Apakah yang dimaksud PR Politik?

PR Politik


PR Politik secara teoritik merupakan kajian baru dalam Public Relations namun secara praktis PR Politik disinyalisir telah ada sejak abad ke 64 sebelum masehi. Peristiwa yang menandai asal mula PR Politik ialah pada saat kerajaan Roma memilih seorang konsul dimana salah seorang kandidatnya ialah Marcus Tullius Cicero yang berasal dari luarn kota Roma dan bukan dari kalangan bangsawan. Cicero berhasil menarik perhatian publik baik dari kalangan elit sosial maupun grass root dan akhirnya memenangkan pemilihan tersebut, mengalahkan Antonius dan Catiline. Ialah saudara laki-laki Marcus Cicero yakni Quintus Tullius Cicero, seorang spin doctor dan aktor di balik layar yang sukses menggiring publik memilih Marcus menjadi konsul kerajaan Romawi.

Melalui tulisannya, Quintus menggagas agar Maucus memenangkan hati publik antara lain dengan menanamkan harapan ke benak publik dan memegang komitmen pada publik serta memperlakukan lawan politik sebagai rekan kerja. Tulisan Quintus yang ditujukan kepada Marcus tersebut disebarkan dalam bentuk pamflet, dikenal dengan nama Commentariolum Petitionis yang saat ini menjadi little handbook of electoring . Sekalipun Commentariolum Petitionis bersifat propagandis namun tulisan inilah yang menginisiasi kegiatan publikasi dalam aktivitas politik seperti kampanye dan pemilihan politik pada masa itu. (Stromback & Kiousis, 2013)

Kehadiran PR Politik kemudian banyak ditemukan di negara-negara Barat sekitar tahun 1970-an. Aktivitasnya memang lebih banyak fokus pada pengelolaan media sehingga memperoleh coverage besar-besaran di media serta bagaimana meminimalisir pemberitaan negatif media. Erving Goffman, dalam karyanya Presentation of Self In Everyday Life , menyinggung sebagai permainan panggung yang dilakukan individu tak terkecuali representasi yang dilakukan politisi di media. Sebagai produk dari negara maju, PR Politik yang lebih dulu dikenal dengan spin doctor banyak menggunakan teknik kampanye pemasaran dan komersial untuk membangun hubungan dengan publiknya. Aksi propaganda ini yang kemudian tidak lagi relevan dengan dinamika demokratisasi sehingga memunculkan PR Politik yang lebih menekankan two way communication serta mutual understanding .

Di era politik yang didominasi opini publik, pengelolaan image dan kemampuan representasi menjadi tak terelakkan. Aktor politik dituntut untuk mampu melakukan persuasi dan engagement dalam menarik partisipasi publik. Model two ways symmetric communication dipandang sesuai dan mengakomodir nilai-nilai demokrasi ketika publik terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Model ini menjanjikan adanya hubungan yang setara, egaliter dan interaktif antara aktor politik dengan publiknya.

McNair (2011) mengidentifikasikan terdapat empat jenis aktivitas PR Politik yaitu :

  • melakukan manajemen media. Manajemen media merupakan kegiatan-kegiatan yang sengaja dirancang untuk menjawab kebutuhan dan tuntutan media. Dalam konteks ini, PR Politik memaksimalkan akses serta meningkatkan pemberitaan politisi di media tanpa mengeluarkan biaya.

  • PR Politik melakukan tinjauan mengenai pengelolaan citra (image management). Di satu sisi, pengelolan citra ditujukan untuk citra pribadi politisi atau individu. Citra ini harus dibentuk dan disesuaikan dengan tujuan organisasi, di sisi lain, pengelolaan juga dilakukan pada citra organisasi politik.

  • PR Politik seharusnya mengembangkan komunikasi internal organisasi. Kegiatan ini meliputi menyiapkan saluran komunikasi. Sama halnya yang dilakukan perusahaan modern saat ini yakni rutin mendukung komunikasi internalnya guna memaksimalkan efisiensi organisasi. Demikian pula dengan partai politik, harus mengembangkan struktur komunikasi internal yang efektif.

  • kegiatan manajemen informasi. Di era informasi ini, dibutuhkan pengelolaan pesan sehingga publik memperoleh informasi yang memadai mengenai aktor politik dan kebijakannya. Informasi adalah senjata ampuh dalam politik guna membangun opini publik serta menyebarkan pengaruh.

Sekalipun PR Politik merupakan termasuk dalam anatomi PR namun Stromback dan Kiousis (2013) mengidentifikasikan beberapa perbedaan antara political public relations dengan public relations secara umum, yakni sebagai berikut:

  • Political public relations meliputi seluruh aktivitas-aktivitas public relations yang dilakukan oleh organisasi dan individu untuk tujuan politik, termasuk partai politik dan kandidatnya, sektor-sektor pemerintah dan publik, serikat pekerja, bisnis komersial, kelompok kepentingan, dan organisasi non profit yang berusaha mempengaruhi proses atau hasil dalam politik.

  • Political public relations tidak saja berpusat pada aspek komunikasi semata namun juga membutuhkan aksi atau tindakan. Seorang aktor politik yang lihai bermain citra tidak akan memperoleh dukungan publik dalam periode waktu yang panjang apabila representasi tidak berbanding lurus dengan realitasnya yang terbentuk.

  • Political public relations menekankan pentingnya relationship setara dengan reputasi. Reputasi bukan outcome atau dampak dari kinerjanya. Relationship dan reputasi bekerja secara paralel dalam PR Politik.

  • Political public relations dalam konteks tertentu membutuhkan penerapan model tradisional PR seperti publicity dan public information sekalipun dipandang tidak ideal.

PR Politik tidak sekedar mengenai ada atau tidaknya divisi maupun departemen PR yang harus dimiliki oleh aktor politik. Bukan pula konsultan komunikasi yang tersedia pada saat menjelang pemilihan umum. PR Politik lebih banyak menuntut adanya karakter dan kapasitas aktor politik menguasai kebutuhan publik serta membangun sinergi harmonis dengan para stakeholders . Sekalipun strategi, teknik serta taktis PR dibutuhkan namun integritas aktor politik menjadi core business dalam proses keberlangsungan politik.

Penempatan PR juga diidentifikasikan secara berbeda oleh Stromback dan Kiousis (2013) apabila ditinjau dari domain dimana PR tersebut berada. Mereka menjelaskan sepuluh aspek perbedaan antara konteks politik dengan konteks korporat :

  • Politik selalu berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan normatif yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Hal ini berangkat dari fakta bahwa politik bersentuhan dengan otoritas pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pembuat kebijakan demokratis dan semua pihak yang bekerja di pemerintahan dan sektor publik harus selalu mempertimbangkan kepentingan umum. Hal ini berbeda dengan ranah korporat dimana pertimbangan akan kepentingan publik bersifat opsional atau tidak wajib.

  • Jumlah publik dan pemangku kepentingan dalam politik lebih besar dibandingkan jumlah publik dalam konteks korporat, karena semua orang atau warga negara dapat termasuk sebagai pemangku kepentingan dalam politik.

  • Jumlah regulasi dan tingkat transparansi dalam politik lebih besar dibandingkan dalam korporat.

  • Mata uang utama dalam bisnis ialah kapital atau modal, akan tetapi mata uang utama dalam politik adalah ide dan kekuasaan sehingga produk yang dihasilkan dalam politik lebih bersifat intangible. Namun, hubungan antara organisasi atau aktor politik dengan produk politiknya lebih kuat daripada hubungan antara produk atau jasa dalam bisnis.

  • Proses politik pada akhirnya menentukan siapa yang menang dan kalah. Misalnya dalam pemilihan umum, kemenangan seseorang berarti kekalahan yang lain. Dalam hal ini kompromi mungkin saja terjadi, namun tidak semua orang bisa mendapatkan hasil kebijakan seperti yang diinginkan. Serangkaian kebijakan yang diterima berarti penolakan serangkaian kebijakan yang lain.

  • Organisasi dan aktor politik lebih banyak bergantung pada media berita dan pemberitaannya dibandingkan sektor bisnis komersial. Organisasi politik tidak dapat mengontrol komunikasi mereka bagaimana mereka dan kepentingan yang mereka wakili direpresentasikan kepada publik yang berbeda-beda dan berjumlah besar. Oleh karena itu, organisasi politik membutuhkan media massa dan para jurnalisnya sebagai media komunikasi serta watch dog penjaga yang bersikap kritis terhadap pemegang kekuasaan politik.

  • Tingkatan konflik dalam politik lebih tinggi dibandingkan dalam konteks korporat. Politik berkaitan dengan pertarungan serta pertentangan ide-ide, wacana dan kekuasaan. Proses politik akan menghasilkan pihak yang menang dan yang kalah. Keputusan politik juga memiliki implikasi sejumlah besar pemangku kepentingan dan seluruh bagian masyarakat. Tingkat ketajaman konflik juga dipengaruhi oleh keterampilan mempengaruhi media mengingat media memiliki kecenderungan yang kuat untuk lebih fokus pada konflik politik.

  • Manajemen dan komunikasi krisis dalam politik berbeda dengan konteks korporat. Hal ini karena pihak oposisi dan media dapat berkepentingan memunculkan persepsi mengenai krisis dalam politik dan siapa yang bertanggung jawab terhadap krisis tersebut. Maka, krisis dalam konteks politik lebih bersifat sebagai persepsi daripada kondisi objektif yang sebenarnya.

  • Organisasi politik bergantung lebih banyak pada anggota, aktivis, dan relawan daripada organisasi-organisasi komersial. Karyawan yang dibayar memiliki peran yang lebih kecil dalam organisasi politik, dibandingkan dalam konteks korporat. Organisasi politik lebih banyak mengandalkan relawan dan anggotanya, sehingga organisasi politik memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk merekrut, mengorganisir dan memobilisasi relawan dan pendukungnya.

  • Ukuran kesuksesan dan “keputusan membeli” dalam konteks politik dan korporat sangat berbeda. Dalam konteks korporat, kesuksesan diukur berdasarkan indikator finansial, seperti penjualan, pangsa pasar, harga saham dan profit. Dalam konteks politik, ukuran objektif dalam kesuksesan hanya dapat dilihat saat hari pemilihan umum, saat aktor politik berhasil mengumpulkan jumlah suara, terlegitimasi dan terimplementasinya keputusan politiknya.

Perbedaan PR Politik dengan Kominaksi Politik


Komunikasi politik dalam kajian politik, dapat dipahami sebagai upaya-upaya pembentukan kesepakatan. Misalnya, kesepakatan menyangkut bagaimana pembagian sumber daya kekuasaan ( power sharing ) atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat. Sementara komunikasi politik dalam kajian komunikasi dipahami sebagai pesan bercirikan politik untuk mempengaruhi pihak lain dalam pencapaian tujuan yang direncanakan. Dengan demikian, yang pertama, fokus pada aktivitas politik, sementara yang kedua, fokus pada pesan yang politis. (Heryanto & Rumaru, 2013)

Denton dan Woodward (dalam McNair, 2013) mengungkapkan bahwa komunikasi politik merupakan diskusi yang semata-mata membahas mengenai alokasi sumber daya yang tersedia, menentukan otoritas resmi yang menyangkut siapa yang diberi kekuasaan untuk membuat produk hukum, siapa berperan sebagai legislatif maupun eksekutif. Komunikasi politik juga menyangkut mengenai pengaturan sanksi maupun reward negara. Dalam karyanya yang lain, Denton dan Woodward juga menjelaskan bahwa komunikasi politik juga berkaitan dengan tujuan komunikator yakni mempengaruhi lingkungan politik. Secara eksplisit, Denton dan Woodward menyampaikan bahwa faktor krusial yang membuat komunikasi bersifat politis ialah bukan sumber yang menyampaikan pesan namun konten pesan dan tujuan pembuatan pesan tersebut.

Sementara Stromback dan Kiousis (2011) mendeskripsikan PR Politik sebagai proses pengaturan atau pengelolan yang dilakukan oleh aktor politik, partai politik, atau lembaga- lembaga yang memiliki kepentingan secara politis atau bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan publik. Lebih jelasnya dipaparkan sebagai berikut,

Political public relations is the management process by which an organization or individual actor for political purposes, through purposeful communication and action, seeks to influence and to establish, build, and maintain beneficial relationship and reputation with its key publics to help support its mission and achieve goals.

Perbedaan yang signifikan di antara keduanya ialah bahwa komunikasi politik tidak membutuhkan adanya fungsi manajemen sebagai kegiatan dalam proses pengolahan komunikasi. Perbedaan lainnya ialah dalam politik, konsep kekuasaan ( power ) merupakan sumber daya langka yang diperebutkan sehingga melahirkan konflik. Dalam pendekatan PR Politik, konflik merupakan krisis yang pasti dapat diselesaikan dengan membangun relationship . Sekalipun memberi kesan naïf namun PR meyakini bahwa dialog akan membuahkan mutual understanding sehingga pada akhirnya akan terpenuhi mutual benefit .