Apakah Korban Toxic Relationship Mengalami Gangguan Stockholm Syndrome?

Akhir-akhir ini istilah Toxic Relationship menjadi perbincangan hangat di masyarakat khususnya generasi muda. Beberapa orang menjalani hubungan romansa yang penuh manipulatif dan tekanan. Istilah Toxic Relation digunakan untuk sebuah hubungan romansa baik itu pacaran atau pernikahan dimana salah satu pihak mendominasi pihak yang lain. Bentuk dominasi tersebut juga bermacam-macam, seperti verbal, emosional, finansial dan fisik. Anehnya para tokoh dalam hubungan ini seringkali tidak sadar dan tetap melanjutkan kebiasaan mereka.

Kondisi yang dialami oleh para korban toxic relationship ini diindikasikan sama dengan gangguan mental Sindrom Stockholm, yaitu gangguan dimana dalam sebuah hubungan terdapat salah satu pihak menerima kekerasan (abusive) dan para korban yang menerima kekerasan tersebut selalu menganggap para pelaku tersebut sebagai penyelamat dan selalu membenarkan semua tindakannya. Walaupun belum termasuk dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, sindrom ini sering dijadikan acuan oleh pekerja psikologi untuk mendiagnosis gejala kekacauan mental.

Bagaimanakah menueut kalian? Apakah para korban Toxic Relationship ini termasuk mengalami gangguan Stockholm Syndrome?

Summary

Memahami Fenomena Stockholm Syndrome - Alodokter.

Mengenal Sindrom Stockholm, Kondisi Kejiwaan Tersakiti tetapi Menikmati - Suaka Online

1 Like

Ya, korban hubungan toksik dapat mengalami gejala sindrom Stockholm. Sindrom Stockholm adalah kondisi psikologis di mana seseorang yang menjadi korban penyanderaan atau kekerasan mulai mengembangkan ikatan emosional atau afektif terhadap pelaku kekerasan. Dalam konteks hubungan toksik, sindrom ini dapat terjadi ketika korban mengalami tekanan, manipulasi, atau kekerasan secara terus-menerus.

Korban toksik relationship sering kali mengalami perubahan perilaku, merasa terisolasi, dan bahkan mungkin merasa ketergantungan emosional pada pasangan mereka yang beracun. Faktor-faktor ini dapat memberikan dasar bagi perkembangan sindrom Stockholm. Mari kita eksplorasi lebih lanjut gejala-gejala dan mekanisme sindrom ini.

1. Teori dan Definisi Stockholm Syndrome

Sindrom Stockholm pertama kali diidentifikasi pada tahun 1973 setelah peristiwa penyanderaan di Norrmalmstorg, Stockholm. Psikiater Nils Bejerot mengamati bahwa beberapa sandera mengembangkan ikatan emosional dengan penyandera mereka. Ini memberikan dasar bagi konsep sindrom Stockholm.

2. Mekanisme Sindrom Stockholm dalam Hubungan Toksik

a. Rasa Terisolasi dan Ketergantungan Emosional

Korban hubungan toksik mungkin merasa terisolasi dari dukungan sosial dan keluarga. Dalam keadaan tersebut, mereka dapat mencari kenyamanan dan keamanan emosional pada pasangan mereka, bahkan jika pasangan tersebut berperilaku destruktif.

b. Manipulasi dan Pengendalian

Pelaku dalam hubungan toksik sering menggunakan taktik manipulasi dan pengendalian. Korban yang terus-menerus terpapar pada tekanan ini dapat mengalami perubahan psikologis, mulai dari rasa bersalah hingga meyakini bahwa pasangan yang toksik adalah satu-satunya sumber kebahagiaan.

c. Perubahan Identitas Korban

Korban toksik relationship mungkin mengalami perubahan identitas untuk mencocokkan gambaran diri yang diimpor oleh pasangan mereka. Mereka dapat kehilangan rasa diri mereka sendiri, merendahkan nilai-nilai mereka, dan bahkan mengabaikan perilaku destruktif pasangan.

3. Gejala Sindrom Stockholm pada Korban Hubungan Toksik

a. Simpati terhadap Pelaku

Korban mungkin merasa simpati atau bahkan bersimpati terhadap pasangan yang beracun. Mereka dapat memahami atau merasa bahwa perilaku pasangan mereka memiliki alasan atau justifikasi tertentu.

b. Menyembunyikan Kekerasan atau Perilaku Merugikan

Korban mungkin cenderung menyembunyikan kekerasan atau perilaku merugikan pasangan mereka dari orang lain. Ini dapat menciptakan suatu bentuk perlindungan atau perasaan tanggung jawab yang tidak sehat.

c. Perasaan Tidak Aman atau Ancaman terhadap Keselamatan

Meskipun mengalami kekerasan atau perilaku merugikan, korban mungkin merasa tidak aman atau takut jika meninggalkan hubungan. Hal ini dapat memperkuat ikatan emosional dengan pasangan yang beracun.

4. Penanganan dan Pemulihan

a. Intervensi Psikologis

Psikoterapi dapat membantu korban mengidentifikasi pola hubungan toksik, membangun kembali harga diri, dan mengatasi dampak psikologis sindrom Stockholm.

b. Dukungan Sosial

Penting bagi korban untuk mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan. Ini dapat membantu mereka merasa didukung dan tidak terisolasi.

Kesimpulan

Korban hubungan toksik dapat mengalami sindrom Stockholm karena tekanan, manipulasi, dan kekerasan yang terus-menerus. Penting untuk menyadari gejala sindrom ini dan mencari bantuan profesional serta dukungan sosial untuk pemulihan yang optimal.