Apakah yang dimaksud dengan Sastra?

sastra

SASTRA

Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.

Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.

Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.

Apakah yang dimaksud dengan Sastra ?

1 Like

Sastra, mungkin telah ada sejak manusia ada. Bersamaan dengan perkembangan manusia dan kebudayaannya, sastra juga berkembang menurut situasi dan kreasi manusianya. Dengan demikian, sejalan dengan pengelompokan-pengelompokan manusia serta kebudayaannya, sastra juga berkembang dalam kelompok-kelompok itu. Barangkali hal seperti inilah yang hingga saat ini menjadikan sastra memiliki keumuman sekaligus kekhususan. Seperti setiap manusia yang memiliki kekhasan dan kesamaan dengan manusia lainnya, demikian halnya dengan setiap karya sastra .

Wellek & Warren (1993), secara agak optimis, menuliskan bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas, juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang lain, sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada umumnya.

Pernyataan Wellek & Warren di atas, tentu saja harus dilengkapi dengan pernyataan Luxemburg, dkk., (1989), bahwa menurut mereka tidak mungkin memberikan sebuah definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah sebuah benda yang dijumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.

Barangkali inilah titik pangkal dari permasalahan kajian sastra yang pertama kali muncul, yakni perihal tidak pernah terjawabnya (dengan memuaskan) pertanyaan “apakah sastra itu?”, karena terlalu kompleksnya sesuatu yang disebut sastra itu.

Arti sastra yang sangat kompleks itu telah mengaburkan batasan sastra sebagai obyek kajian keilmuan. Itulah sebabnya Teeuw (1984) menuliskan bahwa meskipun sudah cukup banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas atas pertanyaan: “apakah sastra itu ?”, namun batasan manapun juga yang diberikan oleh para ilmuwan tidak kesampaian.

Hal itu dikarenakan batasan sastra itu hanya menekankan satu atau beberapa aspek saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu saja, atau sebaliknya, terlalu luas dan longgar sehingga melingkupi banyak hal yang jelas bukan sastra lagi. Menurut Luxemburg dkk (1989) kegagalan definisi itu antara lain sebagai berikut.

  1. Karena orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus, sering menggunakan dua kriteria sekaligus, sering menggunakan definisi deskriptif dan definisi evaluatif sekaligus, dengan menuilai baik dan tidaknya suatu karya sastra.

  2. Karena menggunakan definisi “ontologis” mengenai sastra, yakni mengungkap hakikat sebuah karya sastra. Padahal mengingat kompleksnya obyek sastra, mestinya sastra didefinisikan di dalam situasi pemakai atau pembaca sastra. Norma dan deskripsi sering dicampuradukkan, padahal suatu karya bagi satu orang bisa termasuk sastra, bagi orang lain mungkin tidak.

  3. Anggapan mengenai sastra sering ditentukan oleh sastra Barat, khususnya sejak jaman renaisance, tanpa memperhitungkan bentuk-bentuk sastra di luar Eropa. Sastra India, Melayu, Jawa dan sebagainya tentu memiliki kekhasannya masing- masing, apalagi kalau dipisahkan dari jaman-jaman tertentu.

  4. Definisi oleh ahli yang sering memuaskan untuk diterapkan pada sejumlah jenis sastra, tidak cocok untuk diterapkan pada sastra secara umum.

Pada berbagai hal secara umum, untuk mendefinisikan sesuatu itu dapat didekati dari namanya. Secara etimologis, kata sastra dalam bahasa Indonesia (dalam bahasa Inggris sering disebut literature dan dalam bahasa Perancis disebut litterature) berasal dari bahasa Sanskerta: akar kata ‘sas-, dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi”. Akhiran -tra, biasanya menunjukkan “alat, sarana”. Jadi sastra dapat berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran”.

Kata lain yang sering dipergunakan ialah kata susastra yang berasal dari kata sastra mendapat awalan su- yang berarti “baik, indah”. Jadi kata suastra dapat berarti “sastra yang baik” atau “sastra yang indah” yang dalam bahasa Perancis atau Inggris dipergunakan istilah belles-lettres. Menurut Gonda kata susastra tidak dipergunakan dalam bahasa Jawa Kuna, sehingga istilah susastra adalah ciptaan Jawa atau Melayu yang muncul kemudian (Teeuw, 1984).

Batasan secara etimologis tersebut, juga belum maksimal. Tidak semua alat untuk mengajar bisa dikategorikan sebagai sastra, walaupun dalam arti sebaliknya, semua sastra “dapat” dipergunakan sebagai alat untuk mengajar.

Luxemburg, dkk. (1989) menyebutkan sejumlah faktor yang dewasa ini mendorong para pembaca untuk menyebut teks ini sastra dan teks itu bukan sastra, yakni sebagai berikut.

  1. Yang dikaitkan dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang tidak melulu untuk tujuan komunikatif praktis yang bersifat sementara waktu saja.

  2. Bagi sastra Barat dewasa ini kebanyakan teks drama dan cerita mengandung fiksionalitas. Bagi orang Yunani dahulu, fiksionalitas tidak relevan untuk membatasi pengertian sastra, dan di Cina dahulu teks-teks rekaan justru tidak dianggap sastra.

  3. Dalam hal puisi lirik, dipergunakan konvensi distansi untuk mengambil jarak sehingga tidak setiap puisi lirik dinamakan rekaan.

  4. Bahan sastra diolah secara istimewa dan dengan cara yang berbeda-beda sehingga misalnya, pengertian bahasa puitik tidak pernah bisa dibatasi secara mutlak.

  5. Sebuah karya sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan itu tergantung pada mutu sastra yang bersangkutan dan kemampuan pembaca dalam menggauli teks-teks sastra.

  6. Karya-karya bukan fiksi dan juga bukan puisi, karena ada kemiripan tertentu digolongkan dalam sastra, yakni karya-karya naratif, seperti biografi-biografi dan karya-karya yang menonjol karena bentuk dan gayanya. Surat-menyurat antar sastrawan lebih mudah dikategorikan sebagai sastra daripada antar sejarawan.

  7. Terdapat karya-karya yang semula tidak masuk sastra, kemudian dikategorikan sastra. Misalnya kitab-kitab babad bukan sekedar penulisan sejarah tetapi sastra.

Wellek & Warren (1993) mencatat bahwa untuk mendefinisikan sastra ada beberapa cara, yakni sebagai berikut.

  1. Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Pengertian ini seperti pengertian etimologis pada kata literature (Inggris). Jadi ilmuwan sastra dapat mempelajari profesi kedokteran, ekonomi, dsb. Dengan demikian seperti yang dikemukakan Edwin Greenlaw (teoritikus sastra Inggris) bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam wilayah sastra. Demikian pula menurut banyak praktisi ilmu lain, sastra bukan hanya berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan tetapi memang identik.

    Dalam hal ini Wellek & Warren mengomentari bahwa akhirnya studi semacam ini bukan studi sastra lagi. Studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cenderung menggeser studi sastra yang murni, karena dalam studi kebudayaan semua perbedaan dalam teks sastra diabaikan. Bagi sastra Jawa, seperti halnya pada banyak budaya lain, batasan seperti ini tidak menguntungkan karena Jawa memiliki tradisi sastra lisan yang sangat kuat.

  2. Cara lain untuk membatasi definisi pada sastra adalah membatasi pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap “menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini kriteria penilaiannya adalah segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di antara puisi lirik, drama dan cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasarkan pertimbangan estetis. Sedang buku-buku lain dipilih karena reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnya, ditambah penileian estetis dalam gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaiannya. Dalam hal ini sastra atau bukan sastra ditentukan oleh penilaian. Di samping itu sejarah, filsafat dan ilmu pengetahuan termasuk dalam sastra.

    Dalam sastra Jawa kuna dan sebagian sastra Jawa modern, memang banyak karya sastra yang berisi ilmu pengetahuan atau sejarah, namun sering dikategorikan sebagai karya sastra karena gaya bahasanya, antara lain Negarakertagama (Jawa kuna) dan karya sastra Babad (Jawa modern) yang sebagian besar berisi sejarah.

  3. Menurut Wellek & Warren, pengertian sastra yang paling tepat diterapkan pada seni sastra, yakni sastra sebagai karya imajinatif. Istilah lainnya adalah fiksi (fiction) dan puisi (poetry), namun pengertannya lebih sempit. Sedang penggunaan istilah sastra imajinatif (imaginative literature) dan belles latters (tulisan yang indah dan sopan) kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra, dinilai kurang cocok dan bisa memberi pengertian yang keliru. Istilah Inggris, literature, juga lebih sempit pengertiannya. Istilah yang agak luas pengertiannya dan lebih cocok adalah istilah dari Jerman wortkuns dan dari Rusia slovesnost.

  4. Cara lain yang dilakukan untuk memecahkan definisi sastra adalah melalui kategorisasi bahasa. Bahasa adalah media yang dipergunakan oleh sastra. Namun demikian sastra tidak memiliki media secara khusus, karena bahasa juga dipergunakan sebagai media komunikasi oleh bidang keilmuan lain. Oleh karena itu membatasi sastra dari segi bahasanya juga tidak sesederhana itu.

Wellek & Warren (1993) menyatakan bahwa untuk melihat penggunaan bahasa yang khas sastra, harus dibedakan antara bahasa sastra, bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari. Hal ini pernah dilakukan oleh Thomas Clark Pollock dalam bukunya The Nature of Literature. Namun demikian buku itu tidak memuaskan terutama dalam membedakan bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari.

Antara bahasa ilmiah dengan bahasa sastra memang agak mudah dibedakan. Bahasa ilmiah bersifat denotatif , yakni ada kecocokan antara tanda (sign) dengan yang diacu (referent). Jadi bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logika simbolis.

Bahasa sastra, dibanding bahasa ilmiah, penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya), serta memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan tak rasional. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Dengan kata lain bahasa sastra sangat konotatif sifatnya.

Bahasa sastra memiliki fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Disamping itu yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme suara dari kata-kata. Berbagai teknik diciptakan untuk menarik perhatian pembaca.

Membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari lebih sulit. Bahasa sehari-hari sering juga bersifat ekspresif. Yang jelas, perbedaan pragmatisnya ialah bahwa segala sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan tindakan langsung yang kongkrit sukar untuk diterima sebagai puisi (baca: sastra) (Wellek & Warren, 1993).

Dalam hubungannya dengan bahasa, khususnya bahasa tulis, Teeuw (1984) memberikan beberapa catatan sebagai berikut.

  1. Dalam sastra tulis terdapat keindahan bahasa, yakni pemakaian bahasa yang tepat dan sempurna. Disamping itu dalam sastra tulis sering memberi banyak kemungkinan untuk menciptakan keambiguan, makna ganda, yang sering dianggap sebagai ciri khas bahasa sastra.

  2. Dalam sastra tulis, ambiguitas diri penulis yang tidak langsung dihadapi oleh pembaca, sering dimanfaatkan bahkan dieksploitasi secara sangat halus. Tokoh aku dalam karya sastra belum tentu identik dengan penulisnya.

  3. Karena hubungan antara karya sastra dengan penulisnya terputus, dengan sendirinya tulisan itu menjadi sangat penting dan mandiri. Jadi karya sastra bukanlah tindak komunikasi biasa dan memunculkan bermacam-macam konvensi yang harus dikuasai pembaca dalam memahami sastra

  4. Sastra adalah dunia dalam kata dan dalam pemahamannya tidak dibantu lagi oleh penulisnya sehingga tergantung pada kata.

  5. Tulisan dapat diulang baca, sedang konvensi sastranya dapat berubah-ubah sehingga interpretasi sastra dapat ditinjau lagi disesuaikan dengan informasi baru.

  6. Reproduksi sastra sangat mungkin terjadi sehingga dimungkinkan terjadinya perubahan atau pemantapan sehingga terjadi variasi makna. Bagi peneliti hal itu justru memperluas lahan kajian. Bagi pembaca memungkinkan terpenuhi seleranya.

  7. Reproduksi sastra dalam berbagai jaman, berbagai bahasa dan budaya menjadikan sastra menjadi gejala sejarah dengan segala akibatnya. Saat ini orang bisa membaca karya Homeros 30 abad yang lalu, atau karya Prapanca pada abad XIV. Kesinambungan kebudayaan sebagian besar tergantung dari penemuan tulisan dan abjad. Namun demikian penafsiran sastra kadang menjadi berbeda dari masa ke masa. Perbedaan penafsiran itu menjadi permasalahan apakah hal ini justru sebagai kekayaan sastra atau sebaliknya, harus berusaha menginterpretasi sesuai dengan maksud awal (asli)-nya.

Teeuw (1984) menegaskan bahwa sastra bukan hanya dalam rangka sastra tulis, karena ada sastra yang hidup dan berkembang dalam bentuk sastra lisan. Tujuh catatan dalan hubungannya dengan sastra tulis di atas tidak serta merta dapat diterapkan pada sastra lisan, namun setidak-tidaknya terdapat kemiripan terutama pada nomor 1, 2, dan 5. Dalam sastra sering sekali ada bentuk campuran antara sastra tulis dengan sastra lisan, misalnya banyak tersebar di Indonesia.

Pada akhirnya Teeuw (1984) berkesimpulan bahwa tidak ada kriteria yang jelas yang dapat diambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulis untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas. Ada pemakaian bahasa lisan dan tulis yang sastra, ada pula yang bukan sastra; sebaliknya ada sastra tulis dan ada sastra lisan. Tolok ukur untuk membedakan sastra dan bukan sastra harus dicari di bidang lain.

Dengan demikian semakin komplekslah permasalahan yang dihadapi untuk memberikan batasan antara sastra dan bukan sastra. Namun demikian ada sejumlah pengertian yang berlaku pada zaman Romantik yang menurut Luxemburg dkk (1989) hingga saat ini masih selalu dipakai, sebagai berikut.

  1. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi. Sastra terutama merupakan luapan emosi yang spontan. Unsur kreativitas dan spontanitas dewasa ini pun masih sering dijadikan sebagai pedoman

  2. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain; sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keseralaran di dalam karyanya sendiri. Misalnya kaum formalis dari Rusia di awal abad XX (masih) menganggap bahwa cara pengungka[pan merupakan ciri khas bagi kesastraan. Kesastraan ditentukan oleh cra bahannya disajikan. Bahan puisi ialah bahasa serta subyeknya, sedang bahan naratif adalah sejarah atau peristiwa yang diceritakan.

  3. Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi itu dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan bentuk atau ungkapan tertentu. Seperti bentuk dan isi saling berhubungan, demikian bagian dan keseluruhan kait-mengait secara erat sehingga saling menerangkan.

  4. Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan, antara yang disadari dengan yang tidak, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dsb. Misalnya aliran New critics di Amerika (masih) menganggap bahwa bahasa puisi adalah bahasa paradoks.

  5. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh sastra ditimbulkan asosiasi dan konotasi. Dalam teks sastra ada sederet arti yang tidak diungkapkan dalam bahasa sehari-hari. Misalnya Roland Barthes (masih) menyatakan bahwa menafsirkan sebuah teks sastra tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan membeberkan aneka kemungkinan.

Sebagai bahan pembanding dan langkah awal untuk melakukan pengkajian pada khasanah kesasteraan, kiranya perlu juga disampaikan beberapa batasan sastra yang pernah dituliskan oleh beberapa pengamat sastra di Indonesia.

Andre Hardjana dalam bukunya Kritik Sastra: Sebuah Pengantar (1983), menggunakan batasan sastra yang diberikan oleh William Henry Hudson, yakni bahwa sastra - sebagai “pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat - pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa.

Atar Semi, dalam bukunya Anatomi Sastra (1988) menyatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Panuti Sudjiman, dalam edisinya Kamus Istilah Sastra (1986), menuliskan sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.

Jakob Sumarjo, dalam bukunya Memahami Kesusastraan (1984), menyatakan bahwa kesusasteraan dapat dilihat sebagai memiliki badan dan jiwa. Jiwa sastra berupa pikiran, perasaan dan pengalaman manusia, sedang badannya adalah ungkapan bahasa yang indah, sehingga memberikan hiburan bagi pembacanya.

Referensi

Sumber : Afendy Widayat, Teori Sastra Jawa, Universitas Negeri Yogyakarta

Sastra secara etimologi diambil dari bahasa-bahasa Barat (Eropa) seperti literature (bahasa Inggris), littérature (bahasa Prancis), literatur (bahasa Jerman), dan literatuur (bahasa Belanda). Semuanya berasal dari kata litteratura (bahasa Latin) yang sebenarnya tercipta dari terjemahan kata grammatika (bahasa Yunani).

Litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan kata “littera” dan “gramma” yang berarti huruf (tulisan atau letter). Dalam bahasa Prancis, dikenal adanya istilah belles-lettres untuk menyebut sastra yang bernilai estetik. Istilah belles-lettres tersebut juga digunakan dalam bahasa Inggris sebagai kata serapan, sedangkan dalam bahasa Belanda terdapat istilah bellettrie untuk merujuk makna belles-lettres.

Dijelaskan juga, sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata sas, berarti mengarahkan, mengajarkan dan memberi petunjuk. Kata sastra tersebut mendapat akhiran tra yang biasanya digunakan untuk menunjukkan alat atau sarana.

Sehingga, sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah kata lain yang juga diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang secara luas berarti buku (Teeuw, 1984).

Sumardjo & Saini (1997) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa.

Hal ini dikuatkan oleh pendapat Saryono (2009) bahwa sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman yang nonempiris-supernatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia.

Menurut Saryono (2009) sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan.

Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya (Saryono, 2009).

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial (Luxemburg, 1984). Hal itu dikarenakan sastra ditulis dalam kurun waktu tertentu yang langsung berkaitan dengan norma- norma dan adat itiadat zaman itu dan pengarang sastra merupakan bagian dari suatu masyarakat atau menempatkan dirinya sebagai anggota dari masyarakat tersebut.

Dunia kesastraan juga mengenal karya sastra yang berdasarkan cerita atau realita. Karya yang demikian menurut Abrams (via Nurgyantoro, 2009) disebut sebagai fiksi historis (historcal fiction) jika penulisannya berdasarkan fakta sejarah, fiksi biografis (biografical fiction) jika berdasarkan fakta biografis, dan fiksi sains sains (science fiction) jika penulisannya berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Ketiga jenis ini disebut fiksi nonfiksi (nonfiction fiction).

Menurut pandangan Sugihastuti (2007) karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalamannya. Sebagai media, peran karya sastra sebagai media untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Selain itu, karya sastra juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang diamati di lingkungannya.

Realitas sosial yang dihadirkan melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang pernah terjadi di masyarakat dan dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan cara yang berbeda. Selain itu, karya sastra dapat menghibur, menambah pengetahuan dan memperkaya wawasan pembacanya dengan cara yang unik, yaitu menuliskannya dalam bentuk naratif. Sehingga pesan disampaikan kepada pembaca tanpa berkesan mengguruinya.

Sastra merupakan karangan yang mengacu pada nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khas. Selain sastra, terdapat juga kesusastraan atau susastra, yang merupakan sebuah tulisan yang baik. Menurut Usman Effendi, “ kesusastraan ialah semua ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan rasa keindahan.”

Teori mengenai sastra menurut Bressler (1997 ) “Literature as work of imaginative or creative writings.” Penulis karya sastra menyampaikan imajinasi mereka dalam bermacam-macam bentuk seperti novel, puisi, ataupun film. Sastra merupakan suatu karya baik lisan atau tulisan dan juga karya fiksi yang memiliki pemahaman yang dalam, dan sebagai wujud kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.

Menurut Sugihastuti (2007:23) “karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalamannya.” Berdasarkan teori ini, penulis mencoba menghubungkan pemikiran penulis dan imajinasinya untuk disampaikan kepada pembaca. Sastra tidak saja lahir karena suatu kejadian, tetapi juga dari kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif dan dapat juga lahir dari imajinasi penciptanya, serta dapat dipertanggung jawabkan.

Teori lain mengenai sastra yang dikemukakan oleh para ahli antara lain seperti Plato,Literature is the result of imitation of description of reality (mimesis). A literary work must be imitate universe and is a model of reality. Therefore, the lower the value of literature and away from world ideas.” Kemudian C.S Lewis menyatakan “ Literature adds to reality, it doesn‟t simply describe it. It enriches the necessary competences that daily life requires and provides.”

Hal serupa dinyatakan oleh Semi (1988)Literature is a form of creative art and the work that its object is human and his life using the language as a medium.” Sastra disini diartikan sebagai suatu karya yang dibuat oleh pengarang cerita yang menyisipkan realita kehidupan manusia itu sendiri ke dalam sebuah cerita . Eagleton (1988:4) menyatakan bahwa “ Literature is a fine piece of writing (belle letters) is the work of the listed forms of language daily in various ways with the language of compacted, deepened, lapped, in thinned long and reverse, be bold.”

Teori lain dikemukakan oleh Wellek and Warren (1963), the term literature seems best if we limit it to the art of literature, that is, to imaginative literature. Sastra merupakan suatu karya yang berasal dari imaginasi pengarang yang tidak hanya merupakan kumpulan fakta atau fiksi, tetapi dapat berasal dari kejadian yang terjadi dalam dunia nyata.

Mengacu kepada pendapat Eagleton , sastra merupakan sebuah karya tulis dimana bahasa dalam sastra dapat di ubah menjadi bermacam-macam bentuk tetapi masih dapat dimengerti oleh pembacanya, seperti bahasa formal atau non-formal.
Dari beberapa pendapat ahli bahasa yang sudah penulis kutip perbedaannya, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah karya tulis yang dibuat oleh penciptanya berdasarkan imajinasi penciptanya atau kejadian nyata dalam kehidupan manusia, sastra dapat disajikan dalam berbagai macam bentuk seperti novel atau cerita pendek, dan dapat menggunakan bahasa formal atau non-forma

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai definisinya sebagai teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

Puisi dalam kaitannya dengan ilmu budaya dasar tergolong karya sastra, puisi dipandang dari segi bentuk, pada umumnya puisi dianggap sebagai pemakaian atau penggunaan bahasa yang intensif. Minimnya jumlah yang digunakan dan padatnya struktur yang dimanipulasikan, sangat berpengaruh dalam mengerakan emosi pembaca karena gaya penuturan dan daya lukisnya. Bahasa puisi dikatakan lebih padat, lebih indah, lebih cemerlang dan hidup (compressed, picturesque, vivid) daripada bahasa prosa atau percakapan sehari-hari. Bahasa puisi mengandung penggunaan lambang-lambang metaforis dan bentuk-bentuk intuitif lain untuk mengekspresikan gagasan, perasaan dan emosi. Puisi cenderung menanggapi secara eksklusif ke arah imajinasi dan ranah (domain) bentuk-bentuk emotif dan artistiknya sendiri.

Konsep Sastra

Kata sastra sering dipakai dalam berbagai konteks yang berbeda. Hal itu mengisyaratkan bahwa sastra bukanlah suatu istilah yang dapat digunakan untuk menyebut fenomena yang sederhana melainkan sastra merupakan istilah yang mempunyai arti luas dan meliputi kegiatan yang berbeda-beda. Menurut Aristoteles, sastra merupakan suatu karya untuk menyampaikan pengetahuan yang memberikan kenikmatan unik dan memperkaya wawasan seseorang tentang kehidupan.

Teeuw menyatakan bahwa kesusastraan berasal dari kata sastra dan mendapat awalan “su”. Sastra itu sendiri terdiri atas kata “sas” yang berarti ’mengarahkan, pengajaran’, dan ”tra” menunjukkan ’alat atau sarana’. Oleh karena itu, sastra berarti ’alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instansi atau pengajaran’. Adapun awalan “su” itu berarti baik atau indah. Dengan demikian, susastra adalah alat untuk mengajar yang bersifat baik atau indah.

Sastra, bagi Sudjiman (1990), adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti orisinalitas, nilai artistik, dan estetika dalam isi dan pengungkapannya. Meminjam istilah Sumardjo (1982), kesusastraan adalah penggambaran yang memberikan pengalaman subjektif. Khususnya dalam novel, dalam penggambaran-penggambaran itu berupa rentetan peristiwa. Sejalan dengan itu, Rampan (1984) mengemukakan bahwa dari kata dasar “sastra” tersebut kemudian mendapat awalan “su” yang mengemban makna baik atau indah. Dari pendekatan ini dapat disarikan bahwa kesusastraan adalah tulisan atau karangan yang baik atau indah yang mampu berfungsi memberikan petunjuk, ajaran atau arahan.

Karya sastra merupakan media bagi pengarang untuk menuangkan dan mengungkapkan ide-ide hasil perenungan tentang makna dan hakikat hidup yang dialami, dirasakan dan disaksikan. Seorang pengarang sebagai salah satu anggota masyarakat yang kreatif dan selektif ingin mengungkapkan pengalamannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari kepada para penikmatnya (Tarigan, 1984).

Luxemburg membuat klasifikasi bahwa suatu karya cipta disebut sastra apabila ia memiliki sifat rekaan, yakni yang tidak secara langsung menyatakan sesuatu mengenai realitas, bahasa, serta pengolahan bahannya mampu membuka batin kita bagi pengalaman baru. Karya sastra mengemban suatu nilai serta ia merupakan wacana untuk mencetuskan pendapat yang hidup dalam masyarakat.

Menurut Wellek & Warren (1995), sastra merupakan suatu karya seni, karya kreatif manusia yang mengandung nilai estetik. Sebagai wujud seni budaya, sastra memiliki dunia tersendiri yang merupakan pengejawantahan kehidupan sebagai hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya.

Hal itu sejalan dengan pendapat Esten (1991) bahwa sebuah cipta sastra bersumber dari kenyataan hidup dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas ilmiah yang ditangkap indra sastrawan hanyalah sumber pengambilan ilham yang bersifat alamiah atau mentah kemudian diolah melalui daya imajinasi sastrawan yang membuahkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan agung. Dengan kata lain, sastra merupakan refleksi kehidupan sosial yang diungkapkan oleh sastrawan dengan ketajaman perasaan dan daya pikir yang mendalam sehingga dapat menangkap nilai-nilai agung dan pemikiran-pemikiran yang lebih jauh jangkauannya dibanding pandangan awam umumnya.

Bagi Teeuw (2003), istilah sastra itu paling tepat apabila diterapkan dalam seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif yang berisi ungkapan spontan dari perasaan manusia yang mendalam. Lebih lanjut Teeuw (2003) menjelaskan bahwa sastra itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan segi seni. Sebagai seni bahasa, sastra dapat didekati melalui aspek kebahasaan dan pertentangannya dengan pemakaian bahasa dalam bentuk lain, sedangkan sebagai suatu karya seni, sastra dapat didekati melalui aspek keseniannya.

Tolstoy (1971), menyatakan bahwa seni itu merupakan ekspresi dari suatu emosi. Meskipun tidak semua penjelmaan emosi itu merupakan sebuah seni, setiap seni akan memberikan kesan yang artistik. Selain itu, seni juga mempunyai karakter mempersatukan orang dan menyebabkan orang merasakan pancaran perasaan dari senimannya.

Danziger & Johnson menyampaikan bahwa sebagai “seni bahasa”, sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Dalam hal itu Teeuw (2003:35), berpandangan bahwa bahasa tulis ataupun bahasa lisan tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam membatasi dan membedakan apakah sesuatu itu termasuk dalam sastra atau bukan sastra.

Sebagai karya seni bermediumkan, sastra berisi ekspresi pikiran spontan dari perasaan mendalam penciptanya. Ekspresi tersebut berisi ide, pandangan, perasaan, dan semua kegiatan mental manusia, yang diungkapkan dalam bentuk keindahan. Sementara itu, bila ditinjau dari potensinya, sastra disusun melalui refleksi pengalaman, yang memiliki berbagai macam bentuk representasi kehidupan. Sebab itu, sastra merupakan sumber pemahaman tentang manusia, peristiwa, dan kehidupan manusia yang beragam.

Hugh menyatakan bahwa karya sastra yang berbobot literer harus memenuhi dua kriteria utama, yakni:

  1. relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, melalui imajinasi dan rekaan yang keseluruhannya memiliki kesatuan yang utuh, selaras serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity)
  2. daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur-unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).

Berdasarkan batasan-batasan yang telah disampaikan dalam uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa setidaknya dalam sastra terdapat dua unsur utama, yaitu:

  1. Isi, yaitu sesuatu yang merupakan gagasan/pikiran, perasaan, pengalaman, ide, semangat, dan tanggapan pengarang terhadap lingkungan kehidupan sosial yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca;
  2. Bentuk, yaitu media ekspresi yang berbentuk seni sastra, yang pada umumnya bermediumkan bahasa beserta unsur-unsur yang mendukung totalitas makna yang terkandung di dalamnya.

Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali problem dasar kehidupan manusia, meliputi: maut, cinta, tragedi, harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, serta hal- hal yang transedental dalam kehidupan manusia. Problem kehidupan itu oleh sastrawan dikonkretisasikan ke dalam gubahan bahasa baik dalam bentuk prosa, puisi, maupun lakon (drama). Jadi membaca karya sastra berarti membaca pantulan problem kehidupan dalam wujud gubahan seni berbahasa (Santosa, 1993).