Teori Paradigma Naratif yang dikemukakan oleh Walter Fisher ini berkeyakinan bahwa manusia adalah makhluk pencerita, dan bahwa pertimbangan akan nilai, emosi dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Robert Roeland berpendapat, bahwa ide yang ada pada masyarakat pada dasarnya pencerita itu telah diadopsi oleh banyak mata pelajaran yang berbeda-beda termasuk sejarah, biologi, antopologi,sosiologi, dan teologi.
Pelajaran komunikasi juga dipengaruhi oleh ketertarikan dalam narasi. John Lucaites dan Caleste Condit menyatakan bahwa, “kepercayaan yang tumbuh pada cerita menggambarkan alat yang universal dalam kesadaran manusia”.
Fisher menjelaskan pergeseran paradigma dengan menceritakan kembali sejarah paradigma yang mengarahkan pemikiran barat. Fisher melihat bahwa logos pada awalnya adalah sebuah kombinasi konsep termasuk kisah, wacana dan pemikiran.
Dengan kata lain, kita lebih dapat terbujuk oleh sebuah cerita yang bagus dibandingkan dengan argumen yang baik. Dalam Teori ini Fisher menyatakan 5 Asumsi, yakni :
-
Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencerita.
-
Keputusan mengenai harga dari sebuah cerita didasarkan pada “pertimbangan yang sehat”.
-
Pertimbangan yang sehat ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya dan karakter.
-
Rasionalitas didasarkan pada penilaian orang mengenai konsistensi dan kebenaran sebuah cerita.
-
Seseorang mengalami dunia yang diisi dengan cerita, dan kita harus memilih cerita yang ada.
Melihat Asumsi teori paradigma naratif, menujukkan ada beberapa konsep kunci dalam pendekatan naratif. Ada dua konsep yakni, Narasi dan Rasionalitas naratif.
Yang pertama narasi, dalam teori ini Fisher memprespektifkan narasi yang mencakup deskripsi verbal atau non verbal appaun dengan urutan kejadian yang oleh para pendengar atau pembaca diberi makna.
Konsep berikutnya adalah rasionalitas naratif, dalam teori paradigma naratif kita membutuhkan sebuah parameter untuk mengukur sebuah cerita bisa dipercaya atau tidak, disinilah kita membutuhkan rasionalitas naratif. Dalam standar rasionalitas nariatif menggunakan dua prinsip, koherensi dan kebenaran untuk mengukur sebuah cerita.
1. Koherensi
Merujuk pada konsistensi internal dari sebuah naratif. Ketika menilai sebuah koherensi cerita, pendengar akan bertanya apakah cerita itu runtut dan konsisten. Selain itu koherensi juga melihat apakah tokoh dalam cerita berperilaku dalam cara yang konsisten. Koherensi sendiri didasarkan pada tiga tipe koherensi.
a. Koherensi Struktural, jenis koherensi yang berpijak pada tingkatan dimana elemen-elemen dari sebuah cerita mengalir dengan lancar. Ketika cerita membingungkna, ketika satu bagian tidak tersambung dengan bagian berikutnya, atau ketika alurnya tidak jelas, maka cerita itu kekurangan koherensi struktural.
b. Koherensi Material, koherensi jenis ini merujuk pada tingkat kongruensi antara satu cerita dengan cerita lainnya, yang sepertinya berkaitan dengan cerita tersebut.
c. Koherensi karakterologis, koherensi ini merujuk pada dapat dipercayanya karakter – karakter dalam sebuah cerita. Sebagai contoh jika kita membaca cerita spiderman yang digambarkan sebagai sosok pahlawan yang suka menolong, namun ada cerita lain yang menceritakan bahwa Spiderman mencuri dan banyak melakukan kejahatan, maka orang tidak akan percaya, karena ia lebih dulu menderngar cerita yang pertama. Mebuat ia mempunyai latar belakang tentang tokoh spiderman, yang membuatnya tidak percaya pada cerita yang berbeda dari latar belakang yang dimilikinya.
2. Kebenaran
Merupakan standar penting untuk menilai rasionalitas naratif. Karena sebuah cerita denga kebenaran akan terdengar sungguh – sungguh bagi penerima cerita. Fisher menyatakan bahwa ketika elemen–elemen sebuah cerita mempresentasikan pernyataan – pernyataan akurat mengenai realitas sosial, disitulah mereka memiliki banyak kebenaran.
Selain prinsip dasar koherensi dan kebenaran. Teori paradigma naratif mengenal konsep logika dari good reason.
Fisher (1987) menjelaskan bahwa konsep logikanya dengan berkata bahwa hal ini berarti sebuah rangkaian prosedur yang sistematis yang akan membantu didalam analisis dan penilaian sebuah elemen pertimbangan dalam interaksi retoris. Oleh karena itu sebuah logika naratif membuat seseorang bisa menilai harga dan nilai dari sebuah cerita.
Logika yang dari pertimbangan yang sehat (good reason) memberikan pendengar seperangkat nilai yang menariknya dan membentuk jaminan untuk menerima atau menolak saran yang dikemukakan oleh bentuk naratif apapun. Logika ini diperoleh dari dua seri atas lima pertanyaan. Pertanyaan seri pertama sebagi berikut :
-
Apakah Pertanyaan-pertanyaan diklaim faktual didalam sebuah naratif benar-benar faktual?
-
Apakah ada fakta-fakta relevan yang telah dihapuskan dari naratif atau didistorsi dalam penyampaiannya?
-
Pola-pola pertimbangan apa yang ada dalam naratif ?
-
Seberapa relevan argumen-argumen didalam cerita dengan keputusan apapun yang mungkin akan dibuat oleh pendengar ?
-
Seberapa baik naratif ini menjawab isu-isu penting dan signifikan dari kasus ini ?
Pertanyaan ini membentuk logika alasan. Untuk mengubah ini menjadi logika good reason terdapat lima pertanyaan lagi yang memperkenalkan nilai ke dalam proses penilaian pengetahuan praktis, sebagai berikut ':
-
Nilai Implisit dan eksplisit apakah yang terkandung didalam naratif?
-
Apakah nilai-nilai ini sesuai dengan keputusan yang relevan dengan naratif itu ?
-
Apakah dampak dari mengikuti nilai-nilai yang tertanam didalam naratif tersebut?
-
Apakah nilai-nilai tersebut dapat dikonfirmasi atau divalidasi dalam pengalaman yang dijalani?
-
Apakah nilai-nilai dari naratif merupakan dasar bagi perilaku manusia yang ideal ?
Jika semua pertanyaan itu bisa dijawab akan membantu membangun logika good reason yang ada dalam paradigma naratif.