Dalam khazanah pemikiran kiasik, seperti terungkap dalam pemikiran Woodrow Wilson (1887) yang tertuang dalam paper
The Study of Administration, politik dan birokrasi (sebagai institusi yang mewakili dunia administrasi) adalah dua hal yang berbeda, terpisah, dan dominatif. Bagi Woodrow Wilson, politik adalah urusan formulasi kebijakan yang menjadi hak para politisi yang dipilih melalui pemilihan umum. Sementara itu, administrasi adalah persoalan bagaimana mengimplementasikan kebijakan yang dibuat para politisi secara efektif dan efisien (Wilson, 1887, dalam Shafritz & Hyde, 1997).
Sejarah mencatat bahwa pemikiran ini sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran generasi ilmuwan administrasi publik pasca Wilson. Leonard D. White (1926), misalnya, dengan sangat berani mengungkapkan bahwa administrasi terkait dengan masalah bagaimana memanaje orang-orang dan barang-barang material untuk mencapai tujuan tertentu (White, 1926, dalam Shafritz & Hyde, 1997). Bahkan, Frank J. Goodnow (1900) dengan tegas mengatakan bahwa kendati sama-sama melekat pada institusi government, tetapi politik dan administrasi merupakan dua fungsi yang berbeda. Politik adalah fungsi yang berkaitan dengan masalah expression the state will dan administrasi adalah fungsi yang berkenaan dengan soal the execution of these policies (Goodnow, 1900, dalam Shafritz & Hyde, 1997).
Asumsi paradigmatis Wilsonian yang mengandaikan peran birokrasi semata-mata sebagai eksekutor dan implementor yang dituntut memiliki kemampuan teknis-manajerial dan tidak memiliki kepentingan apapun ternyata bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Birokrasi ternyata bukan hanya kumpulan robot, sistem, dan prosedur belaka. Lebih dari itu, birokrasi merupakan kumpulan orang yang memiliki perbedaan pandang, kepentingan, nilai, motivasi, kompetensi teknis, dan sebagainya. Lagi pula, seperti diungkapkan Owen B. Hughes (1994), proses administrasi publik tidak terjadi dalam ruang hampa tetapi melekat inherent dalam proses politik. Basis politic administrasi publik inilah yang pada akhirnya membawa kita kepada kesimpulan bahwa proses administrasi secara fundamental merupakan proses politik.
Argumen ini didukung temuan para ilmuwan administrasi publik yang mengelaborasi ranah implementasi kebijakan yang menunjukkan tendensi kentalnya muatan politik dalam fase implementasi kebijakan publik (Wildavsky, 1998; Ripley, 1985; Grindle, 1987). Disamping itu, terutama dalam konteks negara- negara berkembang, unsur politis birokrasi tidak bisa dilepaskan dari posisi institusi birokrasi yang sangat dibutuhkan negara-negara berkembang dalam rangka menopang pencapaian tujuan pembangunan ekonomi. Dalam konteks negara-negara maju birokrasi menjadi semakin dibutuhkan ketika kompleksitas masyarakat dan perubahan sosial semakin meningkat.
Bahwa argumen administrasi merupakan bagian dari proses politik mengandaikan peluang keterlibatan birokrasi dalam proses politik. Tentunya, aktor politik hanya akan bisa terlibat aktif dalam proses politik ketika ia memiliki power. Secara teoritik, birokrasi beberapa sumber kekuasaan yakni: penguasaan informasi dan keahlian, kewenangan yang terkait dengan pengambilan kebijakan, memonopoli legitimasi politik dan instrumen koersif, sifatnya yang permanen dan stabil, diskresi, penguasaan resources, perannya sebagai personifikasi negara (Peter, 1987; Caiden, 1982; Mas’oed, 1995). Dengan power ini birokrasi melakukan proses tawar menawar dengan aktor politik lainnya. Dan, seperti diungkapkan Long (1949), the lifeblood of administration is power.
Asumsi bahwa birokrasi merupakan aktor politik menegaskan kebutuhan untuk mengidentifikasi kepentingan politik birokrasi publik. Tentunya, kepentingan birokrasi publik terkait erat dengan power dan nilai yang dimilikinya. Kendati hasil akhir interaksi antara power, value, dan interest ini sangat beragam di setiap negara karena sifatnya yang time-spesific dan country-spesific, tetapi secara teoritik birokrasi publik memiliki kepentingan politik sebagai berikut:
- birokrasi publik cenderung memperbesar anggaran. Kecenderungan ini mengakibatkan birokrasi publik sering disebut sebagai ‘budget maximizer’;
- birokrasi cenderung menjaga stabilitas karir mereka. Perubahan-perubahan kecil yang ditujukan kepada perubahan struktur dan proses birokrasi publik yang diarahkan untuk meminimalkan aktualisasi power politik institusi birokrasi akan menimbulkan sikap resistensi birokrasi publik;
- sebagian birokrasi publik berkepentingan terhadap standard operating procedure (SOP) yang birokratis, karena memberikan kesempatan kepada birokrasi untuk mempraktekkan perilaku rent-seeking dalam proses penyampaian pelayanan publik.
Dalam logika berpikir seperti ini tema netralitas birokrasi merupakan sesuatu yang utopis. Bahkan perkembangan terkini administrasi publik mensyaratkan ketidaknetralitas birokrasi sebagai salah satu nilai penting dalam konteks proses politik yang menekankan prinsip-prinsip pemerintahan demokratis. Tentunya, keberpihakan itu harus dimaknai sebagai keberpihakan birokrasi terhadap nilai kemanusiaan, keadilan, dan good governance (Frederickson, 1999: 154). Jadi, sebagai aktor politik birokrasi tetap merupakan instrumen demokratisasi dan bukan menjadi kendala demokratisasi itu sendiri.