Apakah yang dimaksud dengan Positivisme?

Secara kebahasaan kata positif ini diturunkan dari bahasa Latin, yaitu ponere-posui- positus yang berarti meletakkan. Maksud lebih jauh dari kata tersebut adalah bahwa urusan salah dan benar atau adil dan tidak adil bergantung sepenuhnya pada hukum yang telah diletakkan sebelumnya.

Positivisme adalah suatu teori yang bersifat empirisme karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris. Dan di dalam aliran ini, tidak ada spekulasi yang dapat menjadi pengetahuan.

Apakah yang dimaksud dengan Positivisme ?

Filasafat merupakan induk dari setiap ilmu-ilmu yang telah kita pelajari, misalnya psikologi, sosiologi, sains, dan antropologi dan lain-lain. Salah satu aliran yang terdapat dalam filsafat adalah aliran positivism.

Positivisme secara etimologi dapat berasal dari kata positive, yang memiliki makna dalam bahasa filsafat sebagai sesuatu peristiwa yang benar-benar terjadi atau bisa disebut sebagai sesuatu yang realita.

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa, positivsm merupakan suatu paham yang dalam pencapaian kebenarannya berasal dari hal-hal yang nyata atau terjadi di lingkungan sekitar kita. Jika kejadian tersebut hanya berupa angan-angan atau hanya berupa perencanaan hal-hal tersebut tidak termasuk dalam kajian positivism.

Pada abad ke 19 Aguste comte berpendapat bahwa positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan dasar sains. Beliau saja mengatakan sains mempunyai hubungan dengan positivism apalagi dengn ilmu sosial yang objek kajiannya adalah sesuatu hal nyata seperti masyarakat.

Hal tersebut diutaran oleh beliau dikarenakan metodologi atau alat pertama yang dilakukan comte untuk melakukan penelitian adalah observasi. observasi sendiri adalah tindakan mengamati secara langsung, bukan hanya sebuah teori yang tidak memiliki bukti atau catatan yang berisi spekulasi saja.

Sumber: Dikutip dari http://www.kompasiana.com/ pada tanggal 06 september 2017 pada pukul 17:09 WIB

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan.

August Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode- metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis. Kriteria untuk terbentuknya positivisme adalah dengan cara ilmu tersebut harus besifat objektif, atau teori tersebut harus bebas nilai.

Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat.

Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :

  • Metode ini diarahkan pada fakta-fakta,
  • Metode ini diarahkan pada perbaikan terus-menerus dari syarat-syarat hidup,
  • Metode ini berusaha ke arah kepastian, dan
  • Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte.

August Comte di dalam kehidupannya menuliskan pemikirannya di dalam “Filsafat Positiv” (Cours de Philosophie Positiv) pada tahun 1830. Di dalam pemikirannya ini, Comte menyatakan bahwa akal budi manusia terbatas, dan Comte ingin mencoba mengatasinya dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan yang bersifat ilmiah.

Hal ini dapat menjadi ciri dasar pengetahuan yang dibuat oleh Comte, yaitu :

  • Pertama adalah membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan,

  • Kedua adalah mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan yang ketiga adalah memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.

Aliran positivisme ini merupakan aliran filsafat, yang ingin membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan menggunakan metoda ilmu pengetahuan. Comte ingin mendekonstruksi dan merubah pemikiran yang pada awalnya bersifat abstrak dan spekulatif pada penjelasannya menjadi suatu pemikiran yang bersifat nyata dan empiris. Comte selalu melakukan kontemplasi untuk mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan dari sinilah ilmu pengetahuan positiv atau positivisme mulai berkembang di dalam pemikirannya.

Asumsi-asumsi dalam ilmu pengetahuan positiv adalah :

  • Pertama adalah ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif, yaitu bebas nilai dan juga netral. Seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti.

  • Kedua adalah ilmu pengetahuan ini hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali.

  • Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.

Pemikiran Comte ini disebut dengan “hukum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hukum tigastadia”. Hukum tiga tahap ini menjelaskan sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte. Tahapan ini terdiri dari tahapan teologis, tahap metafisika, dan tahap positivisme (Maliki, 2003).

Di dalam pemikiran Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, manusia pada dasarnya berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif dimana manusia di dalam hidupnya masih menjadi obyek bagi alam, dan belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek.

Keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia adalah keyakinan pada Fetitisme dan animisme yang kemudian beranjak kepada politeisme, dimana manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa- dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitas manusia di dalam keseharian.

Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah.

Beralih pada pemikiran selanjutnya, yaitu tahap metafisika atau nama lainnya adalah tahap transisi dari hasil pemikiran Comte karena tahapan ini menurut Comte merupakan modifikasi dari tahapan sebelumnya.

Penekanan Comte pada tahap transisi ini adalah monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. Contohnya adalah ketika manusia mengatakan pada dirinya “Ini hari sialku, memang sudah takdir!”, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang masih ditemukan setiap hari.

Tahapan yang terakhir dari pemikiran dan perkembangan manusia adalah Tahap positiv, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan dengan cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya adalah ketika kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap atau kabut, dan hal ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap.

Di dalam tahap positiv selalu ada alasan yang bersifat empiris dan bukan hanya sekedar pernyataan spekulatif ataupun kepercayaan.

Dengan menggunakan ilmu sosial yang sistematis dan analitis. Comte terlihat memperjuangkan optmisme dari pergolakan sosial pada masanya. Comte kemudian di dalam perkembangannya melakukan sistematisasi dari observasi dan analisanya. Comte menjadikan ilmu pengetahuan yang dikajinya ini terklasifikasi atas dua bagian, yaitu: sosial statik dan sosial dinamik.

Sosial statik dan sosial dinamik hanya untuk memudahkan analitik saja terbagi dua, walaupun begitu keduanya bagian yang integral karena Comte jelas sekali dengan hukum tiga tahapnya memperlihatkan ilmu pengetahuan yang holistik.

  • Sosial statik menerangkan perihal nilai-nilai yang melandasi masyarakat dalam perubahannya, selalu membutuhkan sosial order karenanya dibutuhkan nilai yang disepakati bersama dan berdiri atas keinginan bersama, dapat dinamakan hukum atau kemauan yang berlaku umum.

  • Sosial dinamik merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat atau gerak sejarah masyarakat kepada arah kemajuannya.

August Comte di dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuan, mengidamkan adanya tata yang jelas mengedepankan keteraturan sosial dan kemajuan perkembangan serta pemikiran masyarakat ke arah positif. Sebagai seorang ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal. Tetapi, dalam hal ini

Comte adalah orang yang progresiv namun bukan seorang yang militansinya tinggi. Comte berjalan di tengah-tengah dan mencari jalan alternatif melalui ilmu pengetahuan yang dikembangkannya guna menyiasati kemungkinan besar yang akan terjadi.

Antara progresivitas untuk menciptakan perubahan sosial dengan penjagaan atas keteraturan sosial menjadi bahan kontemplasi dan observasi dari radikalisasi Comte. Comte sangat berjuang keras dengan idealisme positivisme agar tercapai dan dapat mengatasi keguncangan akibat kecemburuannya, harapan dan kenyataan yang mungkin tidak akan sama nantinya yang akan terjadi pada manusia.

Dengan pengaruh sumbangan sosial dari para intelektual sebelum Comte, akhirnya Comte menemukan konsep tentang konsensus intelektual. Konsensus intelektual selalu menjadi dasar bagi tumbuhnya solidaritas dalam masyarakat. satuan masyarakat yang paling dasar dan penting bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan sosial, dan juga mengenalkan keakraban yang akan menyatukan dan mempererat keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.

Keluarga membentuk pengalaman yang didominasi oleh altruisma, yang terarah pada ketaatan, kerjasama dan keinginan untuk mempertahankan yang telah dicapai dalam perspektif keluarga bentuk mikrokosmik.

Manusia memiliki kecendrungan terhadap dua hal, yaitu egoisme dan altruisma, yaitu sifat pribadi yang didasarkan pada kepentingan bersama. Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap, sedangkan yang kedua makin bertambah kuat. Sehingga manusia akan semakin memiliki sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya keterkaitan kekeluargaan yang mengembang. Hal ini terjadi karena adanya sosialisasi keluarga terhadap keluarga lainnya.

Comte menganggap keluarga yang menjadi sumber keteraturan sosial, dimana nilai-nilai cultural pada keluarga seperti kepatuhan yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan. Seiring dengan kontemplasi dan observasi Comte dalam mencari jalan tengah serta persentuhannya dengan romantisme platonis, perang terus menerus dan individualitas mengembang bagai jamur di musim hujan pada zaman post-revolusi Perancis semakin menentukan arah pemikiran Comte yang empirik itu.

Pendobrakan besar-besaran dilakukan Comte terhadap realitas sosial yang terus mencoba menghegemoni umat manusia pada zamannya melalui institusi gereja, hal yang kudus dan ketabuan yang dibuat oleh manusia (khususnya, pastur/pendeta/pemuka agama) mendapatkan kritik keras karena menjajakan doktrin, dogma dan melakukan pembodohan yang berakibat, yang kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap miskin.

Comte telah meyakini bahwa ilmu pengetahuan yang ditebarkannya mencoba menyeimbangkan unsur kebudayaan teologis, dimana konsensus sosial dan disiplin merupakan landasannya atas aktivitas sehari-hari manusia. Kesatuan organis terkecil di masyarakat sangat mempengaruhi Comte sebagai institusi yang dapat membentuk sosial orde pada masyarakat luas. Comte mulai merilis suatu pola dan bentuk penyebaran dari satu sosial orde yang sangat mempengaruhi umat manusia, Comte menciptakan agama baru yang sesuai dengan idealismenya.

Idealisasi Comte berbentuk agama yang dapat dikatakan sekuler dan lengkap bersama ritus, hari rayanya, pemuka agama serta lambangnya. Agama gaya baru ini dinamakan agama humanitas yang dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia. Menurut Comte, dengan mencintai kemanusian, dapat menyebabkan lahirnya keseimbangan dan keintegrasian yang baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Kemanusian yang seharusnya bersifat kudus dan sakral, bukan Allah karena banyak penjelasan dalam agama konvensional yang bersifat abstrak dan spekulatif, hanya memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat propaganda kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu.

Comte bersama ahli-ahli bidang lainnya yang sepakat dengan pemikirannya menjadi perangkat institusi keagamaan yang dibuatnya dan mulai mensosialisasikan kepada kalangan elit-elit politik. Comte dengan konsistensinya mensosialisasikan agama humanitas-nya dan hukum tiga tahap yang memaparkan perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir hayatnya. Comte meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857.