Apakah Wanita Dapat Menjadi Hakim?

Dalam pandangan Islam, apakah wanita dapat menjadi hakim?

Pada dasarnya, semua manusia di mata Allah adalah sama. Yang membedakan mereka adalah ketakwaannya. Allah berfirman,

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Hanya saja, ulama berbeda pendapat soal boleh tidaknya perempuan menjadi seorang hakim. Bila kita menengok sejarah, sesungguhnya pada masa Nabi tercatat ada beberapa sahabat perempuan (bahkan, istri-istri Nabi) yang kerapkali menjadi rujukan hukum. Dalam konteks sekarang, peran mereka seperti seorang hakim saja. Sebut saja ada Siti Aisyah, Ummu Salamah, Shafiyah dan Ummu Habibah.

Namun, kondisi ini tak menyurutkan pandangan para ulama dahulu soal hakim perempuan. Mayoritas ulama dari Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali melarang perempuan menjadi seorang hakim. Sedangkan Madzhab Hanafi melarang, tapi sedikit memberikan keleluasaan. Selama dianggap memenuhi syarat tertentu, maka mereka diperbolehkan berposisi sebagai seorang hakim dalam perkara apapun kecuali dalam masalah had dan qishash.

Terlepas dari semuanya itu, ternyata ada beberapa ulama yang membolehkan perempuan menjadi hakim secara mutlak dalam kasus apapun. Mereka adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari yang dinukil dan diadopsi oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat Al Mujtahid. Menurut Ath-Thabari, bila perempuan diperbolehkan mengeluarkan fatwa, maka demikian pula dengan posisi hakim. Selain itu, tak satu pun ayat dalam Al Quran maupun hadits yang secara tegas melarang perempuan menjadi hakim.

Secara historis, kata Ibnu Jarir, pernah terjadi pengangkatan seorang perempuan sebagai hakim pada masa Umar bin Khathab, yaitu Al Syifa dari suku al Syuq. Selain Ath-Thabari, Ibnu Hazm juga memperbolehkan kaum hawa menjadi hakim.

Senada dengan hal di atas, Imam Al Ghazali (Hujjatul Islam) juga memperbolehkan perempuan menjadi hakim. Pendapat ini diikuti oleh ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf Al Qaradhawi. Hanya saja ada syaratnya, yaitu mencapai usia pantas untuk menduduki jabatan ini, tidak dalam keadaan hamil, tidak dalam masa siklus bulanannya, sehat jasmani, anak-anaknya sudah dewasa dan diangkat serta diminta oleh masyarakat. Selain itu, tentu saja ia harus seorang yang ahli dan memiliki akhlak yang baik.

Menurut Syekh Yusuf Al Qaradhawi.

“Pada masyarakat yang berperadaban kita bisa berfatwa diperbolehkannya wanita menjadi hakim, sebab masyarakat memang membutuhkannya. Bahkan kebutuhan inilah yang mewajibkannya. Apalagi jika tidak ada laki-laki yang mampu mengambil peran ini. Dalam keadaan demikian, dan kepada masyarakat yang berperadaban, saya mengatakan tidak ada hukum yang melarang wanita menjadi hakim,”

Di timur tengah, negara-negara yang memperbolehkan perempuan menjadi hakim adalah Maroko (sebagai pelopor sejak 1959), Lebanon (sejak 1968), Tunisia (sejak 1968), Sudan (sejak 1970), Yaman (sejak 1974) dan Suriah (sejak 1975).

Di Indonesia sendiri, sudah ada puluhan perempuan yang menjadi hakim biasa hingga hakim agung. Tercatat, hakim agung perempuan pertama Indonesia bernama Sri Widoyati Wiratmo Soekito pada tahun 1968.

Demikian beberapa pendapat soal boleh tidaknya perempuan menjadi hakim. Kesimpulannya: perempuan boleh menjadi hakim asalkan memenuhi syarat. Sebab, kondisi masa kini menuntut perempuan untuk bisa menjadi penegak hukum sama seperti laki-laki.

Wallahu a’lam bil-shawab!