Aroma Sang Kekasih

Taman Surga

Maulana Rumi berkata:

“Aku ingin pergi ke Tuqat, karena daerah itu sangat hangat. Meskipun Anatolia juga daerah yang hangat, tapi mayoritas orang-orang Roma yang ada di sana tidak memahami bahasa kita, meski sebagian dari mereka ada yang mengerti."

Pada suatu hari, aku sedang berbicara di tengah-tengah para jamaah, yang di dalamnya ada sekelompok orang kafir. Di tengah-tengah pembicaraanku, tiba-tiba mereka mulai menangis, menunjukkan raut muka kesedihan, dan mencucurkan air mata.

Salah seorang dari mereka bertanya,

“Apa yang mereka pahami dan ketahui? Hanya ada seorang Muslim di antara ribuan Muslim yang bisa memahami ucapan semacam ini. Apa sebenarnya yang mereka pahami sehingga mereka menangis sedemikian rupa?”

Maulana Rumi menjawab:

“Mereka tidak harus memahami makna kata-kata ini. Akarnya adalah kata-kata itu sendiri, dan mereka sudah memahaminya. Yang terpenting, semua manusia mengakui keesaan Allah, bahwa Dia adalah Maha Pencipta, Maha Pemberi Rezeki, dan Maha Pengatur. Segala sesuatu akan kembali kepada-Nya, siksa dan ampunan juga dari-Nya. Ketika seseorang mendengar ucapan yang merupakan sifat-sifat Allah semacam ini, yang berarti kita sedang menyebut-nyebut-Nya, maka ia bisa merasa sedih dan mencucurkan air mata, karena dari perkataan seperti ini tercium aroma Sang Kasih, yang merupakan tujuannya."

Meskipun jalannya berbeda-beda, namun tujuan tetaplah satu. Tidakkah kamu lihat bahwa ada banyak sekali jalan menuju Ka’bah?—ada yang berjalan dari Roma, dari Syam, dari Persia, dari Cina, dan ada juga yang menempuh jalur laut dari India dan Yaman. Demikianlah, jika kamu memikirkan jalan-jalan tersebut, maka kamu akan menemukan banyak sekali perbedaan dan tampilan yang tak terbatas. Tapi jika kamu melihat tujuannya, maka semua akan tampak sama dan berujung pada satu hal. Semua hati tertuju pada Ka’bah. Setiap hati memiliki hubungan, kerinduan, dan kecintaan yang mendalam kepada Ka’bah, dan di sini tidak ada ruang untuk perbedaan. Hubungan erat itu bukanlah kekafiran maupun keimanan, sebab perbedaan jalan, seperti yang sudah disebutkan tadi, tidaklah bermakna ambigu. Begitu mereka sampai kepada tujuan mereka, maka berbagai jenis perdebatan, pergulatan, dan perbedaan yang ada di jalan—seperti perkataan, “Kamu salah, kamu seorang kafir,” dan orang-orang yang lain juga mengatakan hal yang sama—jika mereka semua sudah sampai di Ka’bah, maka akan segera mengetahui bahwa berbagai pertentangan tadi hanya terjadi di jalanan, sementara tujuan mereka adalah sama.

Sebagai contoh, jika sebuah mangkuk memiliki ruh, maka ia akan menjadi hamba bagi penciptanya dan terlibat dalam permainan cinta. Sekarang, kepada mangkuk yang dibuat oleh tangan manusia ini, seseorang mengatakan: “Mangkuk itu harus diletakkan di atas meja,” sementara yang lain mengatakan: “Mangkuk itu harus dicuci dulu bagian dalamnya,” yang lain mengatakan: “Yang harus dicuci seharusnya bagian luarnya,” yang lain lagi mengatakan: “Bagian dalam maupun luar harus dicuci semua,” dan yang lain lagi berkata: “Mangkuk itu tidak perlu dicuci sama sekali.” Perbedaan mereka hanya terjadi pada perkara-perkara semacam ini. Adapun fakta bahwa mangkuk itu diciptakan oleh seseorang yang memiliki kecakapan tertentu, tidak mereka lihat sebab mereka semua sudah menyetujuinya dan tidak ada lagi perbedaan di antara mereka mengenai hal itu.

Mari kita kembali ke pokok pembahasan: Semua manusia, jauh di lubuk hati mereka yang terdalam, sangat mencintai Tuhannya dan mencari-Nya. Semua manusia butuh dan menggantungkan seluruh harapan mereka pada-Nya. Mereka mengerti bahwa tidak ada siapapun lagi yang mampu membantu urusan-urusan mereka. Makna seperti ini tidak lagi menyangkut persoalan keimanan maupun kekafiran. Tidak ada nama khusus untuknya di dalam hati. Ketika air maknawi mengalir keluar dari hati seseorang menuju muara lisan dan kemudian membeku, maka ia memerlukan aksiden dan ungkapan. Di sinilah baru muncul istilah kekafiran, keimanan, kebaikan dan keburukan. Seperti halnya tanaman-tanaman yang tumbuh dari tanah; Pada mulanya tanaman tidak memiliki bentuk, namun ketika sudah keluar dari tanah dan menyembul di atas bumi, tanaman ini tampak di hadapan mata sebagai bentuk yang lembut, indah, dan berwarnah putih, lalu ketika telah berkembang menjadi pohon yang besar, tanaman ini menjadi keras, lebat, dan memiliki warna yang lain.

Ketika seorang Mukmin dan kafir sedang duduk bersama dan tidak berkata apa-apa satu sama lainnya, bisa dikatakan bahwa mereka adalah satu. Tidak ada konflik keyakinan sebab hati adalah dunia yang bebas. Keyakinan adalah sesuatu yang subtil dan karenanya tidak dapat diawasi,

“Kita hanya bisa menghukumi yang tampak, dan hanya Allah yang menguasai yang batin.”

Ketika Allah SWT menunjukkan keyakinan itu kepadamu, kamu tidak akan mampu menyembunyikan keyakinan itu bahkan dengan seratus ribu usaha sekalipun. Berkaitan dengan perkataan bahwa Allah tidak membutuhkan instrumen apapun, tidakkah kamu lihat bagaimana Allah menampakkan gagasan-gagasan dan keyakinan-keyakinan ke dalam pikiran kalian tanpa instrumen, tanpa pena, dan tanpa warna apapun.

Keyakinan itu seperti burung yang terbang di udara dan rusa- rusa yang berkeliaran di hutan. Kalau kamu tidak menangkap dan memasukkannya ke dalam kandang terlebih dahulu, kamu tidak berhak menjual mereka, sebab burung yang akan kamu jual itu belum berada dalam kekuasaanmu. Karena dalam jual beli ada syarat transaksi dan kalau syarat itu tidak bisa kamu penuhi, lantas bagaimana kamu bisa melakukan transaksi?

Demikianlah, sepanjang keyakinan masih berada dalam hati, maka ia tidak memiliki nama dan tanda; kita tidak bisa melabelinya dengan status kafir maupun Islam. Tidak ada seorang hakim pun yang berkata: “Dalam hatimu kamu berikrar demikian dan kamu memiliki gagasan demikian,” atau “Bersumpahlah bahwa dalam hatimu kamu tidak pernah berpikir demikian.” Seorang hakim tidak mungkin berbicara begitu, sebab tidak satu orang pun yang bisa menilai hati orang lain. Keyakinan itu seperti burung-burung di angkasa. Ketika keyakinan itu sudah diekspresikan dalam kata- kata, barulah kita bisa menghukumi dengan Muslim, kafir, benar atau salah.

Ada sebuah dunia bagi tubuh, dunia bagi gagasan-gagasan, dunia bagi imanjinasi, dan dunia untuk praduga. Allah SWT berada di belakang semua dunia itu, tidak di dalam ataupun di luarnya. Renungkanlah bagaimana Allah bisa menciptakan gagasan-gagasan semacam ini, Dia menciptakannya tanpa ada “bagaimana,” tanpa pena, dan tanpa instrumen. Terkait dengan imajinasi atau gagasan ini, jika kamu hendak mencarinya dengan membelah dada manusia dan menajamkan pandangan demi melihat partikel demi partikel, niscaya kamu tidak akan pernah bisa menemukannya. Kamu tidak akan menemukannya dalam darah, dalam urat, di atas, dan tidak juga di bawah. Kamu tidak akan menemukannya dalam satu organ tertentu karena imajinasi atau gagasan memang bersifat non-materi, tidak berwaktu dan bertempat. Bahkan kamu juga tidak akan menemukannya di luar dada.

Apa yang dilakukan Allah pada gagasan-gagasan ini sangat subtil hingga gagasan tersebut tidak berbekas. Renungkanlah betapa hebatnya Allah yang mencipta sesuatu tanpa ada bekas, dan betapa subtilnya Dia menciptakan semua ini! Sebagaimana tubuh manusia yang mencolok jika dibandingkan dengan makna yang ada dalam diri manusia, maka makna yang subtil dan tidak tampak ini adalah sebuah tubuh dan bentuk yang mencolok bagi kesubtilan Allah.

Jika ruh yang suci itu tersingkap dari selubung,

Maka seluruh pikiran dan ruh manusia akan menjadi bentuk raga

Allah SWT tidak berada di dalam kandungan alam gagasan-gagasan ini dan tidak juga berada di dunia yang lain. Sebab jika Allah berada di dalam salah satu dari dunia-dunia itu, maka penciptanya akan memiliki kekuasaan terhadap Allah, sementara pencipta itu tidak mungkin menjadi pencipta dari gagasan-gagasan di alam pikiran, sebagaimana yang dilakukan oleh Allah. Maka yang sebenarnya adalah bahwa Allah SWT berada di belakang semua dunia itu.

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman.” (QS. al-Fath: 27)

Semua orang berkata: “Kita akan memasuki Ka’bah.” Yang lainnya berkata, “Insya Allah kita akan memasukinya.” Mereka yang mengatakan “Insya Allah” adalah para pecinta Allah, sebab seorang pecinta tidak memandang bahwa dirinyalah yang mampu dan terpilih, melainkan kekasihnya. Oleh karena itu mereka berkata: “Jika Sang Kasih menghendaki (Insya Allah), aku akan memasukinya.”

Bagi kaum literalis, Masjidil Haram adalah Ka’bah yang menjadi tempat berkumpulnya umat manusia. Namun bagi para pecinta dan orang-orang khusus, Masjidil Haram adalah tempat dirinya melebur bersama Tuhannya.

Kemudian mereka berkata: “ Jika Allah menghendaki, kami akan sampai kepada-Nya dan diberi kehormatan untuk melihat- Nya.”

Bagi Sang Kasih, orang yang mengatakan “Insya Allah” sangatlah jarang. Kalaupun ada, maka itu hanya bisa dilakukan oleh orang asing, dan hanya orang asing itu yang bisa mendengar dan memahaminya. Allah memiliki hamba-hamba yang sangat dicintai-Nya, dan Allah mencari-cari mereka. Semua tugas mereka, dilakukan oleh-Nya dan kemudian ditunjukkan kepada mereka. Jika para pecinta sejati ini berkata, “Insya Allah aku akan memasukinya,” maka Allah akan berkata, sebagai ganti dari orang asing tadi, dengan perkataan yang sama: “Insya Allah.”

Jika aku harus disibukkan untuk menjelaskan hal ini lebih detail lagi, bahkan para wali yang sudah sampai kepada Allah ( wushul ) pun akan kehilangan ujung tali pembicaraan. Lantas bagaimana mungkin berbicara tentang rahasia-rahasia semacam ini kepada manusia? “Pena telah sampai pada bagian ini, lalu ujungnya tiba-tiba patah dengan sendirinya.” Jika seseorang yang tidak bisa melihat unta yang berada di atas menara, bagaimana ia bisa melihat seutas rambut yang berada di dalam mulut unta itu?

Sekarang, mari kita kembali pada uraian di awal. Maksud dari ucapan para pecinta yang mengatakan “Insya Allah,” adalah bahwa Sang Kasih-lah yang berbuat, jika Sang Kasih menghendaki, maka aku akan memasuki Ka’bah—seperti manusia yang sudah melebur ke dalam Tuhannya. Tidak ada tempat untuk selain diri-Nya. Mengingat-ingat hal yang lain adalah haram. Kalau sudah demikian, masih adakah tempat untuk yang lainnya? Jika manusia tidak menghapus dirinya, maka tidak ada tempat untuk Tuhan. “Tidak ada yang menghuni rumah selain Allah.”

Mimpi yang dititipkan Allah pada utusannya, sesungguhnya adalah mimpi-mipi para pecinta-Nya dan orang-orang yang jujur; sementara tafsir yang sesungguhnya berada di dunia yang lain di sana. Semua yang terjadi di dunia ini adalah mimpi, yang realitasnya akan terjadi di dunia itu. Jika kamu bermimpi menunggangi seekor kuda, maka impianmu itu akan terwujud; tapi apa hubungannya antara kuda dan impian? Jika kamu bermimpi diberi beberapa keping uang dirham yang bagus, maka tafsir mimpi itu adalah bahwa kamu akan mendengar kata-kata yang benar dan indah dari salah satu ulama; tapi apa pula hubungan antara uang dan kata-kata? Jika kamu bermimpi diikat di tiang gantungan, ini berarti kamu akan menjadi pemimpin sekelompok orang; tapi apa lagi hubungan antara tiang gantungan dengan kepemimpinan? Dari sini, maka semua yang ada di dunia ini adalah mimpi. “Dunia ini adalah mimpi orang yang sedang tidur,” sementara tafsirnya akan tampak berbeda di dunia sana; dan hanya penafsir Tuhan yang mampu menginterpretasikannya, karena semua akan tersingkap di hadapannya.

Seperti seorang tukang kebun yang memasuki kebunnya kemudian melihat pepohonan. Tanpa melihat buahnya di dahan, ia dapat mengklasifikasikan bahwa ini adalah pohon kurma, ini pohon ara, ini pohon delima, ini pohon pir, dan ini pohon apel. Karena hamba-hamba Allah yang sejati mengetahui ilmu pepohonan, ia tidak perlu menunggu sampai hari akhir untuk melihat tafsir mimpi-mimpi di kehidupan ini, apa yang akan terjadi, dan apa yang dimaksud oleh mimpi tersebut. Seperti tukang kebun ini, yang mengetahui buah apa yang akan dihasilkan tanpa harus melihat setiap buah yang tergantung di dahan pohon.

Semua yang ada di dunia ini—kekayaan, perempuan, dan pakaian—dicari untuk sesuatu yang lain diluar semua hal itu. Tidakkah kamu memikirkan bahwa ketika kamu memiliki uang seratus ribu dirham, jika kamu sedang lapar tapi kamu tidak menemukan sepotong roti pun, kamu tetap tidak bisa memakan dan menikmati uang itu? Perempuan dicari demi anak-anak dan untuk menyalurkan syahwat. Pakaian digunakan untuk mengusir ganasnya dingin. Dengan demikian, maka semua hal di dunia ini memiliki hubungan dengan Allah SWT. Dialah yang sebenarnya dicari, bukan sesuatu yang lain di luar diri-Nya. Karena Dia berada di atas segalanya, lebih baik dari segalanya, lebih mulia dari segalanya, dan lebih subtil ketimbang segalanya. Bagaimana bisa kita mau mencari sesuatu yang lebih rendah dari diri-Nya? Dialah tujuan akhirnya. Ketika seseorang sudah sampai kepada-Nya, ini berarti bahwa ia telah sampai pada semua tujuan hidupnya, tidak ada tujuan lagi setelah-Nya.

Jiwa manusia dipenuhi oleh berbagai keraguan dan kesulitan. Seseorang tidak akan bisa menghilangkan keraguan dan kesulitan itu kecuali jika ia benar-benar jatuh cinta. Jika cinta sudah merasuki jiwanya, maka keraguan dan kesulitan itu akan sirna dengan sendirinya. Karena Cintamu kepada sesuatu akan membutakan dan membuatmu tuli.”

Ketika Iblis tidak mau bersujud kepada Adam dan malah menentang perintah Allah, ia berkata:

“Engkau ciptakan aku dari api sementara dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. al-A’raf: 12)

“Wujudku terbuat dari api dan wujud manusia terbuat dari tanah.” Bagaimana bisa seorang yang lebih tinggi derajatnya bersujud kepada yang lebih rendah? Ketika Allah mengutuknya karena dosa, perlawanan, dan bantahan ini, Allah kemudian mengusirnya. Iblis berkata:

“Ya Tuhan, Engkau telah menciptakan segalanya, ini adalah kehendak-Mu, dan sekarang Engkau mengutuk dan mengusirku.”

Ketika Adam melakukan dosa, Allah juga mengusirnya dari Surga. Allah berfirman kepada Adam:

“Wahai Adam, ketika Aku menghukum dan mengusirmu karena dosa yang sudah kamu perbuat, kenapa kamu tidak mendebat-Ku padahal kamu memiliki argumen? Kamu tidak berkata, “Segala sesuatu berasal dari-Mu dan diciptakan oleh- Mu. Apapun yang Engkau inginkan di dunia ini akan terwujud dan apapun yang tidak Engkau inginkan tidak akan pernah muncul.” Kau memiliki argumen dan bukti sahih semacam ini, kenapa kamu tidak mengatakannya pada-Ku?”

Adam menjawab:

“Tuhanku, aku tahu itu, tetapi aku tidak ingin menanggalkan tata kramaku di hadapan-Mu dan cinta tidak akan membuatku merasa tersakiti.”

Maulana Rumi berkata:

“Hukum Allah ini adalah sumber mata air.”

Hal ini tak ubahnya seperi pengadilan kerajaan yang di dalamnya terdapat hukum-hukum raja—perintah dan larangannya, politik dan keadilannya—baik untuk orang-orang khusus atau orang-orang biasa. Hukum-hukum raja adalah pengadilan yang tidak terbatas dan isinya tidak bisa ditabulasikan, sangat bagus, bermanfaat, dan dengannya raja bisa menguasai dunia. Sementara para darwis dan orang-orang fakir berada pada posisi sedang berbicara dengan raja, dan mengetahui ilmu yang digunakan raja untuk memerintah. Lantas, apa gunanya mengetahui hukum-hukum raja jika dibandingkan dengan mengetahui ilmu raja itu sendiri dan bisa berbicara langsung dengannya? Tentu ada perbedaan yang besar antara keduanya.

Sahabat-sahabatku (para sufi) beserta segala keadaannya bagaikan sebuah sekolah yang berisi banyak orang alim. Sang guru mengajari orang-orang alim itu sesuai dengan kualifikasi mereka, ada yang diberi sepuluh, dua puluh, dan tiga puluh. Kami juga menyampaikan kata-kata kami sesuai dengan kadar kemampuan setiap orang.

“Berbicaralah pada setiap orang sesuai dengan kadar kemampuan otak mereka.”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum