Bagaimana birokrasi dalam masa kerajaan?

Pengertian

Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu bureau ( burra, kain kasar penutup meja), dan -cracy, ruler. Keduanya membentuk kata bureaucracy.

Berbagai sumber berpendapat, setidak-tidaknya ada tiga macam arti birokrasi.

Pertama, birokrasi diartikan sebagai “government by bureaus,” yaitu pemerintahan biro oleh aparat yang diangkat oleh pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan dalam sebuah organisasi formal, baik publik maupun privat; pemerintahan birokratik adalah pemerintahan tanpa partisipasi pihak yang-diperintah.

Kedua, birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu, sifat kaku,macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif terhadap instansi yang berkuasa

Ketiga, birokrasi sebagai tipe ideal organisasi. Biasanya dalam arti ini dianggap bermula pada teori Max Weber tentang konsep sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektif.

Birokrasi Masa Transisi Kerajaan

Perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupana masyarakat. Dengan kata laian, birokrasi menjadi
sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis.

Corak birokrasi yang menjadi partisan dari kepentingan politik praktis menyebabkan ciri birokrasi modern yang digagas oleh Max Weber tentang rasionalisme birokrasi sulit untuk diwujudkan. Birokrasi bahkan telah mengubah dirinya bagaikan “monster raksasa” (Levianthan) yang mengerikan sebagai perwujudan nyata dari kekuasaan negara.

Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi
kerjaan, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi;
  • administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya;
  • tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
  • gaji dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; dan
  • para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja (Suwarno, 1994)

Pada era kerajaan, tidak terdapat perbedaan sistem pemerintahan yang diterapkan baik di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda berkuasa, merupakan bagian dari wilayah kekukasaan kerajaan Mataram. Wilayah kekuasaan kerajaan Mataram meliputi hampir seluruh Pulau Jawa, bahkan sampai ke Bali dan Lombok. Dalam menjalankan pemerintahan, birokrasi Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yakni birokrasi pemerintahan pusat (kraton) dan birokrasi pemerintahan daerah di
luar keraton (mancanegara).

Birokrasi pemerintahan pusat dipimpin langsung oleh raja yang berkuasa berdasarkan pada garis kekuasaan kharismatiktradidional.

Sementara itu, wilayah kekuasaan birokrasi pemerintahan daerah meliputi daerah-daerah di luar kraton dan daerah-daerah pesisir. Menurut Suwarno (1994), pada masa kerajaan Mataram hubungan antara pemerintaha pusat dan daerah bersifat dekonsentrasi atau bahkan sentralistis. Raja berusaha menguasai birokrat (pejabat-pejabat daerah) dengan sangat ketat mealalui pengangkatan para keluarga kerajaan, termasuk menempatkan pejabat pengawas yang dikoordinasi oleh Wedana Bupati untuk menjamin
loyalitas para pejabat di daerah kepada pemerintahan pusat
.
Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (kraton), urusan dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat mentari (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh pejabat setingkat Menteri Koordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai (pesisiran) raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati tersebut biasanya merupakan bupati lama yang telah ditaklukkan raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri. Pengawasan terhadap
kinerja bupatri dolakukan oleh hpejabat tinggi pengawas (wedana) yang ditunjuk oleh raja. Tindakan pengawasan tersebut disebabkan posisi bupati memiliki bawahan, yang pola hubungannya dikembangkan sama seperti hubungan antara raja dan para bawahannya abdidalem).

Setelah Perjanjian Gianti tahun 1755 yang memecah kerajaan Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, sistem birokrasi pemerintahan Kesultanan Yogyakarta masih melanjutkan sistem birokrasi pemerintahan kerajaan Mataram. Sultan Hamengku Buwono I mengangkat seorang pejabat setingkat perdana menteri (pepatih dalem) dalam mengurusi masalah pemerintahan sehari-hari, sedangkan pejabat pengawas para bupati di daerah tetap dipertahankan untuk mengkkordinasi daerah kekuasaan di luar keraton (mancanegara). Susunan birokrasi pemerintahan tradisional masih diikuti oleh birokrasi kesultanan, yakni dengan membagi urusan pemerintahan menjadi urusan dalam kerajaan (internal affairs) dan urusan luar kerajaan (external affairs).

Urusan pemerintahan yang menyangkut masalah internal kerajaan dilakukan dengan membentuk lembaga-lembaga kementrian (kanayakan), seperti pembetnukan kementrian untuk mengurusi yayasan dan pekerjaan umum (kanayakan Keparak Kiwo dan Kanayakan Keparak Tengen). Lembaga kementrian yang mnegurusi penghasilan dan keungana kerajaan dilaukan oleh kanayakan Gedhong Kiwo dan Kanayakan Gedhong Tengan, yang berfungsi seperti departemen keuangan kerajaan. Urusan pemerintahan yang menyangkut masalah eksternal kerajaan dibagi ke dalam kementriankementrian
yang mengurusi masalah tanah dan pemerintahan (praja), yaitu Kanayakan Siti Sewu dan Kanayakan Bumijo, sedangkan Kanayakan Penumping dan Kanayakan Numbakanyar menguasai masalah pertahanan.

Kedelapan kementrian tersebut merupakan dewan menteri yang diketuai oleh pepatih dalem yang dapat disebut berperan sebagai Perdana Menteri. Para pejabat yang memimpin tiap-tiap kementrian (kanayakan) disebut nayaka, dan diberikan fungsi militer. Para pejabat pimpinan kementrian masing-masing menjadi panglima perang yang mempunyai perang yang mempunyai prajurit sendiri, bahkan apabila diperlukan masing-masing pejabat tersebut dapat pergi ke medan perang
(Suwarno, 1994).

Sumber:
Makalah CORAK BUDAYA BIROKRASI PADA MASA KERAJAAN, KOLONIAL
BELANDA HINGGA DI ERA DESENTRALISASI DALAM PELAYANAN
PUBLIK
oleh Dr. H. M. Nur Hasan, Msi. (Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Wali Songo DPK FAI-Unissula Semarang)