Apakah Hubungan Antara Agama dan Budaya?

Harus diakui bahwa memang ada permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam dalam membedakan antara agama dan budaya. Secara teoritis perbedaan antara keduanya dapat dijelaskan, tapi dalam praktek kehidupan kedua hal tersebut seringkali rancu, kabur, dan tidak mudah untuk dibedakan.

Agama dan budaya menurut Kuntowijoyo (1991) adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Kedua, budaya dapat mempengaruhi simbol agama, dan yang ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama.

Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan yaitu, keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Baik agama ataupun budaya pada dasarnya memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaan dan menciptakan suatu tatanan masyarakat yang teratur dan terarah.

Walaupun agama dan budaya saling berhubungan erat dalam mengatur kehidupan sosial dan saling memiliki keterkaitan, akan tetapi agama dan budaya harus dapat dibedakan. Perbedaan yang paling signifikan yaitu agama merupakan suatu ajaran yang mengatur kehidupan yang berhubungan dengan Tuhan, sedangkan budaya adalah suatu tatanan masyarakat yang diatur atau yang dibentuk oleh manusia itu sendiri demi kelangsungan bersama.

Apakah yang kamu ketahui antara hubungan agama dan budaya?

Sejak awal perkembangannya, agama- agama di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Sebagai contoh Agama Islam, dimana Islam sebagai agama faktual banyak memberikan norma-norma atau aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain.

Jika dilihat dari kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas.

  • Pertama, Islam sebagai konsespsi sosial budaya dan Islam sebagai realitas budaya.

  • Kedua, Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik” yang dipengaruhi Islam.

Tradisi besar Islam adalah doktrin- doktrin original Islam yang permanen atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah atau hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan feri-feri atau pinggiran. Tradisi kecil (local, Islamicate traditioan) adalah realm of influence, kawasan- kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition).

Tradisi lokal ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat. Istilah lain, proses akulturasi antara agama Islam dan budaya lokal ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya.

Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap
budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan
budaya selanjutnya. Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam.

Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya lokal dan Islam.

Budaya-budaya lokal yang kemudian berakulturasi dengan Agama Islam antara lain, acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa.

Wayang merupakan kesenian tradisional suku/etnis Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di Indonesia dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya lokal.

Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian
bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.

Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan
kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.

Aspek akulturasi budaya lokal dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari yang ditokohkan. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengi- sahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional.

Akulturasi budaya Islam dengan budaya lokal nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.

Apabila ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme murni merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan wahyu dari hasil ciptaan Tuhan. Ragam agama yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap manusia setelah “gagal” mencari kedamaian atau kedamaian hakiki melalui indera.

Bila kita amati secara obyektif, Islam memiliki ciri-ciri baik dalam konsep Ketu- hanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Syarat mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih dahulu mengenal Islam dengan tepat dan benar. Kemudian harus komitmen terhadap ajarannya.

Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila didukung dengan adanya penyerahan serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah SWT telah telah berjanji
kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai amal sholeh, akan mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi sikap muslim yang
logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya.

Al-Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pada pemahaman yang sama. Pengertian Islam secara umum yakni mengandung dimensi iman yang tidak dikotori oleh unsur-unsur syirik, tunduk, disertai dengan rasa ikhlas karena Allah SWT, berserah diri diiringi dengan amal sholeh serta sikap tegar dan optimis. Jadi pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya merupakan penyerahan diri secara bulat kepada Allah SWT yang melahirkan satu sikap hidup tertentu.

Hubungan Agama dan Kebudayaan dalam Masyarakat

Kebudayaan tampil sebagai perantara yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut. Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di
masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran.

Misalnya kita membaca kitab fikih, maka fikih yang merupakan pelaksanaan dari nash Al Qur’an maupun hadist sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat.
Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.

Misalnya manusia menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul berma- syarakat, dan sebagainya. Ke dalam produk kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi. Dalam pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengalaman agama. Sebaliknya tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas.

Selain itu hubungan agama dan kebudayaan dalam konteks budaya Indonesia, maka budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed. 1998:77-79)

  • Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.

  • Lapisan kedua adalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradaban yang menekankan pembebasan rohani agar aman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh.

  • Lapisan ketiga adalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi
    ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.

  • Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu, kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar ma’ruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.

Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri.

Pengaruh timbal balik antara agama dan budaya antara lain :

  1. Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok, masyarakat, dan suku bangsa;
  2. Kebudayaan cenderung mengubah-ubah keaslian agama seshingga menghasilkan penafsiran berlainan.

Hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan berbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.

Agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa ini tidak berarti mengimplikasikan pengertian “agama menciptakan masyarakat.” Tetapi hal ini mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Hubungan antara agama dengan masyarakat terlihat di dalam masalah ritual. Dimana kesatuan masyarakat tradisional sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi “masyarakat” karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama.

Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan pada kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, dimana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang ikut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.

Sumber :

Laode Monto Bauto, Perspektif Agam dan Kebudayaan dalam Kehidupan masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama), Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Haluoleo Kendari