Aru, Tak Salah Menjadi Perantau

images-2
https://images.app.goo.gl/Ja1hcVWEfE7mNG5

Para nelayan saling bertabrakan tak kenal arah, sebagian jalannya mundur berbagi tugas memegangi sisi jala yang lain. Ibu-ibu yang sudah atau baru tiba, bersaut teriak meminta ikan segar. Sementara Aru, pemuda itu baru saja menurunkan sanggahan sepedanya. Ia tak beranjak dari tempat parkir, masih menguap dan bermain embun di udara. Pandangannya masih tak jelas, karena semalaman ia begadang menjahit baju Nira dan menyelesaikan alat temuannya. Aru, si keras kepala yang cemerlang akalnya. Setiap malam gaduh bereksperimen menemukan sumber listrik, yang ia usahakan bukan dari token. Terkadang warga yang ronda menemukannya tertidur di amben dekat pohon kelapa, sambil memegang gunting atau pisau. Lebih sering ia dijumpai tertidur memegang pena, lantas semua yang melihat pun paham kenapa.

Beberapa hari lalu, Aru mengadu kepada Tuhan, capai kalau harus terus menumpang di rumah kades tiap kali ingin belajar. Pasalnya, rumahnya terlalu gelap untuk disebut rumah, sedu pijar yang memburat jingga hanya cukup menyinari wajah adiknya, Nira ketika terbenam. Ia tak mampu membeli bohlam apalagi harus berlangganan listrik. Sebagai tulang punggung keluarga, ia harus memutar otak agar dapat mengunyah nasi tiap hari. Dan uangnya tak cukup untuk sekadar menyinari rumah dengan lampu tegangan terendah.

Aru terlalu sibuk jika dibandingkan dengan kades bahkan. Pagi buta ia harus membantu Mak Bika mengangkat ikan tuna dan menyisikki ikan gurame. Selepas itu ia harus menyiapkan Nira, bersekolah, mengumpulkan kelapa, mencari pekerjaan seadanya, pergi ke rumah kades untuk membaca dan menulis rancangan idenya. Pulang pun tak tidur hingga menjelang subuh, mengutak atik pohon sambil komat-kamit berpikir.

Setelah beribu malam ia mencoba, otak encernya mampu menciptakan cahaya yang akan menerangi rumahnya, tentunya tanpa token. Ia berseru sorak memanggil Nira seraya menunjukkan nyiur nya mampu menghidupkan perkakas listrik. Bagaimana tak bangga menjadi Nira, satu-satunya abang sekaligus keluarganya yang tersisa, mampu membuat listrik. Siapa yang bisa menyangka. Lantas ia berbangga kepada para tetangga, Mak Bika, pak kades dan siapapun yang dijumpainya di jalanan menuju pantai. Kini rumahnya tak seredup sebelumnya, setelah pak kades menghadiahi bohlam untuk Aru sebagai tanda salut.

Tak disangka, kejeniusan Aru sampai ke telinga pabrik kilang terkemuka di kota berkat pak kades yang terlanjur memamerkan Aru ke bupati. Aru mendapat atensi pabrik itu, sehingga membuatnya dikirim ke Belanda, negeri yang hanya didengarnya dari buku sejarah, ia tau bahwa Belanda lah yang sempat membuat negerinya porak-poranda. Membayangkannya saja tak bisa, ia masih tak menyangka akan dikirim ke negeri antah berantah untuk mengenyam ilmu tinggi. Sekampung ramai memuji dan menyokongnya untuk pergi, bagaimana tak mendukung, siapa lagi pemuda kampung yang bisa ke luar negeri.

“Bang Aru yakin berangkat ke Belanda? Berbicara asing saja kau tak bisa, mau jadi apa kau di sana?” tukas Nira sedikit meninggi nadanya.

“Iya, aku yakin. Lagipula aku akan dilatih dulu fasih berbicara asing,” jawab Aru singkat sambil mengemas barang.

“Lalu kau akan meninggalkanku di sini sendiri? Aku makan apa? Siapa yang menjahit bajuku yang tipis kali kainnya? Apa kau benar benar menjadikanku gadis sebatang kara?”

“Jangan manja! Umurmu sudah dewasa, kau bisa mengatur hidupmu tanpaku. Untuk uang, akan aku kirimkan tiap bulan. Di sana aku akan bekerja, uang beasiswa juga aku gunakan seperlunya saja, agar sisanya untuk kau hidup."

“Bang, jangan egois! Jangan berlagak seperti orang kota, jangan terlalu bermimpi tinggi. Apa kau hanya akan percaya pada mimpimu? Kenapa kau pergi jauh sekali,” ucap Nira semakin berteriak, sesekali terisak.

“Memangnya salah jika aku bermimpi? Ini adalah buah usahaku, aku pantas menikmatinya. Aku juga ingin merasakan kerlap Amsterdam. Riuhnya kota itu karena perdagangan modern, gertak kaki para pelajar, dan wajah orang-orang yang menyimpan mimpi peradaban. Aku juga ingin berakhir menjadi insinyur. Tuhan tidak menakdirkan semua orang menjadi nelayan jika besar di kampung ini!” Aru tak kalah marah.

Semakin deras Nira berteriak dan berderu air mata. Menyalahkan Aru dan mencegahnya merantau, tak begitu jelas apa maksudnya. Namun Aru hanya acuh, ia tetap membulatkan tekad untuk merajut pendidikan, ia sadar betul, kesempatan ini tak datang dua kali.
“Bukan ini yang Mak dan Abah ingin Bang, aku yakin jika mereka ada, mereka akan melarangmu seperti aku kini.”

“Kau salah Nira, abang begini karena abah berpesan agar abang bersekolah hingga tinggi, mengangkat martabat keluarga, ini jalannya. Jangan kau halangi, abang tidak akan merubah keputusan.”

Aru meninggalkan Nira yang tengah bersimpuh masih menangis di pelataran. Yang ia harapkan hari itu, Nira melepasnya dengan tenang. Namun apapun yang terjadi, ia tetap bersikukuh berangkat. Langkahnya melambat ketika hendak masuk mobil tumpangan. Menoleh sebentar, ia mendenguskan napas memburu. Sepanjang perjalanan ia menguatkan hati.

Tak apa bila aku egois kali ini. Aku juga ingin mendapat gelar dan penghidupan lebih layak. Nanti, Nira akan kubuat menyesali perkataannya hari ini. Aku tidak salah, orang kampung tidak salah jika ingin ke Belanda. Aku tidak keliru, kalau meninggalkan Nira sendiri kini, orang kota saja ramai merantau menyisakan keluarga di rumah. Apa mungkin aku terlalu egois? Untuk semua mimpi dan kesenanganku, aku ingin merasakannya sesekali. Ujar Aru menguatkan diri, ia tak salah, begitu batinnya.

#LombaCeritaMini #2.0 #dictiocommunity #EgoismediSekitarKita #CeritaDiRumahAja #DiRumahAja

1 Like