Apakah Yang Kalian Ketahui Mengenai Konsep Postkolonialisme dan Teori – Teori-nya?

English Literature Special Reference Content

Postkolonialisme merupakan sebuah topik yang mungkin sangat jarang kita semua dengar kecuali untuk beberapa orang yang memang menggeluti bidang kajian studi budaya (cultural studies) ataupun kritisisme sastra (Literary Criticism).
Postkolonialisme sendiri merupakan studi yang mencakup banyak hal yang secara umum dipahami sebagai teori, wacana, dan istilah yang digunakan untuk memahami masyarakat bekas jajahan, terutama sesudah berakhirnya kekuasaan imperialism dan kolonialisme menurut tulisan Puji Santosa dalam artikel Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang berjudul “ Kritik Postkolonial: Jaringan Sastra atas Rekam Jejak Kolonialisme “.

Nah, apakah youdics sekalian familiar dengan istilah Postkolonialisme terutama hubungannya dengan kajian sastra beserta teori – teori yang menyertainya ?

Referensi : https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/kritik-postkolonial-jaringan-sastra-atas-rekam-jejak-kolonialisme

Konsep dan Definisi dari Postkolonialisme

Pertama – tama, kita perlu mengetahui lebih detail mengenai kapankah studi postkolonialisme mulai diperkenalkan dan digeluti. Rekam jejak Post-kolonialisme sendiri dapat di lacak ke tahun 1978, yang dimana seorang professor bernama Edward Said menerbitkan buku yang berjudul “ Orientalism “ dan juga dilanjutkan dengan publikasi buku karya Bill Ashcroft yang berjudul “ The Empires Strikes Back “ yang di publikasikan pada tahun 1989.

Menurut Ashcroft et al (2007), postkolonialisme mengacu pada studi yang mempelajari tentang dampak dari kolonisasi dan imperialism terhadap bidang sosial dan budaya yang dimana saat perang dunia kedua berakhir pada tahun 1945 banyak istilah – istilah seperti negara post-kolonial (Postcolonial states). Istilah dari postkolonial di sini memiliki makna kronologikal yang mengacu kepada “ periode kemerdekaan “. Kemudian, istilah postkolonial ini dikembangkan lebih lanjut pada akhir dekade 1970-an yang digunakan terutama oleh para kritikus sastra untuk mendiskusikan berbagai macam efek kultural yang ditimbulkan dari kolonialisme dan imperialisme sehingga lahirlah karya – karya seperti Orientalism dan The Empire Strikes Back.

Ashcroft et al juga mencatat jika beberapa tokoh seperti Gayatri Chakravorty Spivak dan Homi Bhabha juga bermunculan dengan kerya – karya mereka yang terkenal mengenai postkolonialisme. Spivak memfokuskan terhadap apa yang disebut sebagai Subaltern sementara Bhabha lebih banyak berkutat dengan apa yang disebut sebagai Mimikri dan hibriditas. Tetapi menurut Ashcroft dan kawan – kawan, istilah postkolonial sendiri belum digunakan secara luas kendati studi – studi yang berhubungan dengan itu sudah mulai berkembang pesat di akhir tahun 1970-an.

Menurut mereka, Istilah postkolonial pertama kali mengacu kepada interaksi kultural yang ada di dalam masyarakat dunia kolonial dalam lingkaran kesusastraan. Hal ini menjadi bagian dalam usaha mempolitisasi dan berfokus pada bidang – bidang seperti Sastra Persemakmuran (Commonwealth Literature) dan studi – studi yang dinamai sebagai “ Sastra baru dalam Bahasa Inggris“ (New Literatures in English) yang sudah ada sejak tahun 1960-an. Istilah postkolonial pada akhirnya menurut Aschroft dan kawan – kawan, secara luas digunakan untuk menunjukan pengalaman – pengalaman politik, linguistik, dan kebudayaan dari masyarakat di negara – negara yang pernah mengalami kolonisasi oleh bangsa – bangsa Eropa di masa lampau.

Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, Postkolonialisme kini digunakan secara luas dengan berbagai cara untuk memasukan studi dan analisa dari penaklukan wilayah yang dilakukan bangsa Eropa, macam – macam institusi yang ada dalam kolonialisme Eropa, operasi diskursif, Kebijakan dalam membangun konstruksi subjek dalam diskursus kolonial dan perlawanannya, dan yang paling penting adalah reaksi berbeda terhadap kolonialisme baik sebelum dan sesudah kemerdekaan suatu bangsa atau komunitas sosial.

Lebih lanjut lagi, post-kolonialisme sendiri berfokus kepada produksi budaya dari komunitas – komunitas tersebut yang secara luas digunakan dalam analisa – analisa sejarah, politik, sosiologi, dan ekonomi mengingat disiplin ini sendiri terus melanjutkan untuk menguraikan dampak dari Imperialisme bangsa Eropa kepada masyarakat dunia.

Intinya adalah, Teori postkolonial merupakan seperangkat teori dalam bidang filsafat, film, sastra, , dan bidang – bidang lain yang mengkaji legalitas budaya yang terkait dan terpengaruh dari peran kolonial . Menurut Nurhadi dalam tulisannya yang berjudul “ Poskolonial : Sebuah Pembahasan “ , Postkolonial memiliki kemiripan dengan kajian feminisme yang meliputi kajian humaniora yang lebih luas yang sejajar dengan postmodernisme dan poststrukturalisme.

Sementara itu di bidang kesusastraan, postkolonialisme merupakan kajian terhadap karya – karya sastra (dan bidang lain), yang berkaitan erat dengan praktik kolonialisme dan imperialism baik secara sinkronik maupun diakronik. Kajian postkolonial menurut Nurhadi berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik sejumlah karya sastra sebagai bagian dari superstruktur dari sebuah kekuasaan kolonial. Menurutnya, sastra memiliki kekuatan yang baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasaan atau sebaliknya, bertindak sebagai konter atau lawan dari hegemoni itu sendiri.

Hingga saat ini, istilah dari postkolonialisme sendiri masih menjadi perdebatan bagi para pemikir dan filsuf. Rukundwa dan Aarde (2007) mencatat banyak sekali argument – argument yang mempertanyakan kesahihan dari istilah postkolonial yang diperkuat dengan pendapat sebelumnya dari Ashcroft dan kawan – kawan yang mengatakan jika perdebatan mengenai istilah post-kolonial sendiri berpendar pada pembedaan waktu historis tentang bedanya masa sebelum kolonialisme, masa kolonialisme, dan masa sesudah kolonialisme.

Tokoh – tokoh seperti Stephen Slemon dan Robert J.C. Young adalah tokoh – tokoh yang sangat rajin mengkritisi dan mempertanyakan apa makna sebenarnya dari postkolonialisme itu dan bagaimana batasan – batasannya. Terlebih mengenai istilah “ post “ yang digunakan yang memicu perdebatan di kalangan cendekiawan.

Lalu, hal lain yag menjadi perdebatan dalam upaya mendefinisikan postkolonialisme secara utuh terletak di framework kontekstual-nya, yang berhubungan erat dengan ras, budaya, gender, pendatang, dan penduduk asli dengan pertanyaan – pertanyaan seperti , “ kapan pendatang dapat menjadi penjajah, terjajah, dan pascakolonial ? “, “ kapan sebuah ras dapat dikatakan sebagai pihak yang menjajah dan menjadi sebuah kekayaan dari ragam budaya dalam setting postkolonial ? “.

Berangkat dari permasalahan di atas, Robert Young memutuskan untuk mendefinisikan teori postkolonial sebagai sebuah diskursus politik yang berfokus kepada pengalaman – pengalaman penindasan dan perjuangan untuk kemerdekaan yang dilihat dari masyarakat di “ Tri-Kontinental “ yang mencakup Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang diasosiasikan dengan kemiskinan dan konflik.

Elemen Justifikasi Dalam Formasi Teori Post-Kolonial

Rukundwa dan Aarde (2007) juga memberikan penjelasan mengenai elemen – elemen yang berfungsi sebagai justifikasi dalam pembentukan teori postkolonial. Mereka berdua menyebutkan jika ada empat elemen yang menjadi justifikasi dalam pembentukan formasi teori postkolonial yakni justifikasi humanitarian, justifikasi ekonomi, justifikasi politik, dan justifikasi agama.

  1. Justifikasi Humanitarian
    Robert Young berhasil menemukan asal muasal teori postkolonial melalui sejarah. Dia memperkenalkan sebuah awal historis dengan menunjukan bagaimana teori postkolonialisme sebagai sebuah produk yang menurut perspektif barat, merupakan sebagai aktivis anti perbudakan dan anti kolonialis. Young juga menjabarkan lebih lanjut mengenai teori postkolonialisme dari perspektif humanitarian ke dalam tiga perspektif baru yaitu humanitarian (moral), liberal (politik), dan ekonomi yang dimana menurut Young, kaum humanitarian dan ekonom menyerukan kampanye anti kolonial sementara politisi (liberal) mendukung kolonisasi dalam artian “ membudayakan (civilizing) orang – orang – orang yang dianggap “ tidak civilized “ dengan cara apapun termasuk pemaksaan.

  2. Justifikasi Ekonomi
    Robert Young mengatakan jika ada penolakan dari segi ekonomis terhadap praktik kolonialisme. Young menggunakan perspektif dari dua pemikir ekonomi yang berbeda aliran yaitu Adam Smith dan Karl Marx. Adam Smith, misalnya menurut Young secara terang – terangan mengkritik Imperialisme Britania Raya dalam basis kepentingan ekonomi dan menaruh simpati kepada daerah – daerah koloni. Sementara Marx beragumen jika motif utama di belakang kolonisasi adalah ekonomi. Smith juga menulis dalam karya terbesarnya yang berjudul “ The Wealth of Nations “ jika kolonisasi merupakan bentuk kerakusan dari Bangsa – bangsa Eropa.

  3. Justifikasi Politik
    Penolakan terhadap kolonialisme sudah terjadi sejak abad ke-18 masehi yang dimana tokoh seperti Edmund Burke dan aktivis anti kolonialisme lainnya, memperjuangkan kesetaraan untuk daerah – daerah koloni atau jajahan yang dimana menurut Burke, bahwa kolonisasi Inggris di daerah jajahan mereka merupakan sebuah bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan intoleransi norma. Gagasan ini makin berkembang setelah Revolusi Prancis meletus pada tahun 1789 yang melahirkan ide kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dikembangkan lebih lanjut mencakup semua ras yang ada di dunia. Jeremy Bentham bahkan menantang bangsa – bangsa Eropa untuk membebaskan semua koloni mereka. Justifikasi politik yang menentang kolonisasi juga ditegaskan dalam Universal Declaration of Human Rights yang dikeluarkan tahun 1948.

  4. Justifikasi Agama
    Lembaga – lembaga keagamaan yang berkembang di era kolonial sering kali menjadi landasan dari postkolonialisme. Menurut Ferm (1987) seperti yang dikutip dari Rukundwa dan Aarde (2007), jika teologi kemerdekaan lahir dari kehidupan sengsara orang – orang miskin dan menderita. Hal ini banyak terjadi di negara – negara yang ada di Benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Teori – Teori Post Kolonial dalam Perspektif Said, Spivak, dan Bhabha serta Isu – Isu Postkolonialisme

Post-kolonialisme tidak dapat terlepas dari peranan tiga tokoh utama yakni Edward Said, Gayatri Chakravorty Spivak, dan Homi Bhabha. Masing – masing dari mereka menelurkan teori – teori postkolonialisme utama yang hingga saat ini masih dipakai dalam berbagai analisis karya sastra.

Teori Orientalisme – Edward Said

Edward Said merupakan pengarang dari buku berjudul “ Orientalism “ yang diterbitkan pada tahun 1978 dan menjadi salah satu landasan dari studi postkolonialisme. Sesuai dengan judulnya, Orientalisme merupakan salah teori utama yang ada dalam studi postkolonialisme. Orientalisme adalah istilah yang merujuk kepada peniruan atau penggambaran unsur – unsur budaya Timur dalam perspektif barat oleh para penulis, pemikir, dan seniman. Menurut Sawant (2011), yang mengatakan jika Orientalisme berfokus kepada ketidakseimbangan antara Barat dan Timur yang dimana Barat dikatakan lebih superior daripada Timur. Dalam hal ini juga, Edward mengatakan jika Orientalisme adalah tentang bagaimana Orang – orang di Barat mempersepsikan dan mendefinisikan orang – orang di Timur.

Orientalisme sendiri datang dari kata “ Orient “ yang menurut kamus Cambridge mengacu kepada dunia timur. Orient atau dunia timur menurut Said bukan saja penting untuk Eropa tetapi juga merapakan koloni – koloni tertua, terkaya, dan termashyur bagi mereka. Dengan kata lain, teori postkolonialisme Said berdasarkan kepada penggambaran keliru terhadap dunia timur yang dibuat oleh penjelajah, penyair, novelis, filsuf, ahli politik, ekonom, dan administrator imperialis sejak penaklukan Napoleon atas Mesir pada 1798.

Menurut Said, orang – orang di dunia timur selalu digambarkan sebagai orang - orang primitif dan tidak berbudaya yang berlawanan dengan peradaban Eropa yang begitu maju dan civilized. Hal ini digambarkan dalam pembagian antara oriental (dunia timur) dan oksiden (dunia barat) dan Said menganggap jika diskursus ini sering dijadikan legitimasi bagi bangsa – bangsa oksiden (barat) untuk melakukan penaklukan terhadapan bangsa – bangsa Orient (timur) dan melakukan kolonisasi kepada mereka.

Dalam konteks kolonisasi, Said percaya jika kaum kolonial telah melakukan pemaksaan bahasa dan budaya mereka kepada orang – orang di koloni mereka dan di saat yang sama, kebudayaan, sejarah, nilai, dan bahasa dari peradaban -–peradaban yang terjajah sering kali di abaikan dan bahkan dikaburkan dengan tujuan untuk mendominasi orang – orang di koloni dan mengeruk kekayaan mereka dengan berlindung di belakang tameng “ mencerahkan, mendidik, dan memanusiakan “ orang – orang di wilayah jajahan. Selain itu, Said juga mengungkapkan mengenai contoh – contoh oposisi biner yang ada di dalam orientalisme seperti misalnya penjajah vs terjajah, modern vs tertinggal, atau barat vs timur. Cabang dari orientalisme adalah oksidentalisme yang mempelajari penggambaran dunia barat dalam perspektif oriental (dunia timur).

Teori Subaltern

Subaltern merupakan salah satu teori yang penting dalam studi postkolonialisme yang dicetuskan oleh Gayatri Chakravorty Spivak di dalam karyanya yang berjudul “ Can the Subaltern Speak ? “. Spivak memperluas studi mengenai literatur subaltern dengan literatur – literatur yang berbicara mengenai marjinalisasi terhadap kaum perempuan. Spivak memberikan komentar pedas kepada budaya patriarki yang menjadikan kaum perempuan sebagai gender kelas kedua merujuk kepada terbatasnya peranan wanita dalam masyarakat. Menurut pemikiran Spivak dalam essainya tersebut, kaum wanita seringkali menjadi objek eksploitasi dan di remehkan dalam literatur – literatur postkolonial (Sawant, 2011).

Pada etimologinya, Subaltern merupakan istilah dalam bidang kemiliteran, namun Spivak menyadur ulang definisinya dengan menkonotasikan “ pangkat rendah “ dalam dunia kemiliteran yang disebut sebagai subaltern tadi sebagai simbolisasi status marjinal yang dialami oleh kaum wanita dan literatur – literatur yang mengangkatnya. Lebih lanjut lagi, Spivak mendefinisikan Subaltern sebagai populasi yang secara sosial, politik, geografis berada di luar struktur kekuatan hegemonik bangsa kolonial (Setiawan, 2018). Dalam mengembangkan teorinya, Spivak sangat terpengaruh dengan pemikiran Antonio Gramsci, seorang tokoh terkenal Neo-Marxism yang lebih dulu menelurkan istilah subaltern dan mendefinisikannya sebagai kelompok – kelompk yang dikecualikan, di eksklusi, dan di kucilkan dari tatanan sosial.

Spivak juga tidak sekedar menjelaskan subaltern sebagai kategori yang membahas mengenai orang – orang yang tertindas dalam tatanan sosial saja, tetapi juga mencakpun siapa saja yang suaranya dibatasi oleh suatu akses yang mewakilinya. Misalnya, Setiawan memberikan analogi mengenai pemimpin demonstrasi yang berteriak teriak mengenai hak asasi kelas pekerja ataupun hak perempuan. Entah siapapun yang ada di sana (orang kaya, miskin, atau siapapun), ketika suara mereka tidak terwakili dan mereka tidak memiliki kebebasan untuk bersuara, mereka dapat dilihat sebagai kaum subaltern.

Teori Mimikri dan Hibriditas

Mimikri dan Hibriditas adalah sebuah istilah penting dalam studi post-kolonialisme yang dikembangkan oleh Homi Bhabha yang pertama kali diperkenalkan dalam karyanya “ The Location of Culture yang diterbitkan tahun 1994 yang menjadi salah satu tonggak utama dalam kritisisme Postkolonialisme. Dalam konsep hibriditas, Bhabha berargumen jika ada yang disebut sebagai silang budaya baik itu dari segi intrinsik maupun ekstrinsik yang muncul di masyarakat dalam banyak bentuk seperti bahasa dan sikap. Menurut Furqon dan Busro (2020), hibriditas bermuara dari sebuah upaya pencarian identitas, demikian pula dengan titik akhirnya. “ Diri” atau “ negara “ pastinya memiliki hubungan dengan teritori, tradisi, dan bahasa, namun dalam konteks bangsa – bangsa yang baru memerdekakan diri dari kolonialisme menurut Bhabha akan menemui kesulitan untuk mengidentifikasi “ diri “ dan “ negara “.

Menurut Bhabha, hibriditas dapat terjadi karena hasil dari ketegangan antara penjajah dan terjajah. Dalam mendeskripsikan hubungan ini, Bhabha menggunakan teori liminalitas milik Franz Fanon. Bhabha berargumen jika relasi antara penjajah dan terjajah terletak pada konsep time-lag yang menurut Bhabha merupakan sebuah struktur keterbelahan dari wacana kolonial. Kondisi terbelah ini menjadikan subjek selalu berada di ruang liminal di antara budaya atau saat demarkasi tidak pernah ajeg, pun juga tidak diketahui mana batas dan ujungnya.

Selain Hibriditas, Bhabha juga mengajukan pertanyaan mengenai identitas budaya yang ia jelaskan dengan istilah “ mimikri “. Mimikri dalam definisinya merupakan tindakan meniru atau membaur. Bhabha lagi – lagi menggunakan argument Franz Fanon mengenai “ orang hitam bertopeng kulit putih “. Mimikri menurut Bhabha mengacu kepada upaya westernisasi terhadap budaya native atau budaya setempat, yang dimana orang – orang native melakukan “ sebuah peniruan “ terhadap budaya – budaya yang sebenarnya bukan miliknya.

Dengan kata lain, mimikri menurut Bhaba adalah sebuah proses penulisan ulang identitas terjajah di ruang ketiga, sebagai cara untuk medekonstruksi wacana kolonial. Menurutnya hal semacam ini tejadi semata – mata untuk memalingkan wajah dari kuasa penjajahan. Dengan kata lain tindakan mimikri atau meniru ini hanya berdasarkan pada kepentingan dan tujuan pribadi

image

Selain ketiga teori di atas, masih banyak lagi teori – teori postkolonial yang sering digunakan seperti contohnya Othering, Oksidentalisme, dan lain – lain. selain itu ada banyak isu – isu yang dibahas dalam teori postkolonial sebagai berikut :

  1. Perbedaan budaya dalam Karya Sastra. Misalnya gender (kritisisme feminisme), kelas (kritisisme Marxist), ataupun orientasi seksual (Kritisisme Queer).
  2. Identitas ganda dan krisis identitas yang terjadi di budaya yang berbeda dan sastra yang menyertainya.
  3. Penolakan terhadap Literatur – literatur barat dan norma – normanya dan pembentukan literatur setempat (native) dengan aturannya sendiri.
  4. Literatur barat tidak memiliki hak untuk berbicara mengenai topik topik seperti kolonialisme dan imperialisme.
  5. Mendukung pernyataan jika Literatur barat bukanlah pusat dari kebudayaan literatur.
  6. Kepercayaan yang kuat kepada konsep hibriditas, multikulturalisme, multietnik, dan prolivalensi budaya.
  7. Penggunaan konsep “ otherness “ dan “ marginality “ sebagai kekuatan, sumber energi , dan potensi perubahan bagi orang – orang native.
    Lalu teori postkolonialisme sebagai epistemologi, etik, dan politik, mengulas isu – isu seperti rasisme, gender, ras, etnisitas dengan tantangan untuk membentuk sebuah identitas postkolonial nasional. Untuk informasi lebih lanjut mengenai studi postkolonial, bisa di lihat di referensi – referensi di bawah ini.

Referensi :

  1. Ashcroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, E. (2007). Post-Colonial Studies : The Key Concepts Second Edition. Routledge : Taylor and Francis Group. USA and Canada.
  2. Nurhadi (n.d). Poskolonial : Sebuah Pembahasan.
  3. Rukundwa, L., S. & Aaarde, A., G., V. (2007). The Formation of Postcolonial Theory. HTS. 63(3). 1171 – 1194.
  4. Sawant, D., G. (2016). Perspective on Postcolonial theory : Said, Spivak, and Bhabha. TACs College. 1 – 7.
  5. Setiawan, R. (2018). Subaltern, Politik Etis, dan Hegemoni dalam Perspektif Spivak. Poetika : Jurnal Ilmu Sastra. 6(1), 13 – 24.
  6. Furquon, S. & Busro (2020). Hibriditas Postkolonialisme Homi.K.Bhabha Dalam Novel Midnight’s Children Karya Salman Rushdie. Jentera : Jurnal Kajian Sastra. 9(1), 73 – 100.