Secara etimologi kata fasik berasal dari bahasa Arab yaitu fasaqa, kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia ialah kata sifat yang berarti tidak mengindahkan perintah Tuhan (berkelakuan buruk, jahat, dan berdosa besar); orang yang percaya kepada Allah swt., tetapi tidak mengamalkan perintahnya, bahkan melakukan perbuatan dosa.
Kata tersebut mengalami perubahan setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia, karena perbuatan fasik dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab adalah isim fa’il yang artinya orang yang berbuat fasik. Akan tetapi dalam bahasa Indonesia, untuk menunjuk pelakunya disebut ‘orang fasik’.
Kata fasik pada dasarnya berasal dari akar kata fasaqa-yafsuqu-fisqan fusuqan yang mempunyai arti keluar dari jalan yang hak, kesalehan, serta syariat.
Ibn Faris menyebutkan bahwa kata yang terdiri dari huruf fa, sin, qaf bermakna keluar dari ketaatan.
Kata ini apabila ditinjau dari segi perubahan bentuk atau harakatnya, maka akan menunjukkan beberapa arti, tetapi pada intinya sama yang menunjukkan pada sesuatu yang buruk. Misalnya fasuqa yang berarti mesum, cabul, sesat; fassaqa yang berarti mendustakan; tafsiq yang berarti tidak lurus atau tidak sesuai; dan fisq atau fusuq yang berarti maksiat.
Jadi, kata fasik diidentikan dengan sesuatu yang buruk dan mencakup segala sesuatu yang dianggap merusak.
Untuk lebih jelasnya, terdapat dua ungkapan yang sering digunakan dalam menggambarkan pengertian fasik secara bahasa.
-
Pertama, Ungkapan yang menunjukkan bahwa tikus disebut berbuat fasik apabila keluar dari sarangnya. Begitu pula tikus disebut al-fuwaisiqah yang berakar dari kata fisq karena tikus keluar dari sarangnya yang kemudian datang kepada manusia akan tetapi cenderung merusak dan merugikan, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Hammad Ibn Zaid, dari Kasir Ibn Syinzir, dari ‘Ata’, dari Abu Rabah, dari Jabir berkata: Rasulullah saw. bersabda tutuplah bejana-bejana, ikatlah tempat-tempat air minum, kuncilah pintu-pintu, dan matikanlah lampu-lampu. Karena sesungguhnya al-fuwaisiqah (tikus) mungkin lari menendang sumbuh dan membakar penghuni rumah (HR. al-Tirmizi)
-
Kedua, Ungkapan yang menunjukkan bahwa kurma disebut fasik apabila keluar dari kulitnya atau terkelupas. Secara umum, isi atau biji buah-buahan yang keluar atau terkelupas dari kulitnya akan menyebabkan biji buah-buahan tersebut menjadi jelek, minimal lebih rendah kualitasnya bila dibandingkan dengan buah-buahan yang masih utuh. Hal tersebut disebabkan oleh tidak terpeliharanya biji buah-buahan yang sudah terkelupas dari kulitnya itu dari kuman-kuman atau dari hal-hal yang dapat merusak.
Dua ungkapan yang telah dikemukakan di atas tentang term fasik, pada dasarnya dapat menunjukkan kepada pengertian ‘keluar’ dengan penekanan pada hal-hal jelek, berbahaya, dan mengandung pengertian yang tidak baik. Dengan demikian, apabila fasik sebagai sikap, ucapan, dan perbuatan tercela dilakukan akan menimbulkan kerugian bagi sekitarnya seperti tikus yang keluar dari sarangnya dan menimbulkan juga kerugian bagi pelakunya seperti buah yang terkelupas dari kulitnya.
Dari ungkapan-ungkapan ini juga dapat dipahami bahwa term-term fasik dalam ungkapan kebahasaan, tidaklah memberikan pengertian mengenai dosa. Akan tetapi yang jelas bahwa contoh-contoh yang telah dikemukan cukup memberikan gambaran bahwa adanya hal-hal yang jelek, merusak, dan berbahaya bagi kehidupan manusia dibalik ungkapan-ungkapan tersebut.
Term fasik yang ditunjukkan kepada manusia belum populer digunakan di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur’an (zaman jahiliyah). Hal ini dinyatakan oleh Ibn al-A‘rabi> bahwa kata fisq tidak pernah terdengar disifatkan kepada manusia dalam pembicaraan orang Arab sebelum turunnya al-Qur’an. Akan tetapi setelah Rasulullah saw. diutus menjadi nabi dan rasul, term fasik sebagai sikap, ucapan, dan perilaku tercela menjadi populer di kalangan umat Islam, karena terdapat di dalam al-Qur’an.
Terminologi
Fasik dalam terminologi Islam mencakup pengertian keluar dari ketentuan-ketentuan syariat, keluar dari ketaatan kepada Allah, keluar dari jalan yang benar, keluar atau meninggalkan perintah Allah, dan keluar dari hidayah Allah.
Pengertian ini menunjukkan bahwa fasik secara literal adalah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Oleh karena itu, orang fasik adalah sebutan bagi orang yang telah mengakui sekaligus menaati hukum-hukum agama kemudian melanggarnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Dalam kaitan ini juga orang-orang kafir terkadang disebut juga fasik. Sebab pada hakikatnya mereka telah meruntuhkan ketentuan-ketentuan syariat yang secara akal dan fitrah manusia, mereka telah mengakuinya.
Akibat pelanggaran pada ketentuan, di dalam syariat fasik termasuk dalam kategori dosa, baik dosa besar maupun kecil.
Term Fasik dalam al-Qur’an
Term fasik dalam al-Qur’an mempunyai enam bentuk di dalam pengungkapannya. Sebanyak 54 kali term fasik terulang yang secara umum dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu fi‘l madi, fi‘l mudari‘, isim masdar, dan isim fa‘il.
1. Fi‘l Madi
Term fasik dalam bentuk verba lampau dalam al-Qur’an ada empat. Yakni terdapat dalam QS. al-Kahfi/18: 50, QS. Yunus/10: 33; al-Isra’/17: 16; dan alSajadah/32: 20.
Ada tiga makna yang ditunjukkan term fasik dalam bentuk verba lampau.
-
Pertama, bentuk verba lampau dari satu segi menunjukkan bahwa objek yang ditunjuk ialah orang-orang yang telah berbuat fasik yang melakukan dosa besar, baik pelakunya umat terdahulu maupun yang hidup di zaman turunnya al-Qur’an, atau lainnya yang pernah terjadi di masa lalu. Misalnya dalam QS. al-Kahfi/18: 50:
Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam!‛ Maka mereka pun sujud kecuali iblis. Dia adalah dari (golongan) jin, maka dia mendurhakai perintah Tuhannya. Pantaskah kamu menjadikan dia dan keturanannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah musuhmu? Sangat buruklah (Iblis itu) sebagai pengganti (Allah) bagi orang yang zalim.
Ayat ini menunjukkan bahwa Iblis telah berbuat fasik. Hal ini karena Iblis tidak melaksanakan perintah Allah swt. yakni perintah untuk sujud kepada Adam. Perbuatan semacam ini merupakan sikap yang tercela dan tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang hamba.
-
Kedua, term fasik dalam bentuk verba lampau ditujukan kepada orang-orang kafir. Misalnya dalam QS. al-Sajadah/32: 20
Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat kediaman mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: “Rasakanlah azab neraka yang dahulu kamu mendustakannya.”
Fasik yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang kafir, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Tabari dan al-Razi. Akan tetapi mazhab Muktazilah menjadikan ayat ini sebagai penguat terhadap pendapat mereka bahwa fasik adalah posisi tengah di antara mukmin dan kafir.
Menurut al-Qadi’ ‘Abd al-Jabbar sebagaimana dikutip oleh H. Muhammad Galib M., bahwa ayat ini merinci perbedaan mukmin dan fasik.46
-
Ketiga, term fasik dalam bentuk verba lampau juga menunjukkan bahwa peristiwa yang diceritakan pasti akan terjadi. Misalnya dalam QS. Yunus/10: 33 dan QS. al-Isra’/17:16:
Demikianlah Telah tetap (hukuman) Tuhanmu terhadap orang-orang yang fasik, karena Sesungguhnya mereka tidak beriman.
Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi jika mereka melakukan kedurhakaan dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (hukum Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).
Kedua ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang telah berbuat fasik bahwa mereka kelak di akhirat pasti akan memperoleh siksa dari Allah swt.
2. Fi‘l Mudari‘
Term fasik dalam bentuk verba sedang dalam al-Qur’an ada enam. yaitu dalam QS. al-Baqarah/2: 59; QS. al-An‘am/6: 49; QS. al-A‘raf/7: 163 dan 165; dan QS. al-Ankabut/29: 34 serta dalam QS. al-Ahqaf/46: 20.
Secara umum, diketahui bahwa penggunaan verba sedang menunjukkan suatu peristiwa yang sedang berlangsung atau yang akan terjadi (masa depan). Namun, terkadang bentuk verba sedang menunjukkan suatu perbuatan yang terus-menerus dilakukan jika ada qarinah (tanda), misalnya gabungan antara verba lampau dengan verba sedang. Dalam hal ini term fasik yang diungkap al-Qur’an dengan verba sedang, menunjukkan bahwa pelakunya berbuat fasik secara terus-menerus, baik yang dilakukan oleh umat terdahulu sebelum Rasulullah saw., diutus maupun kefasikan yang dilakukan oleh orang kafir, serta dapat juga umat Islam. Seperti dalam QS. al-Baqarah/2: 59:
Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (perintah lain) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka kami turunkan malapetaka dari langit kepada orang-orang yang zalim itu karena mereka (selalu) berbuat fasik.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang berbuat zalim (verba lampau), yakni orang mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan padahal sebelumnya telah ada perintah yang seharusnya dikerjakan, dianggap berbuat fasik (verba sedang) dan akan diberikan siksa.
Dalam hal ini dapat juga dilihat pada QS. al-An‘am/6: 49:
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami akan ditimpa azab karena mereka selalu berbuat fasik.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang mendustakan (verba lampau) ayat-ayat Allah swt., baik ayat kauniyah (alam) maupun qauliyah (kitab suci) dianggap berbuat kefasikan. Atas perbuatan ini, mereka akan mendapatkan azab dari Allah swt.
Dalam gaya bahasa al-Qur’an, perbuatan yang telah berlalu kemudian diungkap kembali dengan verba sedang menunjukkan pada dua kemungkinan, yaitu menggambarkan keindahan atau kejelekan peristiwa yang diceritakan. Mengingat bahwa fasik merupakan perbuatan melanggar ketentuan atau hukum Allah swt., maka term fasik yang diungkap menunjukkan kejelekan dan ketercelaan. Seperti perbuatan umat-umat terdahulu yang diungkap kembali al-Qur’an dalam bentuk verba sedang. Misalnya dalam QS. al-Ankabut/29: 34:
Sesungguhnya Kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota Ini karena mereka berbuat fasik.
Ayat ini berkenaan dengan perilaku umat Nabi Lut yang dahulu melakukan homoseksual di kota Sodom. Perbuatan mereka dalam ayat ini diungkap sebagai salah satu kefasikan dalam bentuk verba sedang. Oleh karena itu, ini menunjukkan bahwa mereka melakukan perbuatan tersebut secara terus-menerus dan hal ini termasuk perbuatan yang jelek.
Contoh lain dalam QS. al-A‘raf/7:163:
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabat, (yaitu) ketika datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, padahal di hari-hari yang bukan Sabat ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.
Ayat ini memaparkan perilaku yang dahulu dilakukan oleh Bani Israil, yaitu melanggar aturan pada hari Sabtu. Pada masa itu, hari Sabtu merupakan hari yang di khususkan beribahah kepada Allah swt. sehingga tidak boleh ada yang bekerja. Ketika Allah swt. menguji Bani Israil dengan munculnya banyak ikan pada hari itu, sementara di hari lain ikan tidak muncul, mereka melanggar aturan pada hari itu.
Atas perbuatan mereka, al-Qur’an mengungkapkannya sebagai salah satu kefasikan dalam bentuk verba sedang. Oleh karena itu, ini menunjukkan kejelekan perbuatan mereka.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengungkapan term fasik dalam bentuk verba sedang yang didahului verba lampau, menunjukkan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus serta betapa jelek perbuatan tersebut.
3. Isim Masdar
Term fasik yang diungkapkan dengan verba infinitif atau masdar dalam alQur’an ada tujuh yakni pada QS. al-An‘am/6: 121 dan 145; serta QS. al-Maidah/5: QS. al-Hujurat/49: 7 dan 11; serta QS. al-Baqarah/2: 197 dan 282.
Secara umum diketahui bahwa verba infinitif atau masdar merupakan kejadian atau peristiwa yang tidak dikaitkan dengan waktu tertentu. Dengan kata lain, masdar adalah perubahan kata kerja menjadi kata benda (abstrak) setelah dibebaskan dari unsur waktu.
Term fasik dengan bentuk sebanyak tiga kali, semuanya berkaitan dengan keharaman beberapa jenis makanan. Seperti ayat-ayat berikut:
QS. al-Maidah/5: 3:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS. al-An‘am/6: 121 dan 145:
121
Dan janganlah kamu memakan (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.60
145
Katakanlah: “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi - Karena semua itu kotor - atau hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa, bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh Tuhanmu Maha Pengampun, Maha penyayang”.
Menurut Ahmad Syauqi al-Fanjari bahwa diharamkannya beberapa jenis makanan di dalam ayat-ayat tersebut karena dapat berbahaya bagi manusia, baik fisik maupun mentalnya. Bangkai, darah, binatang mati karena tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, atau diterkam binatang buas, dapat menimbulkan keracunan makanan. Sementara itu binatang yang disembelih bukan dengan nama Allah swt. diharamkan karena dapat mencampur-adukkan akidah tauhid dengan syirik.
Sementara term fasik dalam bentuk secara umum menunjukkan pada perbuatan maksiat, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Seperti dalam QS. alBaqarah/2: 197:
(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan mengerjakan (ibadah) haji dalam(bulan-bulan) itu janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang mempunyai akal sehat!
Kefasikan dalam ayat ini terjadi dalam bentuk ucapan yang menurut komentar para mufassir ialah dusta, mencaci maki, saling memanggil dengan gelar yang buruk, keluar dari batasan-batasan syariat, keluar dari ketaatan, melakukan hal-hal yang terlarang, dan lain sebagainya. Hal ini terkait pada pelaksanaan ibadah haji, dimana calon jemaah haji dituntut untuk menghindari interaksi yang dapat menimbulkan disharmoni, kesalahpahaman, dan keretakan hubungan di antara jemaah.
Demikian pula Allah swt., berfirman dalam QS. al-Hujurat/49: 11:
Wahai orang-orang yang beriman! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi (mereka yang diperolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Ayat ini menunjukkan laranga mencela diri sendiri. Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh, Seperti memanggil dengan panggilan yang buruk yang tidak disukai. Dalam hal ini Rasululullah saw. bersabda:
Telah menceritakan kepada kami Muh}ammad Ibn 'Ar’arah berkata, Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Zubaid berkata: Aku bertanya kepada Abu Wa’il tentang Murji`ah, maka dia menjawab: Telah menceritakan kepadaku Abdullah bahwa Nabi saw. bersabda: mencerca orang muslim adalah fasik dan memeranginya adalah kufur".
Dalam surah al-Hujurat/49 : 7, Allah swt. berfirman:
Dan Ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah di dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.
Ayat ini memaparkan bahwa orang yang taat kepada Rasul, hatinya dijadikan cinta kepada keimanan dan dijadikan benci kepada kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. Fasik dalam ayat ini lebih menekankan pelanggaran dalam bentuk ucapan. Oleh sebab itu, mereka yang tidak dapat mengendalikan ucapannya akan melukai perasaan orang lain dan mengurangi kualitas keimanannya.
Sebagian mufassir mengartikan fasik dalam ayat ini dengan dusta berdasarkan konteks ayat. Sementara terkait perbuatan terdapat dalam QS. al-Baqarah/2: 282:
…maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini menjelaskan bahwa jangan mempersulit para penulis dan saksi
dalam konteks bermuamalah, karena hal yang demikian termasuk dalam kefasikan.
Dengan demikian, term fasik dalam bentuk infinitif atau masdar
menunjukkan pada kategori dosa kecil yang banyak mengarah pada orang mukmin.
Jika dikembalikan pada kaidah umum bentuk verba infinitif atau masdar, maka
kefasikan pada orang mukmin dapat terjadi tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu
(dapat terjadi kapanpun).
4. Isim Fa‘il
Term fasik yang diungkap dengan menunjukkan pelaku atau isim fa‘il di dalam al-Qur’an sebanyak 37 kali. Bentuk ini terbagi atas dua macam, yakni sebagai berikut:
- Tunggal (mufrad) disebutkan dua kali, yaitu dalam QS. al-Hujurat/49: 6 dan QS. al-Sajadah/32: 18.
- Plural (Jama‘) disebutkan sebanyak 35 kali, yaitu dalam QS. al-Baqarah/2: 99 dan 26; QS. Ali ‘Imran/3: 82 dan 110; al-Maidah/5: 26, 25, 47, 49, 59, 81, dan 108; QS. al-Taubah/9: 8, 24, 53, 67, 80, 84, dan 96; QS. al-Nur/24: 4 dan 55; QS. al-Ahqa>f/46: 35; al-Hadi>d/57: 16, 26, dan 27; QS. al-H{asyr/59: 19 dan 5; QS. al-A‘raf/7: 102 dan 145; al-Anbiya’/21: 74; QS. al-Naml/27: 12; QS. alQasas}/28: 32; QS. al-Zukhruf/43: 54; QS. al-Zariya>t/51: 46; QS. al-Saf/61: 5; QS. al-Munafiqun/63: 6.
Kata yang berbentuk isim fa‘il pada dasarnya menunjukkan tiga hal secara bersamaan, yakni adanya peristiwa, terjadinya peristiwa, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Dengan demikian, suatu peristiwa yang diungkapkan dengan isim fa‘il mengandung ungkapan yang lebih komplit dibanding jika diungkap dalam bentuk lain. Dalam salah satu kaidah tafsir yang menyatakan bahwa kata benda dalam bentuk isim fa‘il bersifat tetap dan permanen. Namun, kaidah ini belum begitu valid untuk diterapkan pada semua bentuk isim fa‘il dalam al-Qur’an, tapi secara umum kaidah ini dapat diterima.
Jadi, term fasik yang diungkap dengan isim fa‘il mengandung makna bahwa kefasikan itu telah menjadi bagian dari diri seorang. Sebagai contoh dapat dilihat dalam QS. al-Naml/27: 12:
Dan masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia akan ke luar putih (bersinar) tanpa cacat. (Kedua mukjizat ini) termasuk sembilan macam mukjizat (yang akan dikemukakan) kepada Fir’aun dan kaumnya. Mereka benar-benar orang-orang yang fasik".
Ayat ini menunjukkan bahwa perilaku Fir’aun dan kaumnya telah berbuat kefasikan yang menyatu dengan diri mereka. Contoh lain terdapat dalam QS. al-Anbiya’/21: 74:
Dan kepada Luth, kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang melakukan perbuatan keji. Sungguh, mereka orang-orang yang jahat lagi fasik.
Ayat ini menunjukkan bahwa perilaku homoseksual yang termasuk kefasikan telah menjadi suatu yang menyatu dalam diri umat Nabi Luth.
Untuk mendapatkan pemahaman makna secara komprehensif terkait term fasik dalam al-Qur’an, selain yang diungkap dalam berbagai bentuk jadiannya (isytiqaq), dapat pula dirujuk pada sejarah turunnya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah periode makkiyah dan madaniyah.
-
Term fasik yang termasuk dalam kategori makkiyah ada 20 ayat dengan pembicaraan yang cukup beragam. Kefasikan dalam ayat-ayat makkiyah, belum ada yang merujuk secara eksplisit bahwa pelakunya orang-orang beriman. Akan tetapi lebih banyak berbicara tentang pembangkangan umat-umat terdahulu terhadap ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul terdahulu. Dengan kata lain bahwa term fasik dalam kategori makkiyah, lebih banyak merujuk pada konteks kekafiran.
Adapun pemberian predikat fasik kepada orang-orang kafir, menunjuk pada sisi lain dari kekafiran mereka. Namun, terdapat juga term fasik dalam kategori makkiyah menyangkut makanan yang diharamkan, yakni binatang halal yang disembelih tanpa menyebut nama Allah swt., seperti dalam QS. al-An‘am/6: 121.
-
Term fasik yang termasuk dalam kategori madaniyyah, mengalami perkembangan. Pada ayat-ayat madaniyyah disamping merujuk pada orang kafir, orang Islam juga termasuk, baik dosa besar seperti menuduh wanita muhs}an berbuat zina, maupun dosa-dosa kecil seperti saling bertengkar dalam pelaksanaan ibadah haji. Namun, term fasik dalam kategori ini lebih banyak merujuk kepada dosa-dosa besar yang dampaknya dapat merusak ketentraman masyarakat.