Bagaimana Adat istiadat Kerajaan Bone?

Adat istiadat Kerajaan Bone

Bagaimana Adat istiadat Kerajaan Bone?

Adat istiadat


Sistem norma dan aturan-aturan yang dianggap luhur dan keramat yang telah mengikat orang Bugis-Makassar termasuk Bone, keseluruhannya disebut pangngadereng yang dapat diartikan sebagai keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesamanya manusia dan terhadap pranata-pranata sosial secara timbal balik yang menyebabkan adanya gerak atau dinamika masyarakat. Sistem pangngadereng yang berlaku di Bone tidak jauh berbeda dengan sistem pangngadereng di daerah-daerah Bugis-Makassar lainnya.

Sistem pangngadereng yang berlaku di Bone pra-Islam, terdiri atas empat unsur pokok, seperti yang dikemukakan oleh Mattulada, yaitu; ade’ , bicara, Rapang dan wari. Untuk lebih jelas, penulis akan menguraikan keempat unsur pangngadereng tersebut, sebagai berikut:

1. Ade’

Ade’ merupakan segala tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Ade’ bukan sekedar kebiasaan, tetapi merupakan tata tertib normatif yang memberikan pedoman kepada sikap hidup dalam menghadapi dan menciptakan kebudayaan, baik idiologis, mental spiritual maupun fisik. Dalam Latoa diungkapkan “ ade’ mengokohkan kebesaran, mencegah perbuatan kekerasan orang kuat untuk berbuat sewenang-wenang.” Dengan demikian, ade’ merupakan tempat bersandarnya orang lemah.

Setiap orang yang lahir dalam ade’ , dia merasa memiliki dan kemudian berperan di dalamnya, memelihara dan menjaganya dengan segala sikap dan tingkah laku dan perbuatannya dalam kehidupan masyarakat. Karena itu ada ungkapan, ade’ itulah yang menyebabkan seseorang disebut manusia, sehingga seseorang yang tidak mengetahui, tidak menghayati dan tidak menyesuaikan diri dengan ade’ tidak pantas disebut manusia.

Dari sini nampak jelas makna filosofi yang dikandung ade’ ; ia menjadi tempat bersandarnya orang lemah dan memberikan kehidupan baru bagi orang lemah. Mattulada membagi ade’ dalam dua bagian, yaitu sebagai berikut:

  • Ade akkalaibinengeng atau norma mengenai hal ihwal perkawinan, hubungan kekerabatan dan berwujud sebagai kaidah-kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan dan aturan mengenai hak dan kewajiban anggota keluarga, etika dalam rumah tangga serta sopan santun pergaulan antar kaum kerabat.

  • Ade’ tana atau norma-norma mengenai hal ihwal mengenai kenegaraan, memerintah negara dan berwujud sebagai hukum negara, hukum antar negara, etika dan pembinaan insan politik.

Pembagian di atas, menjelaskan bahwa ade’ merupakan tata tertib normatif dan pedoman hidup yang tidak membedakan strata sosial seseorang bahkan dengan ade’ posisi seseorang yang mempunyai strata sosial yang tinggi sama perlakuannya dihadapan ade’ dengan orang lemah.

2. Bicara

Bicara adalah merupakan unsur pangngadereng yang berkaitan dengan peradilan yang menentukan hak dan kewajiban seseorang pada peradilan adat. Seperti yang diungkapkan Arung Bila dalam Lontara latoa: “ naia riasengnge bicara; ritangnga’i wali-wali, sabbie wali-wali, onroe wali-wali, barangkau’e waliwali, ”. (Arung Bila berkata; adapun yang disebut bicara adalah mempertalikan keterangan kedua belah pihak dan saksi kedua belah pihak, pendirian kedua pihak dan perbuatan dua pihak).

Terkait dengan hal itu, maka penegak keadilan yaitu Pabbicara selaku anggota pakkatenni ade’ harus berpegang pada bicara tongettellu (tiga kebenaran bicara). Adapun tiga kebenaran yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  • Pengakuan kesalahan dan kebenaran kedua belah pihak yang bersengketa
  • Pembenaran secara ikhlas terhadap kebenaran
  • Hasil kesepakatan pakkatenni ade’ tentang sesuatu kebenaran atau kesalahan.

Logika hukum yang harus dipegang oleh pakkatenni ade’ pakkatenni ade’ seperti dijelaskan di atas, memungkinkan keputusan-keputusan yang dihasilkan adil bagi yang bersengketa.

3. Rapang

Rapang itulah yang mengokohkan negara. Rapang secara leksikal berarti contoh, perumpamaan, kiasan atau persamaan. Rapang adalah unsur yang mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik dan ancaman terhadap seseorang warga masyarakat. Rapang bisa pula bermakna menjaga kepastian dan kontinuitas dari suatu keputusan hukum tidak tertulis dalam masa yang lampau hingga sekarang dengan membuat analogi antara kasus dari masa lampau itu dengan kasus yang sedang terjadi sekarang. Dengan demikian, Rapang berfungsi sebagai stabilisator yang menjaga kesinambungan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat dapat dipertahankan.

4. Wari

Menurut Latoa Wari adalah gau mappallaisengnge (perbuatan yang tahu membedakan). Mattulada mengartikan wari secara leksikal tidak lain dari penjenisan yang membedakan yang satu dengan yang lainnya, suatu perbuatan yang selektif, perbuatan atau menertibkan. Selanjutnya, Mattulada mengemukakan kegunaan wari yang bertujuan kepada penataan pangngadereng dan penertibannya yaitu sebagai berikut:

  • Wari’tana ialah tata-kekuasaan dan tata pemerintahan dalam hal mengenai dasar-dasarnya. Bagaimana raja menghadapi rakyatnya dan bagaimana rakyat menghadap kepada rajanya.
  • Wari’asseajingeng ialah tata-tertib yang menentukan garis keturunan dan kekeluargaan, dalam hal ini wari mengenai pelapisan masyarakat.
  • Wari’pangoriseng ialah mengenai tata-urutan dari hukum yang berlaku dalam tata-hukum atau dengan kata lain, menentukan berlaku atau batalnya suatu undang-undang atau hukum.

Fungsi wari tersebut dalam pangngadereng memperjelas bahwa wari sangat berperan dalam tata krama dan sopan santun dalam kehidupan masyarakat, tata cara masyarakat menghadap kepada raja atau raja menghadapi rakyatnya, sistem keturunan dan hukum yang berlaku pada masyarakat.

Kerajaan Bone terbentuk pada awal abad ke XIV atau pada tahun 1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk, sudah ada kelompok-kelompok dan pemimpinnya digelar Matoa.

Dengan datangnya TO MANURUNG Mata Silompo’E, maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut, termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG Mata Silompo’E, menjadi Raja Bone, Rakyat Bone bersumpah sebagai pertanda kesetiaan Rakyat kepada Raja, sekaligus sebagai pencerminan sifat Pemerintahan Kerajaan diawal berdirinya.

Adat Istiadat Kerajaan Bone

Meskipun Suku Bajo beragama Islam, namun mereka masih hidup dalam dimensi leluhur. Budaya mantera-mantera, sesajen serta kepercayaan roh jahat masih mendominasi kehidupan mereka.
Peran dukun masih sangat dominan untuk menyembuhkan penyakit serta untuk menolak bala atau memberikan ilmu ilmu. Orang Bajo sangat mempercayai setan-setan yang berada di lingkungan sekitarnya. Rumah dan dapur-dapur mereka. Mereka percaya pantangan-pantangan dan larangan, seperti misalnya larangan meminta kepada tetangga seperti minyak tanah, garam, air atau apapun setelah magrib.

Mereka juga percaya dengan upacara tebus jiwa. Melempar sesajen ayam ke laut. Artinya kehidupan pasangan itu telah dipindahkan ke binatang sesaji. Ini misalnya dilakukan oleh pemuda yang ingin menikahi perempuan yang lebih tinggi status sosialnya. Masyarakat Suku Bajo menyebut rumah PALEMANA atau rumah di atas perahu. Karena masyarakat Suku Bajo bermukim dan mencari nafkah di atas laut. Karena itulah mereka mendapat julukan sebagai MANUSIA PERAHU.

Menurut masyarakat Suku Bajo bahwa pemanasan global sekarang, orang-orang Bajo kesulitan memantau perubahan iklim. Padahal biasanya mereka sangat presisi dalam mengantisipasi. Gelombang pasang, letusan gunung berapi bisa diprediksi jauh hari sebelumnya.

Untuk berlayar di siang hari, pada saat mereka tidak bisa melihat pantai, mereka mengandalkan ombak dan angin. Pada malam hari, bintang bintanglah yang menunjukan jalan. Mereka menyebut bintang itu MAMAU atau KARANGITA. Mamau atau karangita bisa menjadi penunjuk arah yang dituju.

Suku Bajo, memiliki keyakinan penuh atas sebuah ungkapan, bahwa Tuhan telah memberikan bumi dengan segala isinya untuk manusia. Keyakinan tersebut tertuang dalam satu Falsafah hidup masyarakat Bajo yaitu , (“Papu Manak Ita Lino Bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana‘”) artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita sebagai manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya.

Sehingga laut dan hasilnya merupakan tempat meniti kehidupan dan mempertahankan diri sambil terus mewariskan budaya leluhur suku Bajo. Dalam suku Bajo, laki-laki atau pria biasa dipanggil dengan sebutan Lilla dan perempuan dengan sebutan Dinda.

Sementara itu, Lagu dan tarian Bajo di antaranya, Lagu Lampa – Lampa Pisang, Tarian Igal Igal, Tarian dan Lampa-Lampa Pisang.

Suku Bajo di Sulawesi Selatan tidak lagi disebut sebagai suku tertinggal dan termarjinalkan khususnya di Kabupaten Bone. Mereka sudah melakukan hubungan sosial dengan suku Bugis seperti yang ada di kelurahan Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone. Meskipun mereka masih kebanyakan berdomisili di Tepian Laut Teluk Bone.