Apakah realita nyata?

kenyataan

Realitas manusia adalah konsep licin. Mungkin hal-hal dan orang-orang dalam kehidupan kita hanya ilusi. Para ilmuwan dan fisikawan tidak yakin kita akan pernah memahami sifat realitas. Semakin dalam kita menggali ke dalam fisika, semakin asing mekanika alam semesta . para ilmuwan terus menemukan partikel baru dan gaya fundamental, dari molekul atom, yang mendorong tubuh kita dan dunia kita. Sangat mungkin bahwa alam semesta bisa terdiri dari puluhan atau ribuan dimensi yang kita tidak akan pernah mengalami dengan cara langsung.

Di KBBI Daring, arti realitas mungkin memang dijelaskan dengan sangat sederhana, yakni “kenyataan”.

Oxford Dictionary juga memberikan sebuah definisi yang sangat mudah dimengerti, “The world or the state of things as they actually exist, as opposed to an idealistic or notional idea of them.“

Satu definisi yang mungkin paling populer digunakan adalah semua hal yang bisa kita amati dan uji dengan indra kita atau observable universe.

Namun, sayangnya, definisi itu juga bisa diperdebatkan jika Anda cukup kritis. Pasalnya, indra kita itu tidak selalu bisa diandalkan.

Jika Anda tidak percaya, coba ambil ponsel Anda dan rekam suara Anda sendiri. Kemudian, dengarkan hasil rekaman suara Anda sendiri.

Jika tidak ada yang salah dengan telinga Anda, suara yang Anda dengar di rekaman tersebut berbeda jauh dengan yang biasa Anda dengarkan langsung dengan telinga Anda sehari-hari ketika Anda berbicara.

Mata kita juga tidak selalu bisa diandalkan. Kenapa? Karena sebenarnya kita tidak benar-benar memproses semua yang kita lihat di otak kita.

Misalnya, kita semua sebenarnya selalu bisa melihat hidung kita masing-masing namun, hampir selalu, otak kita mengacuhkan informasi tersebut karena dianggap tidak ‘penting’ – jika terjadi sesuatu dengan hidung Anda, Anda pasti bisa merasakannya karena ada saraf-saraf di sana.

Satu pertanyaan paling populer yang pernah ditanyakan adalah, “jika ada satu pohon yang tumbang di hutan dan tidak ada orang di sekitarnya, apakah pohon itu akan ada bunyinya ketika jatuh?”

Maksud saya adalah seperti ini, apa yang kita lihat, dengar, hirup, kecap, dan rasakan, sebenarnya juga tidak sesederhana yang biasa kita bayangkan… Kita membutuhkan banyak sekali hal-hal lainnya, selain indra kita, untuk bisa menangkap informasi itu.

Kita butuh cahaya untuk melihat, kita butuh getaran untuk bisa menangkap bunyi, kita butuh partikel-partikel kecil untuk bisa membaui yang ada di sekitar kita.

Plus, indra kita juga sebenarnya terlalu sederhana untuk bisa mengamati semua hal yang terjadi di alam semesta kita.

Misalnya saja seperti ini, sebelum ada yang namanya teleskop, apakah bintang, planet, tata surya, dan hal-hal di luar bumi kita itu tidak nyata? Sebelum mikroskop dibuat, apakah bakteri, virus, sel, atom, molekul, ataupun hal-hal super kecil lainnya itu tidak nyata?

Saya kira orang-orang yang hidup sebelum alat-alat tadi ditemukan tidak menganggap hal-hal yang saya sebutkan itu tadi ‘nyata’.

Itu jika kita melihat ke belakang. Mungkinkah ada banyak hal-hal lain yang belum ditemukan hanya karena kita belum memiliki alat-alat untuk mengamati dan mempelajarinya?

Siapa tahu alien, hantu, ataupun hal-hal yang ada di cerita fiksi itu jadi ‘nyata’ ketika nanti di masa depan kita memiliki alat-alat yang bisa digunakan untuk mengamati hal-hal tadi.

Kenyataan ini akan semakin chaos jika kita berbicara soal fenomena sosial dan budaya. Saya kira orang-orang yang hidup ribuan tahun lalu tidak percaya bahwa uang, negara, pernikahan, keadilan sosial itu nyata karena memang tidak ada dan belum dikonsepkan – sehingga tidak bisa diamati dan dipelajari.

Contoh yang lebih riil di jaman modern sekarang ini adalah semua aktifitas yang Anda lakukan di dunia internet atau di balik layar monitor. Kita bahkan menggunakan istilah ‘dunia maya’. Apakah yang terjadi di internet sana tidak nyata?

Apakah semua aktifitas sosial yang kita lakukan di jejaring sosial, Facebook, Twitter, dkk, tidak ‘nyata’?

Saya percaya bahwa kenyataan dan realitas itu berubah dari waktu ke waktu dan sangat tergantung dari perspektif atau otak manusianya – karena otak adalah yang paling bertanggung jawab dalam memproses semua informasi yang kita punya, termasuk perspektif, dan kenyataan itu tadi.

Plus, Anda bisa bertanya pada mereka-mereka yang belajar neurologi jika tidak percaya, tidak ada 2 otak yang sama persis atau identik. Jika tidak ada otak yang sama persis, bukankah hal itu berarti tidak ada hasil olahan informasi yang sama juga antara satu manusia dengan manusia lainnya?

Walaupun demikian, saya juga tidak suka jika masalah perbedaan perspektif atau definisi kenyataan ini justru dijadikan pembenaran atas nama ego dan kemalasan untuk terus belajar.

“There are no facts, only interpretations.” ― Friedrich Nietzsche

Pendekatan-pendekatan yang berbeda atas kenyataan ini, bagi saya, seharusnya dijadikan motivasi untuk membentuk pertanyaan-pertanyaan baru ataupun memahami sudut pandang yang berbeda dari yang kita miliki sebelumnya.

Namun demikian, saya sangat menganjurkan Anda untuk tidak percaya sama saya soal hal ini… “Weks… situ aneh banget sih…” Kwakawkakwa

Yup! Tujuan saya hanyalah memancing pertanyaan-pertanyaan baru tentang ‘kenyataan’ yang bisa Anda cari tahu dan pikirkan sendiri dengan pendekatan yang Anda pilih…

Misalnya, jika Anda tertarik dengan fisika, cobalah cari tahu lebih jauh dari sudut pandang tersebut. Jika Anda suka dengan ekonomi, kenyataan seperti apakah yang bisa Anda temukan dari perspektif itu?

Atau malah, cobalah cari tahu kenyataan dari pendekatan berbeda dari yang selama ini Anda ketahui. Misalnya, jika Anda dari jurusan sastra, apakah yang dimaksud dengan kenyataan jika dilihat dari sudut pandang matematika? Atau, jika Anda dari biologi, pernahkah Anda berpikir untuk melihat kenyataan dari sudut pandang psikologi?

sumber: