Titik impas (break even point) adalah sebuah titik dimana biaya atau pengeluaran dan pendapatan adalah seimbang sehingga tidak terdapat kerugian atau keuntungan.
Asumsi-asumsi apa yang ditetapkan dalam menganalisa break even point?
Titik impas (break even point) adalah sebuah titik dimana biaya atau pengeluaran dan pendapatan adalah seimbang sehingga tidak terdapat kerugian atau keuntungan.
Asumsi-asumsi apa yang ditetapkan dalam menganalisa break even point?
Asumsi yang mendasari analisis break even point menurut Horngren et all. (2006) adalah sebagai berikut:
Analisis break even adalah penting bagi manajemen untuk mengetahui hubungan antara biaya, volume dan laba, khususnya informasi mengenai jumlah penjualan minimum dan besarnya penurunan realisasi penjualan dari rencana penjualan agar perusahaan tidak menderita kerugian.
Bila asumsi dasar salah satunya mengalami perubahan, maka akan berpengaruh pada posisi titik impas, sehingga perubahan tersebut akan berpengaruh juga terhadap laba perusahaan.
Analisis break even point digunakan oleh manajer sebagai sebuah perkiraan bukan kepastian, karena banyak perusahaan yang tidak memenuhi asumsi-asumsi dasar secara tepat.
Asumsi-asumsi dasar dalam melakukan analisis Break Even Point atau titik impas antara lain :
Terdapat beberapa asumsi yang mendasari analisis break even point. Hansen dan Mowen (2009) mengatakan bahwa asumsi atau anggapan dasar yang digunakan dalam analisis break even point adalah sebagai berikut :
Analisis mengasumsikan fungsi pendapatan dan fungsi biaya berbentuk linier.
Analisis mengasumsikan harga, total biaya tetap dan biaya variabel per unit dapat diidentifikasikan secara akurat dan tetap konstan sepanjang rentang yang relevan.
Analisis mengasumsikan apa yang diproduksi dapat dijual.
Untuk analisis multiproduk, diasumsikan bauran penjualan (sales mix) diketahui.
Diasumsikan harga jual dan biaya diketahui secara pasti.
Sedangkan menurut Mulyadi (2001) asumsi yang mendasari break even point adalah :
Variabilitas biaya dianggap akan mendekati pola perilaku yang diramalkan. Biaya tetap akan selalu konstan dalam kisar volume yang dipakai dalam perhitungan break even point, sedangkan biaya variabel berubah sebanding dengan perubahan volume penjualan.
Harga jual produk dianggap tidak berubah-ubah pada berbagai tingkat kegiatan. Jika dalam usaha menaikkan volume penjualan dilakukan penurunan harga jual atau dengan memberikan potongan harga, maka hal ini mempengaruhi hubungan biaya-volume-laba.
Kapasitas produksi pabrik dianggap secara relatif konstan. Penambahan fasilitas produksi akan berakibat pada penambahan biaya tetap dan akan mempengaruhi hubungan biaya-volume-laba.
Harga faktor-faktor produksi dianggap tidak berubah. Jika harga bahan baku dan tarif upah menyimpang terlalu jauh dibanding data yang dipakai sebagai dasar perhitungan break even point, maka hal ini akan mempengaruhi hubungan biaya-volume-laba.
Efisiensi produk dianggap tidak berubah. Apabila terjadi penghematan biaya karena adanya penggunaan bahan pengganti yang harganya lebih rendah atau perubahan metode produksi, maka hal ini akan mempengaruhi hubungan biaya-volume-laba.
Perubahan jumlah sediaan awal dan akhir dianggap tidak signifikan.
Komposisi produk yang dijual dianggap tidak berubah. Jika perusahaan menjual lebih dari satu macam produk, maka meskipun volume penjualan sama tetapi apabila komposisinya berbeda, maka hal ini akan mempunyai pengaruh terhadap pendapatan penjualan.
Mungkin diantara anggapan-anggapan diatas, anggapan yang paling pokok adalah bahwa volume merupakan faktor satu-satunya yang mempengaruhi biaya. Dari kedua pendapat tesebut dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis break even point. Diantaranya biaya harus dipisahkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel, fungsi pendapatan dan fungsi biaya berbentuk linier, adanya bauran penjualan (sales mix) multiproduk.