Apakah internet akan membuat industri penerbitan gulung tikar?

penerbit buku

Dengan adanya kemajuan teknologi, apakah benar akan membuat industri gulung tikar ?

2 Likes

Internet jelas mengubah dunia penulisan dan penerbitan, tapi saya tidak berpikir bahwa internet akan menghancurkan industri penerbitan. Orang masih harus menyaring yang baik dan yang buruk, yang berguna dan yang tidak, dan ini adalah tugas utama dari seorang editor dalam penerbitan. Orang harus mengenali pasar sebuah buku dan melemparkannya ke pasar, dan ini adalah tugas direktur pemasaran. Menaruh buku di internet dalam bentuk elektronik tidak dapat menyelesaikan tugas ini, dan akan sulit bagi para pengguna internet untuk memisahkan perak di antara besi rongsokan.

Masalah yang sedang dihadapi adalah untuk menemukan bagaimana mengatasi isu perihal kepemilikan dan penjualan kekayaan intelektual. Menaruh buku dalam format elektronik di internet tidak berarti semua yang membacanya akan membayar untuk itu. Penulis Stephen King telah memperoleh hasil beragam melalui sistem pembayaran sukarela untuk novel onlinenya The Plant. Saya percaya bahwa dampak terbesar internet terhadap penerbitan ialah kepada pendistribusian teks yang mudah untuk dicetak dalam kertas dan menjilidnya untuk kemudian dijual.

Genggam Sejarah Penerbitan, Perusahaan Pun Akan Tetap Jaya


Buku jendela ilmu, begitu banyak pepatah yang mengatakan seperti itu. Memang sejak zaman dimana manusia mengetahui adanya aksara sebagai tanda komunikasi, manusia mulai menggoreskan pikirannya dalam sebuah bentuk tulisan yang selanjutkan akan menjadi penanda bagi mereka. Pada masa itu (red. Zaman pra aksara), manusia membubuhkan tulisan pada media padat berisi dokumentasi akan apa yang telah mereka lakukan. Sebatas cerita memang, namun melalui tulisan tersebut dapat ditemukan bukti historis akan terbentuknya sesuatu maupun cerita akan kehidupan suatu bangsa tertentu. Ide sebagai komponen utama dalam suatu tulisan dapat tersampaikan melalui tulisan atau aksara, selanjutya media tulis menjadi bagian dari bagaimana suatu ide dapat terpresentasikan kepada orang lain yang membaca. Pada awal pembahasan ini lebih menitikberatkan bagaimana sebuah tulisan menjadi sebuah representasi dari ide atau gagasan. Tidak lebih, maupun kurang. Hakikat adanya sebuah tulisan lahir dari bagaimana seseorang ingin membuat apa yang dipikirkannya tertuang di luar kepalanya.

Berbagai macam media digunakan untuk menggoreskan tulisan. Media tersebut antara lain batu, dinding gua, kayu, daun, bahakan kulit hewan. Lebih lanjut, muncul olahan dari sebuah tanaman yang menjadi kertas bernama papyrus . Papyrus dipercayai sebagai cikal bakal adanya kertas. Manusia terus berinovasi dari waktu ke waktu dan selalu mencoba untuk menemukan cara agar tulisan yang telah ia buat termaktub abadi di luar kepalanya. Menuliskan ide yang ada di dalam kepala dalam suatu media akan menunjukkan eksistensinya. Hal ini sesuai dengan salah satu ciri manusia yaitu mendapat pengakuan dari orang lain. Melalui tulisan, tergambar bagaimana karakter dan daya pikir dari orang tersebut. Melalui pengetahuan tersebut, orang lain yang membaca akan dengan mudah mengetahui karakter dari orang yang menulis sehingga muncul kesepahaman bahkan perbedaan pemahaman antar manusia satu dengan lainnya. Menggoreskan tulisan artinya ia berani menunjukkan bagaimana ia memandang sesuatu. Ketika orang lain membaca maka orang yang sepaham akan mendukung, lebih-lebih mempercayai tulisan tersebut sebagai pedoman hidup. Sebaliknya, apabila melalui tulisan tersebut ada ketidak sepahaman antara orang yang menulis dengan orang yang membaca maka tidak dapat dipungkiri terjadi pertikaian dan lebih buruk lagi terdapat permusuhan antara satu orang dengan orang yang lainnya. Bagaimana sebuah tulisan menjadi hal yang seperti itu?

Ciri lain manusia adalah ingin sama atau setara dengan yang lainnya. Pada satu sisi hal ini bisa memberian keuntungan. Muncul keinginan manusia untuk menentukan siapa role model nya dan menyetaraan dirinya dengan orang tersebut. Hal ini juga dapat mendatangkan kerugian, ketika apa yang ia percayai sebagi contoh atau role model merupakan sosok sangat inspirasional, maka ketika seseorang menjadi lebih fanatik akan mengakibatkan apapaun yang tidak sesuai dipercayai sebagai hal buruk dan harus dimusnahkan. Contoh sederhana pada masa zaman The Dark Age di eropa. Gereja menjadi pengatur utama dalam segala aspek kehidupan di eropa, pusatnya di bawah bekas kekaisaran romawi. Pada masa itu masih belum terbentuk negara, hanya bangsa-bangsa dengan landasan hukum adat sebagai pengatur kehidupannya. Pada saat itu seluruh warga yang hidup disekitar gereja tidak boleh melakukan aktivitas selain ketentuan dari gereja antara lain; berdagang dengan harga patokan sendiri, membuat alat-alat atau mesin, menimba ilmu selain di gereja, dan bahkan membuat karya seperti lukisan maupun tulisan. Apapun ide yang dimiliki oleh warga eropa pada masa itu tidak dapat tersampaikan meskipun memiliki media untuk menyampaikannya. Semua aspirasi tidak dapat tersampaikan kecuali hal tersebut keluar dari pihak gereja. Oleh karena itu dapat dikatakan pada masa tersebut sebagai masa kelam. Tulisan yang notabene merupakan hak asasi bagi seseorang apabila ingin menuliskan gagasan maupun idenya harus terhalang oleh pihak gereja.

Berpindah dari bagaimana sebuah tulisan itu terbentuk hingga tulisan yang sudah jadi namun tidak dapat tersampaikan, dapat diketahui bahwa ide atau gagasan yang terbukti secara teoritis akan dapat disebut sebagai ilmu lebih lengkap lagi deisebut sebagai ilmu pengetahuan. Ketika masa The Dark Age usai orang-orang berbondong-bondong menyampaikan aspirasinya dan membuat penemuan demi mempermudah kehidupan mereka. Proses penemuan sangat lekat dengan tulisan, semua hasil percobaan, kegagalan, dan kesuksesan pembuatan suatu alat akan termaktub dan dapat dipelajari dikemudian hari. Diktat – diktat terbentuk seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Pada kasus ini apakah tulisan tersebut sudah dalam ranah penerbitan ?

Jauh sebelum masa The Dark Age yaitu di zaman dimana perkembangan islam oleh Khulafaur Rasyidin tulisan yang sudah terproduksi dengan baik sudah ada yaitu dalam bentuk buku atau mushaf. Pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan hafalan isi Al-Quran dari para hafidzh dan hafidzah digoreskan pada kertas yang saat itu sudah bisa didapat. Pada masa itu dapat dikatakan sudah ada yang namanya proses penerbitan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya produksi massal guna proses pembelajaran. Selanjutnya pembahsan mengenai penerbitan lebih lanjut dapat ditemukan melalui catatan sejarah penerbitan, melalui catatan tersebut dapat ditarik pengertian besar yaitu; media tulis yang masif atau besar mulai ada sejak penemuan kertas oleh Ts’ai Lun pada tahun 105 M. tulisan dapat dituliskan dengan mudah di atas kertas dengan tinta sebagai media penggoresnya.

Dunia merasakan betapa besarnya hasil penemuan Ts’ai Lung, beberapa negara tercatat telah menerbitkan secara komersil tulisan karya sesorang. Sebagai contoh, 8 abad kemudian muncul novel berjudul The tale of Genji karya Marasaki Shikibu pada tahun 998. Novel ini merupakan karya fiksi pertama yang diterbitkan secara masal. Walaupun diterbitkan cukup besar, cakupan pembaca hanya seputar orang – orang kerajaan saja.

Penerbitan pada masa dahulu merupakan barang mahal dan tidak semua orang dapat dimiliki. Sejak era penjajahan, dimana beberapa negara sudah mulai terbentuk sebuah buku menjadi barang yang dapat diperjualbelikan dengan mudah dan semua orang yang mampu dapat memebelinya. Buku sebagai kumpulan tulisan dari hasil pemikiran seseorang atau sekumpulkan orang dapat memeberikan pengetahhuan bagi pembaca. Karena pengaruh tersebut pepatah “ Buku adalah Jendela Ilmu ” merajalela. Selain sektor pendidikan, bidang lain pun juga membutuhkan buku untuk memperkuat pengetahuan yang ingn dimiliki.

Indonesia sendiri menurut sastrawan dan mantan ketua IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) memliki tiga jalur usaha penerbitan yaitu buku pelajaran, buku bacaan umum seperti sastra dan hiburan, serta buku agama. Penggunaan buku hanya terbatas akan tetapi hasil terbitan dapat dirasakan oleh semua orang walaupun sudah dalam bentuk rongsokan. Selama Indonesia belum merdeka, kebebasan untuk mendapatkan pengetahuan dari buku masih terbatas sehingga penerbit sebatas dari pihak belanda ataupun pihak lain selain Indonesia ( seperti; buku agama berbahasa arab oleh orang arab dan buku bacaan umum serta sastra dari melayu ). Kemudian pada tahun 1950 – an mulai muncul penerbit swasta yang lebih berorientasi pada berita beropini untuk mengilangkan penjajahan di Indonesia. selanjutkan tercatat bahwa tahun 1955 pemerintah republic Indonesia menasionalisasikan seluruh perusahaan Belanda termasuk perusahaan penerbitannya. Buku lebih dikenal pada masa ini karena seluruh terbitan diobral murah pada masyarakat. Sejak saat itu, buku menjadi komoditi utama dalam pengetahuan dan pembelajaran bahkan lebih lanjut digunakan sebagai saran penyaluran ideology politik.

Sejarah panjang yang telah banyak dipaparkan di atas hadir bukan tanpa alasan. Hal ini juga menguatkan beberapa opini mengenai bagaimana situasi penerbitan pada saat ini. Sejak Indonesia memiliki buku untuk bahan bacaan, saat itulah penerbitan mulai hidup. Meski diguncang masalah penjajahan dan politik internal negara, buku dianggap mampu sebagai penengah dan sumber terpercaya penengah segala konflik berkepanjangan. Saat ini buku tetap memiliki unsur utama yaitu ide yang digoreskan dalam sebuah tulisan, terdapat beberapa unsur ideologi juga di dalamnya. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan cukup signifikan antara buku dahulu dengan sekarang. Unsur promosi dan popularitas menjadi penentu seberapa besar buku tersebut menjadi bahan bacaan. Buku masa kini adalah apabila pada bentuk fisiknya dapat memeberikan nilai historis dan estetik serta popularitas karena pengetahuan, sebagai dasar adanya sebuah tulisan sangat mudah untuk ditemukan bebeas dan tidak berbayar. Pada masa dahulu orang-orang berbondong – bondong untuk membeli buku karena sumber informasi tercepat adalah buku. Orang tetap memaksakan untuk mendapatkan buku dengan harga berapapun demi bisa mengetahui pengetahuan yang ada di dalamnya. Saat ini dapat kita ketahui bahwa untuk mendapatkan pengetahuan dapat melalui banyak media dalam jaringan tidak berbayar, selain itu media – media tersebut pun mudah untuk diakses dari mana saja dan kapan saja. Buku menjadi opsi kebeberapa puluh setelah informasi tidak dapat ditemukan pada media dalam jaringan. Pendapat ini dapat dibuktikan dengan hasil pelaporan jumlah pembelian buku pada toko buku di bawah naungan IKAPI, terbukti bahwa persentase buku pelajaran terjual sebayak 19,26 %. Sebuah buku dapat diterbitkan dengan ketentuan minimal terbit sejumlah 200 sampai 100 eksemplar. Dengan persentase sekecil itu banyak buku pelaaran berakhir di bursa obralan. Berbeda dengan persentase penjualan buku fiksi yang mencapai lebih dari 40 persen, peran dari phak penerbit untuk mempromosikan dan menjadikan buku bergenre tersebut menjadi sangat penting untuk dimiliki adalah alasan terbesar yang membuat persentase buku fiksi tertinggi diantar buku – buku lain.

Penerbitan buku mengalami penurunan jumlah konsumen memang menjadi isu hangat pada era ini. Banyak dari penerbit terpaksa menutup perusahaannya, namun juga banyak penerbit kecil yang menunjukkan ‘ gigi ‘ nya. Penerbit besar terpaksa tutup karena biaya operasional yang cukup besar tidak sebanding dengan pemasukan yang bisa didapatkan. Penulis tetap banyak jumlahnya dan terus mengeluarkan karya, hal ini menjadi target bisnis untuk penerbit kecil untuk memberikan kontribusinya dibidang penerbitan. Penerbitan besar harus berurusan dengan banyak kelompok dan kepentingan sedangkan penerbit kecil atau biasa disebut penerbit indie melakukan seluruh kegiatan operasionalnya sesuai kebijakan sendiri tanpa ikut campunr kepentingan dari organisasi atau badan lain. Ketentuan penerbitan dan seberapa besar keuntungan yang dapat dibagi menjadi lebih mudah untuk diurus. Untuk dapat dikatakan bahwa penerbitan di Indonesia buruk karena penurunan juga tidak dapat diambil begitu saja. Masih banyak usaha dari pegiat terbitan dan buku untuk melestarikan pengetahun dalam bentuk tulisan mengingat sejarah adanya tulisan yan cukup panjang.

2 Likes