Apakah yang dimaksud dengan Trauma Ureter?

Trauma ureter adalah trauma yang disebabkan oleh intervensi iatrogenik yang dilakukan oleh dokter antara lain pada operasi endourologi trans-ureter (uteroskopi atau utretoroskopi, ekstraksi batu dengan dormia atau litotripsi batu ureter) dan operasi di daerah pelvis (operasi ginekologi bedah digestif atau bedah vaskular) dan trauma oleh benda tajam. (Nursalam dan fransisca,2006)

Apakah yang dimaksud dengan Trauma Ureter?

Trauma ureter adalah trauma yang disebabkan oleh rudapaksa tajam maupun tumpul dari luar ataupun iatrogenik terutama pada pembedahan rektum, uterus, pembuluh darah panggul, atau tindakan endoskopik. (Sjamsuhidajat Win De Jong.R.1997).

Lokasi ureter berada jauh di dalam rongga abdomen dan dilindungi oleh tulang dan otot, sehingga cidera ureter karena trauma tidak umum terjadi. Cidera pada ureter kebanyakan terjadi karena pembedahan. Perforasi dapat terjadi karena insersi intraureteral kateter atau instrumen medis lainnya. Luka tusuk dan tembak juga dapat membuat ureter mengalami trauma. Meskipun tidak umum, tumbukan atau decelerasi tiba-tiba seperti pada kecelakaan mobil dapat merusak struktur ureter. Tindakan kateterisasi ureter yang menembus dinding ureter atau pemasukan zat asam atau alkali yang terlalu keras dapat juga menimbulkan trauma ureter.

Trauma ureter sangat jarang dijumpai, terjadi hanya sekitar 1% dari seluruh trauma traktus urogenitalia. Penyebab paling sering biasanya karena trauma iatrogenik (75%), diikuti trauma tumpul (18%) dan trauma tajam (7%).

Pada trauma iatrogenik, penyebab paling sering karena operasi ginekologi (73%), pada ureter distal (74%). Operasi endourologi transureter (ureterorenoskopi, ekstraksi batu dengan dormia, maupun litotripsi batu ureter) dan operasi di daerah pelvis (operasi ginekologi, bedah digestif maupun bedah vaskuler) dapat menyebabkan terjadinya cedera ureter iatrogenik, baik oleh karena: terikat, terpotong, avulsi, terkauter, terjepit oleh klem, robek maupun devaskularisasi karena banyak jaringan vaskuler yang dibersihkan.

Diagnosis dan Klasifikasi Trauma Ureter

Kecurigaan adanya cedera ureter pada trauma dari luar adalah adanya hematuria setelah trauma. Jika diduga terdapat kebocoran urine, pemberian zat warna baik dengan indigo carmine maupun methylene blue, pemeriksaan intravenous pyelografi, retrograde pyelografi (merupakan gold standard pemeriksaan trauma ureter) dan CT scan dengan kontras yang diberikan 2 mg/kgBB menunjukkan adanya ekstravasasi pada daerah ureter yang mengalami trauma.

Pemeriksaan kadar kreatinin atau kadar ureum cairan kebocoran menunjukkan kadar yang sama dengan kadar urine. Pada cedera yang lama mungkin didapatkan hidro-ureteronefrosis sampai pada daerah sumbatan.

Trauma ureter dari luar seringkali diketemukan pada saat melakukan eksplorasi laparotomi karena cedera organ intraabdominal sehingga seringkali tidak mungkin melakukan pemeriksaan pencitraan terlebih dahulu. Kondisi yang mencurigakan terjadinya trauma ureter iatrogenik saat operasi adalah lapangan operasi banyak cairan, hematuria, anuria atau oliguri jika cedera bilateral. Adanya demam, ileus, nyeri pinggang akibat obstruksi, luka operasi selalu basah, cairan drainase jernih dan banyak, hematuria persisten dan hematoma atau urinoma di abdomen dan adanya fistula ureterokutan atau fistula ureterovagina.
.
Klasifikasi trauma ureter berdasarkan AAST ( The american association for the surgery of trauma) adalah sebagai berikut :

  • Grade I : Hematom ureter
  • Grade II : Laserasi kurang dari 50 % lingkar ureter
  • Grade III: Laserasi lebih dari 50 % lingkar ureter
  • Grade IV : Terpotong kurang dari 2 cm
  • Grade V : Terpotong lebih dari 2 cm

Tatalaksana

Tatalaksana yang dilakukan terhadap trauma ureter tergantung pada saat trauma ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien, dan letak serta derajat lesi ureter.

Trauma parsial (grade I dan II)

Pada trauma ureter grade I dan II dapat ditangani dengan pemasangan stent pada ureter maupun nefrostomi untuk diversi urine yang keluar. Dengan pemasangan stent diharapkan aliran urine dapat melewati daerah trauma, memberikan kanalisasi dan stabilisasi di daerah ureter yang mengalami trauma sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya striktur. Pemasangan stent dapat dilakukan baik secara retrograde maupun antegrade dengan bantuan fluoroskopi maupun ureteropyelografi. Pemasangan stent dipertahankan selama 3 minggu. Sedangkan kateter uretra dipertahankan 2 hari untuk mencegah terjadinya refluks dan memberikan kesempatan penyembuhan.

Pemantauan dengan renogram maupun intravenous pyelografi dilakukan pada bulan ke-3 hingga ke-6 atau segera apabila didapatkan nyeri pinggang pada daerah trauma ureter. Apabila terjadi striktur, maka perlu dilakukan tindakan endourologi maupun pembedahan. Pada trauma grade I maupun II yang diketahui saat pembedahan, maka dianjurkan untuk dilakukan penutupan lesi secara primer disertai dengan pemasangan stent.

Trauma total (grade III, IV dan V)

Perbaikan pada trauma ureter yang komplet sebaiknya dilakukan dengan melakukan debridement jaringan ureter yang rusak, spatulasi, pemasangan stent ureter, menjahit ureter dengan benang 4/0 yang diserap secara watertight, memasang non-suction drain dan menutup tempat jahitan dengan peritoneum maupun omentum.

Tindakan yang dilakukan bergantung pada lokasi terjadinya trauma. Beberapa tindakan yang mungkin dilakukan adalah:

  1. Ureter saling disambungkan (end to end anastomosis atau uretero-ureterostomi),
  2. menyambung ureter dengan kalik ginjal (Ureterokalicostomi),
  3. menyambung ureter dengan ureter pada sisi yang lain (Transuretero-ureterotomi),
  4. neoimplantasi ureter pada buli-buli baik dengan Boari flap maupun psoas hitch (Ureteroneosistostomi)
  5. interposisi ileal Graft,
  6. Autotransplantasi, dan
  7. Nefrektomi.

Komplikasi

Pada trauma ureter yang lama akan menyebabkan terjadinya fibrosis dan stenosis sehingga menyebabkan hidronefrosis pada ginjal sisi yang sama. Ekstravasasi yang lama juga menyebabkan terjadinya urinoma yang memudahkan terjadinya infeksi dan memungkinkan terjadinya urosepsis.