Apakah penyebab anak yang keras kepala?

anak keras kepala

Kadang kita dibuat stress dan tak tahu bagaimana cara menghadapi anak keras kepala. Oleh karena itu, menghadapai anak keras kepala perlu sedikit pengetahuan Psikologi juga. Lalu apakah penyebab anak yang keras kepala ?

1 Like

1. Orangtua yang otoriter.

Hari gini masih otoriter? Tunggu saja, semakin besar anak malah akan berbalik melawan kita. Saat ia sudah mampu menggunakan cara berfikir yang matang, mereka akan berani melawan.

Anak kita sudah hidup di zaman berbeda. Godaan dan rintangannya pun lebih besar dan terstruktur. Teknologi, pergaulan, perang pemikiran, dan lebih rumit zamannya dibandingkan masa kita dahulu.
Orangtua jangan terlalu menekan atau memaksa anak untuk menuruti semua kenginannya tanpa melihat kondisi dan kemampuan anak.

Jangan merasa serbatahu apa yang terbaik untuk anak dan apa yang harus dilakukan anak. Sehingga anak terus ditekan atau dipaksa jika tidak mampu memenuhi semua keinginan orangtua. Pada akhirnya, mereka akan menunjukkan sikap melawan.

2. Tidak tepat memilih waktu bicara.

Meminta anak untuk mendengarkan kita. Diperlukan waktu dan suasana yang pas apabila ingin pendapat kita didengar. Sering sekali orangtua tidak mau memahami hal itu. Ketika anak masih melakukan aktivitas kegemarannya atau sedang asik-asiknya bermain bersama teman-teman. Tiba-tiba orangtua memintanya melakukan sesuatu.

Memanggil anak untuk berbicara di saat kondisi tersebut membuat anak merasa tidak dihargai. Ia akan merasa terganggu dengan permintaan orangtuanya tersebut.

Tak heran jika ada beberapa anak yang mengabaikan permintaan orangtuanya. Menunda melakukannya, atau langsung menolak permintaan tersebut. Jika orangtua terus memaksa, bisa jadi malah terjadi ketegangan antar keduanya.

3. Keinginan anak tidak terpenuhi

Mencari perhatian adalah cara yang sering ditunjukkan anak untuk mencapai keinginannya, salah satunya yaitu berperilaku keras bahkan sampai melawan orangtua.

Anak sedang menyampaikan protes dengan harapan perilakunya mampu membuat orangtua mau memenuhi keinginannya.

4. Cuek dengan perkembangan anak.

Mencari nafkah memang kewajiban orangtua, tetapi jangan digunakan sebagai alasan untuk tidak memperhatikan perkembangan anak kita. Bukankah salah satu tujuan mencari nafkah adalah untuk kehidupan mereka.

Berilah perhatian dan didikan yang dibutuhkan anak hingga nilai-nilai. Seperti sopan santun, menghargai orang lain, atau batasan benar-salah, tertanam dengan baik pada diri anak. Jangan sampai anak tumbuh menjadi pribadi yang egois dan suka melawan orangtua.

Berinteraksi dengan anak bisa dilakuakan setiap saat. Dengan memantau kegiatannya, apa kegemarannya, siapa teman-teman dan bagaimana perasaannya. Termasuk mengetahui apa yang ia suka dan tidak suka, dapat membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. Sehingga kita tidak akan pernah terlambat mengetahui perkembangan anak kita sendiri.

5. Pengaruh lingkungan.

Lingkungan keluarga merupakan aspek yang pertama dan utama dalam mempengaruhi perkembangan anak. Anak lebih banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga. Sehingga keluarga mempunyai peran yang banyak dalam membentuk perilaku dan kepribadian anak serta memberi contoh nyata kepada anak.

Karena di dalam keluarga, anggota keluarga bertindak seadanya tanpa dibuat-buat.
Setelah lingkungan keluarga ada lingkungan bermain dan sekolah. Nah, inilah yang terkadang menjadi pertentangan bagi anak. Apa yang disaksikan di luar berbeda dengan yang ia dapatkan di rumah. Biasanya anak akan begitu mudah meniru perilaku teman-temannya, orang-orang lain yang dikenalnya, atau tayangan televisi.

Ketika anak mendapati teman-temannya atau orang lain menunjukkan perilaku suka melawan kepada orangtua. Anak-anak kitapun akan dengan mudah melakukan hal yang sama.

6. Mencontoh perbuatan orangtuanya.

Kebiasaan buruk yang dilakukan orangtua akan mudah sekali ditiru anak. Misalnya anak sering melihat kedua orangtuanya bertengkar atau bersikap keras kepala. Atau, anak melihat orangtuanya tidak patuh kepada nenek dan kakeknya. Anak pun dapat terdorong untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orangtuanya.

8. Anak terlalu dimanja.

Wajar saja ketika orangtua menyayangi anak. Tetapi tidak tepat jika terlalu memanjakannya. Memenuhi semua keingingan anak, tanpa disadari akan berdampak tidak baik untuk masa depannya.

Karena anak sudah terbiasa dituruti, tentu ia akan merasa kecewa jika suatu ketika Kita mencoba menghentikannya. Kemarahan dan frustrasi saat tidak dituruti, dapat diekspresikan dengan paksaan lewat segala cara yang tentu akan membuat Kita pusing. Seperti memaksa, keras kepala dan marah-marah.

Memanjakan tidak ada hubungannya dengan miskin atau kaya. Meloloskan semua permintaan anak tanpa menimbang perlu tidaknya akan membuat orangtua kerepotin sendiri. Tak heran jika orangtua juga memaksakan diri atau mengada-adakan sesuatu. Yang sebenarnya tidak mampu mereka lakukan hanya untuk membuat anak senang.

Hal ini sering dilakukan orangtua yang kurang memahami pola asuh yang baik sehingga menyebabkan hubungan antara orangtua dan anak tidak harmonis.

Saat kondisi lelah, orangtua terkadang tidak mampu mengendalikan dirinya menghadapi anak yang sedang marah. Akhirnya kita terpancing juga untuk lebih marah. Sering kali terjadi, orangtua sedang banyak persoalan, tetapi karena ketidaktahuannya. Anak justru meminta perhatian lebih dengan melakukan hal-hal yang membuat orangtua semakin emosional. Akibatnya, tanpa disadari anak menjadi sasaran kemarahan orangtuanya.

Orangtua perlu mengenal emosi anaknya. Sehingga komunikasi antara orangtua dan anak dapat terjalin dengan baik. Kita harus tahu kapan anak sedang senang, sedih, dan lainnya sehingga komunikasi dapat dilakukan dengan tepat.Ketika anak menunjukkan muka marah, alihkan dulu perhatiannya pada hal-hal yang menyenangkan. Setelah kemarahannya mereda, barulah ajak ia membicarakan permasalahannya.

Ikatan saling pengertian dan kasih sayang yang kurang dibangun ini rentan menimbulkan konflik.