Bisakah kita menafsirkan undang-undang dengan arti berlawanan, seperti contoh perempuan tidak boleh menikah lagi sebelum masa iddah selesai, berarti ketentuan ini tidak untuk laki-laki. Atau kendaraan roda dua tidak boleh menaiki jalan flyover, berarti kendaraan roda tiga boleh. Mohon penjelasannya, kalau bisa seperti apakah cara menafsirkan yang benar?
Terimakasih.
Pengertian Penafsiran Pengungkapan Secara Berlawanan
Menyorot pertanyaan Anda, menafsirkan undang-undang secara berlawanan disebut juga dengan argumentum a contrario. R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum (hal. 115) menjelaskan bahwa penafsiran a contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang.
Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan.
Pada hakikatnya penafsiran a contrario sama dengan penafsiran analogis hanya hasilnya berlawanan. Analogi membawa hasil positif sedangkan penafsiran a contrario hasilnya negatif.
Penafsiran berdasarkan argumentum a contrario mempersempit perumusan hukum atau perundang-undangan. Tujuannya ialah untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan.
Perbedaaan penggunaan undang-undang secara analogi dan berdasarkan argumentum a contrario ialah:
a. Menggunakan undang-undang secara analogi memperoleh hasil yang positif; sedangkan argumentum a contrario memperoleh hasil negatif.
b. Menggunakan undang-undang secara analogi adalah memperluas berlakunya ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan; sedangkan secara a contrario mempersempit berlakunya ketentuan undang-undang.
Persamaannya adalah:
a. Penggunaan undang-undang secara analogi dan argumentum a contrario sama–sama berdasarkan konstruksi hukum.
b. Kedua cara tersebut dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah.
c. Kedua cara tersebut diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebut masalah yang dihadapi.
d. Maksud dan tujuan antara kedua cara tersebut adalah sama-sama untuk mengisi kekosongan di dalam Undang-Undang.
Contoh Penafsiran Argumentum A Contrario
Contoh penafsiran a contrario dapat kita temukan pada Pasal 34 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang menyatakan bahwa:
Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian.
Dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Lalu, apakah seorang laki-laki juga harus menunggu waktu 300 hari? Jawabannya adalah tidak.
Jadi, berdasarkan argumentum a contrario (berlawanan), dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki karena soal yang dihadapi tidak diliputi oleh pasal tersebut. Pasal 34 KUH Perdata, tidak menyebutkan apa-apa tentang seorang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada perempuan.