Apakah yang dimaksud Constructivism?


Apa yang dimaksud dengan constructivism atau konstruktivisme?

Konstruktivisme adalah suatu pendekatan terhadap belajar yang berkeyakinan bahwa orang secara aktif membangun atau membuat pengetahuannya sendiri dan realitas ditentukan oleh pengalaman orang itu sendiri pula (Abimanyu, 2008).

Pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan pengalaman belajar yang bermakna (Muslich, 2007). Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitas orang lain. Manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi dan hal yang diperlukan guna mengembangkan dirinya (Thobroni, 2015). Konstruktivisme (construktism) merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual, pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba (Sagala, 2007: 88).

Tujuan Konstruktivisme


Tujuan dilaksanakannya pembelajaran konstruktivisme yaitu:

  • memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi langsung kepada benda-benda konkrit ataupun model artifisial,
  • memperhatikan konsepsi awal siswa guna menanamkan konsep yang benar, dan
  • sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan mungkin salah (Karfi dkk, 2002).

Tujuan konstruktivisme yaitu:

  • Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyanya
  • Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap
  • Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri (Thobroni, 2015:95).

Langkah-Langkah Konstruktivisme


Tahapan-tahapan dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:

  • Tahap pertama, peserta didik didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan pertanyaan problematik tentang fenomena yang sering dijumpai sehari-hari oleh peserta didik dan mengaitkannya dengan konsep yang akan dibahas. Selanjutnya, peserta didik diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengilustrasikan pemhamannya tentang konsep tersebut.

  • Tahap kedua, peserta didik diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterprestasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan dalam hidup ini akan terpenuhi rasa keingintahuan peserta didik tentang fenomena dalam lingkungannya.

  • Tahap ketiga, peserta didik melakukan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasi peserta didik, ditambah dengan penguatan guru. Selanjutnya peserta didik membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari.

  • Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan maupun pemunculan masalahmasalah yang berkatian dengan isu-isu dalam lingkungan peserta didik tersebut (Yager dalam Lapono, dkk, 2008)

Pembelajaran model konstruktivisme menurut Karli dan Margaretha (2002) adalah proses pembelajaran yang diawali konflik kognitif, yang pada akhirnya pengetahuan akan dibangun sendiri oleh siswa melalui pengalaman dan hasil interaksi dengan lingkungannya.

Model pembelajaran konstruktivisme menekankan pada pengembangan kemampuan, keterampilan (hand-on), dan pemikiran siswa (mind-on) Horleys, et al. (Isjoni, 2007)

Tobin dan Timmons (Isjoni, 2007) menegaskan bahwa pembelajaran yang berlandaskan pandangan konstruktivisme harus memperhatikan empat hal, yaitu:

  1. Berkaitan dengan pengetahuan awal siswa (prior knowledge)

  2. Belajar melalui pengalaman (experiences)

  3. Melibatkan interaksi sosial (social iriteraction)

  4. Kepahaman (sense making)

Menurut Samsul Hadi (2010) Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Adapun implikasi dari pembelajaran model konstruktivisme meliputi empat tahapan, yaitu apersepsi, eksplorasi, diskusi dan penjelasan konsep serta pengembangan konsep dan aplikasi. Berikut penjelasan tahap-tahap model konstruktivisme.

  1. Apersepsi, pada tahap ini siswa didorong untuk mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang dibahas. Bila perlu guru memancing dan memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep.

  2. Eksplorasi, pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru kemudian secara berkelompok didiskusikan dengan kelompok lain.

  3. Diskusi dan penjelasan konsep. Pada tahap ini saat siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penjelasan guru, sehingga siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya.

  4. Pengembangan dan aplikasi. Pada tahap ini guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran. Yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-masalah yang berkaiatan dengan isu-isu di lingkungan (Karli H. dan Margaretha, 2004).

Berdasarkan pandangan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa model konstruktivisme dalam suatu belajar-mengajar di mana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah dimilikinya. Pendidik lebih berperan sebagai fasilitator dan menyediakan pembelajaran. Penekanan tentang belajar mengajar lebih berfokus pada suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman siswa.

Menurut Morrison Plan (Nasution, 2000) eksplorasi bisa dilakukan dengan tes atau diskusi menyelidiki pengetahuan yang telah dimiliki anak tentang suatu masalah.

Konstruktivisme merupakan teori dari Piaget, konstruktivisme juga bagian dari teori kognitif. Teori kognitif dalam belajar memiliki perbedaan dengan cara pandang teori konstruktivisme. Dimana menurut cara pandang teori bahwa belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada didalam masyarakat.

Konsekuensinya pembelajaran harus mampu memberikan pengalaman nyata bagi siswa. Sehingga model pembelajarannya dilakukan secara natural. Penekanan teori ini bukan pada membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan teori yang dibangun dari realitas lapangan. Proses pembelajaran tidak hanya menyampaikan materi yang bersifat normative (tekstual) tetapi harus juga menyampaiakan materi yang bersifat konstekstual.

Mengajar menurut konstruktivistik bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah dipelajari atau diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian, menurut teori ini apa-apa yang diajarkan oleh guru tidak harus dipahami oleh siswa. Pemahaman siswa boleh berbeda dengan guru, Sehingga dapat dikatakan bahwa yang berhak menentukan pengetahuan yang ada pada diri seseorang adalah individu itu sendiri, bukan orang lain.

Adapun hakikat dari pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Konstruktivisme yakni pembentukan pengetahuan yang memandang subyek aktif, menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan, serta menggali apa yang ada dalam dirinya sehingga berdampak kepada proses pembelajarannya. Oleh karenanya, peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat- tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit, dikemabangkan berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, dan memiliki konstibusi terhadap kompetensi yang sedang dipelajari, tentunya dengan bantuan guru sebagai fasilitator.

Konstruktivistik melandasi timbulnya strategi kognitif, yang biasa disebut meta cognition . Meta cognition merupakan keterampilan yang dimiliki oleh siswa-siswa dalam mengatur dan mengontrol proses berfikirnya, tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkronstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak, sebagai seorang guru perlu mengetahui, bahwa peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda, psikologis yang berbeda, sesuai dengan lingkungan belajarnya, sehingga perlu bagi seorang guru melihat hal itu.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, ada beberapa karakteristik;

  • Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,

  • Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,

  • Pengetahuan bukan sesuatu yang dating dari luar melainkan dikonstruksi secara personal. Karakteristik tersebut menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.

Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain.

Ciri-ciri Pendekatan Konstruktivisme

Adapun ciri-ciri dan juga prinsip dalam pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut:

  • Mengembangkan strategi alternative untuk memperoleh dan menganalisis informasi. Siswa perlu dibiasakan untuk dapat mengakses informasi dari berbagai sumber, seperti buku, majalah, koran, pengamatan, wawancara, dan dengan menggunakan internet. Sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir siswa, mereka perlu belajar menganalisis informasi, sejauh mana kebenarannya, asumsi yang melandasi informasi tersebut, bagaimana mengklasifikasikan informasi tersebut, dan menyederhanakan informasi yang banyak. Dengan kata lain, siswa dilatih bagaimana memproses informasi.

  • Dimungkinkannya perspektif jamak dalam proses belajar. Dalam proses belajar akan muncul pendapat, pandangan, dan pengalaman yang beragam. Dalam menjelaskan suatu fenomena, di antara siswa pun akan terjadi perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh pengalaman, budaya dan struktur berpikir yang dimiliki.

  • Peran utama siswa dalam proses belajar, baik dalam mengatur atau mengendalikan proses berpikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam usaha untuk menyusun pemahaman, siswa harus aktif dalam kegiatan belajar bersama. Siswa perlu terlatih untuk mendengarkan dan mencerna dengan
    baik pendapat siswa lain dan guru. Sesuai dengan tahap perkembangan emosi dan berpikirnya, dia perlu dapat menganalisis pendapat tersebut dikaitkan dengan pengetahuan yang dimilikinya.

  • Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilitator, dan mentor untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa. Dalam hal ini terjadi perubahan paradigma dari pembelajaran berorientasi guru‟ menjadi pembelajaran berorientasi siswa‟. Siswa diharapkan mampu secara sadar dan aktif mengelola belajarnya sendiri.

  • Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik. Kegiatan belajar yang otentik adalah seberapa dekat kegiatan yang dilakukan dengan kehidupan dan permasalahan nyata yang terjadi dalam masyarakat yang dihadapi siswa ketika berusaha menerapkan pengetahuan tertentu.

Tujuan Konstruktivisme

Sedangkan untuk tujuan teori konstruktivistik adalah

  • Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya,

  • Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap,

  • Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri, lebih menekankan kepada proses belajar bagaimana belajar itu.

  • Menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kepekaan (ketajaman baik dalam arti kemampuan berfikirnya),

  • Kemandirian (kemampuan menilai proses dan hasil berfikir sendiri),

  • Tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan,

  • Mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri yaitu suatu proses ”Learn To Be”

  • Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya.5

Maka sebagai seorang guru artikan mengajar sebagai pelayanan, karena dengan demikian siswa akan diberikan pelajaran dan bimbingan karena memang seorang guru sedang berusaha memberikan pelayanan kepada mereka dengan sebaik-baiknya.