Apakah Orang yang Perfeksionis Akan Rentan Mengalami Depresi?

perfeksionis dan depresi

Menjadi perfeksionis terkadang diperlukan, agar kita dapat mengeluarkan kemampuan kita yang terbaik. Tetapi untuk mendapatkan sesuatu yang “sempurna” dibutuhkan usaha yang sangat luar biasa. Apakah benar orang yang perfeksionis akan rentan mengalami depresi ?

Untuk tampil dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, tidaklah mudah. Itu sebabnya pribadi perfeksionis lebih rentan untuk mengalami depresi dibanding orang pada umumnya.

Perfeksionis adalah perilaku seseorang yang selalu berusaha tampil sempurna dengan standar yang sangat tinggi, yang seringkali disertai dengan kritik berlebihan terhadap diri sendiri.

Sulit Menghadapi Kegagalan

Para perfeksionis biasanya akan merasa nyaman ketika melakukan segala sesuatu secara teratur. Dia akan berusaha memperbaiki segala sesuatu disesuaikan dari sudut pandangnya. Untuk hubungan sosial, para perfeksionis akan berusaha tampil sempurna, mereka takut melakukan kesalahan sehingga sulit untuk pasangan atau orang lain melihat dirinya secara utuh. Itu sebabnya para perfeksionis sangat sulit merasa rileks.

Perfeksionis sebenarnya memiliki memiliki sisi positif yang dapat dimanfaatkan, seperti memberikan motivasi dan melakukan yang terbaik. Hanya saja, ketika seorang perfeksionis mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan, maka reaksi yang terjadi bisa berlebihan, termasuk memicu depresi.

Namun, tidak semua perfeksionis dipastikan mengalami depresi. Beberapa faktor yang dapat mendorong hal tersebut antara lain kurangnya kepercayaan diri dan seringkali merasa ragu terhadap diri sendiri, seringkali membandingkan dengan orang lain yang tampak lebih baik, kurang mendapat dukungan dari orang lain, dan rasa takut melakukan kesalahan.

Selain itu, penelitian menemukan peningkatan risiko negatif lain dari perfeksionis pada wanita yaitu mengalami gangguan makan. Contohnya adalah bulimia dan anoreksia. Hal ini disebabkan karena para perfeksionis merasakan kebutuhan terhadap pujian orang dan mengkritik dirinya secara berlebihan.

Mengenali Tanda Perfeksionis

Beberapa tanda yang dapat digunakan untuk mengenali pribadi yang perfeksionis seperti memiliki aturan-aturan ketat terhadap perilaku diri Anda dan orang lain. Misalnya, saya seharusnya memiliki bentuk tubuh yang lebih baik atau lebih sukses dalam karier. Atau pun, seharusnya pasangan Anda lebih memahami diri Anda dan lain-lain.

Pribadi perfeksionis juga seringkali membesar-besarkan suatu hal. Contohnya, saat Anda makan satu buah kue maka akan menggagalkan upaya diet selama berbulan-bulan. Keluhan terlalu kurus, gemuk atau merasa buruk rupa seringkali dikatakan.

Tidak jarang, pribadi perfeksionis merasa malu berlebihan, bahkan menghukum diri ketika dikritik. Perfeksionis juga seringkali ditandai dengan jarang merasa puas saat memperoleh pencapaian, justru akan meningkatkan standar pencapaian yang lebih tinggi. Sehingga sering kali, pribadi perfeksionis merasa tidak punya waktu cukup untuk melakukan segala sesuatu yang disukainya.

Tidak mudah mengubah diri seseorang yang perfeksionis. Namun untuk menguranginya, dapat dimulai dengan mencoba menurunkan ekspektasi yang terlalu tinggi, mengedepankan kepentingan orang lain, serta menikmati segala kekurangan pada diri sendiri atau pun orang lain.

Ya. Dalam hubungannya dengan kesehatan mental, perfeksionisme dapat menjadi sifat yang adaptif dan mendorong seorang individu untuk mencapai prestasi tinggi. Parker dan Adkins (dalam Peters, 1996) menulis bahwa atlet-atlet profesional tidak akan bisa berhasil tanpa hasrat yang kuat untuk mencapai standar performa yang amat tinggi. Di sisi lain, perfeksionisme juga dapat menjadi maladaptif, misalnya apabila standar-standar ini begitu tinggi sehingga individu hampir selalu merasa gagal dalam melakukan sesuatu. Sifat ganda ini sudah lama diperhatikan oleh beberapa teoretisi psikologi. Adler (dalam Rice, 1998), misalnya, mengatakan bahwa perfeksionisme merupakan aspek perkembangan yang normal dan hanya menjadi masalah ketika individu menetapkan standar-standar superioritas yang tidak realistis dalam mencapai tujuan atau goals .

Senada dengan Adler, Hamachek (dalam Rice, 1998) membagi perfeksionisme menjadi dua macam; yang normal dan yang neurotik. Menurut Hamachek, perfeksionis yang normal dapat menetapkan standar pencapaian mereka dalam batas-batas keterbatasan dan kekuatan mereka. Dengan demikian, kesuksesan lebih mungkin dicapai.

  1. Perfeksionis normal, mendapatkan kepuasan dan kenikmatan mendalam dari upaya keras dalam melakukan sesuatu.
  2. Perfeksionis neurotik, menetapkan standar pencapaian yang lebih tinggi daripada yang biasanya dapat dicapai. Mereka sulit merasa puas karena mereka jarang berhasil melakukan sesuatu sebaik yang mereka inginkan. Karena itu mereka memandang bahwa dirinya tidak pantas untuk merasa puas dan merasa bahwa dirinya tidak berharga karena gagal mencapai standar yang mereka tetapkan sendiri.

Berdasarkan berbagai pandangan tersebut, dua kelompok penulis, yaitu Hewitt dan Flett (1991, 1993) dan Frost dkk. (dalam Blatt, 1995; Chang, 2000) secara terpisah mengembangkan teori tentang perfeksionisme dan alat ukurnya. Masing-masing kelompok ini menyebut alat ukur perfeksionisme mereka sebagai Multidimensional Perfectionism Scale (MPS). Untuk membedakan dua skala tersebut dalam tulisan ini skala Frost dkk akan disebut FMPS (Frost Multidimen- sional Perfectionism Scale).

Dari serangkaian penyelidikannya, Hewitt dan Flett (1991, 1993) menyimpulkan bahwa perfeksionisme memiliki aspek intrapersonal dan aspek sosial. Secara lebih spesifik, analisis faktor terhadap MPS menghasilkan tiga komponen perfek- sionisme: self-oriented perfectionism sebagai dimensi intrapersonal, dan other- oriented perfectionism dan socially prescribed perfectionism sebagai dimensi sosial atau interpersonalnya.

Menurut Hewitt dkk. (1995), perfeksionisme self-oriented terkait dengan menetapkan standar yang amat tinggi terhadap diri dan kritik dan pengawasan diri berlebihan yang membuat seseorang tidak bisa menerima kesalahan atau kegagalan. Pendek kata, dimensi perfeksio- nisme yang ini mengandung hasrat untuk terus-menerus berusaha agar tidak pernah salah atau gagal. Perfeksionisme self- oriented yang tinggi memiliki potensi adaptif sebagai hasrat yang sehat untuk mencapai prestasi atau menghasilkan karya besar, namun bila berinteraksi dengan life events yang negatif, dapat menghasilkan depresi (Hewitt dkk., 1995; Blatt, 1995).

Perfeksionisme other-oriented terkait dengan kecenderungan individu menuntut agar orang lain memenuhi standar-standar yang amat tinggi, sedangkan perfeksio- nisme yang socially prescribed adalah persepsi bahwa orang lain menuntut dan mengharapkan dirinya untuk selalu berhasil mencapai prestasi dengan standar yang tidak realistis. Tuntutan yang datang dari orang lain ini terkait dengan persepsi individu perfeksionis bahwa hal itu harus dipenuhi untuk mendapatkan penerimaan dan penghargaan dari lingkungannya (Blatt, 1995).

Frost dkk. (dalam Blatt, 1995; Dunkley, 2000) mengkonseptualisasikan perfeksionisme menjadi enam dimensi:

  1. excessive concern over making mistakes (ketakutan berlebihan terhadap kesalahan)
  2. high personal standards (standar-standar personal yang tinggi)
  3. perception of high parental expectations (persepsi bahwa orang tua punya harapan-harapan yang tinggi terhadap diri)
  4. perception of high parental criticism (persepsi bahwa orang tua amat kritis terhadap diri)
  5. doubt regarding the quality of one’s actions (keraguan tentang kualitas tindakan yang dilakukan)
  6. preference for order and organization (kecenderungan pada kerapian dan keteraturan).

Dua aspek, yaitu standar personal yang tinggi dan keteraturan-kerapian, diasosiasi- kan dengan kebiasaan kerja yang baik, kerja keras, dan prestasi tinggi. Aspek- aspek lain, terutama aspek ketakutan berlebihan terhadap kesalahan, persepsi bahwa orang tua menetapkan standar tinggi, dan keraguan terhadap kualitas tindakan, terkait dengan penyesuaian maladaptif. Salah satu aspek positif, yaitu keteraturan-kerapian, dipandang kurang dekat dengan konsep perfeksionisme umum, karena perfeksionis belum tentu merupakan individu yang teratur, dan sebaliknya, individu yang sangat rapi dan teratur belum tentu perfeksionis (Frost dkk., dalam Chang, 2000).

Bagaimana kaitan antara perfeksionisme dengan depresi?

Seperti diuraikan di atas, perfeksionisme terkait dengan kebutuhan kuat untuk berhasil. Individu yang sangat perfeksionis terus-menerus merasa harus membuktikan diri dengan pencapaian yang amat tinggi, tapi sekaligus merasa diadili dan rentan terhadap kemungkinan kegagalan atau kritik di masa depan. Dari uraian diatas, terlihat adanya beberapa kemiripan antara distorsi kognitif yang dialami individu depresi dengan pemikiran individu perfeksionis yang neurotik. Di antara persamaan ini adalah individu perfeksionis yang neurotik dan individu depresif sama-sama mempersepsi apa yang dilakukan seringkali kurang sempurna, penyalahan diri karena kekurangsempurnaan hasil karya, memper- sepsi bahwa dirinya inferior, pesimis dalam memandang masa depan karena memandang bahwa dirinya tidak mampu, dan lain-lain.

Kaitan antara perfeksionisme dan berbagai gejala psikologis maladaptif, termasuk depresi dan bunuh diri, telah banyak diselidiki secara empiris di dunia akademik Barat. Hewitt dan Flett (1991) misalnya, mencobakan skala mereka pada 22 pasien depresi unipolar, 22 subyek kontrol, dan 13 pasien kecemasan untuk melihat apakah ketiga dimensi perfeksio nisme diatas berkorelasi secara berbeda dengan depresi unipolar. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pasien depresi memiliki perfeksionisme self- oriented yang lebih tinggi dibanding kelompok subyek lain. Dengan demikian, perfeksionisme self-oriented dapat dipandang sebagai pembeda antara depresi dengan gangguan kecemasan. Dalam konsep Frost, self-oriented perfectionism ini mirip dengan aspek personal standards.

Dalam teori Hewitt dan Flett (1991, 1993), socially prescribed perfectionism juga merupakan dimensi maladaptif. Dimensi ini secara konseptual serupa dengan aspek parental expectations dalam konsep Frost, hanya yang dimaksud “pemberi standar tinggi” lebih difokuskan pada orang tua. Berasal dari orang tua ataupun orang lain, karena berasal dari luar diri, standar-standar yang amat tinggi ini seringkali terasa berada di luar kendali. Hal ini kemudian menghasilkan perasaan- perasaan yang terkait dengan kegagalan, kecemasan, kemarahan, ketidakberdayaan, dan tanpa harapan perasaan-perasaan yang erat hubungannya dengan depresi dan kecenderungan bunuh diri. Perbedaannya, dalam memprediksi depresi, aspek intrapersonal perfeksionisme lebih berinteraksi dengan stresor-stresor prestasi, sedangkan aspek interpersonalnya perfeksionisme (socially prescribed atau parental expectation dan parental criticism) berinteraksi dengan stresor prestasi sekaligus interpersonal (Blatt, 1995).

Bagaimana kaitan harga diri dengan perfeksionisme dan depresi?

Seperti diuraikan di muka, individu perfeksionis menetapkan standar diri dan standar- standar keberhasilan yang tinggi. Pada perfeksionisme neurotik, standar-standar ini ditetapkan terlalu tinggi sehingga membuahkan diskrepansi yang besar antara ego-ideal dan ego-faktual. Secara teoretis perfeksionis neurotis akan didera oleh perasaan inferior dan harga diri yang rendah.