Apakah Orang yang Perfeksionis Mudah Alami Stres dan Depresi?

perfeksionis

Biasanya, perfeksionis menetapkan standar tinggi – kadang tidak realistis – untuk dirinya sendiri, lalu merasa gagal apabila tidak dapat memenuhinya.

Benarkah hal ini? Lantas menurut anda sendiri bagaimana?

Orang yang menganggap dirinya perfeksionis biasanya keras pada diri mereka sendiri ketika hal-hal tidak berjalan sesuai keinginan mereka. Sifat ini memang diperlukan pada beberapa hal, tapi jika standar kita terlalu tinggi lama kelamaan kita justru jadi depresi.

Menurut Jackie Chan, seorang psikolog dari The Hong Kong Psychological Counselling Centre, perfeksionisme adalah sikap atau keyakinan bahwa tidak boleh ada kekurangan dalam pekerjaan atau kemampuan seseorang. Biasanya si perfeksionis menetapkan standar yang tinggi - kadang tidak realistis - bagi dirinya sendiri, dan menganggap diri gagal ketika tidak dapat memenuhi standar tersebut.

Seringkali pencarian kesempurnaan dimulai sejak usia muda, terutama ketika mereka memiliki orangtua atau figur otoritas lain seperti guru, yang menetapkan kesempurnaan sebagai standar yang diinginkan. Kesalahan apa pun yang dibuat biasanya akan berbuah kritik, teriakan, bullying, atau bahkan hukuman fisik.

Akibatnya mereka tumbuh dengan hasrat untuk menyenangkan dan menerima pujian dari orang lain. Mereka juga percaya bahwa harga diri mereka terikat dengan prestasi mereka. Media, masyarakat luas dan keyakinan budaya juga dapat berkontribusi pada keinginan untuk menjadi “sempurna”.

Perfeksionisme juga dicirikan oleh evaluasi diri yang terlalu kritis dan khawatir tentang penilaian dan kritik orang lain. Meskipun tidak ada yang salah dengan mengejar standar yang tinggi, menjadi teliti, atau menginginkan semua hal berjalan dengan cara tertentu, namun sikap ini sebenarnya punya efek negatif.

Efek paling nyata dari sifat tersebut berupa tindakan menyakiti diri sendiri, sindrom kelelahan kronis, gangguan obsesif-kompulsif, insomnia, gangguan stres pasca-trauma, gangguan kecemasan sosial, kecemasan dan depresi.

Riset terbaru dari Australian Catholic University juga menemukan bahwa sifat perfeksionis menyebabkan depresi. Tentu kita tidak ingin kerja keras kita untuk mencapai level kesempurnaan menjadi bumerang bagi kesehatan mental.

Para ahli menyebutkan, sikap mencintai diri sendiri, atau praktik kebaikan diri, dapat melemahkan hubungan antara perfeksionisme dan depresi.

Dr Madeleine Ferrari, seorang psikolog, mengatakan bahwa orang-orang yang menyalahkan diri sendiri ketika mereka membuat kesalahan atau gagal mencapai standar tinggi dapat disebut “maladaptif perfeksionis”. Kondisi tersebut merupakan pemicu kelelahan dan depresi.

“Sikap belas kasih dan peduli pada diri dapat membuat orang perfeksionis terhindar dari depresi, baik pada remaja atau orang dewasa,” kata Ferrari.

Saat ini, banyak orang dewasa dan remaja berada di bawah tekanan besar untuk memenuhi standar yang sangat tinggi, baik dalam kehidupan pribadi mereka maupun di sekolah dan tempat kerja. Ketika mereka menjadi terlalu fokus pada kesalahan, frustrasi dan marah pada diri sendiri saat gagal memenuhi harapan yang dibuat sendiri, risiko untuk mengalami depresi sangaltlah besar.

Berdasarkan laporan CNN tahun 2017, World Health Organization (WHO) umumkan jika depresi menjadi penyebab utama masalah kesehatan dan ketidakmampuan di seluruh dunia. Angka penderita depresi ini telah naik lebih dari 18 persen sejak 2005.

Depresi mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir dan berperilaku. Gejalanya antara lain seperti kehilangan minat dalam hobi, perasaan tidak berharga, konsentrasi yang buruk, ketidakmampuan untuk membuat keputusan, hingga gairah seks rendah.

Perfeksionisme Berpotensi Mengalami Depresi


Perfeksionisme sudah lama mendapat sorotan akademik di Barat sebagai salah konstruk yang terkait dengan berbagai gejala psikologis negatif (Blatt, 1995). Meski demikian, perfeksionisme belum banyak diteliti di Indonesia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perfek- sionisme merupakan hasrat untuk menetapkan dan mencapai standar-standar diri dan keberhasilan yang amat tinggi.

Dalam hubungannya dengan kesehatan mental, perfeksionisme dapat menjadi sifat yang adaptif dan mendorong seorang individu untuk mencapai prestasi tinggi. Parker dan Adkins (dalam Peters, 1996) menulis bahwa atlet-atlet profesional tidak akan bisa berhasil tanpa hasrat yang kuat untuk mencapai standar performa yang amat tinggi. Di sisi lain, perfeksionisme juga dapat menjadi maladaptif, misalnya apabila standar-standar ini begitu tinggi sehingga individu hampir selalu merasa gagal dalam melakukan sesuatu. Sifat ganda ini sudah lama diperhatikan oleh beberapa teoretisi psikologi.

Adler (dalam Rice, 1998), misalnya, mengatakan bahwa perfeksionisme merupakan aspek perkem- bangan yang normal dan hanya menjadi masalah ketika individu menetapkan standar-standar superioritas yang tidak realistis dalam mencapai tujuan atau goals.

Senada dengan Adler, Hamachek (dalam Rice, 1998) membagi perfeksio- nisme menjadi dua macam: yang normal dan yang neurotik. Menurut Hamachek, perfeksionis yang normal dapat menetap- kan standar pencapaian mereka dalam batas-batas keterbatasan dan kekuatan mereka. Dengan demikian, kesuksesan lebih mungkin dicapai. Perfeksionis normal mendapatkan kepuasan dan kenikmatan mendalam dari upaya keras dalam melakukan sesuatu.

Sebaliknya, perfeksionis yang neurotik menetapkan standar pencapaian yang lebih tinggi daripada yang biasanya dapat dicapai. Mereka sulit merasa puas karena mereka jarang berhasil melakukan sesuatu sebaik yang mereka inginkan. Karena itu mereka memandang bahwa dirinya tidak pantas untuk merasa puas dan merasa bahwa dirinya tidak berharga karena gagal mencapai standar yang mereka tetapkan sendiri.

Berdasarkan berbagai pandangan tersebut, dua kelompok penulis, yaitu Hewitt dan Flett (1991, 1993) dan Frost dkk. (dalam Blatt, 1995; Chang, 2000) secara terpisah mengembangkan teori tentang perfeksionisme dan alat ukurnya.

Masing-masing kelompok ini menyebut alat ukur perfeksionisme mereka sebagai Multidimensional Perfectionism Scale (MPS). Untuk membedakan dua skala tersebut dalam tulisan ini skala Frost dkk akan disebut FMPS (Frost Multidimen- sional Perfectionism Scale).

Dari serangkaian penyelidikannya, Hewitt dan Flett (1991, 1993) menyimpul- kan bahwa perfeksionisme memiliki aspek intrapersonal dan aspek sosial. Secara lebih spesifik, analisis faktor terhadap MPS menghasilkan tiga komponen perfek- sionisme: self-oriented perfectionism sebagai dimensi intrapersonal, dan other- oriented perfectionism dan socially prescribed perfectionism sebagai dimensi sosial atau interpersonalnya.

Menurut Hewitt dkk. (1995), perfeksionisme self-oriented terkait dengan menetapkan standar yang amat tinggi terhadap diri dan kritik dan pengawasan diri berlebihan yang membuat seseorang tidak bisa menerima kesalahan atau kegagalan. Pendek kata, dimensi perfeksionisme yang ini mengandung hasrat untuk terus-menerus berusaha agar tidak pernah salah atau gagal.

Perfeksionisme self- oriented yang tinggi memiliki potensi adaptif sebagai hasrat yang sehat untuk,mencapai prestasi atau menghasilkan karya besar, namun bila berinteraksi dengan life events yang negatif, dapat menghasilkan depresi (Hewitt dkk., 1995; Blatt, 1995).

Perfeksionisme other-oriented terkait dengan kecenderungan individu menuntut agar orang lain memenuhi standar-standar yang amat tinggi, sedangkan perfeksio- nisme yang socially prescribed adalah persepsi bahwa orang lain menuntut dan mengharapkan dirinya untuk selalu berhasil mencapai prestasi dengan standar yang tidak realistis. Tuntutan yang datang dari orang lain ini terkait dengan persepsi individu perfeksionis bahwa hal itu harus dipenuhi untuk mendapatkan penerimaan dan penghargaan dari lingkungannya (Blatt, 1995).

Frost dkk. (dalam Blatt, 1995; Dunkley, 2000) mengkonseptualisasikan perfeksionisme menjadi enam dimensi:

  1. Excessive concern over making mistakes (ketakutan berlebihan terhadap kesalahan)

  2. Hhigh personal standards (standar-standar personal yang tinggi)

  3. Perception of high parental expectations (persepsi bahwa orang tua punya harapan-harapan yang tinggi terhadap diri)

  1. Perception of high parental criticism (persepsi bahwa orang tua amat kritis terhadap diri).
  1. Ddoubt regarding the quality of one’s actions (keraguan tentang kualitas tindakan yang dilakukan)

  2. Preference for order and organization (kecenderungan pada kerapian dan keteraturan).

Dua aspek, yaitu standar personal yang tinggi dan keteraturan-kerapian, diasosiasikan dengan kebiasaan kerja yang baik, kerja keras, dan prestasi tinggi. Aspek- aspek lain, terutama aspek ketakutan berlebihan terhadap kesalahan, persepsi bahwa orang tua menetapkan standar
tinggi, dan keraguan terhadap kualitas tindakan, terkait dengan penyesuaian maladaptif. Salah satu aspek positif, yaitu keteraturan-kerapian, dipandang kurang dekat dengan konsep perfeksionisme umum, karena perfeksionis belum tentu merupakan individu yang teratur, dan sebaliknya, individu yang sangat rapi dan teratur belum tentu perfeksionis (Frost dkk., dalam Chang, 2000).

Bagaimana kaitan antara perfeksionisme dengan depresi?

Seperti diuraikan di atas, perfeksionisme terkait dengan kebutuhan kuat untuk berhasil. Individu yang sangat perfeksionis terus-menerus merasa harus membuktikan diri dengan pencapaian yang amat tinggi, tapi sekaligus merasa diadili dan rentan terhadap kemungkinan kegagalan atau kritik di masa depan. Dari uraian diatas, terlihat adanya beberapa kemiripan antara distorsi kognitif yang dialami individu depresi dengan pemikiran individu perfeksionis yang neurotik.

Di antara persamaan ini adalah individu perfeksionis yang neurotik dan individu depresif sama-sama mempersepsi apa yang dilakukan seringkali kurang sempurna, penyalahan diri karena kekurangsempurnaan hasil karya, memper- sepsi bahwa dirinya inferior, pesimis dalam memandang masa depan karena memandang bahwa dirinya tidak mampu, dan lain-lain.

Kaitan antara perfeksionisme dan berbagai gejala psikologis maladaptif, termasuk depresi dan bunuh diri, telah banyak diselidiki secara empiris di dunia akademik Barat. Hewitt dan Flett (1991), misalnya, mencobakan skala mereka pada 22 pasien depresi unipolar, 22 subyek kontrol, dan 13 pasien kecemasan untuk melihat apakah ketiga dimensi perfeksionisme diatas berkorelasi secara berbeda dengan depresi unipolar.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pasien depresi memiliki perfeksionisme self- oriented yang lebih tinggi dibanding kelompok subyek lain. Dengan demikian, perfeksionisme self-oriented dapat dipandang sebagai pembeda antara depresi dengan gangguan kecemasan.

Dalam konsep Frost, self-oriented perfectionism ini mirip dengan aspek personal standards.
Dalam teori Hewitt dan Flett (1991, 1993), socially prescribed perfectionism juga merupakan dimensi maladaptif. Dimensi ini secara konseptual serupa dengan aspek parental expectations dalam konsep Frost, hanya yang dimaksud “pemberi standar tinggi” lebih difokuskan pada orang tua. Berasal dari orang tua ataupun orang lain, karena berasal dari luar diri, standar-standar yang amat tinggi ini seringkali terasa berada di luar kendali. Hal ini kemudian menghasilkan perasaan- perasaan yang terkait dengan kegagalan, kecemasan, kemarahan, ketidakberdayaan, dan tanpa harapan – perasaan-perasaan yang erat hubungannya dengan depresi dan kecenderungan bunuh diri.

Perbedaannya, dalam memprediksi depresi, aspek intrapersonal perfeksionisme lebih berinteraksi dengan stresor-stresor prestasi, sedangkan aspek interpersonalnya perfeksionisme (socially prescribed atau parental expectation dan parental criticism) berinteraksi dengan stresor prestasi sekaligus interpersonal (Blatt, 1995).