semua kekuatanmu, Nambi. Aku siap menghadapimu,” teriak Ranggalawe penuh ejek.

"Dasar sombong. Seperti lelaki sendiri saja, " jawab Patih Nambi sambil menyiramkan pasir ke arah muka Ranggalawe.

Ranggalawe menghindar beberapa langkah. Siraman pasir itu dapat dihindari sehingga ia tidak terpedaya oleh Patih Nambi. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Patih Nambi untuk melarikan diri. Ranggalawe tidak dapat mengejar Patih Nambi karena ada pasir halus yang masuk di matanya dan harus dibersihkan terlebih dahulu.

“Dasar pengecut. Beraninya dengan cara licik,” guman Ranggalawe di antara pengawalnya.

59

“Sebaiknya, Gusti Adipati menyingkir ke tempat aman untuk menghilangkan debu yang masuk ke mata,” kata Tambakwisthi berusaha melindungi junjungannya itu.

“Ya. Sekarang umumkan ke prajurit Majapahit bahwa panglimanya telah melarikan diri,” perintah Ranggalawe kepada Tambakwisthi.

"Hei, prajurit Majapahit hentikan perlawanan kalian. Lihatlah junjunganmu, Nambi, telah lari terbirit-birit, hendak menyelamatkan diri sendiri, " teriak Tambakwisthi.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pertempuran mereda. Banyak prajurit Majapahit memilih melarikan diri seperti Patih Nambi. Akan tetapi, adapula yang tetap bertempur hingga tetes darah penghabisan dan yang lainnya langsung menyerah. Ranggalawe memberi pengampunan kepada prajurit Majapahit yang menyerahkan diri. Dalam perang itu ratusan tentara Majapahit menjadi korban. Di pihak Rangga. lawe, jumlah korbannya tidak begitu banyak.

Di lstana Majapahit sedang berlangsung pertemuan dan dipimpin langsung oleh Raja Wijaya. Pertemuan itu merupakan pertemuan paripurna sehingga para pembesar kerajaan hadir tanpa terkecualikan. Lembu Sura duduk di barisan paling depan sejajar dengan Kebo Anabrang. Di barisan kedua ditempati oleh Pamandhana yang berhadapan dengan Mahisa Pawagal, dan barisan seterusnya duduk para abdi dalem sesuai dengan kedudukannya.

“Paman Sura, bagaimana kabar dari Patih Nambi?”

“Menurut laporan prajurit pengintai, Patih Nambi telah berhasil mengalahkan prajurit Tuban yang dipimpin Gerehkasapta, Rangga Suranggana , Sawung lndra, dan Kanuruhan di Dukuh Tambakberas. Setelah itu, Patih Nambi mengerahkan prajuritnya untuk menyeberangi sungai.”

“Terus apa rencana selanjutnya?”

“Tampaknya Patih Nambi akan menggempur Tuban. Setelah itu, kami belum mendapat laporan lagi.”

Raja Wijaya mengangguk-anggukan kepalanya. Beliau tampak gembira mendengar laporan Lembu Sura.

60

Belum sempat Raja Wijaya menanyakan perkembangan lebih lanjut, tiba-tiba ada seorang prajurit Majapahit ingin menghadap raja. Prajurit jaga memberi jalan setelah diperiksa terlebih dahulu.

“Siapakah, kamu?”

“Ampun seribu ampun Gusti Baginda Raja. Nama hamba Putut. Hamba ingin melaporkan berita dari medan laga di Tuban. Namun, hamba memohon beribu-ribu ampun karena telah mencari selamat dan hidup sendiri,” kata Putut dengan tangan gemetaran tanda sangat ketakutan.

“Jangan berbelit, Putut,” bentak Lembu Sura.

“Ya, ya ampun hamba. Hamba berhasil menyelamatkan diri dari kejaran prajurit Tuban. Hamba melarikan diri setelah mendengar Panglima Tuban menyerukan kepada prajurit Majapahit untuk menyerah karena Patih Nambi telah lari terbirit-birit,” kata prajurit Putut lebih jelas.

“Kakanda Nambi melarikan diri?” tanya Kebo Anabrang terkesima.

“Ampun , Baginda Raja. Banyak prajurit Majapahit yang naas dan ditawan musuh. Hanya sebagian kecil berhasil meloloskan diri tak tentu arah. Demikian keadaannya, Gusti Raja Wijaya.”

Mendengar laporan itu, hati Raja Wijaya gundah. Ranggalawe ternyata dapat mengalahkan Patih Nambi dan prajurit Majapahit juga ditaklukkan dengan mudah. Raja Wijaya sangat murka karena Patih Nambi telah mencari selamat sendiri, sedangkan prajuritnya dibiarkan bertempur sendiri. Raja Wijaya mulai merasakan penyesalan mengapa beliau mengirimkan Patih Nambi untuk menghadapi Ranggalawe. Dalam hatinya, beliau mulai membenarkan pendapat Ranggalawe yang menganggap Nambi tidak pantas mengemban tugas sebagai patih. Akhirnya, Raja Wijaya menyatakan diri untuk ikut turun tangan.

“Paman Sura, siapkan prajurit pengawal yang tangguh untuk mendampingiku.”

61

Lembu Sura sotak hatinya setelah mendengar keinginan Raja Wijaya, “Gusti Baginda Raja Wijaya. Sebenarnya semua abdi Paduka sedang menunggu perintah Paduka. Hamba, Dinda Kebo Anabrang, Pamandhana, Mahisa Pawagal dan semua menteri telah siap siaga. Siap menumpas Tuban dan Ranggalawe,” kata Lembu Sura menjelaskan.

Raja Wijaya menjadi senang kembali hatinya karena semua abdinya telah berdiri di belakangnya dan siap membela sampai titik darah penghabisan.

"Sekarang kumpulkan semua prajurit. "

Pamandhana dan Mahisa Pawagal segera meninggalkan ruang pertemuan. Mereka memanggil anak buahnya dan setelah memberi penjelasan kepada kepala kelompok, Pamandhana dan Mahisa Pawagal meminta agar semua prajurit dikumpulkan di alun-alun Majapahit. Di balai pertemuan , Raja Wijaya meneruskan diskusinya dengan Lembu Sura, Kebo Anabrang, Sindangdula, dan beberapa senapati yang lainnya. Mereka merencanakan strategi yang ampuh untuk mengalahkan Tuban .

"Gusti, sebaiknya kita atur siasat secermat mungkin agar dapat mematikan gerakan musuh sehingga kita tidak kakah dua kali, " kata Singasardula .

“Sebaiknya kita hindari perang di malam hari. Kita masih ingat peristiwa Brajadenta . Ia tewas ketika perang di malam hari,” kata Pamandhana mengingatkan .

Raja Wijaya sangat setuju dengan saran-saran dari abdinya. Beliau lalu memerintahkan Setankobar, Kalangerak, dan Butangasag untuk berangkat terlebih dahulu ke perbatasan Tuban. Di daerah itu, ketiga orang itu diminta untuk mengumpulkan semua prajurit yang lari, mengungsi, atau menyelamatkan diri. Setelah itu , mereka diminta untuk mengamati posisi musuh, menghitung kekuatan persenjataan prajurit yang tersisa dan merancang strategi peperangan yang jitu .

62

“lngat, lakukan tugas itu dengan cermat dan penuh kerahasiaan,” sabda Raja Wijaya kepada ketiga abdinya sebelum meninggalkan sidang.

“Baik, Gusti. Akan hamba emban tugas ini dengan sebaik mungkin,” sahut ketiganya serentak.

Sidang masih terus berlangsung meski sinar mentari telah beranjak ke sebelah barat. Raja Wijaya masih ingin mengadakan diskusi dengan para abdinya. Berbagai hal telah dibahas dengan cermat, berbagai macam saran telah disampaikan oleh hadirin, tetapi ada pula kritik yang muncul sebagai tanggapan atas saran atau pendapat yang lainnya.

Diskusi berjalan alot, Raja Wijaya mendengarkan semua pendapat dari para abdinya.

“Saya merasa senang mendengarkan berbagai pendapat tadi. Hal itu berarti kita memiliki rasa kebersamaan. Lalu, mari kita pilih atau tentukan cara apa dan bagaimana yang paling baik untuk menghadapi kemelut ini?” sabda Raja Wijaya mengarahkan jalan diskusi.

“Gusti, seperti kita ketahui bersama bahwa kita yang berada di sini menyatakan kesediaan membela Majapahit. Hamba rela berkorban untuk Gusti Wijaya,” kata Lembu Sura menegaskan dukungan terhadap Raja Wijaya.

“Ampun , Gusti. Hamba sudah tak sabar saja. Kalau Gusti berkenan, biarkan masalah Ranggalawe ini hamba yang menyelesaikan. Hamba sanggup menghadapi Ranggalawe yang tidak punya tata krama itu,” sela kebo Anabrang untuk meyakinkan rajanya agar memilih dirinya sebagai panglima perang.

“Kelihatannya, Dinda Kebo Anabrang ingin mengemban tugas ini, Gusti. Menurut hamba, ia memang orang yang tepat,” kata Lembu Sura menimpali keinginan Kebo Anabrang dengan sinis.

“Hamba juga setuju, Gusti,” kata Pamandhana menambahkan.

"Kalau begitu, saya tetapkan Kebo Anabrang yang menangani masalah ini. Sekarang, sidang saya nyatakan ditutup.

63

Silakan kalian pulang ke rumah masing-masing guna mempersiapkan diri. Besok pagi kita berkumpul di alun-alun utara," kata Raja Wijaya memberi keputusan dan sekaligus
menutup sidang. Semua hadirin segera bubar. Raja Wijaya segera meningalkan balai pertemuan dan menuju tempat peristirahatannya. Beberapa saat kemudian, balai pertemuan tampak sepi. Namun, Lembu Sura dan Pamandhana tidak segera kembali ke rumah masing-masing.

“Kelihatannya Gusti Wijaya sangat masgul hatinya, Kanda Sura.”

“Ya, benar. Tampaknya Kanjeng Gusti merasa sangat berat menghadapi masalah ini. Masalah ini tidak semata berdiri sendiri sebagai masalah Ranggalawe saja. Namun, karena Ranggalawe sebagai putra Kanda Arya Wiraraja, sehingga Raja Wijaya sedih hatinya.”

“Memang begitulah keadaannya. lbaratnya, menyingkirkan Ranggalawe berarti mengiris daging sendiri. Ranggalawe punya andil bagi berdirinya negeri ini. Apalagi, jasa Kanda Arya Wiraraja. Bukankah begitu, Kanda Sura.”

“Benar, Dinda Pamandhana. Aku sudah memperingatkan Ranggalawe, tetapi tid ak mempan dan ia lebih memilih cara begini.”

“Saya juga merasa sayang kepada Ranggalawe. Apa masih perlu untuk dinasihati sekali lagi, Kanda Sura?”

“Siapa yang akan menemuinya, Pamandhana? Kapan? Kita sudah tak punya waktu lagi!”
“Saya akan menasihati. Saya akan ke perbatasan Tuban malam ini secara diam-diam. Akan saya pancing Ranggalawe keluar dari pengawalnya. Jika aku gagal menasihatinya, kita tidak akan merasa bersalah lagi.”

Malam itu .pasukan Ranggalawe mendirikan barak di Desa Plumpon. Ratusan tenda didirikan di pinggiran Sungai Tidu yang membatasi Dukuh Plumpon dengan Dukuh Tambakberas. Setiap tenda diisi kurang lebih dua puluh lima orang.

64

Untuk menghemat tenaga, penghuni tenda mengatur jadwal tidurnya. Setiap tenda dijaga oleh tiga orang dan akan dilakukan pergantian setiap empat jam. Ranggalawe berada di sebuah tenda yang terletak di atas tanah gundukan. Posisi ini sangat strategis untuk melihat gerak pasukan musuh. Di tanah bergunduk itu juga berdiri dua tenda yang lebih besar yang ditempati oleh Rakiyan Gagarang dan dua puluh prajurit pengawal.

Malam itu bulan bersinar terang meskipun hanya tampak separuh. Cahaya bulan menerobos tepian sungai. Bintang-bintang pun tak mau ketinggalan. Benda-benda di angkasa itu tampak berkelap-kelip. Detik demi detik berjalan pasti, menit demi menit mengubah menjadi jam, dan jam demi jam telah berlalu. Malam terus berjalan dan hingga tak terasa telah memasuki fajar. Pada saat itu, di pinggir Sungai Tidu, ada seorang yang berpakaian serba hitam dan mukanya ditutupi dengan kain hitam pula. Ia terus berjalan mengendap-endap. Lalu, berhenti sesaat dan berjalan kembali.
Gerakannya sangat mencurigakan. Namun, gerakan orang itu tidak diketahui oleh penjaga. Semakin dekat tenda yang berdiri di atas tanah gundukan, orang itu pun berkelebat lalu menaburkan sesuatu ke sekitar tenda. Tak lama kemudian , para penjaga tenda terkantuk-kantuk. Rupanya para penjaga itu terkena ajian sirep megananda.

Setelah para penjaga tertidur pulas, orang itu berusaha mendekati tenda Ranggalawe. Sebelum masuk ke dalam tenda, tiba-tiba Ranggalawe muncul dari dalam tenda dan langsung menyerang orang yang berpakaian serba hitam itu.

“Kurang ajar, siapa dirimu tengah malam begini berusaha menyerangku,” hardik Ranggalawe sambil menyerang orang itu. Rupanya serangan itu mampu dihindari oleh orang itu dengan lincahnya. Selanjutnya, orang itu melarikan diri. Ranggalawe mengejarnya. Sang penyusup ternyata bukan orang sembarangan.

65

Ia melarikan diri dengan gerak lari yang sangat lincah. Ranggalawe mulai sadar bahwa orang yang dihadapinya berilmu tinggi. Oleh karenanya, Ranggalawe pun mengeluarkan kesaktiannya, yaitu ilmu lari seperti angin, yang biasa disebut ajian saiti angin .

“Hei pengecut … jangan main petak umpet seperti ini,” teriak Ranggalawe.

Namun, orang itu tidak menggubris ucapan Ranggalawe. Ia terus berlari tanpa menolehkan kepalanya sekalipun. Tampaknya, orang itu hendak memancing Ranggalawe menjauhi tenda tempat bermalamnya. Ranggalawe mengikuti terus ke mana orang itu berlari. Ternyata orang itu berlari menuju Sungai Tidu dan Rangga. lawe pun terus mengikuti. Namun, orang itu mendadak berhenti di atas sebuah batu besar yang berada di tengah sungai. Suasana sepi mencekam.

"Rupanya kamu kecapaian juga. Sekarang kita telah berada di tengah sungai. Mari kita adu kesaktian di sini, " kata Ranggalawe menghardik orang itu.

“Rupanya, Dinda Ranggalawe sudah melupakan aku. Padahal, kita berpisah baru beberapa hari saja,” sahut orang itu penuh sindir.

“Tentu saja aku tidak mau berbelit. Apa kamu takut ketahuan jati dirimu sehingga berpakaian seperti itu? Siapa kamu sebenarnya. Apalagi, menyebut namaku?” Orang itu membuka pakaian dan tutup kepalanya. Ranggalawe mulai mengenali orang itu .

“Rupanya Paman Pamandhana. Ada apa Paman? Apa maksudmu memancingku ke sini? Apa Paman mau membopongku di sini? Aku tidak takut,” kata Ranggalawe penuh
waspada agar tidak terjebak musuh.

“Ranggalawe, aku sudah tahu bahwa kamu pasti tidak takut. Semua orang juga tahu bahwa kamu ksatria tanpa pilih tanding. Aku ke sini karena aku ingin kita bicara .”

66

“Paman Pamandhana hanya membuang waktu saja. Sebenarnya semua sudah jelas bahwa aku telah mengangkat senjata. Apalagi?”

“Justru itu masalahnya, Ranggalawe! Aku ke sini karena aku kenai dengan Arya Wiraraja, ayahmu. Ia adalah juga temanku semasa muda di Singasari. Aku sahabat ayahmu. Makanya aku ke sini menemuimu di tengah malam buta dan dingin menusuk tulang ini. Aku sebenarnya juga mengkasihanmu. Sarna dengan kasih sayangnya Gusti Wijaya dan Lembu Sura.”

Ranggalawe mulai mengerti apa maksud kedatangan Pamandhana menemuinya. Ia yang semula berdiri garang dan seolah-olah tak ada kompromi mulai menurunkan perasaannya.

“Apakah Nambi memang pantas menjadi patih? Bagaimana menurut Paman?”

“ltulah masalahnya, Ranggalawe. Kamu tidak puas dengan pengangkatannya. Kalau begitu kamu jelas menentang titah raja. Padahal, Gusti Wijaya telah berlaku bijaksana. Seharusnya, kamu renungkan dalam-dalam sabda raja ketika menasihatimu agar kamu bersabar dahulu, dan semua itu hanya menunggu waktu saja .”

“Apa yang diperbuat Nambi. Ia lari tunggang langgang. Patih macam apa itu?”
“Saya tahu bahwa ia memang tidak setangguh kamu . Dan, barangkali apa yang ia lakukan selama ini tidak kamu anggap besar. Namun, tidak seperti itu pemikiran Gusti
Wijaya. Beliau pasti berpikir penuh pertimbangan.”

“Sekarang apa keinginan Paman? Apa masih ada yang lain yang ingin Paman sampaikan lagi?”

“Jika kamu ingin mengakui kesalahan, masih ada waktu.”

“Apa maksud Paman Pamandhana? Paman menyuruhku bertobat kepada raja? Tidak!”

“Aku hanya mengingatkanmu saja. Barangkali kamu masih bisa berubah pikiran. lngatlah, Raja Wijaya sangat mengasihimu. Sebenarnya, beliau tidak ingin kamu menempuh jalan seperti ini.”

67

“Nasi telah menjadi bubur, Paman! Karena itu pulalah , aku lebih memilih siap mati.”

Ranggalawe tidak bergeming. Ia tidak dapat dibujuk rayu agar mengurungkan niatnya. Sementara itu, Pamandhana merasa kelu. Ia menatap Ranggalawe dengan lesu. Angin malam menyapu Dukuh Plumpon dan desa-desa sekitarnya dengan kencang. Pamandhana telah memasang penutup kepalanya. Kain penutup kepala Pamandhana berkibar-kibar karena tiupan angin. Embun pagi menyelimuti kawasan Sungai Tidu .

“Ranggalawe, saya berharap pertemuan ini bukan pertemuan terakhir kita,” kata Pamandhana sambil melangkah pergi meninggalkan Ranggalawe.

Dalam sekejap langkah-langkah Pamandhana tak terlihat ditelan malam. Ranggalawe masih berdiri di atas batu. Ia tidak segera kembali ke tendanya . Dalam kesendirian itu, jiwa dan pikirannya bergejolak dahsyat. Beberapa saat kemudian, ia mengayunkan langkahnya hendak kembali ke tendanya. Di tengah jalan ia berkata ,

“Semua sudah terjadi. Pantang bagiku untuk mundur!”

7. RANGGALAWE DAPAT DIKALAHKAN

Sekarang kita kembali ke Majapahit. Matahari baru menampakkan cahanya. Sinarnya terasa hangat di badan. Pagi itu, alun-alun Majapahit sudah dipenuhi oleh ribuan prajurit, dari yang berusia muda sampai yang berusia tua. Dari yang berpangkat tinggi, yaitu menteri utama, menteri, senapati, adipati, rangga sampai dengan prajurit biasa. Mereka semua membawa senjata andalan. Semakin lama semakin banyak prajurit yang memenuhi alun-alun. Prajurit Majapahit berbaris menurut kelompok masing-masing. Pasukan gajah berbaris di ujung kanan, lalu di sampingnya adalah pasukan berkuda. Di samping lagi berturut-turut adalah barisan pasukan pedang, pasukan tombak, pasukan panah, pasukan umbul-umbul, dan terakhir pasukan gong dan gamelan. Bunyi gong dan gamelan terdengar keras sejak pagi.

Tak lama kemudian datanglah rombongan Raja Wijaya. Rombongan itu langsung menuju panggung. Lembu Sura, Kebo Anabrang, Mahisa Pawagal, Singa Sadurla, Wirabumi, Jagawastra, dan para senapati lainnya mengikuti · Raja Wijaya naik ke atas panggung . Gong ditabuh rancak dan diikuti suara terompet sebagai penanda acara dimulai. Raja Wijaya segera memberi salam kepada prajurit dan rakyat Majapahit yang hadir di alun-alun. Beliau lalu memberi sambutan yang bernadakan pertanyaan,

“Hei, para abdiku, apakah kalian siap?”

Pertanyaan Raja Wijaya langsung dijawab serempak oleh para abdinya,

“Siap.”

“Hari ini kita bersama-sama menuju Tuban. Akan kita hadapi Ranggalawe yang telah memberontak. Sekarang juga, ayo kita berangkat!” sabda Raja Wijaya dengan mantap dan sekaligus memberi aba-aba prajurit untuk berangkat ke Tuban.

69

Raja Wijaya duduk di punggung gajahnya yang bemarna lsabraja dan di samping kanannya adalah Lembu Sura dan Kebo Anabrang. Sementara itu, Mahisa Pawagal, Singa Sardula, Gagak Sarkara, dan Wirabumi di sebelah kirinya. Di belakangnya diikuti kereta yang dikendarai oleh Mayangsekar, Bujengklathi, Wirogendon, dan Sasmin yang seterusnya adalah para prajurit Majapahit. Rombongan dalam barisan itu berjumlah ribuan sehingga barisan sangat panjang laksana seekor naga apabila dilihat dari jauh.

Ketika memasuki Desa Wirakrama hari telah sore. Rombongan Raja Wijaya beristirahat dan bermalam di desaitu. Pada saat itulah, Kalanggerak, Setankobar, dan Butangasag yang mendapat tugas untuk mengumpulkan prajurit Majapahit yang berhasil melarikan diri dari kejaran prajurit Tuban datang. Ketiga senapati itu segera menghadap Raja
Wijaya.

“Gusti Raja Wijaya, terimalah hormat kami,” kata ketiga senapati itu bersamaan.

“Kuterima hormat kalian. Bagaimana hasil tugas kalian?”

“Gusti, kami telah berhasil menghimpun kembali prajurit yang lari . Jumlahnya masih lumayan banyak,” kata Kalangerak.

“Semua ada berapa dan di mana mereka sekarang?”

“Jumlahnya mereka 467 orang. Sekarang mereka berada di sekitar bukit. Bersembunyi dan menunggu kedatangan Gusti Prabu,” kata Setankobar menambahkan.

“Suruh mereka keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung bergabung dengan prajurit lainnya.”

Setankobar memberi hormat lalu ia meninggalkan Raja Wijaya untuk memanggil prajurit yang bersembunyi. Sementara itu, Butangasag dan Kalangerak terus melaporkan berbagai hal yang diketahuinya kepada Raja Wijaya.

70

“Jadi, Ranggalawe ada di Plumpon?” tanya Raja Wijaya .

“Benar, Gusti. Kami mendapat informasi dari prajurit mata-mata. Laporan ini sangat akurat,” jawab Butangasag.

“Kalau begitu, ia menunggu kita di sana?”

“Prajurit Tuban bertahan di pinggir sungai. Mereka mendirikan tenda di sepanjang Sungai Tidu,” kata Kalangerak menambahkan.

“Rupanya, mereka akan memancing kita untuk menyeberangi sungai. Begitu kita di tengah sungai mereka akan menghujani kita dengan anak panah,” kata Kebo Anabrang memberi ulasan akan taktik yang digunakan Ranggalawe.

“Kalau begitu mereka harus kita pancing keluar atau kita serbu saja dari salah satu sisi untuk memberi jalan masuk prajurit kita. Bukankah begitu Kebo Anabrang?” kata Lembu Sura .

“Ya. Kita kerahkan pasukan berkuda dan pedang dalam jumlah seratusan orang. Prajurit andal kita ini sudah biasa menerobos pertahanan musuh. Mereka kita kerahkan
waktu fajar mulai menyingsing,” jawab Kebo Anabrang memberikan pendapatnya dan disetujui oleh Raja Wijaya .

“Kita sudah mengetahui cara dan rencana menghadapi musuh. Perhatikan tugas kalian masing-masing. Saya kira pertemuan ini sudah cukup. Sekarang kembalilah ke pasukanmu,” sabda Raja Wijaya membubarkan pertemuan.

Seperti yang telah direncanakan , seratusan prajurit Majapahit di bawah pimpinan Kalangerak menelusup masuk ke Plumpon lewat tepi Sungai Tidu. Sepuluh orang berhasil masuk, lalu mereka mengamati keadaan dan berjaga-jaga.

Selanjutnya, mereka memberi tanda kepada teman-temannya yang masih berada di tepi sungai untuk naik ke atas. Begitu berhasil naik, mereka menyebar ke segala penjuru. Seiring dengan perjalanan waktu prajurit Majapahit yang masuk sudah mencapai seratus orang. Namun, kehadiran . mereka diketahui oleh dua orang prajurit Tuban. Kedua orang itu memukul kentongan yang dibawanya.

71

“Ada penyusup . . . ada penyusup. Prajurit Majapahit ada yang masuk … ,” teriak prajurit jaga itu.

Suasana serentak menjadi kacau. Prajurit Tuban terbangun dan keluar dari tenda masing-masing dengan sempoyongan. Namun, nasib mereka naas karena disambut oleh terjangan prajurit Majapahit. Prajurit Majapahit melemparkan obor untuk memberi tahu kepada pasukan Majapahit yang masih berada di sisi sungai agar segera datang membantu. lsyarat itu diketahui oleh Kebo Anabrang. Ia pun segeramengirimkan bala bantuan. Prajurit Setankobar lari berhamburan menyusuri tepi sungai. Prajurit panah Tuban tidak dapat memanah musuhnya dengan baik karena terhalang awan dan gelapnya malam .

Pada mula pertempuran berjalan tidak seimbang. Prajurit Majapahit yang hanya berjumlah seratusan itu dikeroyok oleh prajurit Tuban yang jumlahnya berlipat-lipat. Beberapa puluh prajurit Majapahit tewas dan jumlah korban terus bertambah.

“Ayo maju. Kita rangsek mereka keluar,” teriak Tumenggung Barat Katiga. Kalangerak tidak gentar menghadapi tekanan itu,

“Jangan takut prajuritku. Setankobar telah datang.”

Teriakan Kalangerak ternyata benar. Setankobar bersama prajuritnya telah datang membantu Kalangerak yang mulai terdesak.

"Kalangerak, aku sudah datang, " teriak Setankobar diikuti prajurit dan langsung turun ke medan laga.

Pertempuran menjadi seimbang. Kebo Anabrang terus mengirimkan bala bantuan, yaitu prajurit di bawah pimpinan Butangasag, Gagak Sarkara, dan Ranggawani. Pertempuran semakin dahsyat. Karban berjatuhan di kedua belah pihak. Jumlah korban semakin lama semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Fajar telah berlalu dan cahaya mentari semakin lama semakin terang. Namun, pertempuran belum ada tanda-tanda akan segera berakhir.

72

Kebo Anabrang, Lembu Sura, dan Raja Wijaya mengamati jalannya pertempuran dengan penuh perhatian.

“Kebo Anabrang, sudah saatnya kamu kirim pasukanmu ke sisi kanan untuk memecah konsentrasi kekuatan musuh,” sabda Raja Wijaya. ·

Kebo Anabrang segera mengirimkan pasukan tameng
untuk menyeberangi Sungai Tidu. Gerakan prajurit Majapahit itu mendapat serangan pasukan panah prajurit Tuban.

Banyak prajurit Majapahit yang tak sampai ke seberang terkena panah musuh. Namun, ratusan prajurit Majapahit lainnya dapat menginjakkan kakinya di Desa Plumpon. Kehadiran mereka segera disambut serangan prajurit Tuban.

“Singasardula, kirim pasukanmu membantu. Ayo cepat!” perintah Kebo Anabrang.

Prajurit Singasardula bergerak maju dengan mudah karena telah mendapat jalan dari pasukan tameng. Meskipun agak mudah, prajurit Singasardula masih mendapat perlawanan dari prajurit Tuban di bawah pimpinan Wulungrat dan Tumenggung Puspalaya. Pertempuran semakin berkembang ke segala penjuru Desa Plumpon. Kebo Anabrang yang membawa prajurit Majapahit dalam jumlah besar dapat mengimbangi prajurit Tuban dengan leluasa.

Ranggalawe yang berada di tanah berbukit mengamati jalannya peperangan dengan penuh perhatian. Ia melihat Kebo Anabrang menambah pasukan untuk merangsek pertahanan prajurit Tuban. Ia pun segera memanggil Rakiyan Gagarang.

"Gagarang, bawalah maju prajuritmu. Hadapilah Singasardula. "

“Siap Gusti!” jawab Rakiyan Gagarang dan diikuti Wiyaganggrit.

Kehadiran Rakiyan Gagarang memberi semangat prajurit Tuban yang mulai melemah itu bangkit semangatnya lagi dan dapat mengimbangi serangan prajurit Majapahit. Karban terus berjatuhan di kedua belah pihak. ·

73

Ranggalawe dikawal Tambakwisthi, Sapujagat, dan Jaran Pikatan mulai turun gelanggang. Kehadiran Ranggalawe semakin memberi semangat lagi prajurit Tuban. Dalam sekejap Ranggalawe dapat menjatuhkan prajurit Majapahit yang menghalangi. Singasadurla bertempur melawan Rakiyan Gagarang. Singasardula terluka parah dan diselamatkan oleh Gagak Sakara yang datang bersamaan dengan Kebo Anabrang. Kedatangan Kebo Anabrang di tempat itu diketahui oleh Ranggalawe, lalu tak lama kemudian Ranggalawe sudah berhadap-hadapan dengan Kebo Anabrang.

“Ternyata nyalimu besar, Anabrang.”

“Hei, Lawe. Jaga mulutmu itu. Sekarang aku penuhi janjiku dulu. Mari kita adu kekuatan. Siapa yang kuat.”

Keduanya mengendarai kuda. Perkelahian diawali dengan menggunakan pedang. Suara pedang beradu tak henti-hentinya. Keduanya saling menyerang, berkelit, dan mengadu kekuatan. Namun, pertarungan berjalan seimbang. Kemudian, beralih menggunakan tombak andalan, tetapi setelah bertarung sekian lama belum ada tanda-tanda salah satu di antaranya kalah. Mereka sama-sama kuat, sakti, dan ahli perang.

Pertempuran dua orang itu mendapat perhatian dari Lembu Sura, Pamandhana, dan Raja Wijaya dari atas bukit.

“Mereka tampaknya kesulitan untuk saling menjatuhkan,” kata Lembu Sura.

“Benar, Paman. Mereka adalah orang-orang yang unggul. Akan tetapi, mengapa tenaga mereka harus digunakan untuk seperti itu. Padahal, aku telah berlaku adil,” sabda Raja Wijaya dengan hati sedih.

Lembu Sura dan Pamandhana mengerti maksud katakata yang diucapkan Raja Wijaya yang sebenamya tidak berkenan dengan kejadian itu.

“Pertempuran akan berjalan lama. Oleh karena itu, lebih baik Paman Sura turun ke gelanggang sekarang agar perang cepat selesai dan korban tidak terlalu banyak.”

74

Kemudian, Raja Wijaya mundur dan menuju kereta. Pamandhana dan prajuritnya menjaga keamanan Raja Wijaya. Sementara itu, Lembu Sura diiringi oleh prajuritnya maju ke gelanggang untuk membantu Singasardula yang terluka parah. Lembu Sura menghadapi Rakiyan Gagarang yang baru saja dapat mengalahkan Gagak Sarkara. Lembu Sura menyerang Rakiyan Gagarang dengan jurus-jurus silat yang mematikan.

“Kurang ajar. Kau telah melumpuhkan kedua senapatiku . Sekarang hadapilah aku,” teriak Lembu Sura sambil menyerang.

Namun, serangan itu dapat dielakkan oleh Gagarang. Bahkan, ia masih sempat mengumpat Lembu Sura , “Sekarang giliranmu, menyusul kedua orang temanmu, Kakek tua .”

“Sekalipun kau masih muda, aku akan mengirimmu ke alam baka. Tidak usah banyak bicara Gagarang.”

Lembu Sura menyerang Gagarang dengan jurus rnacan garang. Namun, serangan itu dapat dihadapi Gagarang dengan jurus seruduk badak. Sekalipun Lembu Sura telah berhasil menyarangkan pukulan, Gagarang tidak terluka badannya, apalagi roboh. Lembu Sura mengetahui bahwa ia elah unggul dalam jurus tetapi terhalang oleh ilmu kebal Gagarang. Oleh karena itu, ia mengeluarkan senjatanya. Ia terus menyerang Gagarang yang mulai terdesak. Dalam suatu gerakan silah yang sulit ditebak, Lembu Sura dapat merobek kulit Gagarang. Tak lama kemudian, Gagarang roboh.

Prajurit Lembu Sura merangsek prajurit Tuban . Sementara itu Lembu Sura menuju ke arah pinggir Sungai Tidu . Dari jarak yang agak jauh ia melihat Ranggalawe masih bertempur melawan Kebo Anabrang. Tampaknya, Kebo Anabrang mulai terdesak dan berusaha melarikan diri. Ranggalawe terus mengejar musuhnya .

75

“Hei, Kebo Anabrang. Jangan jadi pengecut seperti ini. Mau lari ke mana kau. Aku akan terus mengejarmu,” teriak Ranggalawe terus berlari mengejar Kebo Anabrang.

Kebo Anabrang berlari kencang. Ketika berada di belokan sungai, ia menyelinap di balik semak-semak yang tumbuh di sekitar sungai.

“Kebo Anabrang pengecut Ayo keluar. Jangan bersembunyi.” Ranggalawe berteriak memanggil Kebo Anabrang. Ia menoleh ke sana kemari, mengamati setiap sudut tepi sungai.

Sementara itu, Kebo Anabrang .menggunakan kesempatan itu untuk mengatur napasnya. Ia merasa kehabisan tenaga. Setelah merasa pulih tenaganya, ia menyerang Ranggalawe yang mulai lengah karena merasa bosan mencarinya. Secara tiba-tiba ia keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerang musuhnya dengan sebuah tendangan jitu. Ranggalawe jatuh tersungkur.

“Kurang ajar, kau,” umpat Ranggalawe karena tidak dapat mengelak serangan Kebo Anabrang. Sebelum Ranggalawe bangun, kesempatan itu digunakan Kebo Anabrang untuk menyerang lagi. Ranggalawe pun kembali tersungkur dan tercebur ke sungai.
Batu licin yang diinjak Ranggalawe tidak menguntungkan dirinya sehingga ia terpeleset dan kembali jatuh. Ketika Ranggalawe masih sempoyongan, Kebo Anabrang tidak menyia-nyiakan sekempatan. Ia menyerang lagi dengan kerisnya. Kali ini serangan Kebo Anabrang benar-benar tidak dapat dielakkan oleh Ranggalawe. Akhirnya, ia pun tersabet keris lawannya yang mengakibatkan kematiannya. Kebo Anabrang berteriak penuh kegembiraan karena dapat mengalahkan Ranggalawe. Dengan keris masih di
tangannya, ia menghujat Ranggalawe dengan kata-kata kotor.

Hal itu diketahui oleh Lembu Sura yang berdiri di atas sungai . Lembu Sura tidak senang dengan kelakukan Kebo Anabrang yang terus mencaci maki mayat Ranggalawe.

76

Untuk mencegah tindakan Kebo Anabrang itu, ia berusaha mencari akal. Tiba-tiba ia berseru, “Hei, Anabrang. Cepat tengoklah pundakmu . Binatang apa yang menempel itu?
Tampaknya ada lintah putih yang besar telah menempel di pundakmu.”

Kebo Anabrang sangat kaget dengan kata-kata Lembu Sura itu. Karena sangat gugup, ia menggerakkan tangannya yang masih memegang keris itu ke pundaknya. Keris itu menusuk kulitnya sendiri dan menyebabkan kematiannya . Lembu Sura lalu memanggil prajurit untuk mengangkat jasad Ranggalawe dan Kebo Anabrang untuk dibawa ke
Majapahit.

Penyebab kematian Kebo Anabrang tidak diketahui oleh banyak orang. Namun, Lembu Sura mengatakan kepada Raja Wijaya dan para abdi kerajaan bahwa Kebo Anabrang tewas bersama Ranggalawe.

“Ia sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Pantaslah mereka mati bersama,” kata Lembu Sura di hadapan Raja Wijaya.

Berita kematian Ranggalawe diteriakkan ke segala penjuru medan perang sehingga mempengaruhi mental prajurit Tuban. Prajurit Tuban akhirnya banyak yang menyerahkan diri. Namun, ada juga yang melarikan diri. Bahkan, ada pula yang memilih bertempur sampai titik darah penghabisan. Setelah prajurit Tuban dapat dikalahkan, pertempuran pun berhenti.

“Gusti Raja Wijaya, perang telah usai. Akan tetapi, banyak abdi paduka, yaitu menteri, senapati, dan prajurit yang menjadi korban,” kata Lembu Sura melaporkan.

Raja Wijaya tidak bisa mengucap sepatah kata pun. Air matanya mengalir berlinang-linang. Beliau tampak masgul karena tahu bahwa Ranggalawe dan semua yang mati adalah orang-orang yang setia terhadap raja .
·

77

Lembu Sura dan semua yang hadir di tempat itu sangat sedih. Ada yang menangis, menangkup dadanya, bahkan terbengong karena telah kehilangan sanak saudara.
Saat matahari tenggelam semua telah berkumpul. Upacara pemakaman dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sementara itu, jenazah Adipati Ranggalawe dan Kebo Anabrang dibawa ke Majapahit untuk diupacarai secara khusus. Raja Wijaya mengutus Mayangmekar memberi tahu Adipati Arya Wiraraja akan kematian Ranggalawe. Adipati Adikara menemui utusan Raja Wijaya dengan hati yang sangat sedih. Arya Adikara dan istrinya, kedua istri Ranggalawe, mertua Ranggalawe, serta kerabat dekat Adipati
Adikara memenuhi undangan Raja Wijaya. Setelah berkumpul semua, jenazah Ranggalawe dan Kebo Anabrang yang sudah disucikan dibakar dalam sebuah pancaka. Abunya dibuang ke laut. Setelah upacara selesai dilaksanakan. Adipati Arya Adikara beserta keluarganya pulang ke Tuban. Raja Wijaya pun masuk ke istana. Negara tenang kembali dan semua masalah sudah berhasil diatasi. Raja Wijaya membulatkan tekadnya untuk membangun Majapahit menjadi sebuah negara yang besar dan disegani.