Apakah Yang Kalian Ketahui Mengenai Perang Seratus Tahun antara Inggris dan Prancis?

English History Special Reference Content
Perang merupakan hal yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah konflik antar umat manusia. Beberapa perang berlangsung sebentar, dan ada pula perang yang berlangsung sangat lama. Biasanya perang melibatkan dua atau lebih pihak yang memakan korban jiwa dan kerugian yang sangat besar. Perang juga disebabkan oleh banyak hal mulai dari yang sebab kecil hingga sebab yang sangat besar seperti misalnya politik, nafsu untuk menambah daerah kekuasaan, dan lain sebagainya.

Inggris dan Prancis adalah salah satu contohnya. Kendati di masa – masa sekarang kedua negara besar di wilayah Eropa Barat yang hanya terpisahkan oleh Selat Inggris ini bersahabat erat satu sama lainnya, tetapi sejarah telah menunjukan jika kedua negara ini pernah saling bentrok berkali – kali dalam berbagai perang. Salah satunya adalah Perang Seratus Tahun yang terjadi di masa akhir abad pertengahan. Seratus tahun ? ya, kalian tidak salah dengar. Perang seratus tahun memang terjadi selama kurang lebih seratus tahun lebih yang durasinya hampir sama dengan Perang Salib yang terjadi dua ratus tahun sebelum Perang Seratus Tahun.

Nah apakah Youdics sekalian mengetahui sejarah dan serba – serbi dari Perang Seratus Tahun yang melibatkan Inggris dan Prancis ?

Pengenalan

Istilah Perang Seratus Tahun sendiri sendiri di kemukakan oleh para sejarawan pada abad ke-19 masehin untuk mendeskripsikan serangkaian konflik panjang yang melibatkan para penguasa dari Kerajaan Inggris dan Kerajaan Pranci yang berlangsung di masa – masa akhir abad pertengahan atau lebih tepatnya sejak tahun 1337 – 1453 masehi. Sebenarnya istilah yang lebih tepat untuk menamai serangkaian konflik ini sendiri adalah “ Perang Seratus Enam Belas Tahun “, mengacu pada timeline atau rentang waktu resmi yang di sepakati oleh para sejarawan. Selama 116 tahun lamanya, Perang Seratus Tahun diikuti oleh lima generasi raja – raja dan dua dinasti baik dari Inggris maupun Prancis.

Perang yang berlangsung sangat lama itu memiliki beberapa peristiwa penting yang ada di dalamnya. Pada masa – masa awal perang, Kerajaan Inggris menggapai beberapa kemenangan gemilang atas Kerajaan Prancis dan Inggris sendiri saat itu dapat menguasai sebagian besar Prancis selama beberapa dekade lamanya. Lalu keadaan mulai berbalik pada tahun 1360 masehi yang dimana Kerajaan Prancis mulai bangkit dan meraih kemenangan demi kemenangan yang berhasil menekan dominasi Kerajaan Inggris di wilayah Prancis.

Tetapi Kerajaan Inggris kembali berhasil meraih kemenangan di tahun 1415 – 1422 masehi yang dimana Raja Henry V dari Inggris berhasil meraih kemenangan meyakinkan di Pertempuran Agincourt pada tahun 1415 dan Inggris kembali menguasai sebagai besar wilayah Prancis sebelum pada tahun 1422 masehi, Prancis kembali bangkit dan menekan Inggris di bawah kepemimpinan seorang gadis pemberani bernama Joan of Arc yang sampai saat ini namanya masih dikenang oleh masyarakat Prancis dan juga merupakan sosok martir. Perang pada akhirnya dimenangkan oleh Prancis dan Dinasti Valois yang berhasil mengusir Inggris dari tanah mereka dan Inggris sendiri kehilangan banyak teritori yang sempat dikuasai selama masa perang berlangsung.

Penyebab Meletusnya Perang Seratus Tahun

Sebagai salah satu konflik yang memakan waktu yang sangat lama, tentunya Perang Seratus Tahun yang melibatkan Inggris dan Prancis juga tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa alasan yang menjadi faktor – faktor utama yang membuat Perang Seratus Tahun meletus. Alasan yang paling utama adalah perebutan kekuasaan antara Inggris dan Prancis terhadap kekuasaan yang ada di Prancis seperti permasalahan wilayah hingga, hingga masalah suksesi takhta di kedua kerajaan. Penjelasannya sebagai berikut dibawah ini

Masalah Tanah – Tanah Inggris di Wilayah Prancis dan Suksesi Takhta Prancis

Penyebab tensi panas antara Kerajaan Inggris dan Prancis menjelang meletusnya Perang Seratus Tahun dapat ditelusuri hingga ratusan tahun ke belakang ke asal muasal Keluarga Kerajaan Inggris yang ternyata berasal dari Prancis (Normandia dan kemudian, Angevin). William I yang menjadi Raja Inggris pada tahun 1066 masehi setelah menaklukan Harold Godwinson yang merupakan Raja Inggris keturunan Anglo-Saxon dalam Pertempuran Hastings, dulunya merupakan Duke of Normandy yang merupakan penguasa wilayah Normandia di Prancis. Sehingga ini lah mengapa jika nenek moyang dari keluarga kerajaan Inggris di masa – masa awal adalah dikatakan berasal dari Prancis.

Selain itu, Pada masa itu, Inggris ternyata secara historis memiliki banyak tanah dan juga gelar di wilayah Prancis yang sering disebut sebagai Kerajaan dan Dinasti Angevin. Kerajaan Angevin sendiri merupakan istilah yang mengacu kepada kepemilikan tanah - tanah di Inggris dan Prancis oleh Raja – Raja Angevin yang berasal dari Inggris sekitar abad ke-12 dan ke-13 masehi. Penguasa dari Dinasti Angevin sendiri adalah Henry II, Richard I Si Hati Singa, dan Raja John. Kerajaan Angevin sendiri merupakan contoh dari penerapan Monarki Komposit (Composite Monarchy).

image

Kepemilikan Inggris atas tanah – tanah di wilayah Prancis ini juga menjadikan mereka vassal untuk raja – raja Prancis. Nah, status fief atau kepemilikan dari tanah – tanah inilah yang menjadi sumber asal muasal konflik antara Inggris dan Prancis selama masa abad pertengahan. Belum lagi, Prancis secara sistematis berusaha membredel kekuatan Inggris di wilayah Prancis dengan cara mengambil alih lahan – lahan yang dimiliki Inggris kapanpun ada kesempatan, terutama ketika Inggris harus menghadapi musuhnya yang lain, yakni Skotlandia yang merupakan sekutu utama dari Prancis. Wilayah – wilayah Prancis yang dimiliki Inggris pun semakin mengerucut dan mengerucut. Pada tahun 1337 masehi, wilayah Inggris di Prancis hanya tersisa Gascony.

Pada tahun 1328 masehi, Raja Charles IV dari Prancis meninggal dunia tanpa memiliki seorang anak laki – laki ataupun saudara kandung laki – laki sementara aturan baru saat itu menyatakan jika wanita dilarang melakukan suksesi takhta. Charles sebetulnya memiliki kerabat laki – laki yang lainnya yakni keponakannya yang bernama Edward III yang merupakan orang Inggris yang ibunya adalah Ratu Isabella. Isabella sendiri merupakan saudari kandung Charles. Isabella setelah itu berusaha mengklaim takhkta Prancis untuk putranya dengan menggunakan aturan keturunan, Tetapi para bangsawan Prancis menolak usulannya dan Para bangsawan itu sendiri kemudian mengadakan pertemuan dan memutuskan jika calon Raja Prancis yang baru haruslah orang Prancis asli.

Jadilah, takhta Prancis kemudian diserahkan kepada saudara sepupu Charles dari garis ayah-nya yakni Philip Count of Valois. Edward yang merasa berhak atas takhta Prancis kemudian mengajukan protes tetapi kemudian dengan legowo menerima dan memberikan penghormatan untuk Gascony (satu – satunya wilayah Prancis yang masih berada di bawah kepemilikan Inggris). Ketidaksetujuan yang kemudian membuat Edward semakin memaksa Philip untuk menyerahkan takhta Prancis kepadanya kemudian berujung kepada Philip memutuskan untuk mengundang Edward untuk bertemu dengan dirinya dan dewan kerajaan Prancis di Paris. Dalam pertemuan itu, Gascony disetujui untuk dikembalikan ke tangan Philip, yang membuat Edward memperbarui klaimnya atas takhta kerajaan Prancis dan kali ini, ia berencana menggunakan kekuatan militer.

Sengketa Wilayah Guyenne dan Permasalahan Kedaulatan

Setelah kekuasaan dari Dinasti Anglo-Norman berakhir di Inggris dengan naiknya Raja Henry II sebagai penguasa dinasti Angevin pada tahun 1154, Inggris memiliki sejumlah wilayah di Prancis yang bahkan jumlahnya lebih banyak dari pada wilayah asli dari Kerajaan Prancis saat itu. Tetapi para penguasa Angevin ini sendiri masih terhitung sebagai vassal untuk raja – raja Prancis yang masih memiliki “ homage “ terhadap wilayah – wilayah di Prancis yang mereka miliki. Kemudian Sepeninggal Raja Richard I, adiknya yakni Raja John mengambil alih kekuasaan dinasti Angevin yang kemudian kelemahan – kelemahan dari Raja John yang kurang cakap dalam hal militer dan politik, dimanfaatkan dengan baik oleh Raja Phillip II dari Prancis. Pada tahun 1204 masehi, Phillip II mengambil alih kontrol atas beberapa wilayah milik Angevin melalui serangkaian pertempuran dan hanya menyisakan wilayah Gascony sebagai satu – satunya wilayah Angevin yang tersisa di tanah Prancis.

Sengketa terhadap wilayah Guyenne yang merupakan sebutan lain untuk wilayah Gascony menjadi hal yang sangat penting dikarenakan wilayah Guyenne memberikan banyak masalah untuk Raja Inggris dan Raja Prancis yang salah satunya adalah status dari Raja Edward III yang merupakan vassal dari Philip VI (Philip, Count of Valois), karena kepemilikannya atas wilayah Guyenne dan Edward sendiri juga diharuskan untuk mengakui “ suzerainty “ dari Raja Prancis karena hal tersebut.

Suzerainty sendiri merupakan situasi ketika suatu komunitas, daerah, kampung, desa, kerajaan, atau bahkan seseorang merupakan ‘jajahan’ suatu entitas yang lebih besar dan kuat. Entitas yang lebih besar dan kuat tersebut, yang disebut suzerenus, menerima upeti dari ‘jajahannya’ sebagai imbalan atas otonomi yang diberikannya. Situasi suzerenitas ini biasanya terjadi setelah terjadi penundukan (dalam arti militeristik) dan penguasaan pihak yang disebut terakhir oleh yang pertama. Eropa pada abad pertengahan–sebelum Perang Westphalia, ditandai dengan benturan antar kekuatan suzerenus. Benturan ini pun bukan sesuatu yang aneh pada masa itu.

Karena aturan suzerenitas atau suzerainty ini, sebuah keputusan atau aturan yang dibuat di wilayah Guyenne atau Gascoine bisa saja menjadi bahan banding untuk Dewan Kerajaan Prancis. Raja Prancis, melalui aturan suzerainty ini juga memiliki hak untuk mencabut kembali setiap keputusan yang dikeluarkan secara legal oleh Raja Inggris di wilayah Guyenne yang mana hal ini sangat tidak diterima oleh Kerajaan Inggris.

Pada akhirnya, wilayah Guyenne kembali ke pelukan Inggris secara keseluruhan. Raja Prancis setuju untuk memulihkan kedaulatan Inggris atas Guyenne dan Gascoine dengan ditambah pengurangan terhadap wilayah Agen. Tetapi Prancis sendiri juga menunda – nunda pengembalian tanah Guyenne tersebut. Pada 6 Juni 1329, Edward III akhirnya memberi penghormatan kepada Raja Prancis. Namun, pada upacara tersebut, Philip VI mencatat bahwa penghormatan itu bukan karena wilayah-wilayah yang dipisahkan dari wilayah Guyenne oleh Charles IV (khususnya Agen). Bagi Edward, penghormatan itu tidak menyiratkan penolakan klaimnya atas tanah miliknya yang diperas.

Aliansi Prancis dan Skotlandia

Prancis dan Skotlandia menjadi sekutu dikarenakan Raja Inggris juga bernafsu utuk menaklukan wilayah Skotlandia. Pada tahun 1295 masehi, sebuah perjanjian ditanda tangani oleh Prancis dan Skotlandia pada masa pemerintahan Philip the Fair yang dikenal sebagai Persekutuan Auld (Auld Alliances). Charles IV kemudian memperbaharui perjanjian tersebut pada tahun 1326 masehi dengan menjanjikan Skotlandia jika Prancis akan membantu mereka ketika Inggris datang menyerbu wilayah mereka dan sebaliknya, Prancis memiliki dukungan Skotlandia ketika kerajaan mereka diserang.

Philip VI kemudian mengumpulkan sebuah armada laut besar di Marseille sebagai bagian dari ambisinya untuk sebuah serangan ke tanah suci (Yerusalem), tetapi rencana ini kemudian terbengkalai dan angkatan Laut Skotlandia yang bergerak menuju ke selat Inggris pada tahun 1336 masehi mengancam Inggris. Tetapi Raja Edward dengan tenang menyiapkan dua armada prajurit untuk menghadapi Skotlandia dan yang lainnya bergerak menuju Gascony. Di saat yang sama, beberapa utusan raja Inggris dikirim ke Prancis untuk mendiskusikan sebuah rencana perjanjian damai untuk Raja Prancis.

Meletusnya Perang Seratus Tahun

Pada bulan April 1337 masehi, Philip dari Prancis diundang untuk bertemu dengan delegasi perwakilan dari Kerajaan Inggris namun ditolak. Malah Philip kemudian mendeklarasikan perang terhadap Inggris pada 30 April 1337 masehi. Pada bulan Mei 1337 Masehi, Philip mengadakan pertemuan dengan dewan raja di Paris dan menyetujui jika Gascony harus diambil lagi dari tangan Inggris dengan dasar Raja Edward dianggap telah melanggar obligasinya dan melindungi musuh bebuyutan dari Philip, Robert D’Artois. Edward merespons dengan pembredelan wilayah Aquitaine dan mempertanyakan hak Philip dalam menjadi Raja Prancis.

Ingat jika Philip sebenarnya menjadi raja Prancis hanya karena sepupunya, yakni Charles IV meninggal tanpa memberikan penerus dan hanya memiliki Edward sebagai calon lainnya dalam suksesi tanah Prancis. Pada tahun 1340 masehi, Edward mengangkat dirinya sendiri sebagai Raja Prancis dan Panglima Tertinggi Bala Tentara Prancis.

Pada tanggal 26 Januari 1340, Edward III secara resmi menerima penghormatan dari Guy, yang merupakan saudara tiri dari Pangeran Flanders. Otoritas sipil Ghent, Ypres dan Bruges memproklamirkan Edward sebagai Raja Prancis. Tujuan Edward adalah untuk memperkuat aliansinya dengan Low Countries. Pendukungnya akan dapat mengklaim bahwa mereka setia kepada Raja Prancis yang “sejati” dan memberontak kepada Philip. Pada Februari 1340, Edward kembali ke Inggris untuk mencoba mengumpulkan lebih banyak dana dan juga menghadapi kesulitan politik

Hubungan Inggris dengan wilayah Flanders juga terkait dengan perdagangan wol, karena kota-kota utama Flanders sangat bergantung pada produksi tekstil dan Inggris memasok banyak bahan mentah yang mereka butuhkan. Edward III telah memerintahkan agar penasihatnya duduk di atas karung wol di dewan kerajaan sebagai simbol keunggulan perdagangan wol Pada saat itu ada sekitar 110.000 domba yang ada di Sussex. Biara-biara besar di Inggris pada masa abad pertengahan menghasilkan surplus besar wol yang dijual ke daratan Eropa. Pemerintah berturut-turut mampu menghasilkan uang dalam jumlah besar dengan mengenakan pajak. Kekuatan armada laut Prancis menyebabkan gangguan dan kekacuan ekonomi bagi Inggris, menyusutkan perdagangan wol ke Flanders dan perdagangan anggur dari Gascony

Masa Awal Perang Seratus Tahun (1340 – 1360)

Perang Laut antara Inggris dan Prancis di Laut dan Kampanye Brittany dan Gascony

Pertempuran militer pertama dalam perang seratus tahun antara Inggris dan Prancis dimulai dari Laut yang dimana pertempuran laut tersebut di dominasi oleh pertempuran antara para Kapal – Kapal privateer. Edward tidak berlabuh di Prancis hingga tahun 1338 masehi dan memilih untuk tinggal sementara di Antwerp yang dimana dia membuat aliansi dengan Jacob Van Artevelde yang merupakan penduduk kota Gent yang menjadi pemimpin dari kota – kota Flemish. Kota – Kota Flemish ini dengan penuh kekhawatiran, memilih untuk memberontak terhadap Louis I count of Nevers yang mendukung Philip demi kelangsungan pasokan Wol dari Inggris untuk industri tekstil mereka.

Edward juga memenangkan dukungan dari beberapa pemimpin dari “ Low Countries “ seperti saudara tirinya, William II Count of Hainut dan John III Duke of Brabant. Selain itu, Edward juga membuat aliansi dengan kaisar Romawi Suci, Louis IV. Edward dan tentaranya menghancurkan Cambrai pada 1339 masehi, dan pada tanggal 22 Oktober tahun itu, Tentara Prancis dan Tentara Inggris berhadapan satu sama lain di Buironfosse dengan masing – masing pihak tetap berada di posisi masing – masing.

Pertemuan serupa juga terjadi di dekat daerah Bouvines pada tahun 1340 masehi setelah Tentara Inggris yang di bantu oleh tentara – tentara Flemish gagal merebut Tournai. Sementara itu, Armada Laut Inggris berhasil mengalahkan Armada Laut Prancis yang diperkuat oleh armada laut Castilla dan Genoa dalam Pertempuran Sluis pada juni 1340. Kemenangan ini membuat Edward menjadi lebih mudah untuk memindahkan prajurit dan persediaannya ke Prancis.

Operasi berikutnya terjadi di wilayah Brittany setelah kematian Duke John III pada pada April 1341. Bantuan dari Inggris dan Prancis di minta secara legal oleh Charles of Blois dan John of Montfort yang bertarung untuk kursi kosong kepemimpinan di Brittany. Baik tentara Inggris maupun Prancis menyerbu wilayah Brittany dan pada akhirnya kedua armada itu bentrok di daerah Vannes pada bulan Desember, 1342 masehi. Pertempuran itu abru berakhir ketika Paus Clement VI, mengintervensi dan berhasil menegosiasikan Perjanjian Malestroit pada 19 Januari 1343. Hal ini membuat baik Inggris dan Prancis terlibat dalam perang propaganda.

Edward mencoba meminta dukungan orang Prancis untuk klaimnya atas takhkta Prancis tersebut melalui proklamasi yang dipaku di pintu - pintu gereja, sementara Philip dengan cerdik memanfaatkan semua tradisi kerajaan Prancis untuk keuntungannya sendiri dan tidak pernah kehilangan kesempatan untuk menekankan klaimnya sebagai penerus sah leluhur dari wangsa Kapetia .Upaya Edward sebagian ada yang berhasil dalam mengobarkan pemberontakan di Prancis barat (1343 dan 1344). Namun, upaya – upaya ini kemudian dihancurkan oleh Philip dengan keras.

Edward melanjutkan serangan pada tahun 1345, kali ini di Gascony dan Guyenne, di sebabkan karena pembunuhan terhadap Jacob van Artevelde (Juli 1345) yang merupakan sekutu dari Edward yang semakin mempersulit Inggris untuk menggunakan Flandria (Flanders) sebagai pusat operasi. Henry dari Grosmont, adipati ke-1 dan pangeran ke-4 Lancaster, mengalahkan pasukan Prancis yang unggul di bawah Bertrand de l’Isle-Jourdain di Auberoche (Oktober 1345) dan merebut La Réole. Pada tahun 1346 Henry memukul mundur d pasukan yang dipimpin oleh John, adipati Normandia, putra sulung Philip di Anguillon.

Kampanye Crecy (1346 – 1356)

Ketika Henry memimpin sebuah kampanye militer di Barat Daya, Edward III mendarat di wilayah Contentin pada Juli 1346, menusuk ke wilayah Normandia, merebut Caen, dan bergerak menuju ke Paris. Tanpa berusaha untuk merebut ibu kota, Edward memilih untuk menyeberang sungai Seine melalui sebuah jembatan di daerah Poissy dan bergerak menuju ke Picardy dan wilayah miliknya di Ponthieu. Philip mengejarnya dan berhasil menyusulnya di Crecy serta kemudian memilih untuk bertempur dengan Edward dan Prajuritnya. Tentara Prancis berhasil dikalahkan dan banyak bangsawan mereka yang terbunuh dalam pertempuran tersebut yang terjadi pada 26 Agustus 1346.

Edward dan prajuritnya kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke Calais yang ia rebut pada September 1346 hingga Agustus 1347. Calais yang dipimpin oleh Jean De Vienne pada awalnya merepotkan barisan depan tentara Inggris dengan pertahanan kuat mereka. Namun pada akhirnya, karena persediaan yang semakin menipis, Calais akhirnya jatuh. Ketika penyerbuan Calais berlangsung, Prajurit Skotlandia yang dipimpin oleh David II, menyerbu Inggris tetapi mengalami kekalahan di Neville’s Cross dan David II ditangkap. Inggris pun semakin Berjaya di tanah Brittany ketika Charle of Blois berhasil ditaklukan dan ditangkap di La Rochen Derrien pada Januari 1347.

Kampanye Crecy ini sendiri juga menimbulkan berbagai gejolak dan kebingungan politik di Prancis. ada perubahan dalam dewan raja, dan John dari Normandia kehilangan pengaruh untuk sementara waktu yang juga membuat kemungkinan bahwa Philip akan mengadopsi Edward sebagai ahli warisnya sebagai pengganti dari John, sebagai bagian dari rencana perdamaian yang dirancang oleh kepausan dan St. Bridget dari Swedia, menjadi sia-sia. Selama tahun-tahun ini, peristiwa Maut Hitam dan kesulitan keuangan kedua pemerintah digabungkan untuk menghentikan perang.

Situasi politik di Prancis saat itu juga semakin diperumit oleh intervensi Charles si Buruk, raja Navarra, yang menikahi putri John II, Joan pada tahun 1352. Sebagai cucu Louis X dari pihak ibunya, Charles secara teknis, dapat mempertahankan klaimnya atas warisan wangsa Kapetia lebih baik daripada klaim Edward III dan bahwa dia berhak memperoleh keuntungan dari konsesi apa pun yang mungkin bersedia dibuat oleh John II.

Setelah perselisihan pertama dengan ayah mertuanya yang diselesaikan dengan perjanjian Mantes (1354) dan Valognes (1355), Charles bertengkar lagi dengannya dan memutuskan untuk bersekutu dengan Inggris. John II menangkapnya (April 1356), tetapi saudara lelaki Charles II, Philip, kemudian mengambil alih kepemimpinan faksi Navarra dan berhasil mempertahankan kepemilikan tanah yang luas di Normandia, yang telah diserahkan John kepada Charles.

Gencatan senjata yang ditandatangani pada September 1347 setelah jatuhnya wilayah Calais diperbarui lagi sebanyak dua kali (1348 dan 1349) selama tahun-tahun terakhir pemerintahan Philip VI dan sekali lagi pada (September 1351) setelah suksesi tahkta Duke of Normandy ke takhta Prancis sebagai John II. John II menganggap sudah menjadi tugasnya untuk membawa perdamaian untuk Prancis bahkan jika termasuk membuat raja Inggris untuk menikmati kepemilikan bebas dari wilayah mereka di Prancis tanpa harus melakukan penghormatan untuk mereka. Namun, rencana ini sangat membuat marah publik di Prancis, sehingga John tidak dapat mengusulkan perdamaian dengan syarat-syarat seperti itu di konferensi-konferensi yang diadakan di Guînes (Juli 1353 dan Maret 1354). Edward III kemudian memutuskan menolak untuk memperpanjang gencatan senjata.

Kampanye Poitiers (1355 – 1356)

image

Pertempuran antara Inggris dan Prancis kembali meletus pada tahun 1355 masehi. Edward Si Pangeran Hitam, Putra sulung tertua dari Raja Edward III, mendarat di Bordeaux pada bulan September dan menghancurkan wilayah Languedoc hingga Narbonne. Pada bulan oktober, Armada Inggris yang lainnya bergerak menuju Artois dan melabrak Tentara Prancis yang di pimpin oleh John II di Amiens. Tidak ada pertempuran yang terjadi.

Pangeran Hitam kemudian meninggalkan Bordeaux lagi pada bulan Juli 1356 dan bergerak menuju ke utara menuju ke Sungai Loire bersama dengan tentara Inggris di bawah pimpinan Sir John Chandos dan Prajurit Gascon di bawah pimpinan Jean III de Grailly. Pangeran Edward memiliki kekuatan sebanyak 7000 prajurit yang ia bawa untuk mengejar prajurit John II yang jumlah prajuritya kemungkinan lebih besar dari ia bawa saat itu. Untuk melabrak prajurit Inggris, John II memutuskan meninggalkan Normandia.

Kontak awal antara tentara Inggris dan Prancis dilakukan di sebelah timur Poitiers pada tanggal 17 September 1356, tetapi gencatan senjata diumumkan pada tanggal 18 September, pada hari Minggu. Hal ini memungkinkan Inggris untuk mengamankan diri di Maupertuis (Le Passage), dekat Nouaillé selatan Poitiers, di mana semak belukar dan rawa-rawa mengelilingi pertemuan sungai Miosson dan Clain. Tidak belajar dari pengalaman kampanye Crécy, Prancis meluncurkan serangkaian serangan di mana ksatria mereka yang geraknya perlahan – lahan terhambat, menjadi sasaran empuk bagi pasukan pemanah Pangeran Hitam.

John II sendiri memimpin serangan terakhir Prancis dan pada akhirnya mengalami kekalahan besar dan ditawan bersama ribuan ksatrianya (19 September 1356). Dia dibawa secara bertahap ke Bordeaux, di mana dia ditahan sampai pemindahannya ke Inggris (April–Mei 1357).

Negosiasi selama Tertangkapnya Raja John II oleh Inggris

Ketika berada di Bordeaux, Raja John II mengusulkan dua tahun gencatan senjata dan mulai membahas kemungkinan perjanjian damai dengan dia menawarkan jika Aquitaine diberikan lagi kepada Inggris dengan kedaulatan penuh kepada Edward. Sementara itu, situasi di ibu kota Paris semakin sulit setelah bangkitnya kaum reformis seperti Jean De Craon, Robert Le Coq, dan Etienne Marcel yang merupakan anggota dari Prevot Des Merchands berhasil terpilih menjadi anggota Estastes General (Parlemen Prancis). Mereka tidak menutup mata untuk mendukung keputusan Raja John II. Hal ini di buktikan dari kecenderungan para anggota Parlemen Prancis yang mendukung dilanjutkannya perang daripada harus melihat Kerajaan menjadi terpecah - pecah. Di saat yang sama, Para anggota Parlemen juga membebaskan Charles si Buruk yang merupakan musuh bebuyutan dari John II dari penjara.

Para anggota Parlemen berharap jika Charles mampu menghentikan armada tentara Inggris dan Navarra yang, dibiarkan menganggur tanpa pekerjaan sejak gencatan senjata di Bordeau yang dimana mereka merusak dan menjarah distrik barat Prancis. Namun, Charles lebih suka untuk berdamai saja dengan mereka. Meskipun secara resmi permusuhan antara Prancis dan Inggris dihentikan, pada periode ini kehancuran menjadi lebih serius dari sebelumnya. Kekacauan dan kesengsaraan semakin meningkat oleh Jacquerie, sebuah pemberontakan petani di utara Seine, yang secara brutal ditekan oleh kaum bangsawan.

Kemudian, setelah Etienne Marcel meninggal pada tahun 1358 masehi Dauphin Charles (Dauphin artinya anak sulung laki – laki raja) yang merupakan anak dari John II dan kelak saat menjadi raja akan bergelar Charles V, berhasil memasuki Paris yang dimana dia dipaksa untuk mundur dan mengungsi beberapa bulan sebelumnya. Raja John II kemudian memulai perjanjian damai di Bourdeaux, yang berakhir pada perjanjian damai London Pertama yang disepakati pada Januari, 1358.

Perjanjian ini memuat pemberian wilayah Aquitaine dengan kedaulatan penuh kepada Inggris dan juga kewajiban Prancis untuk membayar sebanyak 4.000.000 koin emas sebagai nilai tebusan untuk pembebasan John II, sementara sebagai imbalannya, Edward akan menanggalkan klaimnya atas takhta Prancis. Penundaan dalam mengumpulkan dan membayar angsuran awal uang tebusan membuat perjanjian ini batal, dan pada bulan Maret 1359 Edward memberlakukan pada tahanannya persyaratan yang lebih keras lagi dalam Perjanjian damai London kedua. Menurut perjanjian ini, tawanan akan terus ditahan sampai sebagian uang tebusan di bayarkan, dan wilayah tambahan yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Angevin di di daerah di antara selat Inggris dan selat Loire harus diberikan kepada Inggris.

Parlemen Prancis di sisi lain menolak untuk mengakui dan meratifikasi perjanjian London kedua yang diusulkan Edward yang membuat Edward sekali lagi bertolak menuju ke Calais dan bergerak menuju ke Artois dan Champage. Edward sendiri kemudian berupaya untuk merebut Reims namun mengalami kegagalan dan kemudian menghancurkan distrik Beauce. Di daerah Bretigny, di dekat Chartres, Perundingan perjanjian damai dengan Pangeran Charles yang merupakan dauphin dilaksanakan dan sebuah kesepakatan kemudian muncul mengenai ratifikasi dari Perjanjian damai Calais. Pada perjanjian ini, Prancis wajib untuk melepaskan seluruh wilayah Prancis yang dulunya adalah bekas wilayah milik Dinasti Angevin dan kemudian memberikan kedaulatan penuh terhadap wilayah Calais dan Guines kepada Inggris. Sebagai gantinya, Inggris menurunkan jumlah pembayaran wajib ransum untuk pembebasan John II menjadi hanya 3.000.000 koin emas saja, tetapi John kemudian dibebaskan setelah pembayaran pertama oleh Prancis sebanyak 600.000 koin emas.

John II kemudian membuat pernyataan resmi mengenai pelepasan semua kedaulatan dan yurisdiksi terhadap wilayah – wilayah yang dilepas Prancis ke Inggris pada 30 November 1361. Ketika dirinya bebas setahun sebelumnya pada tahu 1360, John kembali ke Prancis yang saat itu sudah dalam keadaan porak – poranda dan terpecah di sana – sini. Sementara itu pada tahun 1362, Edward III memberikan putranya, Edward si Pangeran Hitam kepemimpinan atas wilayah Aquitaine.

Kejadian – Kejadian penting selepas Perjanjian Di sepakati (1360 – seterusnya) hingga Ke Masa Kedua Perang 100 Tahun

• Pangeran Charles yang merupakan dauphin dari John II, naik ke takhta Prancis menggantikan sang ayah pada tahun 1364 masehi. Sebagai raja baru Prancis, Charles V memiliki tugas berat untuk memulihkan Prancis yang porak – poranda setelah serangkaian Peperangan melawan Inggris. Pada masa ini Prancis berfokus kepada rekonstruksi pasca perang ketimbang membangun armada militer.

• Ketika Perjanjian Calais dilanggar oleh Charles V pada tahun 1368, konflik kembali terjadi di antara Inggris dan Prancis. Edward kemudian mengirim putranya yang lain yakni John of Gaunt untuk memimpin penyerbuan terhadap wilayah Prancis bersama dengan Sir Robert Knollys yang sempat mengalami kekalahan oleh tentara Prancis di bawah pimpinan Bertrand Du Guesclin di pertempuran Pontvallain dan pertempuran La Rochelle. John sendiri kemudian melebarkan wilayah serbuan dari Calais ke Bordeaux. Konflik ini berakhir pada perjanjian damai di Brugge pada tahun 1375 yang bertahan hingga 1377 masehi.

• Edward Si Pangeran Hitam meninggal dunia pada Juni 1376 disusul dengan kematian Raja Edward III di usia 64 tahun pada Juni 1377. Richard II yang merupakan anak dari Edward si Pangeran Hitam diangkat menjadi raja baru di Inggris.

• Charles V sendiri masih harus berurusan dengan rival – rivalnya seperti Charles si Buruk dan John dari Montford sementara Inggris masih belum sepenuhnya meninggalkan wilayah Prancis sepeninggal Bertrand Du Guesclin dan Charles V. Charles V sendiri kemudian digantikan oleh putranya Raja Charles VI yang naik ke takhta Prancis.

image

• Inggris dan Prancis yang dipimpin oleh Henry II dan Charles Vi sama – sama terdampak wabah maut hitam (black death) dan juga permasalahan – permasalahan di dalam negeri seperti pemberontakan. Misalnya saja Inggris harus berhadapan dengan Pemberontakan Petani pada tahun 1381 masehi yang dipimpin oleh Wat Tyler yang dimana Richard II berhasil meredam pemberontakan ini dan mengeksekusi mati Wat Tyler. Hal ini juga cukup menyulitkan Inggris untuk melanjutkan operasi militer mereka di Prancis.

• Sementara itu di Prancis, Paman – paman dari Charles VI terlalu sibuk berebut kekuasaan dan pembagian rampasan yang sekaligus untuk menyelesaikan pengusiran Inggris. Sekarang Flanders menjadi topik sengketa baru antara Inggris dan Prancis. Penasihat dari Raja Henry II, yang merupakan bishop of Norwich memimpin ekspedisi menuju ke Dunqerque dan Ypres pada tahun 1383 masehi yang berkakhir dengan kegagalan. Setelah kematian Louis dari Male yang merupakan penguasa Flander tanpa penerus anak laki – laki, kekuasaan atas Flanders beralih kepada Philip the Bold yang merupakan penguasa dari wilyah Burgundy dan sekaligus salah satu paman dari Charles VI.

• Setidaknya Prancis memiliki dua kali niatan untuk menyerbu Inggris pada tahun 1385 dan 1387, tetapi karena alasan yang tidak jelas, niatan itu tidak pernah kesampaian. Tak lama setelah itu, perolehan kekuatan politik di kedua negara oleh kelompok-kelompok yang menyukai perdamaian mengarah pada peresmian pembicaraan gencatan senjata.

• Pada tahun 1388 masehi, Dewan Kerajaan Prancis jatuh dalam kontrol sebuah kelompok yang biasa disebut sebagai Marmousets yang mewakili keanggotaan tradisionalnya seperti pada masa Charles V, sementara di Inggris sekelompok raja yang dikenal sebagai Lords Appellants mendapatkan kekuasaan untuk sementara waktu. Perjanjian gencatan senjata sendiri kemudian di tanda tangani pada 1389 masehi dan menyetujui jika Richard II wajib untuk memberikan penghormatan terhadap wilayah Aquitaine kepada Raja Prancis. Tetapi perjanjian ini sempat menemui kendala karena masalah sengketa wilayah – wilayah ke-adipatian.

• Richard II kemudian berhasil lepas dari pengaruh Lord Appelants dan kemudian melakukan negosiasi langsung dengan Charles VI. Ketika itu, Richard II memang berstatus duda dan dalam pertemuan itu, meminta Charles VI untuk mengizinkannya menikahi putrinya, yakni Isabella dan pernikahan tersebut terjadi di Paris pada tahun 1396 masehi dan pada waktu yang bersamaan, Richard II dan Chales VI menyetujui gencatan senjata Leulinghen yang sebelumnya sudah di perbarui di perpanjang masa berlakunya hingga 28 tahun berikutnya.

• Kemudian baik Henry II dan Charles VI saling bertemu satu sama lainnya setelah perjanjian gencatan senjata itu dan mulai membahas mengenai upaya hubungan diplomatik dan berkomitmen dalam penyelesaian berbagai masalah dan sengketa yang terjadi sebelumnya kendati, upaya untuk kedua negara untuk mencapai kata sepakat di Perjanjian damai yang final masih belum memungkinkan.

• Hanya sedikit saja golongan di lingkaran pemerintahan Henry II yang menyukai keputusan Henry II untuk “ berdamai “ dengan Prancis terutama dari kalangan bangsawan dan ksatria yang merasakan keuntungan besar dari penyerbuan ke Prancis, sementara yang lainnya menyebarkan propaganda yang di buat sejak zaman Edward III yang mengatakan jika Prancis bertanggung jawab atas penyakit yang mereka buat sendiri.

• Situasi di Inggris semakin pelik ketika, pewaris dari John of Gaunt (anak dari Edward III) yakni, Henry Bolingbroke yang menjabat sebagai Earl of Derby, kembali dari pengasingannya tahun 1399, dan merebut haknya dari Richard II dan semua yang tidak puas bergabung di sekitarnya. Richard II kemudian di tangkap dan di masukan ke penjara dan meninggal di sana dan Henry Bolingbroke kemudian di proklamirkan menjadi Raja Inggris yang baru dengan gelar Henry IV. Sama seperti pendahulunya, Edward III, Henry IV tidak ragu – ragu dalam melakukan klaim terhadap tahkta Prancis dan mengubah total kebijakan luar negeri Inggris yang dibuat oleh Henry IV sebelumnnya.

• Henry memiliki tugas untuk memulihkan kekuatannya di Inggris dan membiarkan janda Richard II, Isabella untuk pulang ke Prancis. Di Prancis Louis , Duke of Orleans mengambil alih kepemimpinan dewan kerajaan mengingat Charles VI memiliki sedikit gangguan jiwa. Louis kemudian berusaha untuk menekan Inggris dengan memperbarui perjanjian aliansi dengan Skotlandia dan mendukung pemberontakan yang di lakukan pemimpin Wales, Owen Glendower. Louis kemudian memulai usaha penaklukan kembali wilayah Aquitaine.

• Pada tahun 1405 masehi, Pasukan Prancis yang dipimpin oleh Charles D’Albret berhasil menaklukan kota – kota di wilayah Saintoge dan Perigord, sementara Bernard VII yang merupakan adipati Armagnac mengancam Bordeaux. Pada taun 1406 masehi, Prancis mengalami beberapa kekalahan seperti Louis yang gagal mengambil alih wilayah Blye di Sungai Gironde, dan John si Pemberani yang merupakan adipati Burgundy dipukul mundur di Calais.

• Perbedaan pendapat terjadi di antara Louis dan John si Pemberani yang berkembang menjadi persaingan yang memisahkan Prancis menjadi dua kubu. Louis merasa jika sudah waktunya untuk menyerang Inggris, sementara John si Pemberani lebih cenderung untuk membuat kesepatakan dengan Henry IV yang saat itu berkuasa di Inggris. Permasalahan ini semaking meruncing dari hari ke hari yang puncaknya terjadi ketika Duke of Orleans dibunuh pada tahun 1407 atas dorongan dari John si Pemberani. Pembunuhan ini mengakibatkan perpecahan dan menimbulkan persaingan baru di antara kubu Armagnacs yang dipimpin oleh Bernard VII dan kubu Burgundy dan yang di pimpin oleh John si Pemberani.

• Baik kubu Armagnacs maupun Kubu Burgundy sama – sama meminta bantuan dari Henry IV. Henry IV sendiri memberikan beberapa bantuan kecil kepada John Si Pemberani dengan mengirimkan beberapa kontingen kecil yang mencegah Paris diserang oleh para pangeran lainnya dari Wangsa Valois. Armagnacs sendiri juga tidak tinggal diam meminta bantuan Henry IV dengan menawarkan kedaulatan penuh wilayah Aquitaine kepadanya, namun Henry IV meninggal dunia pada tahun 1413. Pada bulan mei di tahun yang sama Kubu Burgundy mengeluarkan perintah reformasi yang dikenal sebagai Ordonnance Caboche yang dimana ditolak mentah – mentah oleh para penentang kubu Burgundy.

Masa Kedua Perang Seratus Tahun (1413 – 1428)

Agincourt dan Penaklukan Normandy

Setelah naik ke takhta Inggris menggantikan ayahnya, Henry V mulai berpikir untuk bertindak secara meyakinkan terhadap hubungannya dengan Prancis setelah pembicaraan dengan para utusan dari Charles VI dianggap tidak berguna dan gagal karena kerasnya pendirian Henry V atas permintaanya dalam pembicaraan tersebut. Henry memutuskan untuk melancarkan ekspedisi ke Prancis dan mendarat di sana pada Agustus 1415 masehi di daerah Le Chef De Caux di dekat estuary dari Sungai Seine. Dia dan pasukannya kemudian bergerak menuju ke Hafleur dan kemudian bergerak menuju ke Picardy. Henry memutuskan untuk menunggu kedatangan Pasukan Prancis di daerah Agincourt yang terletak di Artois sembari mempersiapkan pasukannya.

Di Agincourt, Henry V gagal memaksimalkan setiap peluang yang ada di pertempuran melawan Prancis dan memutuskan mundur teratur ke Calais yang dimana sebuah kapal sudah menunggunya untuk kembali ke Inggris. Meskipun sama sekali tidak menentukan secara strategis, kemenangan di Agincourt memenangkan Henry V atas aliansi dengan raja Jerman Sigismund, yang pada Agustus 1416 mengakui klaimnya atas gelar dan atribut raja Prancis. John Si Pemberani sama-sama terkesan dengan dirinya dan menawarkan aliansi dan penghormatan ketika mereka berdua bertemu di Calais. Henry sendiri tidak meninggalkan tanah Prancis hingga tahun 1417 yang berakhir kepada menyerahnya kota – kota dan distrik – distrik di Normandy yang dimana Caen, Alencon, dan Evreux membukakan pintu gerbang kota mereka untuk Henry V.

Sementara itu Isabella dari Bavaria (Istri dari Charles VI) yang di penjara selama beberapa waktu oleh kubu Armagnacs dan John si Pemberani menggabungkan kekuatan di Troyes pada bulan November tahun 1417 masehi dan mendirikan pemerintahan tandingan untuk melawan pemerintahan sah yang dipimpin oleh anak kandung dari Isabella sendiri yakni Dauhphin Charles. Setelah Pemberontakan Paris pada tahun 1418 masehi yang mebuat sang Dauphin melarikan diri ke Berry, John si Pemberani berhasil memasuki Ibu kota Paris. Namun dia dan Isabella terbukti tidak lebih efektif menentang ekspansi yang dilakukan oleh Henry ke V daripada kubu Armagnac.

Henry V sendiri bersama pasukannya kemudian menaklukan wilayah Rouen, Pays De Caux, dan Vexin pada tahun 1419 masehi.

Perang Saudara di Prancis dan Naiknya Charles VII menjadi Raja Prancis

John si pemberani yang mengetahui progress masif dari ekspansi yang dilakukan oleh Henry V dan pasukannya membuatnya harus bertemu dengan kubu Armagnacs dan Dauphin untuk mendiskusikan perjanjian damai. Tetapi John dibunuh oleh utusan dari sang Dauphin pada September 1419 masehi yang membuat penggantinya, Philip yang Baik berniat untuk melakukan balas dendam yang membuatnya menjalin aliansi dengan Henry V untuk melawan sang Dauphin.

image

Dengan Perjanjian damai yang ditanda tangani di Troyes di antara Ratu Isabella dan Philip the Good yang mewakili Raja Charles VI dengan Henry V, sang Dauphin dicabut dari hak warisnya atas permintaan dari Henry V yang pada tanggal 2 Juni 1420 menikahi Catherine dari Valois yang merupakan salah satu putri dari Charles VI.

Perjodohan ini dimaksudkan untuk mendirikan sebuah monarki ganda berdasarkan persatuan pribadi mahkota Prancis dan Inggris yang di mana masing-masing kerajaan akan mempertahankan institusi dan karakternya yang terpisah. Ide dari Monarki ganda ini tidak pernah tercapai. Dalam praktiknya, Prancis terbagi menjadi tiga bagian, masing-masing dikendalikan oleh Henry V, adipati Burgundy, dan dauphin. Wewenang Henry cukup kuat di Normandia dan di Guyenne dan diakui di Paris dan di bailliage (distrik administratif) sekitarnya.

Philip yang Baik mempertahankan kekuasaan yang cukup besar di wilayah Paris dan secara alami merupakan yang tertinggi di wilayah Burgundy. Dari istananya di Bourges atau di Poitiers, dauphin memerintah Prancis tengah dan Languedoc. Perbatasan antara wilayah saingan ini tidak pernah digambarkan dengan jelas, yang terus-menerus diubah oleh perang – perang yang terus terjadi mengingat kesetiaan itu sendiri tidak selalu mengikuti batas.

Ketika Perjanjian damai Troyes di tanda tangani, Henry V tengah mempersiapkan sebuah serangan ke benteng – benteng Armagnacs yang mengancam jalur ekspansinya. Dia menaklukan wilayah Melun , sementara para bawahannya berhasil menaklukan wilayah Maine dan Perche. Setelah pulang ke Inggris untuk beberapa waktu, Henry kembali ke Prancis untuk menghalau dan mengusir tentara Prancis di bawah pimpinan Dauphin yang bergerak menuju ke Paris. Setelah itu, Henry V menaklukan wilayah Meaux dan Compiegne sebelum ia meninggal ada bulan Agustus 1422.

Setelah itu, wilayah Prancis yang berada di bawah taklukan Inggris yang menjadi hak dari anak laki – laki Henry V, yakni Henry VI yang masih bayi, kemudian dipegang oleh saudara laki – lakinya, yakni John, yang merupakan adipati Bedford. Charles VI sendiri kemudian meninggal 7 minggu sesudah kematian anak tirinya pada bulan Oktober 1422 yang menandai akhir dari pemerintahannya di Prancis. Sang Dauphin yang saat itu masih berusia 19 tahun kemudian memproklamirkan dirinya menjadi Raja Prancis yang baru dengan gelas Charles VII.

Beberapa tahun berikutnya terjadi serangkaian negosiasi diplomatik yang tidak efektif dan berliku-liku yang dilakukan beberapa kali antara Duke of Bedford, Kubu Burgundia, John V dari Brittany dan Charles VII, yang kebijakannya banyak dipengaruhi oleh ibu mertuanya, Yolande dari Aragon.

Sebuah pemahaman yang mungkin telah mengubah perang saudara menjadi perang melawan Inggris hampir tercapai antara Burgundy dan Charles pada saat itu (Maret 1425) ketika Arthur dari Richmond menjadi Constable Prancis, tetapi tidak ada yang terjadi secara signifikan dari pemulihan hubungan tersebut, dan pada tahun 1427 tentara Bedford menyerbu lembah Loire. Bedford memutuskan pada tahun 1428 untuk mengepung Orléans, yang dapat menjadi basis yang baik untuk menyerang benteng Charles VII di selatan Loire. Pengepungan dimulai pada Oktober 1428, semua upaya untuk membebaskan kota gagal, dan pada awal 1429 Kejatuhan dari Orleans sendiri tampaknya sudah dekat.

Masa Akhir Perang Seratus Tahun dan Pengusiran Inggris dari Prancis (1428 – 1453)

Hadirnya Joan of Arc

Pengepungan Orleans terbukti menjadi titik balik perang antara Inggris dan Prancis yang dimana seorang gadis remaja dan pemberani dari kalangan Petani bernama Joan of Arc yang berasal dari wilyah Domremy yang ada di antara Champagne dan Lorraine muncul di hadapan publik dan mengatakan ambisinya untuk menyelamatkan Prancis. Dia dapat membujuk Robert De Baudricourt yang merupakan salah seorang jenderal Charles VII yang ditugaskan di wilayah Vacouleurs mengirimnya untuk bertemu dengan Charles VII dan dewan kerajaan Prancis di Chinon. Joan sendiri kemudian meraih kepercayaan dari raja dan penasihat dan memimpin sebuah barisan kecil untuk mencoba memulihkan Orleans dari kepungan Inggris.

Beberapa hari sebelum kedatangan Joan dan pasukannya, Inggris meningkatkan intensitas serangannya ke Orleans. Efek psikologis dari kehadiran Joan yang membakar semangat tentara Prancis dengan ambisinya menyelamatkan negara membuat moral dari pasukan Prancis semakin meningkat dan pada Juni 1429, Constable Richmond berhasil mengalahkan Pasukan Inggris di Pertempuran Patay. Charles yang berhasil dibujuk oleh Joan kemudian berangkat ke Reims untuk penobatan resminya sebagai raja Prancis yang baru. Penduduk Kota Reims sendiri tidak menunjukan perlawanan dan membuka gerbang kota mereka untuknya. Setelah penobatannya, posisi Charles sebagai raja Prancis yang sah menjadi mutlak yang membuat perjanjian Troyes tidak berlaku lagi. Kemudian Charles mendapat pengakuan kedaulatan dari wilayah Laon, Soisson, dan Compiegne, tetapi usahanya untuk merebut Paris berhasil dipukul mundur.

Setelah beberapa ekspredisi yang sukses, Joan of Arc berhasil memasuki kota Compiegne pada tahun 1430 untuk memperkuat kota tersebut dari serangan Philip si Baik yang saat itu sudah bersekutu dengan Adipati Bedford. Dalam sebuah pertempuran, Joan tertangkap oleh pihak Burgundia dan kemudian dia pun dijual kepada Inggris. Kemudian Ia dipenjara di daerah Rouen sebelum persidangan dan di dakwa sebagai orang sesat. Walaupun Joan menandatangani pernyataan jika ia bersalah dan bertanggung jawab atas setiap serangan yang ia lakukan yang kemungkinan bisa menyelamatkan nyawanya, Joan memilih untuk menariknya kembali dan akhirnya dihukum dengan cara dibakar hidup – hidup pada Mei 1431.

Perjanjian Damai Arras dan Perjanjian Gencata Senjata Tours

Kematian Joan sama sekali tidak mengarah kepada pemulihan Prancis yang telah ia rintis sebelumnya. Melihat kemana angina bertiup, Philip Si Baik kemudian membuka negosiasi dengan Charles VII pada 1432 dan akhirnya pada tahun 1435, Perjanjian damai Arras di disepakati dan ditanda tangani yang menandai akhir dari perang saudara di Prancis dan Paris sebagai ibukota dari Prancis dikembalikan kepada Charles pada thaun 1436 masehi. Bedford sendiri meninggal pada September 1435 dan digantikan oleh Letnan dari Henry Vi sekaligus gubernur Prancis dan Normandia yakni Richard, Adipadi York dan diganti lagi oleh Richard Beauchamp yang merupakan Earl of Warwick.

Beberapa operasi militer dilakukan oleh Inggris selama beberapa tahun berikutnya secara sporadis di Bordelais dan perbatasan – perbatasan Normandia. Charles VII sendiri kemudian dihadapkan kepada tugas berat untuk memulihkan kerajaannya.

Kelelahan mulai dirasakan oleh kedua belah pihak dari kedua sisi selat yang kemudian menciptakan atmosfir untuk membuka kembali ruang negosiasi antara Inggris dan Prancis setelah Henry VI mengirim William De La Pole, yang merupakan Earl of Suffolk untuk bernegosiasi dengan pihak Prancis. Hasilnya, sebuah perjanjian gencatan sejata di tanda tangani pada bulan April 1444.

Pembicaraan lebih lanjut kemudian dilakukan di Tours dan kedua belah pihak menyadari jika perjanjian damai terakhir masih belum bisa di sepakati dan lebih memilih untuk menandatangai sebuah perjanjian gencatan senjata yang dapat diperbarui di Tours Mei 1444 dan memperkuatnya melalui pernikahan antara Henry VI dengan keponakan dari istri Raja Prancis, yakni Margaret dari Anjou. Gencata senjata ini juga mempertegas status quo dengan Inggris masih memegang beberapa wilayah seperti Maine, Borderlais, Pas De Calais, dan sebagian besar Normandia.

Penaklukan Kembali Maine dan Normandia

Kebutuhan untuk memperbarui perjanjian gencatan senjata dan prospek untuk mendiskusikan sebuah perjanjian damai yang kuat mendorong pertukaran utusan diplomatik. Jean Jouvenel, yang menjabat sebagai uskup agung Reims menyebrang ke Inggris pada Juli 1445 untuk mendiskusikan kemungkinan pertemuan Henry VI dan Charles VII. Jean Jouvenel mendapatkan janji dari Henry VI untuk memberikan wilayah Maine kepada ayah mertuanya, yakni Rene dari Anjou yang merupakan ayah dari Margaret dari Anjou yang berstatus istri Henry. Inggris sangat lambat dalam upaya pemenuhan janji tersebut hingga Charles VII dan prajuritnya berhasil mengepung Le Mans pada tahun 1448 masehi.

Tidak lagi menghormati perjanjian gencatan senjata karena sikap Inggris tersebut, Prancis mulai mengambil kembali beberapa kota dari tangan Inggris. Dengan bantuan Francis I dari Brittany, mereka memulai usaha penaklukan kembali Normandia dan Charles VII berhasil memasuki kota Rouen pada November 1449 yang diikuti oleh mendaratnya beberapa kompi kecil tentara Inggris di Cherbourg yang berhasil merebut kembali beberapa benteng di Contentin sebelum kemudian ditaklukan di pertempuran Formigny pada bulan April 1450. Prancis kemudian berhasil merebut Caen dan memulihkan kontrol mereka atas Normandia.

Titik balik Inggris dalam Perang Seratus Tahun memiliki dampak domestik yang cukup besar dan menjadi penyebab jatuhnya Suffolk dari kekuasaan (1450) dan serta menyebabkan pemberontakan Jack Cade dan peningkatan pengaruh kaum Yorkist dalam menentang dinasti Lancaster. Dengan kata lain, awal – awal dari Perang Mawar sudah mulai terlihat di titik ini.

Penaklukan Guyenne, Perjanjian Picquigny, dan Akhir dari Perang Seratus Tahun

Melihat situasi politik yang tidak menentu di Inggris membuat Charles VII dan para penasihatnya mengambil kesempatan yang baik ini untuk menyerang wilayah Inggris terahir yang ada di Prancis yakni Guyenne yang selama berabad – abad berada di bawah kekuasaan Inggris membuat para penduduknya cenderung memilih loyal kepada Kerajaan Inggris. Kampanye untuk merebut kembali Guyenne dimulai pada tahun 1449, dan berlanjut pada tahun 1450 dengan direbutnya daerah Bergerac dan Bazas. Jean D’Orleans, Earl of Dunois mulai melakukan pengepungan terhadap wilayah Bordeaux dan berhasil merebut banyak kota – kota disana dan Bordeaux sendiri berhasil direbut sepenuhnya pada bulan Juni 1451 dan Bayoone juga berhasil direbut sepenuhnya pada bulan Agustus 1451.

Orang – orang Bordelais sepertinya tidak memiliki niatan untuk berpaling dari Inggris kendati kekuasaan Inggris semakin hari semakin melemah di Prancis. Ketika Jenderal John Talbot, Earl of Shrewsbury mendarat bersama pasukannya di estuari Sungai Gironde pada bulan Oktober 1452, mereka bersama – sama bersatu melawan Prancis dan Talbot sendiri berhasil masuk ke wilayah Bordeaux. Charles VII yang menunggu cukup lama untuk mengumpulkan bala tentara kemudian bergerak menuju ke Guyenne pada bulan – bulan awal tahun 1453. Inggris mengalami kekalahan telak di Pertempuran Castillon yang terjadi di dekat daerah Libourne pada bulan Juli 1453. Bordeaux kemudian sekali lagi di serang dan berhasi di rebut kembali oleh Prancis yang membuat kekuasaan Inggris di Aquitaine berakhir.

Perdamaian yang sepertinya masih belum mau mendekat bahkan untuk Inggris yang sudah kehilangan semua wilayah mereka di Prancis kecuali Calais dan Guines belum mau untuk mengakui kekalahan, karena baik kubu Beaufort dan kubu York tidak mau untuk membuka perundingan perdamaian dengan Prancis karena itu sama saja menyerahkan harga diri mereka kepada mereka. Charles VII sendiri belum dapat menyerang Calais atau bahkan Tanah Inggris di seberang selat karena sikap tidak pasti yang ditujukan oleh Philip dari Burgundia. Setelah kematian Charles VII pada tahun 1461, putranya sekaligus suksesornya, Louis XI, berhasil membuat perjanjian gencatan senjata Saint Omer dengan Raja inggris dari kubu York, Edward IV yang di perbaharui dua kali yakni pada tahun 1466 dan 1471.

Setelah tahun 1474, Edward IV kemudian bersekutu dengan saudara iparnya, yakni Charles The Bold, Adipati Burgundia dan mempersiapkan sebuah serangan ke Prancis. Pada tahun 1475, sebuah armada tentara Inggris yang sangat kuat mendarat di Calais. Inggris dan Prancis kemudian saling berhadapan di Sungai Somme tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani menyebrang sungai dan memulai pertempuran. Akhirnya, Edward IV dan Louis XI bertemu di Picquigny dan menyepakati perjanjian gencatan senjata selama tujuh tahun dan memutuskan jika selama masa tujuh tahun tersebut menyetujui jika di untuk waktu yang akan datang Inggris dan Prancis sama – sama berkomitmen untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan meninggalkan cara militeristik.

Edward kemudian mundur dari Prancis dan menerima pembayaran kompensasi sebesar 75.000 koin emas, dan menerima pembayaran tahunan sebesar 50.000 koin emas selama kedua raja itu hidup. Gencatan senjata yang kelihatannya sangat rapuh ini pada kenyataannya menyelamatkan Inggris dan Prancis dari kemungkinan konflik lanjutan dan menjadi tanda dari berakhirnya Perang Seratus Tahun dan tidak ada perjanjian perdamaian yang pernah dibuat dan ditanda tangani. Inggris sendiri mempertahankan wilayah Calais hingga tahun 1533 dan raja – raja Inggris masih berusaha untuk mengklaim tahkta Prancis hingga tahun 1801.

Aftermath

Perang Seratus Tahun tidak diragukan lagi adalah salah satu konflik militer dan politik paling panjang dan kompleks yang terjadi di dalam sejarah Eropa. Hubungan Inggris dan Prancis setelah Perang Seratus Tahun pun belum sepenuhnya membaik dan malah kedua negara tersebut saling berperang lagi satu sama lainnya setidaknya dalam dua perang besar di abad 18 dan 19 yakni Perang Tujuh Tahun (1756 – 1763) dan Perang Napoleon. Durasi dari Perang Seratus Tahun ini sendiri belum ada apa – apanya di bandingkan dengan Perang Reconquista (781 tahun), Perang Anglo-Prancis (748 tahun), Perang Bynzantium-Bulgaria (715 tahun), dan Perang Romawi-Persia (681 tahun).

Referensi :

  1. Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2021, August 20). Hundred Years’ War. Encyclopedia Britannica. Hundred Years’ War | Summary, Causes, Effects, Combatants, Timeline, & Facts | Britannica
  2. Hundred Years’ War facts: who fought in it, why did it start, how long did it last? | HistoryExtra
  3. Keen, M. (2011). The Hundred Years War. BBC History. Retrieved from BBC - History - British History in depth: The Hundred Years War
1 Like