Apakah yang dimaksud Managing Conflict?

HAKEKAT KONFLIK


Keberadaan konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan. Konflik sering muncul dan terjadi pada setiap organisasi, ada beberapa pandangan pakar mengenai konflik. Mitchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D. H. (dalam Wahyudi, 2006) menjelaskan bahwa konflik atau pertentangan pada kondisi tertentu mampu mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumber daya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan, bahkan dapat menjelaskan kesalahpahaman. Dalam kehidupan yang dinamis antarindividu dan antarkomunitas, baik dalam organisasi maupun di masyarakat yang majemuk, konflik selalu terjadi manakala kepentingan saling berbenturan.

Beberapa Pandangan tentang Konflik dalam Organisasi


Robbins (2003) mengemukakan tiga pandangan mengenai konflik, yaitu pandangan tradisional ( traditional view of conflict ), pandangan hubungan manusia ( human relations view of conflict ) dan pandangan interaksonis (interactionism view of conflict).

Pandangan tradisional ini menganggap konflik sebagai hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan antara orang-orang dan kegagalan para manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan. Semua konflik adalah buruk, dipandang secara negatif dan disinonimkan dengan istilah kekerasan, perusakan dan ketidakrasionalan serta memiliki sifat dasar yang merugikan dan harus dihindari.

Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik itu tidak terelakan, aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan konflik. Konflik tidak dapat disingkirkan dan bahkan adakalanya konflik membawa manfaat pada kinerja kelompok. Pendekatan interaksionis mendorong terjadinya konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai serasi cenderung menjadi statis, apatis dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pemimpin kelompok untuk mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik. Dengan adanya pandangan ini menjadi jelas bahwa untuk mengatakan bahwa konflik itu seluruhnya baik atau buruk tidaklah tepat.

Secara teoretik Robbins (1996) mengemukakan dua tipe konflik, yaitu konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah sebuah konfrontasi di antara kelompok yang menambah keuntungan kinerja organisasi. Konflik disfungsional adalah setiap konfrontasi atau interaksi di antara kelompok yang merugikan organisasi atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi.
Konflik didefinisikan sebagai suatu proses interaksi sosial di mana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih, berbeda atau bertentangan dalam pendapat atau tujuan mereka (Cummings, P. W. dalam Wahyudi, 2006).

Tidak berbeda dengan pendapat di atas, Alisjahbana, S. T. (dalam Wahyudi, 2006), mengartikan konflik sebagai perbedaan pendapat dan pandangan diantara kelompok-kelompok masyarakat yang akan mencapai nilai yang sama. Sedangkan Stoner, J. A. F. & Freeman, R. E. (dalam Wahyudi, 2006) berpendapat bahwa konflik organisasi mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau perselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian.

Perbedaan pendapat dan persepsi mengenai tujuan, kepentingan maupun status serta nilai individu dalam organisasi merupakan penyebab munculnya konflik. Demikian halnya persoalan alokasi sumberdaya yang terbatas dalam organisasi dapat menimbulkan konflik antarindividu maupun antarkelompok. Luthans, F. (dalam Wahyudi, 2006) mengartikan konflik merupakan ketidaksesuaian nilai atau tujuan antara anggota organisasi, sebagaimana dikemukakan berikut, "Conflict has been defined as the condition of ovjective incompatibility between values or goal, as the behaviour of deliberately interfering with another’s goal achievement, and emotionally in term of hostility”.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Luthans, perilaku konflik dimaksud adalah perbedaan kepentingan/minat, perilaku kerja, perbedaan sifat individu dan perbedaan tanggung jawab dalam aktivitas organisasi. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Walton, R. E. (dalam Wahyudi, 2006) yang menyatakan bahwa konflik organisasi adalah perbedaan ide atau inisiatif antara bawahan dengan bawahan, manajer dengan manajer dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan (coordinated activities). Perbedaan inisiatif dan pemikiran sebagai upaya identifikasi masalah-masalah yang menghambat pencapaian tujuan organisasi.

Dubrin, A. J. (dalam Wahyudi, 2006), mengartikan konflik mengacu pada pertentangan antarindividu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat saling menghalangi dalam pencapaian tujuan sebagaimana dikemukakan sebagai berikut:

Conflict in the context used, refers to the positions of persons of forces that gives rise to some tension. It occurs when two or more parties (individuals, groups, organization) perceive mutually exclusive goals, or events”.

PROSES TERJADINYA KONFLIK


Konflik tidak terjadi secara mendadak tanpa sebab dan proses, akan tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu. Hendricks, W. (1992) mengidentifikasi proses terjadinya konflik terdiri dari tiga tahap. Peristiwa sehari-hari; ditandai adanya individu merasa tidak puas dan jengkel terhadap lingkungan kerja. Perasaan tidak puas kadang-kadang berlalu begitu saja dan muncul kembali saat individu merasakan adanya gangguan.

Adanya tantangan; apabila terjadi masalah, individu saling mempertahankan pendapat dan menyalahkan pihak lain. Tiap anggota menganggap perbuatan yang dilakukan sesuai dengan standar dan aturan organisasi. Kepentingan individu maupun kelompok lebih menonjol daripada kepentingan organisasi. Timbulnya pertentangan; masing- masing individu atau kelompok bertujuan untuk menang dan mengalahkan kelompok lain.

MANAJEMEN KONFLIK

Konflik antarorang di dalam organisasi tidak dapat dielakkan, tetapi dapat dimanfaatkan ke arah produktif bila dikelola secara baik. Demikian pula Edelman, R. J. (1997) menegaskan bahwa, jika konfik dikelola secara sistematis, akan dapat berdampak positif yaitu, memperkuat hubungan kerjasama, meningkatkan kepercayaan dan harga diri, mempertinggi kreativitas dan produktivitas dan meningkatkan kepuasan kerja. Akan tetapi sebaliknya, manajemen konfik yang tidak efektif dengan cara menerapkan sangsi yang berat bagi penentang dan berusaha menekan bawahan yang menentang kebijakan sehingga iklim organisasi semakin buruk dan meningkatkan sifat ingin merusak. (Owens, R. G., 1991).

Konflik antar individu atau antar kelompok dapat menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan organisasi. Maka dari itu, pimpinan organisasi dituntut memiliki kemampuan tentang manajemen konflik dan memanfaatkan konflik untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi.

Manajemen konf1ik adalah cara yang dilakukan oleh pimpinan pada saat menanggapi konfik. Dalam pengertian yang hampir sama, manajemen konfik adalah cara yang dilakukan pimpinan dalam menaksir atau memperhitungkan konflik (Hendricks, W.,1992). Demikian halnya, Criblin, J. (1982:219) mengartikan manajemen konfik merupakan teknik yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik dengan cara menentukan peraturan dasar dalam bersaing.

Tujuan manajemen konflik untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan. Manajemen konflik berguna dalam mencapai tujuan yang diperjuangkan dan menjaga hubungan-hubungan pihak-pihak yang terlibat konflik tetap baik (Hardjana, 1994). Mengingat kegagalan dalam mangelola konflik dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan terhadap teknik pengendalian konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi. Tidak ada teknik pengendalian konflik yang dapat digunakan dalam segala situasi, karena setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Gibson, J. L. et al. (1996) mengatakan, memilih resolusi konflik yang cocok tergantung pada faktor-faktor penyebabnya. Dan penerapan manajemen konflik secara tepat dapat meningkatkan kreativitas dan produktivitas bagi pihak-pihak yang mengalami (Owens, R. G., 1991).

Winardi (1994) berpendapat bahwa, manajemen konflik meliputi kegiatan-kegiatan;

  • Menstimulasi konflik,
  • Mengurangi atau menekan konflik dan
  • Menyelesaikan konflik. Stimulasi konflik diperlukan apabila satuan-satuan kerja di dalam organisasi terlalu lambat dalam melaksanakan pekerjaan karena tingkat konflik rendah.

Metode yang dilakukan dalam menstimulasi konflik yaitu;

  • memasukkan anggota yang memiliki sikap, perilaku serta pandangan yang berbeda dengan norma-norma yang berlaku,
  • merestrukturisasi organisasi terutama rotasi jabatan dan pembagian tugas-tugas baru,
  • menyampaikan informasi yang bertentangan dengan kebiasaan yang dialami, * meningkatkan persaingan dengan cara menawarkan insentif, promosi jabatan ataupun penghargaan lainnya,
  • memilih pimpinan baru yang lebih demokratis.

Tindakan mengurangi konflik dilakukan apabila tingkat konflik tinggi dan menjurus pada tindakan destruktif disertai penurunan produktivitas kerja di tiap unit/bagian serta merintangi pencapaian tujuan. Teknik pengurangan konflik yang dapat dilakukan manajer adalah,

  • Memisahkan kelompok/unit yang berlawanan,
  • Menerapkan peraturan kerja yang bam,
  • Meningkatkan interaksi antar kelompok,
  • Memfungsikan peran integrator,
  • Mendorong negosiasi,
  • Meminta bantuan konsultan pihak ketiga,
  • Mutasi/rotasi jabatan/pekerjaan,
  • Mengembangkan tujuan yang lebih tinggi,
  • Mengadakan pelatihan pekerjaan (job training).

Penyelesaian konflik berkenaan dengan kegiatan-kegiatan pimpinan organisasi yang dapat mempengaruhi secara langsung pihak-pihak yang bertentangan. Metode penyelesaian konflik yang paling banyak digunakan menurut Winardi (2004) adalah dominasi, kompromis dan pemecahan problem secara integratif.

  • Mencegah terjadinya konflik menekankan pada:
  • Tujuan organisasi lebih penting daripada tujuan kelompok/unit,
  • Struktur tugas yang stabil dan dapat diramalkan,
  • Meningkatkan dan mengembangkan komunikasi antar anggota pada unit berbeda,
  • Menghindari situasi menang-kalah yang dapat mengorbankan pihak lain.

Manajemen konflik menurut Wirawan (2009) merupakan proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Dari definisi di atas, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut, sebagai berikut :

  1. Pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga
    Manajemen konflik bisa dilakukan oleh pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan konflik yang dihadapinya

  2. Strategi konflik
    Manajemen konflik merupakan proses penyusunan strategi konflik sebagai rencana untuk memanajemen konflik.

  3. Mengendalikan konflik
    Bagi pihak-pihak yang terlibat konflik, manajemen konflik merupakan aktifitas untuk mengendalikan dan mengubah konflik demi menciptakan keluaran konflik yang menguntungkannya (atau minimal tidak merugikannya). Bagi pihak ketiga, manajemen konflik merupakan upaya untuk mengarahkan konflik dari konflik destruktif menjadi konflik konstruktif.Konflik konstruktif akan mengembangkan kreatifitas dan inovasi pihak-pihak yang terlibat untuk menciptakan win & win solution.

  4. Resolusi konflik
    Jika manajemen konflik dilakukan oleh pihak yang terlibat konflik, hal ini bertujuan untuk menciptakan solusi konflik yang menguntungkan. Jika dilakukan oleh pihak ketiga, manajemen konflik bertujuan untuk menciptakan solusi yang bisa diterima oleh pihak- pihak yang terlibat konflik.

Pendekatan Manajemen Konflik


Thomas dan Kilmann (1974) mengembangkan taksonomi gaya manajemen konflik berdasarkan dua dimensi kerja sama (cooperativeness) pada sumbu horizontal dan keasertifan (assertiveness) pada sumbu vertikal. Kerja sama adalah upaya orang untuk memuaskan orang lain jika menghadapi konflik. Di sisi lain, keasertifan adalah upaya orang untuk memuaskan diri sendiri jika menghadapi konflik.

Berdasarkan kedua dimensi ini, Thomas dan Kilmann mengemukakan lima jenis gaya manajemen konflik. Berikut adalah kelima jenis gaya manajemen konflik tersebut.

  1. Kompetisi (competition)
    Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan tinggi dan tingkat kerja sama rendah. gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, di mana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan konflik dengan biaya lawannya.

Berikut adalah alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi :

  • Merasa mempunyai kekuasaan dan sumber-sumber lainnya untuk memaksakan sesuatu kepada lawan konfliknya.
  • Tindakan dan keputusan perlu diambil dengan cepat, misalnya dalam keadaan darurat. Keterlambatan mengambil keputusan atau tindakan akan memberikan akibat yang tidak baik.
  • Dalam tindakan yang tidak populer, terdapat hal yang harus dilakukan, seperti mengurangi biaya, peraturan baru, dan pendisiplinan pegawai.
  1. Kolaborasi (collaborating)
    Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama dan kerja sama yang tinggi. Tujuannya adalah untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya manajemen konflik kolaborasi merupakan upaya negosiasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. Upaya tersebut sering meliputi saling memahami permasalahan konflik atau saling mempelajari ketidaksepakatan. Selain itu, kreativitas dan inovasi juga digunakan untuk mencari alternatif yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

    Menurut Derr (1955), kolaborasi merupakan gaya manajemen konflik yang paling disukai sebab mendorong hubungan interpersonal, kekuatan kreatif untuk inovatif dan perbaikan, meningkatkan balikan dan aliran informasi, serta mengembangkan iklim organisasi yang lebih terbuka, percaya, pengambilan risiko dan perasaan baik terhadap integritas.

    Berikut adalah alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kolaborasi :

  • menciptakan solusi integratif dan tujuan kedua belah pihak terlalu penting untuk dikompromikan
  • Tujuan pihak yang terlibat konflik untuk mempelajari lebih jauh pandangan dari lawan konfliknya
  • Kedua belah pihak tidak mempunyai cukup kekuasaan dan sumber- sumber untuk memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya.
  1. Kompromi (compromising)
    Gaya manajemen konflik tengah atau menengah, di mana tingkat keasertifan dan kerja sama sedang. Dengan menggunakan strategi memberi dan mengambil (give and take), kedua belah pihak yang terlibat konflik mencari alternatif titik tengah yang memuaskan sebagian keinginan mereka. Gaya manajemen konflik kompromi berada di tengah antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi. Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi perbedaan di antara dua posisi dan memberikan konsensi untuk mencari titik tengah.

    Berikut adalah alasan pihak yang telibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kompromi :

  • Pentingnya tujuan konflik hanya sedang dan tidak cukup bernilai untuk dipertahankan dengan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi atau kolaborasi. Akan tetapi, konflik juga terlalu penting untuk dhindari.
  • Kedua belah pihak mempunyai kekuasaan dan sumber yang sama, serta mempunyai tujuan yang hampir sama.
  • Untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang kompleks.
  1. Menghindar (avoiding)
    Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah. dalam gaya manajemen konflik ini, kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha menghindari konflik . menurut Thomas dan Kilmann bentuk memnghindar tersebut bisa berupa : (a) menjauhkan diri dari pokok masalah; (b) menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat; atau © menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan.

Berikut adalah alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik menghindar :

  • Kepentingan objek konflik rendah atau ada objek konflik lain yang sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian.
  • Objek konflik tidak mungkin untuk dimenangkan karena memiliki kekuasaan dan sumber-sumber konflik yang rendah. atau, tidak mungkin untuk diubah, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, serta peraturan dan kebijakan perusahaan.
  • Potensi biaya yang dibutuhkan untuk memenangkan konflik lebih besar daripada nilai solusinya.
  • Untuk menenangkan para karyawan dan mengurangi ketegangan, serta menciptakan suasana kerja yang kondusif dan tenang sehingga meningkatkan kinerja karyawan.
  1. Mengakomodasi (accomodating)
    Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan rendah dan tingkat kerja sama tinggi. Seseorang mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan lawan konfliknya.

Faktor-faktor yang memengaruhi gaya manajemen konflik


Menurut Wirawan (2009) bahwa gaya manajemen konflik yang digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut :

  1. Asumsi mengenai konflik
    Asumsi seseorang mengenai konflik akan memengaruhi pola perilakunya dalam menghadapi situasi konflik. Birokrat yang berpendapat konflik merupakan sesuatu yang buruk akan berusaha untuk menekan lawan konfliknya dengan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi. Ia menganggap konflik merupakan pelanggaran norma, peraturan atau tatanan birokrasi. Sebaliknya, seorang birokrat yang menganggap konflik adalah baik dan toleran terhadap konflik akan menggunakan gaya manajemen konflik kompromi atau kolaborasi dalam memanajemeni konflik.

  2. Persepsi mengenai penyebab konflik
    Persepsi seseorang mengenai penyebab konflik akan memengaruhi gaya manajemen konfliknya. Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik menentukan kehidupan atau harga dirinya akan berupaya untuk berkompetisi dan memenangkan konflik. Sebaliknya, jika orang menganggap penyebab konflik tidak penting bagi kehidupan dan harga dirinya, ia akan menggunakan pola perilaku menghindar dalam menghadapi konflik.

  3. Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya
    Seseorang yang menyadari bahwa ia menghadapi lawan konflik akan menyusun strategi dan taktik untuk menghadapi lawan konfliknya. Jika ia memprediksi bahwa lawan konfliknya akan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi dan agresi objek konfliknya sangat esensial bagi kariernya, ia akan menghadapinya dengan gaya manajemen konflik kompetisi dan melawan agresi lawan konfliknya.

  4. Pola komunikasi dalam interaksi konflik
    Konflik merupakan proses interaksi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Jika proses komunikasinya berjalan dengan baik, pesan kedua belah pihak akan saling dimengerti dan diterima secara persuasif, tanpa gangguan (noise) dan menggunakan humor yang segar. Hal ini menunjukkan kemungkinan yang besar bahwa kedua belah pihak akan menggunakan gaya manajemen konflik kolaborasi dan kompromi tinggi. Sebaliknya, jika komunikasi kedua belah pihak tidak baik (menggunakan kata-kata keras dan kotor, serta agresif), ada kemungkinan kedua belah pihak akan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi.

  5. Kekuasaan yang dimiliki
    Konflik merupakan permainan kekuasaan di antara kedua belah pihak yang terlibat konflik. Jika pihak yang terlibat konflik merasa mempunyai kekuatan lebih besar dari lawan konfliknya, kemungkinan besar ia tidak mau mengalah dalam interaksi konflik. Terlebih lagi, jikamasalah konfliknya sangat esensial bagi kehidupannya. Sebaliknya, jika ia mempunyai kekuasaan lebih rendah dan memprediksikan bahwa dirinya tidak bisa menang dalam konflik, ia akan menggunakan gaya manajemen konflik kompromi, akomodasi, atau menghindar.

  6. Pengalaman menghadapi situasi konflik
    Proses interaksi konflik dan gaya manajemen yang digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam menghadapi konflik dan menggunakan gaya manajemen konflik tertentu. Sebagai contoh, seorang penasehat hukum (advokat) selalu menghadapi konflik dalam membela kliennya. Pengalaman yang panjang memberikan kemampuan bagi advokat untuk menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi dalam membela kliennya, walaupun mungkin posisi kliennya salah.

  7. Sumber yang dimiliki
    Gaya manajemen konflik yang digunakan oleh pihak yang terlibat konflik dipengaruhi oleh sumber-sumber yang dimilikinya. Sumber- sumber tersebut antara lain kekuasaan, pengetahuan, pengalaman dan uang. Gaya manajemen kompetisi kecil kemungkinannya untuk digunakan bagi seseorang yang tidak mempunyai sumber-sumber tersebut. Kemungkinan besar, ia akan menggunakan gaya manajemen konflik menghindar atau akomodasi.