Apakah Hubungan Antara Keimanan dan Kesalehan Sosial?

kesalehan sosial

Berikut ini adalah artikel menarik terkait dengan pertanyaan diatas. Sebuah tulisan dari Syekh Abdul Qadir Jailani terkait dengan keimanan.

Kesalehan Sosial Menurut Syekh Abdul Qadir Jailani

Keimanan tidak selamanya diukur berdasarkan jumlah ibadah seorang kepada Allah SWT. Meskipun ada orang yang percaya kepada Tuhan dan dia rajin beribadah, baik ibadah wajib maupun sunah, belum tentu apa yang dilakukannya itu menunjukan kesempurnaan iman. Sebab Islam tidak hanya meminta umatnya percaya kepada Tuhan, kemudian beribadah terus-menerus, tetapi juga meminta kita untuk peduli dengan lingkungan dan masyarakat sekitar.

Sesungguhnya keimanan berkait kelindan dengan kepekaan sosial. Semakin tinggi derajat keimanan seorang seharusnya tingkat sensitifnya terhadap problem keumatan juga semakin meninggi.

Hal ini tercermin dalam diri Nabi Muhammad SAW. Selain tekun beribadah, Beliau juga terlibat aktif dalam menuntaskan problem keumatan yang terjadi di negerinya.

Iman kaum beriman perlu dipertanyakan bila hatinya tidak terpanggil sedikit pun untuk melakukan perubahan sosial. Keimanannya disangsikan jika tidak mau membantu saudara, tetangga, dan masyarakat miskin. Sementara kondisi finansialnya melebihi kebutuhan hariannya dan tidak bakalan jatuh miskin bila disumbangkan separuhnya untuk fakir miskin.

Syekh Abdul Qadir Jailani dalam Fathur Rabbani wal Faydur Rahmani mengatakan,

إذا أحببت لنفسك أطايب الأطعمة واحسن الكسوة وأطيب المنازل واحسن الوجوه وكثرة الاموال واحببت لأخيك المسلم بالضد من ذلك فقد كذبت في دعواك كم> ال الإيمان، يا قليل التدبير لك جار فقير، ولك أهل الفقراء ولك مال عليه زكاة، ولك ربح كل يوم ربح فوق ربح، ومعك قدر يزيد على قدر حاجتك إليه، فمنعك لهم عن العطاء هو الرضى بما هم فيه من الفقر…

Artinya, “Jika kamu menyukai makanan enak, pakaian bagus, rumah mewah, wanita cantik, dan harta yang berlimpah, sementara pada saat yang sama kamu menginginkan agar saudara seimanmu mendapatkan kebalikannya, maka sungguh bohong bila kamu mengaku memiliki iman yang sempurna.

Wahai orang kurang akal! Kamu berdampingan dengan tetangga yang fakir dan mempunyai sanak-saudara miskin, sedangkan kamu memiliki harta yang sudah layak dizakati, keuntunganmu berlipat ganda setiap hari, dan kamu memiliki kekayaan lebih.

Jika kamu enggan memberi dan menolong mereka, berarti kamu rela dengan kefakiran mereka.”

Nasihat yang disampaikan sulthanul auliya’ ini tentu sangat menusuk batin kita. Sebagai seorang sufi agung, ternyata Syekh Abdul Qadir juga tidak hanya sibuk beribadah, tetapi juga perhatian terhadap masalah sosial. Bahkan, ia mengkritik keras umat Islam yang acuh tidak acuh dengan kondisi masyarakat sekitarnya. Dengan merenungi petuah ini, semoga keimanan kita mampu membuat kita semakin peka dengan problem keumatan. Wallahu a’lam (Hengki Ferdiansyah)

Sumber : nu.or.id


Apakah ada pendapat atau sumber-sumber lain terkait hal tersebut diatas, sehingga kita bisa mawas diri terhadap keimanan kita sendiri ?

1 Like

Kesalehan Individual dan Sosial


Dikotomi kesalehan invidual (hablun minallah) dan kesalehan sosial (Hablun minannas) masih terjadi hingga saat ini. Banyak umat Islam yang secara indivual saleh, namun tidak secara sosial. Banyak orang yang rajin sholat, namun tidak peka dengan kerusakan alam. Banyak orang yang sering pergi haji dan umroh, namun tidak peka dengan kemiskinan yang melanda orang lain. Banyak orang yang suka berpuasa, namun sangat pelit dalam bersedekah harta kepada orang lain. Hal ini tentu saja membuat sikap saleh itu kurang sempurna. Karena kesalehan individual dan sosial ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad saw, banyak sekali disinggung tentang keharusan seorang muslim untuk bersikap saleh. Saleh yang diteladankan Al-Qur’an dan Hadist tidak hanya terbatas pada saleh secara individual (antara manusia dan Allah swt), namun juga saleh secara sosial (antara manusia dengan lingkungan). Sebagaimana terdapat dalam surat al-Mu’minun ayat 1-11 yang artinya:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman; (yaitu) orang-orang yang khusyu´dalam sembahyangnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna; dan orang-orang yang menunaikan zakat; dan orang-orang yang menjaga kemaluannya; kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela; Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas; Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya; dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya; Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi; (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya”.

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang yang beriman (saleh) adalah orang yang tidak hanya memperhatikan ibadah mahdlah -nya saja, tapi juga memperhatikan kepentingan sosialnya.

Beberapa ibadah individual juga pada dasarnya menyiratkan untuk menjalin hubungan baik dengan makhluk sekitar. Sholat dimulai dengan kalimat “Allahu Akbar”, artinya segala pekerjaan kalau diniatkan mencari ridla Allah akan bernilai ibadah. Sholat akan tidak bernilai ibadah ketika niatnya adalah riya’/pamer. Kemudian diakhiri dengan salam (doa keselamatan) ke kanan dan ke kiri, hal ini menyiratkan agar manusia tidak lupa dengan manusia lain disekelilingnya. Manusia diharuskan menjaga keselamatan dan menyebarkan kedamaian kepada manusia lain.

Sehingga sholat akan berimplikasi pada nahi mungkar/mencegah perbuatan mungkar/ buruk yang akan merugikan manusia lain sebagai disebutkan dalam surat al-Ankabut ayat 45, dan juga menyebarkan perdamaian/rahmat kepada orang lain.

Puasa selain bertujuan untuk menjaga dari makan, minum, seks dan hal-hal lain yang membatalkan, juga sebagai ibrah /pelajaran bagi manusia untuk merasakan kekurangan orang lain (lapar dan dahaga) yang seharusnya mempunyai implikasi peka terhadap kondisi orang-orang yang serba kekurangan. Sehingga selain sebagai media melatih diri, puasa diharapkan juga membuat orang yang menjalankannya akan terbuka untuk menolong orang lain yang kekurangan.

Apalagi ditambah dengan penjelasan hadist nabi tentang keutamaan bersedekah di bulan Ramadlan. Esensi dari ibadah sholat dan puasa sebagaimana dijelaskan diatas tidak hanya berhenti pada orang yang melaksanakannya, namun juga harus disadari bahwa esensi sholat dan puasa mempunyai implikasi sosial yang tinggi, yang ketika implikasi sosialnya dilupakan, maka ibadahnya akan sia-sia belaka. Artinya ketika orang tersebut rajin sholat dan puasa, tapi masih berbuat kemungkaran, maka orang tersebut belum bisa dikatakan sebagai orang yang saleh.

Sikap saleh tidak hanya diukur dari seberapa banyak orang itu sholat dalam sehari, puasa dalam satu tahun, pergi umroh dan haji, tapi juga diukur dengan seberapa banyak jasa yang dia hasilkan untuk orang lain, seberapa besar pengabdian yang dilakukan dalam melestarikan lingkungan, seberapa baik teladan yang diberikan pada orang lain dan sebagainya. Artinya saleh tidak hanya memikirkan legalitas formal seperti yang terdapat dalam rukun Islam misalnya, tapi juga memikirkan implikasi sosialnya. Ketika hal ini diabaikan, yang terjadi adalah muslim namun tidak Islami, seperti yang diungkapkan Sir Sayyid Muhammad Iqbal,

When i go to the west, i see Islam without moslem, and when i go to the east, i see moslem without Islam”.

Makna Islam dalam pernyataan Muhammad Iqbal itu akan berfungsi efektif ketika umat Islam memaknai ajaran Islam sebagai kepentingan manusia, bukan kepentingan Tuhan. Karena pada dasarnya tugas manusia sebagai khalifah/wakil Allah dimuka bumi untuk merawat dan mengelola bumi sebagaimana mestinya akan kembali kepada manusia sendiri, bukan kepada Allah swt. Ketika manusia beribadah (individual dan sosial) dimuka bumi, maka ketentramanlah yang akan didapat, dan sebaliknya ketika manusia mengabaikannya, maka kehancuranlah yang akan didapat.

Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Allah swt melalui nabi Khidir as bertanya kepada nabi Musa as tentang ibdah yang langsung sampai ke hadirat Allah swt. Nabi Musa menjawab yang sangat mungkin jawabannya akan sama dengan anggapan umat Islam pada umumnya yaitu melakukan ibadah seperti sholat, puasa dan haji.

Nabi Khidir menjawab ibadah seperti itu bukan merupakan ibadah yang sampai langsung kepada Allah karena ibadah itu lebih sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba Allah, mau tidak mau manusia/umat Islam harus melaksanakannya karena merupakan kewajiban (pada dasarnya). Nabi Khidir menyatakan bahwa ibadah yang langsung sampai ke hadirat Allah adalah menolong orang yang teraniaya, memberi makan orang yang kelaparan, dan memberi pakaian orang yang tidak mampu membeli pakaian (Mulkhan, 2005).

Pernyataan nabi Khidir hampir sama dengan pesan Raden Qosim atau Sunan Drajat Lamongan

“Wenehono teken marang wong kang wutho, Wenehono mangan marang wong kang luwe, Wenehono busono marang wong kang wudho, Wenehono payung marang wong kang kaudanan”.

Artinya, kurang lebih “berilah tongkat/pegangan kepada orang yang buta, berilah makan kepada orang yang kelaparan, berilah pakaian kepada orang yang tidak berpakaian, berilah payung kepada orang yang kehujanan”.

Karena itu, ukuran kesalehan seseorang tidak hanya dilihat dari seberapa rajin orang itu sholat, seberapa sering berpuasa, seberapa banyak mengerjakan ibadah haji, dan sebagainya, tapi juga diukur dari bukti-bukti empiris, apakah orang disekelilingnya bisa makan, berbahagia, aman dari gangguannya, bersih lingkungannya dan lain-lain.

Kesalehan tidak lagi hanya terkait antara individu dengan Tuhan, tapi juga dengan lingkungan dan manusia disekitarnya tanpa memandang suku, ras, bangsa dan agama. Kesalehan yang melampaui batas-batas diri dan memperhatikan otherness sebagai implikasi empiriknya.