Apakah Peranan Akal Dalam Agama Islam?

Apakah peranan akal dalam agama Islam? Apakah mungkin Islam dapat hadir dalam kehidupan manusia tanpa peran akal?

Dalam ajaran Islam akal memiliki tempat yang khusus. Akal menurut Islam, berada di samping wahyu yang termasuk salah satu dalil-dalil dan hujjah. Akal adalah hujjah internal manusia yang membawa mereka pada jalan menuju kesempurnaan dan syariat (agama) mereka, adalah hujjah eksternal yang untuk menyelamatkan manusia dari pusaran pencemaran dan mendorong mereka menuju kesempurnaan dan kebahagiaan. Atas dasar ini hujjah eskternal dan internal tidak mungkin saling bertentangan.

Akal merupakan kekuatan yang paling mulia dalam wujud manusia.

Allah Swt dalam Quran-Nya lebih dari 300 kali mengajak manusia untuk menggunakan, memanfaatkan sumber daya ini (akal) yang telah Allah berikan (untuk manusia). Tetapi bahkan satu ayat pun Allah Swt tidak pernah mengajak hamba-hamba-Nya pada ketidakpahaman atau menjalankan sesuatu secara ikut-ikutan. Tentu saja dengan memperhatikan jangkauan lingkupan pengetahuan manusia, kebanyakan dari persoalan-persoalan harus merujuk pada ketentuan wahyu dan agama. Mungkin karena alasan ini (karena mayoritas manusia) al-Quran dalam beberapa persoalan mengedepankan akal dalam merujuk pada syariat.

Allah Swt berfirman:

“Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)

Dengan memperhatikan perkataan Imam Ali AS dalam Nahj al-Balagha – tentang risalah Nabi- dapat diambil kesimpulan bahwa akal dan syariat bukan hanya saling tidak bertentangan akan tetapi bahkan mereka saling mendukung dan sejalan satu sama lain:

“Dan (para Nabi datang) untuk membukakan di hadapan mereka kebajikan-kebajikan dan kebijaksanaan yang tersembunyi.”

Imam Ali As dalam penjelasan di atas, tentang hikmah pengutusan para Nabi mengatakan Allah Swt mengirimkan para nabi kepada umat manusia untuk membangunkan akal-akal mereka yang terkubur.

Dengan demikian, ajaran-ajaran para nabi dan syariat tidak bertentangan dengan akal, apa yang mereka katakan itulah kekayaan akal yang dipengaruhi oleh was-was syaitan, yang diabaikan oleh manusia, para nabi datang untuk mengingatkan ummat manusia pada pikiran dan kekayaan akal mereka. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara metode para nabi dalam mengajak umat manusia pada kebajikan dan hakikat yang diperoleh manusia dari jalan argumen yang benar dan logis. Satu-satunya perbedaan adalah para nabi pengambil pertolongan dari wahyu dan meminum air dari sumber mata air wahyu; oleh itu, agama dan rasionalitas atau syariat dan hikmat yang mana tujuan penempatan dan metode mereka adalah sama, keduanya sama sekali tidak bertentangan. Agama memanggil hakikat manusia sehingga memperoleh keyakinan dari dalil akal pada alam adi kodrati. Akal (‘aql) dan naql memiliki tempat sama dalam garis vertikal. Sebagaimana Imam Kazhim As bersabda,

“Allah Swt menempatkan dua hujjah untuk manusia: hujjah secara lahir dan hujjah secara batin, hujjah secara lahir adalah para utusan Ilahi, para nabi dan maksum, dan hujjah secara batin adalah akal.”

Atas dasar ini tidak mungkin hujjah eksternal (zhâhir) dan internal (bâthin) bertentangan antara keduanya. Hujjah berarti dalil dan petunjuk, petunjuk adalah orang-orang yang mengatakan mengenal jalan, tujuan dan titik akhir tersebut.

Menurut riwayat Imam Kazhim As untuk sampai pada Tuhan Yang Esa terdapat dua petunjuk: petunjuk eksternal dan petunjuk internal. Tentu saja harus diperhatikan bahwa kedua hujjah ini merupakan dua jalan yang berdiri sendiri dan tidak bertautan satu sama lain. Manusia akan sampai pada tujuan ketika akhir keselarasan dan koordinasi antara dua petunjuk ini terjalin.

Karena itu, akal adalah salah satu dari Rasul Tuhan, dan agama tanpa akal tidak memiliki arti, dan tidak ada satupun dari ayat al-Quran bertentangan dengan keniscayaan dan kemestian akal, jika terdapat satu riwayat yang bertentangan dengan akal dan tidak ada pembenaran untuk hal tersebut maka riwayat tersebut ditolak.

Akal (aql ) merupakan jalinan budi dan hati. Dari budi akal mendapat pengetahuan, dari hati mendapat penghayatan. Antara budi dan hati, antara pengetahuan dan penghayatan terjalin interaksi yang dapat melahirkan ruh berupa: nafsu amarah , yang suka menyuruh kepada kejahatan. Nafsu lawwaamah , yang berjuang antara kebaikan dan kejahatan. Nafsu musauwilah , yang pandai meniup, sehingga kejahatan nampak sebagai kebaikan. Nafsu muthmainnah , yang tenang dan tentram. Oleh sebab itu, akal harus dididik, dibekali ilmu pengetahuan, sehingga mampu terhindar dari melakukan perbuatan tercela seperti menyontek, mencuri, mabuk-mabukan dan sebagainya.

Dengan demikian, orang yang terbina akalnya dan telah terkendali hawa nafsunya dengan pendidikan, maka ia akan menjadi orang yang bermental tangguh, tawakal, tidak mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian kehidupan. Indikasinya, orang tersebut akan memiliki jiwa yang tenang, tidak lekas berputus asa karena dengan akal dan pikirannya ia menemukan berbagai rahasia dan hikmah yang ada dibalik ujian dan kesulitan yang dihadapi. Baginya kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai beban yang membuat dirinya lari dari Allah SWT, melainkan harus dihadapi dengan tenang dan mengubahnya menjadi peluang rahmat dan kemenangan.

Selain membekalinya dengan ilmu pengetahuan yang benar, akal mestilah diterangi oleh agama. Inilah sebabnya mengapa Islam menghukumkan menuntut ilmu dan agama adalah keharusan (wajib) bagi setiap muslim. Ilmu mengatur dan menuntun manusia dalam urusan dunia. Agama mengatur dan menuntun kepada kebaikan kehidupan ukhrawi. Keduanya harus seimbang, senada dengan sebuah hadits yang mengatakan “tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki akal”. Manusia adalah makhluk yang berakal, akan tetapi tidak semuanya mampu mempergunakan akalnya dengan baik. Perimbangan antara ilmu dan agama, ibadah dan muamalah, agama dan kebudayaan, kepentingan dunia dan akhirat mengantarkan pada salam (keselamatan). Tingkah laku, amal perbuatan mengantarkan pada salam , itulah yang sebenarnya “hidup” bagi Islam. Dalam kehidupan dunia, salam dapat diusahakan oleh akal dengan berpedoman pada naql . Dan di akhirat, salam merupakan pembalasan amal sholeh ketika hidup di dunia yang digerakkan oleh akal dengan berpedoman pada agama atau naql

Tujuan Pendidikan Akal

Tujuan pendidikan pada dasarnya sama dengan tujuan manusia. Manusia menginginkan semua manusia, termasuk anak keturunannya menjadi manusia yang baik.14Sekarang ini, pendidikan menjadi alat mobilisasi sosial ekonomi individu atau Negara.Dominasi sikap yang seperti ini dalam dunia pendididkan telah melahirkan patologi psiko-sosial, terutama di kalangan peserta didik dan orangtua, yang terkenal dengan sebutan penyakit diploma ( diploma disease ), yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial.

Tercapainya tujuan pendidikan akal atau pengembangan intelektual tergantung pada kesadaran dan kesediaan para pencari ilmu, seharusnya dengan bukti dan fakta yang relevan yang dipelajari member pemahaman yang lebih baik. Senada dengan hasil konferensi Nasional pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah 8 April 1977: “Education should Aim at balanced growth of the total personality of man through the training of mans spirit, intellect, the rational self, feelings and bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively and motivate all these aspects towards goodness and the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large
“Pendidikan harus diarahakan mencapai pertumbuhan keseimbangan kepribadian manusia menyeluruh, melalui latihan jiwa, intelek, rasio, perasaan dan penghayatan. Karena itu pendidikan harus menyiapkan pertumbuhan manusia dalam segala seginya: spiritual, intelektual, imajinatif, jasmani, ilmiah, linguistik, baik individu maupun kolektif, dan semua itu didasari motivasi ibadah karena tujuan akhir pendidikan muslim itu terletak pada (aktivitas) merealisasikan pengabdian dan kemanusiaan”.

Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing- masing dengan keragamannya tersendiri.Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis.Pandangan kedua berorientasi pada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar. Berangkat dari dua pandangan di atas, pendidikan akal memiliki tujuan sebagai berikut :

  1. Membentuk manusia yang beriman (tauhid), amal shalih, taqwa dan ulul albab. Akal yang bertauhid yakni memiliki kecerdasan secara vertikal dan horizontal, sehingga dapat terhindar dari fundamentalisme , sekularisme , dan atheisme . Ulul albab sebagai sebuah nilai yang termanivestasikan dalam diri seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan luas, memiliki kemampuan dzikir dan pikir yang kuat.18

  2. Menjadikan manusia makhluk yang mulia dan bertanggung jawab ( responsible ). Melalui ilmu, nilai, dan norma yang ditanamkan sejak dini akan menumbuhkan kesadaran akan tanggungjawabnya terhadap kehidupan individu maupun masyarakat sosial.

  3. Membentuk akal yang terbiasa berfikir ilmiah, berdasarkan keimanan kepada Allah, tidak bertentangan dengan ajaran-Nya, dan sesuai dengan keadaan lingkungan masyarakat.

  4. Membentuk akal berpikiran objektif, jauh dari pengaruh hawa nafsu dan tendensi (subjektifitas), sehingga mendapatkan kebenaran ilmiah yang benar melalui tabayyun secara detail serta menghindari sifat ketergesa-gesaan dalam memutuskan sesuatu hukum atau ilmu.

  5. Kebebasan akal berpikir, sehingga akal mendapat kesempatan berpikir, mengeksplorasi dalil-dalil dan bukti-bukti secara luas untuk mencapai pada kebenaran yang haq dan kuat.

Pada dasarnya tujuan pendidikan akal adalah menumbuh kembangkan akal yang menjadi potensi manusia secara maksimal sesuai dengan kadar ilmunya, yang dengan pengetahuannya tersebut mengantarkan manusia menjadi kholifah fil ard , yang hakekatnya sebagai ibadah kepada Allah