Apakah yang dimaksud dengan diksi?

Diksi

Dalam pembuatan suatu karya sastra, kita seringkali mendengar istilah penggunaan diksi yang baik. Apakah pengertian dari diksi?

Diksi adalah sebuah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).

Diksi dalam pembuatan karya sastra memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :

  • Membuat orang yang membaca atau pun mendengar karya sastra menjadi lebih faham mengenai apa yang ingin disampaikan oleh pengarang.
  • Membuat komunikasi menjadi lebih efektif.
  • Melambangkan ekspresi yang ada dalam gagasan secara verbal (tertulis atau pun terucap).
  • Membentuk ekspresi atau pun gagasan yang tepat sehingga dapat menyenangkan pendengar atau pun pembacanya.

Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek makna tertentu. Dalam konteks ini pengertian denotasi dan konotasi tidak boleh diabaikan. Denotasi ialah arti lugas, yang sesuai dengan kamus, sedangkan konotasi adalah arti kias, yang diasosiasikan atau disarankannya.

Kata merupakan unsur bahasa yang paling esensial dalam karya sastra. Karena itu, dalam pemilihannya para sastrawan berusaha agar kata-kata yang digunakannya mengandung kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis lainnya. Kata yang dikombinasikan dengan kata-kata lain dalam berbagai variasi mampu menggambarkan bermacam-macam ide, angan, dan perasaan.

Diksi berasal dari bahasa latin dicere, dictum yang berarti to say. Diksi berarti pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau penulisan (Scott, 1980), atau pilihan leksikal dalam penulisan (Sudjiman, 1995). Diksi atau pilihan kata adalah kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide yang meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan. Gaya bahasa bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik tertentu, yang memiliki nilai artistik yang tinggi (Keraf, 1991).

Dengan demikian, diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata mana yang perlu dipakai untuk mengungkapkan suatu gagasan, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan, dan sebagainya. Konteks kata hendaknya dilihat bagi kepentingan aris dan wacana sastra secara keseluruhan, bukan dalam arti sempit yang hanya terbatas pada kalimat tempat kata tersebut berada. Jadi, deskripsi yang akan dilakukan tetap merujuk kepada konteks fiksi yang dikaji.

Diksi merupakan pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang-mengarang (Kridalaksana, 1982). Dapat pula dikatakan bahwa diksi adalah penentuan kata-kata seorang pengarang untuk mengungkapkan gagasannya. Diksi yang baik adalah diksi yang sesuai dengan tuntutan cerita, keadaan atau peristiwa, dan pembacanya (Yusuf, 1995). Dengan demikian diksi dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasannya guna mencapai efek tertentu dalam karya sastranya. Orang yang luas kosakatanya, demikian Keraf (1991), akan memiliki pula kemampuan yang tinggi untuk memilih diksi.

Edi Subroto (1996) menyebut kata sebagai tanda bahasa (Inggris: sign, Prancis: signe). Lambang atau tanda dalam konteks ini dipersamakan dengan simbol, meskipun tidak semua lambang adalah simbol. Selain itu lambang atau tanda mengacu pada gejala yang lebih luas daripada simbol. Untuk hal khusus ini biasanya simbol hanya mengacu pada simbol verbal. Todorov menganggap simbol sebagai gejala khusus dari lambang karena keberadaan simbol terkait dengan lambang dan interpretasi, penggunaan, dan penikmatan, keikutsertaan dan pemasukan ciri seni dan mitologi, serta gejala lain yang termasuk pengkreasian lambang (Todorov, 1987).

Kata berfungsi untuk menunjuk atau menyebut (to refer, to denote) sesuatu (benda, perbuatan/ peristiwa, hal sifat, atau keadaan, jumlah) yang bersifat luar bahasa, terutama untuk kata- kata di luar bahasa (extra-linguistics world atau non-linguistic world) (Subroto, 1996).

Kata merupakan kesatuan tak terpisahkan antara aspek bentuk (signifier, significant) dengan aspek arti (signified, signifie) yang pada dasarnya kaitan antara keduanya bersifat manasuka (arbitrer), kecuali pada sebagian kosakata yang termasuk tiruan bunyi (anomatope) dan kata-kata yang bernilai emotif-ekspresif. Kata-kata yang dipilih pengarang merupakan kata-kata yang dianggap paling tepat dalam konteks karya sastra tersebut (Coleridge dalam Burton, 1984. Jelasnya, pengubahan kata-kata dalam baris-baris sebuah karya sastra dengan kata-kata yang lain dapat mengubah kesan total yang dibentuk oleh karya sastra tersebut.

Ditinjau dari keberadaannya sebagai lambang, hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan bukan berada dalam hubungan antara bentuk dengan sesuatu yang dinamai atau digambarkan melainkan antara aspek bentuk (significant) dengan aspek arti (signifie). Pemahaman siginifie dalam kesadaran batin penafsir akan membuahkan gambaran signifikantum sebagaimana tertandai lewat signifikannya. Dengan demikian hubungan antara lambang kebahasaaan dengan sesuatu yang dilambangkannya ada dalam hubungan ganda. Oleh karena itulah kata sebagai lambang kebahasaan memungkinkan untuk diubah relasinya menjadi makna lain.

Kata mempunyai fungsi sebagai simbol yang mewakili sesuatu. Meminjam istilah Ricoeur (1985), setiap kata adalah simbol. Kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Berdasarkan pandangannya ini dia menyatakan bahwa tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol- simbol tersebut. Karena itu, menurut Sumaryono (2003) kata memiliki konotasi yang berbeda bergantung pada beberapa faktor. Tegasnya, makna kata bergantung pada penuturnya.

Pada dasarnya sastrawan ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Sastrawan memilih kata-kata yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya setepat-tepatnya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka sastrawan memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya (Altenbernd & Lewis. 1970).

Pemilihan kata berkaitan erat dengan hakikat karya sastra yang penuh dengan intensitas. Sastrawan dituntut cermat dalam memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisinya dalam kalimat dan wacana, kedudukan kata tersebut di tengah kata lain, dan kedudukan kata dalam keseluruhan karya sastra. Dalam proses pemilihan kata-kata inilah sering terjadi pergumulan sastrawan dengan karyanya bagaimana dia memilih kata-kata yang benar- benar mengandung arti yang sesuai dengan yang diinginkannya, baik dalam arti konotatif maupun denotatif.

Kata merupakan unsur bahasa yang sangat penting dan paling esensial dalam karya sastra. Dalam pemilihannya para sastrawan berusaha agar kata-kata yang digunakannya mengandung kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis lainnya. Dalam tatanan bahasa, kata adalah satuan bahasa yang paling kecil yang merupakan lambang atau tanda bahasa yang bersifat mandiri secara bentuk dan makna.

Kata yang membentuk kelompok kata mampu menimbulkan makna baru yang berbeda dari sekedar perpaduan makna unsur- unsurnya. Kata yang dikombinasikan dengan kata-kata lain dalam berbagai variasi mampu menggambarkan bermacam-macam ide, angan, dan perasaan. Dalam kedudukannya sebagai medium ekspresi perasaan, angan dan ide ini, kesatuan antara lambang dengan yang dilambangkan sudah sangat padu.

Dalam karya sastra terdapat banyak diksi antara lain kata konotatif, atau konkret, kata seru, kata sapaan khas dan nama diri, kata dengan objek realitas alam, dan kata vulgar. Kata konotatif juga dominan dalam karya sastra. Menurut Leech (2003), arti konotatif merupakan nilai komunikatif dari suatu ungkapan menurut apa yang diacu, melebihi di atas isinya yang murni konseptual. Kata konotatif adalah kata yang memiliki makna tambahan yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan pada perasaan atau pikiran yang timbul pada pengarang atau pembaca (Yusuf, 1995; Kridalaksana, 1982). Jadi, kata konotatif adalah kata yang mengandung makna komunikatif yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan atas perasaan dan/ atau pikiran pengarang atau persepsi pengarang tentang sesuatu yang dibahasakan.

Kata konkret (concrete) ialah kata yang dapat dilukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu akan apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang (Scott, 1980). Kata konkret merujuk pada benda-venda fisikal yang tampak di alam kehidupan (Yusuf, 1995). Menurut Kridalaksana (1982), kata konkret adalah kata yang mempunyai ciri-ciri fisik yang tampak (tentang nomina). Kata konkret mengandung makna yang merujuk kepada pengertian langsung atau memiliki makna harfiah, sesuai dengan konvensi tertentu.

Jika pengarang mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh pengarang. Jika citraan pembaca merupakan akibat dari pencitraan kata-kata yang diciptakan pengarang, maka kata- kata konkret ini merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian tersebut (lihat Waluyo, 1991). Dengan kata-kata yang dikonkretkan, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh pengarang.

Adapun kata vulgar ialah kata-kata yang carut dan kasar atau kampungan (Yusuf, 1995). Dengan demikian kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun yang berlaku dalam masyarakat berpendidikan. Tegasnya, kata vulgar dalam masyarakat berpendidikan atau di kalangan intelek dipandang tabu untuk diucapkan atau digunakan dalam berkomunikasi.

Antara diksi dan pencitraan kata terdapat hubungan yang erat. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian agar apa yang ingin diungkapkan menjadi lebih konkret dan dapat dihayati melalui penglihatan, pendengaran, atau citra rasa. Untuk membangkitkan citraan pembaca, maka kata-kata dalam karya sastra harus diperjelas dengan kata-kata konkret (lihat Waluyo, 1991).

Diksi dalam karya sastra puisi meliputi kata konotatf dan denotatif, arkaik (pemakaian kata yang telah hilang), kata vulgar, kata bahasa daerah dan asing.