Bagaimana adab pinjam-meminjam dalam Islam?

Pinjam-meminjam

Pengertian dari meminjam: memakai barang (uang dsb) orang lain untuk waktu tertentu (kalau sudah sampai waktunya harus dikembalikan)

Bagaimana adab pinjam-meminjam dalam Islam?

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial dan paling membutuhkan. Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mengutus kepada kita seorang Nabi yang telah menjelaskan semua hal yang dapat mendekatkan kita menuju surga dan menjauhkan kita dari neraka. Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menjadikan kita para hamba-Nya yang beriman sehingga kita dapat bermuamalah dengan ajaran-ajaran-Nya yang sangat indah dan lengkap.

Pembaca yang dirahmati oleh Allah, dalam kehidupan kita sehari-hari kita semua pasti akan membutuhkan bantuan orang lain, entah itu dengan meminjam barang milik saudara kita yang dapat kita manfaatkan atau meminta tolong terhadap tenaga orang-orang yang ada di sekitar kita untuk membantu meringankan beban kita. Akan tetapi terkadang sebagian orang hanya berniat mencari untung buat mereka sendiri dengan merugikan hak saudaranya. Sehingga muamalah yang sebenarnya adalah sebuah bentuk tolong menolong berubah menjadi sebuah kezaliman.

Melihat kenyataan yang demikian itu adanya, maka Islam telah mengaturnya dengan sangat baik dalam al-Qur’an dan as-Sunnah (hadits) mengenai fikih dan adab seputar muamalah pinjam-meminjam serta yang berkenaan dengan barang pinjaman yang disebut dengan al-‘ariyah. Untuk lebih jelasnya, pembaca dapat menyimak ulasan berikut.

Meminjamkan barang yang dibutuhkan adalah dianjurkan

Dalam hukum fikih, meminjamkan barang kepada saudara kita yang membutuhkan dinamakan dengan ‘ariyah yaitu perbuatan membolehkan (seseorang untuk) memanfaatkan sebuah barang yang bisa dimanfaatkan dengan membiarkan barang itu utuh setelah diambil manfaatnya untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Maka dikecualikan dari pengertian ini adalah benda yang dapat dimanfaatkan namun habis atau bisa rusak, semisal makanan dan minuman. Dan perbuatan ini sangat dianjurkan oleh agama Islam.

Dan bila pinjaman itu dengan imbalan maka ia menjadi sewa-menyewa.

Perbuatan ini didasari oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala,

Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS al-Ma’un [107]: 6)

Yaitu barang-barang yang biasa dipinjam oleh para tetangga satu sama yang lainnya.

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mencela orang-orang yang enggan meminjamkan barang yang dibutuhkan oleh manusia lainnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa meminjamkan barang yang dibutuhkan adalah disyariatkan. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memandang bahwa meminjamkan barang yang bisa dimanfaatkan oleh orang lain adalah wajib bila orang yang meminjami itu adalah orang yang kaya.

Bagaimanakah adab meminjam barang dalam Islam?

Mengingat muamalah pinjam-meminjam barang ini dilakukan bukan oleh satu orang, maka Islam telah mengajarkan beberapa adab yang apabila dilaksanakan tidak akan menimbulkan kezaliman dan kerugian bagi salah satu pihak. Dan di antara yang harus diperhatikan oleh orang yang akan pinjam dan meminjamkan barang ialah:

  1. Hendaknya meminjamkan barang dengan niatan ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala dan mengharap pahala dari-Nya. Karena perbuatan ini adalah perbuatan yang sangat mulia.

  2. Hendaknya yang meminjamkan barang adalah seorang yang memang telah dianggap oleh syariat berhak untuk meminjamkan. Yaitu seorang baligh dan berakal yang memiliki barang tersebut dengan sah.

  3. Pihak yang meminjam hendaknya memang orang yang berhak untuk dipinjami.

  4. Hendaknya tidak meminjamkan barang yang tidak boleh dimanfaatkan, semisal meminjamkan budak untuk seorang yang kafir atau meminjamkan alat berburu kepada seorang yang sedang ihram atau meminjamkan alat-alat yang diharamkan, semisal alat musik.

  5. Hendaknya barang yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan dan tidak habis setelah pemanfaatan.

  6. Bagi orang yang meminjam barang tersebut hendaknya langsung mengembalikannya bila diminta oleh pemilik barang. Kecuali jika dengan meminta barang tersebut akan membahayakan si peminjam, semisal dalam kasus meminjam kapal dan meminjam tempat semacam tembok untuk menaruh kayu atau gudang tempat menyimpan makanan. Maka yang meminjami tidak boleh meminta kembali barangnya sehingga si peminjam selesai dari hajatnya.

  7. Hendaknya si peminjam merawat dengan sebaik-baiknya barang pinjaman tersebut melebihi barangnya sendiri sampai dikembalikan kepada pemiliknya dengan keadaan sebagaimana ia meminjamnya. Hal itu karena Allah subhanahu wa ta’ala memerintah kita untuk menjadi orang yang bisa memegang amanah dan memberikan hak kepada orang yang berhak. (QS an-Nisa’ [4]: 58)

  8. Tidak memaksa saat meminjam. Karena tidak halal harta seorang muslim untuk muslim yang lain kecuali dengan perasaan rela dari keduanya.

Bagaimanakah jika barang pinjaman rusak?

Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanah. Berarti dia tidak berhak menanggung beban. Hal ini didasari oleh cerita dari Shafwan bin Ya’la dari ayahnya berkata,

“Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah berkata kepadaku, ‘Jika telah datang utusanku kepadamu maka berikanlah kepadanya 30 baju perang dan 30 unta.’ Maka ayahku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung (bila terjadi kerusakan atau hilang) ataukah pinjaman yang dibiarkan (bila terjadi kerusakan)?’ Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Bahkan itu adalah pinjaman yang dibiarkan bila terjadi kerusakan.’” (Shahih Sunan Abi Dawud: 3045)

Al-Imam ash-Shan’ani berkata,

“Al-Madhmunah (yang ditanggung) maksudnya adalah, yang diganti dengan harga yang sepadan bila terjadi kerusakan. Sedangkan al-mu’addah (yang dikembalikan tanpa mengganti bila ada kerusakan) maksudnya adalah, yang wajib dikembalikan dengan barang yang utuh, namun bila rusak si peminjam tidak wajib mengganti.” (Subulus Salam 3/69, dari al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz: 369)

Dari sini kita dapat ambil kesimpulan, bahwa orang yang meminjam dibebani untuk mengembalikan barang pinjamannya kepada yang dipinjami, namun ia tidak dibebani untuk mengganti barang pinjaman tersebut bila rusak atau hilang, selama itu bukan kesalahan dari peminjam atau si peminjam telah memenuhi prosedur penggunaannya. Contoh mudah dalam masalah ini adalah kasus berikut:

Pak Ali meminjam motor kepada Pak Zaid, namun Pak Ali tidak bisa mengendarai sepeda motor tersebut. Jika sampai terjadi kecelakaan yang mengakibatkan rusaknya kendaraan itu maka yang menanggung adalah si peminjam (P Ali). Karena pada asalnya ia tidak ahli dalam mengoperasikan barang pinjaman tersebut. Namun, bila si peminjam adalah orang yang memang ahli mengendarai sepeda motor dan ia telah mengenakan perangkat keamanan saat berkendara, ia juga mengerti aturan lalu lintas, maka bila terjadi sesuatu dengan sepeda motor tersebut bukan tanggung jawab si peminjam.

Demikian juga bila barang tersebut hilang, maka dilihat dahulu apa penyebabnya; apakah barang hilang tersebut dikarenakan kelalaian si peminjam ataukah memang telah ditempatkan di tempat yang aman lalu didatangi pencuri.

Demikian untuk kasus-kasus yang lainnya. Hal ini juga sebagaimana dijelaskan dalam sebuah kaidah fiqhiyyah: “Setiap yang terjadi disebabkan karena telah diizinkan maka tidak wajib mengganti, begitu juga sebaliknya.” Maksudnya, bila kita serahkan kepada orang yang amanah (al-amin), yaitu orang yang diserahi harta oleh pemiliknya dengan kerelaan hati pemiliknya, diridhai oleh syariat atau diridhai oleh penanggung jawab harta itu.

Jangan cari untung sendiri dengan mengorbankan hak orang lain

Maksud dari pembahasan ini adalah, baik si peminjam atau yang meminjami dilarang untuk mengambil keuntungan pribadi dengan mengorbankan salah satu pihak yang berhubungan dengannya. Misal dari masalah ini adalah dalam kasus berikut:

  1. Sengaja meminjamkan harta semisal uang supaya tidak dikenai zakat. Maka hal ini tidak dibenarkan, karena hal itu termasuk mengakali syariat lantaran al-‘ariyah sebenarnya adalah membantu orang yang membutuhkan dengan niat mencari pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan orang ini meminjami orang lain bukan karena mencari pahala, namun ingin keluar dari kewajibannya.

  2. Meminjam barang dan merusakkannya tanpa berniat untuk mengganti. Memang secara fikih orang yang telah ahli dan dipercaya dalam menggunakan barang pinjaman tersebut tidak dibebani untuk mengganti kerusakan yang terjadi akibat pemakaian. Namun, bukan berarti ia tidak bertanggung jawab sama sekali saat terjadinya kerusakan atau kehilangan. Yang kedua, dikhawatirkan ia akan terkena dosa karena niatnya yang jelek di awal kali ia meminjam, karena semua amalan itu tergantung pada niatnya. Selain itu hal tersebut juga akan memperburuk hubungan ukhuwah islamiyah antara saudar kita se-Islam.

Wallahu A’lam.