Apakah kita boleh sombong kepada orang yang sombong?

Kesombongan, berasal dari kata sombong (bahasa Inggris: pride, bahasa Latin: superbia), merupakan suatu perasaan atau emosi dalam hati yang dapat mengacu pada dua makna umum. Dalam konotasi negatif biasanya mengacu pada perasaan meningkatnya status atau prestasi seseorang, seringkali disebut “keangkuhan”.

Apakah kita boleh sombong kepada orang yang sombong?

Ungkapan yang masyhur itu menyatakan,

Takabur kepada orang yang takabur adalah kebaikan.

Dalam lafadz yang lain,

Takabur kepada orang yang takabur adalah sedekah…

Ditegaskan oleh al-Ajluni dalam Kasyful Khafa (1/360) bahwa kalimat ini bukan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ucapan manusia biasa. Meskipun kata ar-Razi, secara makna bisa diterima.

Makna Sombong kepada yang Sombong

Muhammad al-Khadimi – ulama hanafiyah – pernah menjelaskan makna perkataan ini,

Takabur kepada orang yang takabur adalah sedekah. Karena jika kita tawadhu’ di dahapannya, maka dia akan semakin tenggelam dalam kesesatannya. Namun jika kita membalas kesombongannya, dia akan merasa diingatkan. Karena alasan inilah, Imam as-Syafii mengatakan, “Bersikaplah sombong 2 kali bagi orang yang sombong.”

Lalu beliau menukil keterangan beberapa ulama,

Az-Zuhri mengatakan, sombong di depan pecinta dunia, termasuk ikatan islam yang paling kuat… Ada yang mengatakan, terkadang takabur untuk mengingatkan orang yang takabur, bukan untuk menyanjung dirinya, sehingga ini takabur yang terpuji, seperti takabur di depan orang bodoh (sombong dengan kebodohanya) atau orang kaya (yang sombong dengan kekayaannya). Kata Yahya bin Muadz, “Takabur kepada orang yang takabur dengan hartanya di hadapanmu adalah bentuk tawadhu’.” (Bariqah Mahmudiyah, 2/186).

Al-takabbur 'ala al-mutakabbir shadaqah. Sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah.

Menurut Quraish Shihab, dalam bukunya yang berjudul “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat”, ditulis “…ditemukan riwayat yang mengatakan bahwa ‘bersifat angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah’.”

Walaupun tidak disebutkan perawinya, namun yang dimaksud “riwayat” di sini adalah hadis, oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa ungkapan tersebut adalah hadis nabi.

Tetapi, hal tersebut dibantah oleh Ali Mustafa Yaqub dalam buknya yang berjudul “Hadis-Hadis Bermasalah”. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa ungkapan tersebut hanyalah sekadar omongan orang, bukan hadis. Dengan demikian, beliau merasa tidak memerlukan lagi adanya analisis riwayat pada ungkapan tersebut.

Kalau menurut pendapat saya pribadi, silahkan kita mentadaburi pernyataan tersebut, karena terkadang setiap kondisi dan situasi mempunyai pendekatan yang berbeda pula. Tidak semestinya untuk setiap orang yang sombong lalu kita perlakukan dengan kesombongan pula. Terkadang kita malah perlu merendah dihadapan orang sombong untuk “menegur” mereka secara halus tentang kesombongannya.

Segala sesuatu tidak hanya bisa dilihat dengan kaca mata hitam dan putih saja, benar atau salah. Masih banyak kondisi dan situasi yang berada pada area abu-abu, seperti pernyataan Al-takabbur 'ala al-mutakabbir shadaqah tersebut, sehingga untuk area abu-abu tersebut, perlu disikapi dengan penuh hikmah (kebijaksanaan).

Wallahu a’lam bishawab