Apakah Cancel Culture Merupakan Gelombang Baru Dari Bullying?

Jika kita merujuk pada kamus Meriam Webster cancel culture adalah sebuah upaya publik untuk tidak lagi memberikan dukungan terhadap seseorang setelah mereka melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Indonesia, bebasnya Saipul Jamil (SJ) dari lapas menerima berbagai penolakan keras dari publik. Bagaimana tidak, publik cukup geram dengan beberapa stasiun Televisi nasional yang dengan ‘tidak merasa bersalahnya’ mengundang SJ menjadi bintang tamu di 2 program acara TV sekaligus. Sebelumnya, SJ ditahan karena kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur serta melakukan suap terhadap hakim yang menangani kasusnya.

Kemunculan SJ di TV tentu memantik caci maki, citra buruk, dan boikot massal mulai disuarakan publik menerjang kelompok media dan terhadap SJ. Meski SJ sudah selesai menjalani hukuman, tetapi stasiun Televisi dianggap tidak sensitif dan tak berpihak pada trauma korban pelecehan SJ yang saat itu terjadi masih di bawah umur. Kemunculan kembali SJ pelaku pencabulan sesaat setelah menyelesaikan hukumannya di televisi dianggap memberikan indikasi pemakluman terhadap pedofilia. Nah, kasus penolakan terhadap SJ ini merupakan salah satu praktek yang nyaris sempurna dari fenomena cancel culture . Tekanan publik yang masif menghantam dari segala penjuru akhirnya berhasil men- take down SJ dari segala penampilannya dihadapan publik melalui dunia elektronik dan digital.

Tentu, bukan berarti kita membela dan membenarkan apa yang telah dilakukan SJ di masa lalu. Tapi, jika kita saksikan, tidak sedikit hujatan yang bertengger dimana-mana ini telah membuat kekhawatiran tersendiri. Apakah cancel culture ini merupakan bentuk lain dari bullying? Bagaimana menurutmu?

Sebelum berpendapa apakah Cancel Culture merupakan gelombang baru dari Bullying, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu makna dari masing-masing perbuatan tersebut.

Bullying menurut Sejiwa (2008) adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal , fisik maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tak berdaya. Perlu kita garis bawahi pengertian tersebut pada kalimat “seseorang atau sekelompok orang baik” artinya perbuatan bullying dilakukan oleh orang-orang mayoritas atau orang yang lebih kuat pada orang yang lebih lemah.

Maka bisa kita ketahui bahwa bulying merupakan tindakan negatif.

Berbeda dengan cancel culture, dimana cancel culture ini diibaratkan sebagai pisau bermata dua, dimana tindakan ini bisa dijadikan sebagai alat untuk demokrasi keadilan sosial sekaligus intimidasi masal.

Masyarakat di media sosial diharapkan untuk tetap menjunjung tinggi nilai moral dan prinsip sosial mereka sebelum melakukan tindakan ini, karena pada dasarnya setiap kasus yang sedang viral di media sosial tidak bisa disamaratakan. Sebelum melakukan aksi cancel culture ini, alangkah lebih baiknya masyarakat atau setiap inidividu untuk mengingatkan, menegur atau mengedukasi pada pihak yang bersangkutan atas tindakan yang dia lakukan.

https://www.gramedia.com/best-seller/bullying-di-sekolah/

Cancel culture adalah sebuah gerakan yang sebetulnya dikhawatirkan bisa berkontribusi pada peningkatan polarisasi politik. Baik itu tweet atau klip video yang kontroversial, pengguna media sosial dengan cepat bisa menuntut pertanggungjawaban pada subjek. Namun, para kritikus menganggap bahwa hal ini bisa menjadi sebuah bentuk online shaming , yang kemudian bisa mengarah kepada cyberbullying.

Cancel culture melibatkan upaya bersama untuk menarik dukungan untuk sosok atau bisnis yang telah mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan sampai mereka meminta maaf atau menghilangkan pandangan yang secara mayoritas dianggap keliru.

Referensi : https://www.halodoc.com/artikel/mengenal-cancel-culture-aksi-positif-atau-sebatas-cyberbullying

Di Indonesia sendiri sebenarnya belum lama menggunakan cancel culture tersebut, jadi masih banyak pro dan kontra. Namun sepengetahuan saya cancel culture sudah berlaku lama di negara asia timur seperti Jepang dan Korea. Jika dilihat dari sisi kemanusian memang ini terasa tidak adil karena walaupun melakukan kesalahan bukankah mereka mempunyai hak untuk tetap hidup. Namun di sisi lain cancel culture merupakan sebuah tindakan preventif agar seseorang tidak melakukan tindakan kriminal karena mereka sudah mengetahui akibatnya dari cancel culture.

apakah cancel culture termasuk bentuk bullying menurut saya bukan karena ada penyebab mengapa seseorang terkena cancel culture asalkan cancel culture yang dimaksud tidak bermaksud untuk melukai/menyakiti seseorang baik verbal,fisik, dan psikis tapi sebagai efek jera dan sanksi atas kesalahan yang diperbuat.

Cancel culture dapat dianggap sebagai bentuk baru dari bullying dalam beberapa hal. Meskipun ada perbedaan dalam konteks dan motivasi di balik keduanya, ada elemen-elemen yang menunjukkan bahwa cancel culture memiliki kemiripan dengan bullying tradisional.

Pertama-tama, baik cancel culture maupun bullying melibatkan penolakan dan pengecualian seseorang dari kelompok atau komunitas. Dalam bullying, ini mungkin berupa tindakan fisik atau verbal yang merendahkan dan menyakiti perasaan seseorang. Dalam cancel culture, ini dapat terjadi secara online dengan menghentikan dukungan terhadap individu atau entitas, mengisolasi mereka secara sosial atau bahkan menyebabkan kerugian finansial.

Kedua, keduanya menciptakan atmosfer yang dapat menciptakan ketakutan dan kecemasan. Baik korban bullying maupun individu yang menjadi sasaran cancel culture mungkin merasa terancam, kehilangan rasa aman, dan mengalami tekanan psikologis. Sanksi sosial dan potensi kerugian karier dapat memberikan dampak yang signifikan pada kesejahteraan mental dan emosional seseorang.

Namun, terdapat perbedaan signifikan antara keduanya. Bullying tradisional seringkali bersifat personal dan terjadi di lingkungan sehari-hari seperti sekolah atau tempat kerja. Di sisi lain, cancel culture seringkali terjadi secara daring, melibatkan massa orang yang mungkin tidak memiliki hubungan pribadi dengan individu yang menjadi sasaran.

Salah satu perbedaan utama adalah motivasi di balik tindakan tersebut. Bullying seringkali dipicu oleh keinginan untuk menguasai, menyakiti, atau mendominasi orang lain, sedangkan cancel culture seringkali timbul dari ketidaksetujuan terhadap pandangan atau tindakan seseorang. Meskipun demikian, batas antara mengekspresikan ketidaksetujuan dan memulai kampanye pembatalan tidak selalu jelas.

Penting untuk dicatat bahwa cancel culture dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kebebasan berbicara dan pluralitas pendapat. Saat orang takut untuk berbicara atau memiliki pandangan berbeda karena takut dihakimi atau dibatalkan, ini dapat merugikan perkembangan masyarakat yang demokratis.

Di sisi lain, cancel culture juga bisa dilihat sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan sosial dan moral. Ketika digunakan untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap perilaku atau pandangan yang merugikan atau mendiskriminasi, cancel culture dapat menjadi mekanisme untuk mengubah norma sosial dan mempromosikan toleransi.

Dalam menyimpulkan, meskipun terdapat persamaan antara cancel culture dan bullying dalam hal pengecualian sosial dan potensi dampak psikologis, perbedaan dalam konteks, motivasi, dan bentuk pelaksanaannya membuat keduanya tetap sebagai entitas yang terpisah. Penting untuk memahami kompleksitas masing-masing dan mencari keseimbangan yang memungkinkan esensi dari kritik sosial tanpa merugikan kebebasan berbicara dan keberagaman pendapat.