Jika kita merujuk pada kamus Meriam Webster cancel culture adalah sebuah upaya publik untuk tidak lagi memberikan dukungan terhadap seseorang setelah mereka melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Indonesia, bebasnya Saipul Jamil (SJ) dari lapas menerima berbagai penolakan keras dari publik. Bagaimana tidak, publik cukup geram dengan beberapa stasiun Televisi nasional yang dengan ‘tidak merasa bersalahnya’ mengundang SJ menjadi bintang tamu di 2 program acara TV sekaligus. Sebelumnya, SJ ditahan karena kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur serta melakukan suap terhadap hakim yang menangani kasusnya.
Kemunculan SJ di TV tentu memantik caci maki, citra buruk, dan boikot massal mulai disuarakan publik menerjang kelompok media dan terhadap SJ. Meski SJ sudah selesai menjalani hukuman, tetapi stasiun Televisi dianggap tidak sensitif dan tak berpihak pada trauma korban pelecehan SJ yang saat itu terjadi masih di bawah umur. Kemunculan kembali SJ pelaku pencabulan sesaat setelah menyelesaikan hukumannya di televisi dianggap memberikan indikasi pemakluman terhadap pedofilia. Nah, kasus penolakan terhadap SJ ini merupakan salah satu praktek yang nyaris sempurna dari fenomena cancel culture . Tekanan publik yang masif menghantam dari segala penjuru akhirnya berhasil men- take down SJ dari segala penampilannya dihadapan publik melalui dunia elektronik dan digital.
Tentu, bukan berarti kita membela dan membenarkan apa yang telah dilakukan SJ di masa lalu. Tapi, jika kita saksikan, tidak sedikit hujatan yang bertengger dimana-mana ini telah membuat kekhawatiran tersendiri. Apakah cancel culture ini merupakan bentuk lain dari bullying? Bagaimana menurutmu?